hubungan kompetensi guru pai dalam membentuk karakter siswa kelas XII keperawatan Di SMK Kharisma Panongan Tangerang

(1)

PANONGAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh

Ibnu Kholdun Nawaji

NIM 1111011000044

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iii

Keywords: Social Competence Master PAI, Character Class XII Nursing

This study aims to obtain valid empirical data (authentic) and reliable (trustworthy) about Social Competence Relationship Guru PAI Against the Formation of Character Class XII Vocational Nursing In Kharisma Panongan at Jl. Kingdom RancaIyuh Korelet Kec.Panongan Kab. TangerangBanten.

Dalah digunakana research methods with quantitative methods. Samples were students of class XII Vocational Nursing Kharisma, 2015/2016 school year 40 students. Technical analysis of the data used is the analysis of the use editing, scoring, and correlations were used to describe the results of research.

Based on the analysis and interpretation of data, it can be concluded that there is a strong relationship between social competence or high PAI teacher in shaping the character of class XII student of SMK KharismaPanongan Nursing. As for the social competence of teachers PAI indirectly affect or have a strong relationship or high in shaping students' character, manners and morality of students in the school. It is seen from the preventive, repressive and curative conducted by PAI teachers and all educators in schools by intensifying the social competence of teachers embedded within, be friendly, and also mutual tolerance toward fellow teachers and students.


(6)

iv

KATA PENGANTAR

ميحّرلا نمحّرلا ها مسب

Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh

Segala puji bagi Allah SWT, yang dengan memuji-Nya terbuka pintu segala ilmu, dengan mengingat-Nya keluar segala perkataan yang baik, dengan mensyukuri-Nya semua orang beriman merasakan nikmat-Nya di dunia dan akhirat. Dan karena izin-Nya pula lah penulis dapat menyelsaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kompetensi Sosial Guru PAI Dalam Membentuk Karakter Siswa Kelas XII Keperawatan Di SMK Kharisma Panongan”. Skripsi ini penulis ajukan kepada fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam.

Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri tetapi juga berkat dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa hormat, terima kasih yang tak terhingga, dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).

2. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.

3. Bapak Dr. Khalimi, MA selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.


(7)

4. Bapak Dr. Faridal Arkam, M.Pd selaku dosen pebimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi penulis.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan.

6. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan skripsi ini.

7. Seluruh dewan guru dan karyawan SMK Kharisma Panongan, khususnya kepada Bapak Drs. Khusnul Faoji, M.Si, Bapak Suhandi, S.Pd, Ibu Ekayati, M.Pd.i, Ibu Retno Puji Astuti, SE, Bapak Ust. Robi Syahrliana, S.Pd.i, dan Bapak Dede Sopyan, S.Pd yang telah suka rela mengizinkan penulis meneliti di sekolah Kharisma, dan memberikan saran dan motivasi terhadap penulis. Semoga Allah SWT membalasnya dengan berlipat ganda

8. Yang tercinta dan yang paling penulis hormati Ayahanda yang menjadi panutan yaitu Papah KH. Moch. Abrori Mandala dan Ibunda tersayang Mamah Hj. Saeroh, yang dengan sabar dan tulus memberikan kasih sayangnya tiada tara, membanting tulang demi memperjuangkan keberhasilanku. Semoga Allah SWT membalas semua ketulusan dan pengorbanan mereka. Tak sanggup rasanya raga ini membalas semua jasa dan asa yang telah Papah Mamah berikan namun mutiara do’a yang dapat ku panjatkan untuk membalas kasih sayang Mamah dan Papah.

9. Yang tersayang Adik-adikku, Ridwan Al-Gifari , Fauzan Rizik Murtadho, Manbaul Izi Kemal Pasya, dan si cantik Zahira Lutfiyatu Zahra yang telah banyak memberikan support dan dukungan yang tak terhingga, semoga kelak kalian bisa merasakan apa yang kaka rasakan terlebih dahulu.


(8)

10.Yang terkasih kepada Siti Nurur Rizkiyah, Amd.Kep yang selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk memotivasi, memberikan support, saran dan dukungan yang tak terhinga, menemani dengan sabar dan sepenuh hati, terimakasih untuk kebersamaan kita, semoga kebersamaan ini bukan untuk sesat namun untuk sampai akhir hayat. 11.Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat

TWO PAI (PAI B) teman-teman terbaik, terhebat, luar biasa, yang selalu sedia untuk memberikan bantuan, semangat, serta waktu nya untuk menghibur penulis, yaitu: Ahmad Khoiruddin, Tezar Laksana Putra, M. Rizki Ramadhan, M. Harish Rahmatullah, Zulfurnaen, Dedi Gunawan, M. Choirul Imam, Abdul Hamid, Rahmat Hidayat, Abdur Rahman S.Pd.I, Hilman Shodri, S.Pd. I, dan Deni Maulana, S. Pd. I. 12.Saudara seperjuangan IKAPMI UIN Jakarta (Ikatan Alumni Pondok

Pesantren Ummul Qura Al-Islami UIN Jakarta) yang telah turut serta dalam mendukung, membangun, membantu dari mulai pendaftaran SPMB mandiri sampai saat ini. Ucapan terima kasih dari penulis yang tak terhingga, semoga Allah SWT membalas semua yang kalian berikan dengan setimpal.

13.Segenap Sahabat Komunitas Pembina Pramuka SCOUTING SAMBA (Scout Association Movement Broke Application) : Kak Restu Eka Saputra, Kak Iwan, Kak Zainal Rifa’i, Kak Ahmadi, Kak Farhan, Kak Haitami, Kak Choirul imam, Kak Coy, Kak Abel, Kak Esa Fahreza, Kak Gilang, Kak Fajar, Kak Fahri, Kak alam, Kak Kristian, dan juga segenap anak didik SAMBA: Paspraka, Phanthom dan Dewantara yang selalu memberikan semangat canda dan tawa di tengah perjuangan penulis. Tak terbalas rasanya ucapan terima kasih dari penulis, hanya do’a yang bisa penulis panjatkan, semoga kita semua selalu bersama dalam bimbingan-Nya dan ridha-Nya.

14.Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

Tak ada gading yang tak retak. Sebagai sebuah karya, tentu saja skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelsaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat Allah SWT. Dan diharapkan karya ini semoga dapat memberikan sumbangan yang cukup berharga dan bermanfaat demi kemajuan pendidikan. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.

Jakarta , 24 Desember 2015


(10)

viii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Perumusan Masalah ... 10

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 10

BAB II : KAJIAN TEORI A. Konsep Kompetensi Sosial ... 11

1. Pengertian Kompetensi ... 11

2. Pengertian Sosial ... 13

3. Pengertian Kompetensi Sosial ... 14

B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 20

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 20

2. Tujuan Pembelajaran PAI ... 22

3. Fungsi Pengajaran PAI ... 25

C. Pembentukan Karakter ... 27

1. Pengertian Karakter ... 27

2. Pengertian Pendidikan Karakter ... 30

3. Proses Pembentukan Karakter ... 34

4. Pendidikan Karakter Bangsa ... 37


(11)

F. Pengajuan Hipotesis ... 42

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 44

B. Metode Penelitian ... 44

C. Variabel Penelitian ... 45

D. Populasi dan Sampel ... 45

E. Teknik Pengumpulan Data ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil SMK Kharisma Panongan ... 54

1. Sejarah Siingkat SMK Kharisma Panongan... 54

2. Profil SMK Kharisma... 55

3. Visi dan Misi SMK Kharisma Panongan ... 56

4. Data Guru dan Karyawan ... 57

5. Data Siswa SMK Kharisma... 58

6. Data Sarana Prasarana SMK Kharisma ... 59

B. Deskripsi Data ... 60

C. Analisis Data ... 75

D. Interpretasi Data ... 77

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Implikasi ... 80

C. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(12)

x

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Angket Karakter Siswa

Tabel 3.3 Penetapan Skor untuk Kompetensi Sosial Guru PAI

Tabel 3.4 Penetapan Skor untuk Karakter Siswa Kelas XII Keperawatan Tabel 3.5 Interpretasi analisa data berdasarkan korelasi produck moment

(rxy)

Tabel 4.1 Data Guru Dan Karyawan SMK Kharisma Tahun Ajaran 2015 2016

Tabel 4.2 Keadaan sisaw/i SMK Kharisma Panongan Tahun Pelajaran 2015 2016

Tabel 4.3 Guru PAI bersikap ramah kesemua siswa

Tabel 4.4 Guru PAI berbincang (mengobrol/berdiskusi) dengan siswa tentang keluhan di luar pelajaran sekolah

Tabel 4.5 Guru PAI bersikap santun dengan seluruh pegawai yang ada di sekolah

Tabel 4.6 Guru PAI bersikap ramah dengan seluruh guru yang ada di sekolah

Tabel 4.7 Guru PAI bergaul dengan baik terhadap semua Guru yang ada di sekolah

Tabel 4.8 Guru PAI memberi isyarat apapun ketika siswa bercanda saat pembelajaran berlangsung

Tabel 4.9 Guru PAI bersikap masa bodoh terhadap siswa yang tidak memperhatikan pelajaran

Tabel 4.10 Guru PAI menyapa duluan ketika berpapasan dengan siswa Tabel 4.11 Guru PAI membantu siswa ketika mengalami kesulitan

Belajar

Tabel 4.12 Guru PAI tersenyum ketika bertemu dengan siswa


(13)

Tabel 4.14 Guru PAI menghadiri undangan rapat guru

Tabel 4.15 Guru PAI memberikan nasehat kepada siswa diluar kelas ataupun di dalam kelas

Tabel 4.16 Guru PAI menjenguk rekan guru yang sakit

Tabel 4.17 Guru PAI melakukan diskusi kecil terkait dengan pendidikan bersama rekan guru

Tabel 4.18 Mengerjakan shalat fardhu lima waktu Tabel 4.19 Berkata jujur kepada orang tua dan guru Tabel 4.20 Menyontek saat ulangan/UTS/UAS Tabel 4.21 Datang tepat waktu ke sekolah

Tabel 4.22 Bertanya kepada guru jika ada pelajaran yang kurang dipahami Tabel 4.23 Membantu teman atau orang lain saat melihatnya dalam

kesulitan

Tabel 4.24 Membuang sampah pada tempatnya Tabel 4.25 Menghormati yang lebih tua

Tabel 4.26 Menyayangi yang lebih muda Tabel 4.27 Mengerjakan PR dari guru

Tabel 4.28 Mencium tangan orang tua ketika hendak bepergian dan saat bertemu dengan guru

Tabel 4.29 Selalu menutup aurat saat di depan orang yang bukan mahram Tabel 4.30 Menepati apa yang sudah dijanjikan kepada orang lain

Tabel 4.31 Meminta maaf apabila berbuat salah

Tabel 4.32 Mengucapkan terima kasih setelah ditolong oleh orang lain Tabel 4.33 Perhitungan Hasil Penelitian


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, dalam hubungannya dengan manusia lain sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak dapat terlepas dari individu yang lain. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu dibarengi dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesamanya, maupun interaksi dengan Tuhannya, baik itu disengaja ataupun tidak disengaja.1

Setiap manusia yang hidup di dunia dan melakukan sosialisasi dan interaksi pasti melakukan apa yang dinamakan belajar. Baik belajar dalam arti yang sempit tentang hal yang tidak perlu ada pihak yang ditunjuk sebagai pengajarnya, seperti belajar berjalan, belajar berbicara, dan lain-lain, maupun belajar dalam arti yang lebih luas lagi, yaitu dalam arti pendidikan itu sendiri.

Guru adalah pendidik yang melaksanakan peran peran utama dan penting dalam proses pendidikan. Perencanaan pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik, tapi ketika dilaksanakan dalam prosesnya lebih banyak aspek yang menentukan bagaimana pembelajaran itu terjadi yang tak pernah direncanakan, seperti ekspresi guru, emosi guru, cara komunikasi guru, dan sebagainya.2

Oleh sebab itu, pendidikan bisa dijadikan sebagai pijakan manusia dalam melakukan sesuatu, baik itu yang berhubungan dengan urusan hidupnya sendiri maupun yang berhubungan dengan orang lain, agar dalam hidupnya

1Sardiman, AM, Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rajawali Press, 1990), h.1.


(15)

bisa mencapai kepuasan secara moral dengan mengembangkan potensi yang ada padanya tersebut.

Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.3

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1, pendidikan adalah : “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”4

Jika pendidikan dipahami dalam arti luas, sebagai proses penyadaran, pencerdasan, dan pembangunan mental atau karakter, tentu ia bukan hanya identik dengan sekolah. Ia berkaitan dengan proses kebudayaan secara umum yang sedang berjalan, yang punya kemampuan untuk mengarahkan kesadaran, memasok informasi, membentuk cara pandang, dan membangun karakter generasi muda khusunya. Artinya, karakter yang menyangkut cara pandang dan kebiasaan siswa, remaja, dan kaum muda secara umum hanya sedikit sekali yang dibentuk dalam runang kelas atau sekolah, tetapi lebih banyak dibentuk oleh proses sosial yang juga tidak dapat dilepaskan dari proses bentukan ideologi dari tatanan material ekonomi yang sedang berjalan.5

3Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 1 Ayat 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). h. 1

4Anas salahudin dan irwanto alkrienciehie, Pendidikan Karakter : Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya bangsa (Bandung ; Pustaka Setia, 2013) , h. 41

5Fatchul Mu’in, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritis & Praktik, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011), h.324


(16)

Membuat peserta didik bekarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang di anut, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila. Seluruh butir-butir Pancasila sepenuhnya terintegrasi ke dalam harkat dan martabat manusia (HMM). HMM terdiri atas tiga komponen, yaitu hakikat manusia, pancadaya kemanusiaan, dan dimensi kemanusiaan.6

Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh 2 faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.7

Dalam konteks implementasi pendidikan/pembelajaran, kepribadian guru sangat penting untuk dicermati, baik dari segi majemen maupun dari individu guru itu sendiri. Ini berarti, guru harus mencermati kepribadiannya sendiri, memperlakukannya dengan cermat serta menerapkannya secara efektif dalam proses pendidikan/pembelajaran dengan mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai ideal yang harus tercermin dalam pendidikan sehingga dapat menjadi karakter kita, guru dan termanifestasikan ke dalam guru karakter.8

Pantaslah James B. Broww berpendapat peran guru itu, menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencanakan, mempersiapkan pelajaran sehari-hari mengontrol dan mengevaluasi kegiatan siswa. Untuk itu, Tc. Pasaribu dan B. Simanjuntak, menyatakan :

Di dalam pendidikan efektivitas dapat ditinjau dari dua segi :

1. Mengajar guru dan menyangkut sejauh mana kegiatan belajar mengajar yang direncanakan terlaksana.

6Anas salahudin dan irwanto alkrienciehie, Op, Cit. , h. 43

7Papuh fathurrohman dan Aa suryana, Guru Profesional, (Bandung : Refika Aditama), h. 39 8Uhar Suharsaputra, Op, Cit., hal. 37


(17)

2. Belajar murid, yang menyangkut sejauh mana tujuan pelajaran yang diinginkan tercapai melalui kegiatan belajar mengajar.9

Dalam proses belajar mengajar tidak akan terlaksana apabila salah satu komponen dari kegiatan tersebut tidak ada, dan salah satu komponen tersebut adalah adanya seorang guru atau tenaga pendidik. Akan tetapi, keberadaan guru dimasa sekarang ini kebanyakan tidak lebih hanya sebagai pengajar saja, yang hanya mentransfer pengetahuan kepada murid-muridnya, mereka terkadang melupakan tugas utama dari seorang guru yaitu menghaluskan budi pekerti anak didiknya.

Al-Qur’an telah memberikan isyarat tentang Nabi Muhammad sebagai guru kedua setelah Allah SWT. Pada intinya kedudukan Nabi sebagai pendidik atau guru karena ditunjuk langsung oleh Allah SWT yang bertugas dan bertanggung jawab untuk membimbing ummat. Tidaklah diragukan lagi, salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk meningkatkan kualitas SDM, yang benar-benar utuh, tidak saja secara jasmani akan tetapi juga secara ruhani.10

Guru merupakan sebuah kata keramat yang mempunyai arti yang sangat diagungkan oleh masyarakat, bahkan ada yang mengartikan guru itu di gugu dan ditiru, yang berarti segala tingkah laku guru diperhatikan selama 24 jam penuh oleh masyarakat, karena segala tindak tanduk guru biasanya dijadikan teladan bagi masyarakat sekelilingnya. Oleh karenanya, profesi seorang guru sangatlah mulia dan sangat terhormat, sehingga tidak sembarang orang dapat memakainya.

Seorang guru hendaknya menyadari bahwa tugas yang diembannya tidaklah mudah, tetapi tidak juga sulit, karena jika guru tersebut mematuhi persyaratan yang dipenuhi oleh seorang guru, maka tugas guru itu akan mudah untuk dijalankan.

9Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), h. 57

10Fadilah Suralaga, dkk., Psikologi Pendidikan Dalam Prespektif Islam ,(Jakarta : UIN Jakarta Press 2005), h. 107


(18)

Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang penuh pengabdian pada masyarakat, dan perlu ditata berdasarkan kode etik tertentu. Kode etik itu mengatur bagaimana seorang guru harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma pekerjaannya, baik dalam hubungan dengan anak didiknya maupun dalam hubungan dengan teman sejawatnya.11

Oleh sebab itu, tidak sembarang dan semua orang bisa menjadi guru yang sebenar-benarnya. Seorang guru hendaknya selalu memberikan suri tauladan bagi masyarakat yang berada disekitarnya, karena pekerjaan guru adalah pekerjaan 24 jam yang tidak mengenal waktu, maka tidaklah salah jika ada kiasan bahwa guru itu adalah di gugu dan di tiru, menggambarkan bahwa pekerjaan guru tidaklah mudah namun buka berarti sulit yang artinya kalau seorang guru tersebut benar-benar tulus, ikhlas, dan juga berkompeten dalam menjalani pekerjaanya maka secara otomatis pekerjaan tersebut akan mudah untuk dijalankan, maka sebaliknya jika tidak ada ketulusan, keikhlasan dan kesungguhan maka pekerjaan tersebut akan dirasakan sangat sulit.

Dan sebagai konsekuensi logis tersebut, setiap guru harus memiliki kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi kemasyarakatan. Dengan demikian dia memiliki kewenangan mengajar untuk diberikan imbalan secara wajar sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Dengan demikian seorang calon guru seharusnya telah mampu menempuh program pendidikan pada suatu lembaga pendidikan guru tertentu.12

Guru harus menunjukkan dirinya sebagai orang yang selalu memperhatikan dan mengupayakan kebaikan untuk para murid tanpa pamrih. Tidak membeda-bedakan mereka, meskipun latar belakang mereka sangat beragam. Kasih sayang guru tidak saja kepada murid yang patuh dan hormat, tetapi juga kepada murid yang nakal. Guru dalam konteks kasih sayang ini tidak akan pernah merasakan terhina dan rendah diri dihadapan guru. Nabi Muhammad Saw banyak memberi contoh akan kasih sayang ini dan para sahabat mencontohnya. Kasih sayang yang mereka tunjukkan dipuji oleh Allah

11Oemar Hamalik, Pendidikan Guru, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006), h.7 12Ibid.


(19)

sebagai kasih sayang yang melebihi terhadap diri mereka sendiri. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr/59 ayat 9:











































































































Yang Artinya: Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.13

Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari.14

Oleh sebab itu, sepatutnya seorang guru hendaknya memenuhi semua kriteria yang harus dimilikinya, seperti kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, kompetensi keimanan dan khusunya kompetensi sosial guru, karena kompetensi sosial itu sangat diperlukan untuk menarik minat siswa dalam proses belajar mengajar dan dalam memberikan tauladan bagi muridnya.

Sejalan dengan berjalannya waktu, berbagai pandangan yang mendukung pendidikan karakter yang bersifat klasik perlahan hilang. Hal tersebut bergantung pada kekuatan-kekuatan yang terbentuk di sekitarnya. Para pendukung teori Darwin mengatakan bahwa kehidupan biologis yang muncul saat ini merupakan hasil dari produk evolusi. Pandangan tersebut mengantarkan masyarakat untuk melihat hal lain yang berbeda, termasuk sikap

13 (Depag, 2006:)


(20)

moral yang lebih bersifat berkembang daripada kaku atau bersifat benar atau salah.15

Kalau kita perhatikan secara mendalam, kebanyakan siswa sekarang tidak menghormati gurunya, mungkin karena sudah berubah zamannya ataukah guru tersebut tidak pantas untuk dihormati. Banyak sekali contoh penghinaan dan tepatnya ketidakpuasan siswa terhadap gurunya, baik dicurahkan lewat sms (short massage service) ataupun di jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan instagram.

Hal lain yang juga menjadi faktor yang turut menentukan keberhasilan tugas guru adalah keterbukaan psikologis guru itu sendiri. Guru yang terbuka secara psikologis ditandai dengan kesediaannya yang relatif tinggi untuk mengkomunikasikan dirirnya dengan faktor-faktor ekstern antara lain siswa, teman sejawat dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Guru dituntut untuk biasa berkomunikasi dengan lingkungan masyarakat sekolah, keluarga maupun sosialnya.

Jadi seorang guru itu tidaklah harus eksklusif, tetapi tidak juga harus terlalu dekat dengan siswanya, artinya guru haru bisa mengkondisikan dirinya dalam setiap situasi dan kondisi sekitarnya.

Ditinjau dari sudut fungsi dan signifikansinya, keterbukaan psikologis merupakan karakteristik kepribadian yang penting bagi guru dalam hubungannya sebagai direktur belajar (director of learning) selain sebagai panutan siswanya. Oleh karena itu, hanya guru yang memiliki keterbukaan psikologis yang benar-benar dapat diharapkan berhasil dalam mengelola proses mengajar-belajar. Optimisme ini muncul karena guru yang terbuka dapat lebih terbuka dalam berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhan para siswanya, bukan hanya kebutuhan guru itu sendiri. 16

Akan tetapi dalam kenyataanya, banyak ditemukan guru ataupun tenaga pendidik yang mempunyai nilai kompetensi sosial yang rendah yang tidak mau untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya terutama dengan

15 Thomas Lickona, Mendidik Untuk Memebentuk Karakter, (Jakarta : Bumi Aksara 2012), h. 9 16 Muhibbin Syah, Psikologis Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung : Remaja Rosdakarya 2011), h. 229


(21)

muridnya, sehingga proses pembelajaran dikelas sering tidak kondusif karena adanya prasangka dari murid-murid tentang kepribadian gurunya yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada.

Sudah banyak pemberitaan diberbagai media, baik elektronik maupun cetak yang mengabarkan tentang banyaknya murid sekolah yang mendapat perlakuan kasar dari oknum-oknum guru yang tidak bertanggung jawab. Tentu saja pemberitaan tersebut sangat memprihatinkan kalangan pemerhati pendidikan dan orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Ini seolah menggambarkan bahwa para pendidik kita tidak memiliki kompetensi yang seharusnya mereka miliki, terutama kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.

Proses pembelajaran akan efektif, jika komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa terjadi secara intensif. Guru dapat merancang model model pembelajaran sehingga siswa dapat belajar secara optimal. Guru mempunyai peran ganda dan sangat strategis dalam kaitannya dengan kebutuhan siswa. Peran dimaksudkan adalah guru sebagai guru, guru sebagai orang tua, dan guru sebagai sejawat belajar. disiplin kelas, tata tertib kelas, pengendalian kelas, manajemen kelas atau apapun namanya, merupakan hal yang amat krusial bagi seorang guru. Apabila seorang guru tidak mampu memelihara disiplin dalam kelas maka kemungkinan proses pembelajaran akan mengalami kegagalan. Kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan sebuah lingkungan belajar yang kondusif.17

Disamping itu, kemajuan berbagai bidang terutama bidang tekhnik informasi sudah sedikit banyak mempengaruhi karakter siswa, dimana aspek negatifnya tersebut berdampak kepada kemerosotan karakter siswa. Oleh sebab itu guru juga diharapkan mampu mempu mengikuti perkembangan zaman yang sudah semakin modern ini, diantaranya dengan membekali diri dengan pengetahuan tentang ilmu-ilmu teknologi seperti komputer dan sebagainya.


(22)

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mencoba mengangkat judul penelitian ini yang meneliti tentang

“HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL GURU PAI TERHADAP

PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA KELAS XII KEPERAWATAN

DI SMK KHARISMA PANONGAN”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Banyaknya siswa SMK Kharisma yang melanggar peraturan.

2. Kurang harmonisnya komunikasi siswa SMK Kharisma dan guru PAI SMK Kharisma

3. Karakter siswa SMK Kharisma yang masih jauh dari ketetapan Allah SWT dan Rasul-Nya.

4. Masih banyak guru PAI SMK Kharisma yang membeda-bedakan siswanya baik dalam segi harta, paras muka, dan tingkah laku

5. Interaksi Guru PAI SMK Kharisma dengan siswa yang belum efektif dalam membentuk karakternya.

C. Pembatasan Masalah

Agar lebih terarah dan terfokus, penulis membatasi permasalahn pada dua titik fokus yaitu : kompetensi sosial guru PAI SMK Kharisma di sini pokok bahasan yang di ukur hanya pada pembahasan sosial terhadap siswa, sesama guru, staf TU, dan masyarakat. Sedangkan karakter siswa hanya terhadap siswa kelas XII Keperawatan mengenai karakter bangsa yang berkenaan dengan religius, jujur, disiplin, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.


(23)

D. Rumusan Masalah

Beranjak dari permasalahan yang ada, maka peneliti hanya akan meneliti tentang masalah :

Apakah terdapat hubungan antara kompetensi sosial Guru PAI terhadap pembentukan karakter siswa kelas XII Keperawatan di SMK Kharisma Panongan?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat penelitian ini yaitu sebagai bahan acuan bagi pihak-pihak yang terkait. Adapun tujuan dalm penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat kompetensi sosial yang dimilik oleh guru, terutama guru PAI.

2. Untuk mengetahui konsep guru dalam membentuk karakter siswa kelas XII Keperawatan di SMK Kharisma Panongan.

3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh kompetensi sosial guru dalam membentuk karakter siswa.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini, ditunjukan kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Bagi peneliti itu sendiri, yaitu sebagai implementasi dari proses perkuliahan yang telah dijalankan.

2. Mengetahui seberapa besar pengaruh kompetensi sosial guru dalam membentuk karakter siswa.

3. Pengelola sekolah dalam mengambil suatu kebijakan dimasa mendatang, agar dapat memperhatikan keadaan lingkungan sekitarnya.

4. Para pendidik, agar lebih bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. 5. Para siswa dan pihak-pihak yang terkait dengan kependidikan itu sendiri.


(24)

11

1. Pengertian Kompetensi

Kompetensi Berasal dari kata kompeten yang berarti wenang ; cakap ; berkuasa menentukan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan kompetensi itu sendiri berarti kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan suatu hal.1

Dalam UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab I, yang dimaksud kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.2 Seorang guru yang baik, yang profesional, yang bertanggung jawab, dan yang diteladani adalah guru yang mampu menghayati dan mengamalkan 4 (empat) kompetisi secara umum yaitu :

a. Kompetensi Pedagogik b. Kompetensi Kepribadian c. Kompetensi Professional d. Kompetensi Sosial3

Istilah kompetensi berhubungan dengan dunia pekerjaan. Kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu. Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direflesikan dalam kebiasaan berfikir, dan bertindak. Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari

1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka) h.584

2 UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Surabaya : Pustaka Eureka Surabaya, 2006), hal.8


(25)

dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.

Kompetensi (competency) sesungguhnya berada dengan kinerja atau performa (performance). Kompetensi merujuk pada kemampuan teoritis yang tersembunyi (latent), sedangkan performans merujuk kepada tampilan rill yang dapat dilakukan oleh subjek pada ruang kerja atau pada unit-unit layanan yang dibutuhkan. Kompetensi itu sendiri terdiri dari tiga kategori, yaitu kompetensi utama (core competencies) atau kompetensi inti, kompetensi pendukung atau penunjang kompetensi inti, dan kompetensi lain yang melengkapi dua kompetensi inti. Termasuk dalam kompetensi lain ialah kompetensi sosial, daya adaptabilitas, dan visi ke depan”.4 Menurut Broke dan Stone bahwa kompetensi ialah

“Descriptive of qualitative nature or teacher behavior appears to be entirely meaningful”. Sedangkan menurut Mc.Ashan kompetensi adalah

“Competency is a knowledge, skill and abilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can

satisfactorily perform, cognitif, afektif and psikomotor behavior”.5

Jadi kompetensi adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, baik secara teori maupun implementasi dalam kehidupan sehari-hari, agar dalam melaksanakan tugas yang diembannya bisa dilaksanakan secara maksimal dan menghasilkan sesuatu yang maksimal juga sehingga mencapai kepuasaan yang maksimal, terutama dalam mengajar.

Oleh sebab itu, hendaknya setiap orang yang menjalani kehidupan didunia ini dapat memaksimalkan potensi yang telah diberikan oleh Tuhan padanya, agar kompetensi yang ada lebih tergali lagi.

4 Sudarwan Danim, Pengembangan Profesi Guru (Jakarta : Kencana Media Group 2012), h. 112


(26)

2. Pengertian Sosial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial diartikan sebagai suatu yang berhubungan dengan masyarakat. Sedagkan kata sosialisasi diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk meneganal dan menghayati kebudayaan masyarakat dilingkungannya.6

Jadi kata sosial erat kaitannya dengan kehidupan yang berhubungan dengan orang lain yang berada dilingkungan sekitar kita hidup, karena manusia tidak akan mampu sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam kitab suci Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S Ali Imran ayat 112 :





























































































Artinya : Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.

Allah memaparkan di dalam kitab sucinya bahwa semua manusia berada dalam belenggu kehinaan, kecuali bagi mereka orang-orang yang berpegang teguh pada tali agama (menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) dan bagi mereka yang berpegang teguh pada tali perjanjian sesama manusia (sosial). Tepatnya semua orang akan hina dian kecuali mereka yang bertakwa kepada-Nya dan bersosial kepada sesama manusia.

Sosial dalam arti luas, tidak memandang manusia dari sudut ras, suku, materil, turunan, atasan, bawahan, dan agama. Seyogyanya rasa


(27)

sosial yang tinggi teraplikasi tanpa memandang perbedaan. Tak ada satu manusiapun yang mampu menjalani kehidupan fana ini tanpa berdampingan dengan manusia lainnya. Sepintar apapun manusia dalam hal mencukur rambut, tetap ia membutuhkan manusia lainnya yang pintar untuk mencukur rambut untuk rambutnya sendiri, ini merupakan contoh kecil terimplementasinya sosial dalam masyarakat.

Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah SWT Q.S Ali Imran ayat 112, saling memahami, tenggang rasa sesama manusia, tidak menjatuhkan satu sama lain demi terjalinnya ukhuwah persaudaraan sesama manusia antara umat seagama dan antar ummat beragama.

3. Pengertian Kompetensi Sosial

Dalam PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.7

Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) berpendapat bahwa kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial . kecerdasan sosial merupakan salah satu dari 9 kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, uang, pribadi, alam skuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.8

Seorang guru ialah makhluk sosial, yang dalam hidupnya berdampingan dengan manusia lainnya. Guru diharapkan memberikan contoh baik terhadap lingkungannya, dengan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat sekitarnya. Guru harus berjiwa sosial tinggi, mudah bergaul, dan suka menolong, bukan

7 PP RI, No 19 tentang Standar Nasional Pendidikan Tahun 2005.

8 Ahmad Muhli, Kompetensi Sosia guru, https://ahmadmuhli.wordpress.com, 20 September 2015


(28)

sebaliknya, yaitu individu yang tertutup dan tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya.

Kompetensi sosial adalah aspek prososial orientation (perilaku prososial) yang terdiri dari kedermawanan (generosity), empati (empaty), memahami orang lain (understanding of others), penanganan konflik (conflik handling), dan suka menolong (helpfulness) serta aspek sosial (social intiative) yang terdiri dari aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial dan perilaku yang menarik dalam situasi tertentu”.9

Dari beberapa pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang guru untuk dapat menghargai orang lain, menghormati orang lain, menjadi bagian dari masyarakat dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam PP RI No.74 tentang Guru sebagai bagian dari masyarakat, yang sekurang-kurangnya memiliki kompetensi untuk:

a. Berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat.

b. Menggunakan tekhnologi komunikasi dan informasi secara fungsional.

c. Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan

d. Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar”.10

Menurut Sukmadinata, “Di antara kemampuan sosial dan personal

yang paling mendasar yang harus di kuasai guru adalah idealisme, yaitu cita-cita luhur yang ingin dicapai dengan pendidikan.” Cita-cita semacam ini dapat diwujudkan guru melalui : Pertama, kesungguhan mengajar dan mendidik para murid. Tidak peduli kondisi ekonomi, sosial, politik, dan medan yang dihadapinya. Kedua, pembelajaran masyarakat melalui interaksi dan komunikasi langsung dengan mereka di beberapa tempat

9 Sofyan Yusuf, Definisi Kompetensi Sosial, http://duniapsikologi.dagdigdug.com , 20 September 2015


(29)

seperti masjid, majelis taklim, musola, pesantren, balai desa, dan posyandu.11 Dalam konteks ini, guru bukan hanya guru bagi para muridnya, tetapi juga guru bagi masyarakat di lingkungannya. Ketiga, guru menuangkan dan mengekspresikan pemikiran dan idenya melalui tulisan, baik dalam artikel, cerpen, novel, sajak, maupun artikel ilmiah. Ia dapat menerbitkannya di surat kabar, blog pribadi, majalah, jurnal, tabloid, ataupun buku.

Jadi dengan dimilikinya kompetensi sosial, diharapkan guru akan mudah untuk berinteraksi dan bergaul dengan masyarakat yang ada dilingkungannya, terutama lingkungan sekolah dimana si guru tersebut bertugas.

Dalam Bab IV pasal 8 UU Guru dan Dosen tahun 2005 dijelaskan: guru wajib memiliki Kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.12

Kesadaran dan kerelaan menerima kenyataan bahwa interaksi dengan siswa sebagai suatu keseluruhan akan menumbuhkan perhatian (concern), rasa peduli (caring), rasa berbagi (sharing), dan kebaikan yang tulus (kindness). Peduli akan apa yang terjadi pada siswa, perhatian terhadap siswa, berbagi dalam membentuk siswa, serta semua itu didasarkan pada kebaikan yang tulus, karena merekalah yang akan menentukan apakah investasi kita untuk masa depan memberi manfaat yang signifikan bagi hidup dan kehidupan manusia pada masa di mana kita, guru sendiri belum tentu merasakan dan menikmatinya. Namun itu akan membuat kita yakin kebaikan masa depan akan dapat terjadi melalui anak-anak kita, siswa-siswa kita, murid-murid kita.13

Seorang guru tidak hanya cakap dalam kompetensi pedagogiknya saja, akan tetapi sebagai makhluk sosial yang tidak bisa dipisahkan dari

11 Jejen Musfah, Peningkatan Kompetensi Guru, (Jakarta ; Kencana Prenada Media Group), hal. 53

12 UU RI Nomor 14...h.32


(30)

makhluk lainnya, guru juga dituntut untuk bisa bergaul dan berkomunikasi dengan baik. Tidak merasa congkak seakan ia memiliki pendidikan yang tinggi apalagi merasa paling sempurna di depan masyarakat biasa. Karena sebagai guru yang profesional, akan menjadikan profesinya tersebut tidak hanya disuatu tempat saja melainkan diberbagai situasi dan kondisi dimana dia berada.

Dalam Peraturan Menteri No. 16 2007 tentang standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, sedikitnya ada 4 kompetensi sosial dan 2 Kompetensi Guru Mata Pelajaran, yaitu :

a. Bersikap Inklusif, Bertindak Objektif dan tidak Diskriminatif.

b. Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun c. Beradaptasi di tempat tugas di seluruh wilayah RI

d. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain.14

Keempat kompetensi tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1) Bersikap Inklusif, Bertindak Objektif dan tidak Diskriminatif. Bersikap inklusif artinya bersifat terbuka terhadap berbagai perbedaan yang dimiliki oleh orang lain dalam berinteraksi. Guru dalam berinteraksi dengan siswa atau sesama guru juga berhadapan dengan realitas ini. Siswa memiliki latar belakang yang berbeda-beda dari segi jenis kelamin, agama, suku, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Situasi semacam ini memiliki potensi konflik tertentu baik laten atau nyata. Guru profesional adalah guru yang bisa membawa diri dalam situasi ini. Ia harus bisa berinteraksi dan bergaul dengan siswa atau rekan sejawat, atau bahkan anggota masyarakat yang berbeda latar belakang semacam ini.

14 Peraturan Mentri No. 16 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, tahun 2007.


(31)

2) Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun

Pada prinsipnya, komunikasi yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (guru) dapat diterima dengan baik oleh penerima (orang tua, rekan sejawat, atau masyarakat pada umumnya), dipahami maksudnya dan bisa menghasilkan efek yang diharapkan dalam diri penerima pesan. Efektivitas komunikasi tergantung pada beberapa faktor yakni: penerima pesan (komunikan), pengirim pesan (komunikator), pesan, dan situasi

3) Beradaptasi di tempat tugas di seluruh wilayah RI

Guru Indonesia telah disiapkan untuk mampu bekerja di seluruh Indonesia. Ia telah disiapkan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu guru harus memiliki cultural intelligence (CI)yakni kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi budaya yang beraneka ragam di seluruh Indonesia. Kemampuan beradaptasi ini antara lain ditunjukan dengan kemampuan untuk menempatkan diri sebagai warga masyarakat dimana ia bekerja, kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa pergaulan, dan kemampuan untuk menghargai keunikan, kekhasan dan nilai-nilai budaya dan adat istiadat dari masyarakat setempat.

4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain

Kemampuan komunikasi guru tidak hanya sebatas berkomunikasi dalam konteks pembelajaran yang melibatkan interaksi guru siswa, tetapi kemampuan untuk bisa berkomunikasi secara ilmiah dengan komunitas seprofesi


(32)

maupun komunitas profesi lain dengan menggunakan berbagai macam media dan forum.15

Guru adalah makhluk sosial, yang dalam kehidupannya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat dan lingkungannya. Oleh karenaanya, guru dituntut untuk memiliki kompetensi sosial yang memadai, terutama dalam kaitannya dengan pendidikan, yang tidak terbatas pada pembelajaran di sekolah tetapi juga pada pendidikan yang terjadi dan berlangsung di masyarakat. Kompetensi Guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu :

a. Menginterpretasikan materi, struktur, konsep, dan pola pikir ilmu-ilmu yang relevan dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

b. Menganalisis materi, struktur, konsep, dan pola pikir ilmu-ilmu yang relevan dengan pembelajaran Pendidikan Agama Islam.16

Kecerdasan sosial guru merupakan kompetensi sosial guru yang menunjukan kemampuan dalam melihat situasi sosial dengan cermat, kemudian menyikapinya dengan tepat dan berperilaku sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial sehingga suasana interaksi dan komunikasi dapat efektif dan kondusif bagi terwujudnya suasana sekolah/iklim sekolah yang dapat memberi efek positif bagi proses pendidikan dan pembelajaran kepada murid. Jika kita, guru mengalami hambatan dalam interaksi dan komunikasi dengan rekan guru, staf dan pimpinan sekolah, jangan harap proses pendidikan dan pembelajaran dapat berjalan baik, dan jika hal itu terjadi berarti efektivitas organisme akan terganggu.17

Disamping memiliki kompetensi sosial secara umum, seorang guru juga diharapkan memiliki kompetensi sosial pada mata pelajarannya masing-masing, karena dengan begitu diharapkan tidak ada kekeliruan

15 Marselus R.Payong, Sertifikasi Profesi Guru (Jakarta : Baduose Media 2011), hal. 22 16 Peraturan Mentri No. 16 tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, tahun 2007.


(33)

antara satu pelajaran dengan pelajaran lain, mengetahui manfaat pelajarannya, membedakan dengan konsep-konsep pelajaran yang lainnya. Selain itu, tiap-tiap guru pun harus sadar akan pentingnya komunikasi di dalam sekolah agar terwujudnya kenyamanan, keharmonisan di dalam ruang lingkup sekolah, demi tergapainya kesepakatan bersama untuk membentuk karakter bangsa.

B. Pengertian Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian PAI

Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengarahan atau latihan dengan memerhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan kesatuan nasional.18

Bila kita mengurai sejarah, maka pendidikan Islam di pahami sebagai ciri khas, yaitu pendidikan yang berlatar belakang keagamaan yang berlandaskan pada nilai fundamental wahyu Tuhan yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Untuk melihat wawasan pendidikan Islam secara komprehensif dan mendetail, maka definisi pendidikan Islam secara lebih menyeluruh yang meliputi:

a. Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya di dorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam. Di sini Islam di tempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. b. Jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus

ajaran Islam sebagai pengetahuan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi dan sebagai ilmu.

18 Akmal Hawi, Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013)., h. 19


(34)

c. Jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas, di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang study yang ditawarkan, dalam bentuk dari implementasi nilai-nilai Islam.19

Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat :

1) Pendidikan Pancasila 2) Pendidikan Agama

3) Pendidikan Kewarganegaraan20

Dari isyarat pasal tersebut dapat dipahami bahwa bidang studi pendidikan agama, baik agama Islam maupun agama lainnya merupakan komponen dasar/wajib dalam kurikulum pendidikan nasional.21

Ramayulis dan Samsul Nizar mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “suatu sistem yang memungkinkan peserta didik dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam.”22 Melalui pendeketan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya. Sajjad Husein dan Syed Ali Asraf mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “ pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara-cara tertentu sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendeketan terhadap segala jenis pengetahuan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spritual dan sadar akan nilai etis Islam.”23 Sementara itu, Muhaimin, menekankan pada dua hal. Pertama, aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Kedua, pendidikan

19 Sukring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, ( Yoygakarta ; Graha Ilmu, 2013), hal.20

20 Undang-undang Republik Indonesia No 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 21 Akmal Hawi, Op, Cit., h. 19

22 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta ; Bumi Aksara, 2013), h. 26 23Ibid.


(35)

Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dan disemangati oleh nilai-nilai Islam.

Pendidikan agama oleh guru agama disekolah pada dasarnya adalah meluruskan dan membina perilaku anak yang sudah terlanjur tidak baik, belum memahami bagaimana berperilaku yang baik. Oleh karena itu, peran guru agama tidak sekedar mengajarkan materi pelajaran agama tetapi juga mendidik anak dalam masa pertumbuhan sangat peka menerima nasehat, petuah, ajaran, dari luar yang sumbernya dari siapa saja, apalagi dari guru-gurunya terutama sekali guru agama. Anak-anak yang kurang mendapat pendidikan agama dirumah, maka di sekolah anak mendapatkan pendidikan agama tersebut.24

Dari banyaknya pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan suatu ilmu yang mengajarkan cara, sistem, rumus serta pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari guna mewujudkan insan yang madani, islami, dan berbudi pekerti.

2. Tujuan Pengajaran Pendidikan Agama Islam

Tujuan atau cita-cita sangat penting di dalam aktivitas pendidikan, karena merupakan arah yang hendak dicapai. Oleh sebab itu, tujuan harus ada sebelum melangkah untuk mengerjakan sesuatu. Jika pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir. Oleh karena itu, usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa.25

Zakiah Darajat merumuskan tujuan pendidikan Islam ialah kepribadian muslim, yaitu suatu kepribadian (Personality) yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang berkepribadian muslim dalam Al-Qur’an disebut muttaqin. Tujuan pendidikan islam identik

24 Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Bangsa (Jakarta : Baduose Media), hal.56 25 Sri Minarti, Op, Cit., h. 102


(36)

dengan tujuan penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S al-Zariyat/51:56.26



















Artinya :

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku.











































































Artinaya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."27

H.M. Arifin mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “membina dan mendasari kehidupan anak dengan nilai-nilai syariat Islam secara benar sesuai dengan pengetahuan agama.” Sedangkan Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama adalah “beribadah dan bertaqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagian dunia dan akhirat”. Selanjutnya Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa tujuan pendidikan

26 Sukring, Op, Cit., hal.25 27 Depag 2006


(37)

Islam adalah “untuk membentuk kepribadian yang Muslim, yakni bertaqwa kepada Allah.28

Menurut pandangan Islam, tujuan pendidikan Islam sangat diwarnai dan dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Allah. Tujuan itu sangat dilandasi oleh nilai-nilai Al-Qur’an dan hadis seperti yang termaktub dalam rumusan, yaitu menciptakan pribadi-pribadi yag selalu bertaqwa kepada Allah, sekaligus mencapai kebahagian di dunia dan akhirat. Dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Mekah pada tahun 1977 telah menghasilkan rumusan yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam, yaitu mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, perasaan, dan indra. Oleh karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, yaitu fisik, mental, intelektual, imajinasi, dan kemampuan berbahasa, baik secara individu maupun kolektif. Selain itu, pendidikan juga mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan Islam terletak pada perilaku yang tunduk dengan sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.29

Pendidikan agama Islam di sekolah seharusnya memberikan warna bagi lulusan pendidikan, khususnya dalam merespons segala tuntutan perubahan yang ada di Indonesia. Hingga kini pendidikan agama dipandang sebagai acuan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, tetapi dalam kenyataannya dipandang hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian, terjadi kesengajaan antara harapan dan kenyataan. Akibatnya, peranan serta efektivitas pendidikan agama di sekolah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kesejahteraan masyarakat dipertanyakan.

28 Akmal Hawi, Op, Cit., h. 20 29 Sri Minarti, Op, Cit., h. 105


(38)

Dengan asumsi jika pendidikan agama dilakukan dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan lebih baik.30

Mengingat signifikansi keberadaan mata pelajaran PAI dalam membangun karakter atau akhlak pesrta didik, maka guru PAI dituntut mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan guu-guru lainnya. Guru PAI, disamping melaksanakan tugas keagamaan, ia juga melaksanakan tugas pendidikan dan pembinaan bagi peserta didik, ia membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak disamping menumbuhkan dan mengembangkan keimanan dan ketakwaan para siswa.31

Dari berbagai penjelasan dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan agama islam mencakup segala aspek, baik dari segi jasmani dan juga rohani. Pendidikan yang bertujuan menanamkan nilai-nilai keagamaan untuk bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menghidupkan hati sanubari agar memiliki rasa kemanusiaan yang tidak membeda-bedakan tingkatan sosial. Singkatnya, membentuk manusia yang beridealitas Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Fungsi Pengajaran Pendidikan Agama Islam

Fungsi pendidikan Islam adalah menyediakan segala fasilitas yang dapat dimungkinkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjalan dengan lancar. Penyediaan fasilitas ini, mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional.32

Agama dalam kehidupan sosial mempunyai fungsi sebagai sosialisasi individu, yang berarti bahwa agama bagi seorang anak akan menghantarkannya menjadi dewasa. Sebab untuk menjadi dewasa seseorang memerlukan semacam tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat dan juga merupakan tujuan pengembangan kepribadian, dan dalam ajaran Islam inilah anak tersebut dibimbing pertumbuhan jasmani dan rohaninya dengan hikmah

30 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter ( Jakarta : Prenada Media Group 2011), h. 276 31Ibid, 276


(39)

mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlaku ajaran Islam.33

Ahmad tafsir menyatakan bahwa fungsi pendidikan Islam, ialah lulusan yang merupakan manusia terbaik. Cirinya ada dua, yaitu : pertama, mampu hidup tenang. Dan kedua, produktif dalam kehidupan bersama. Dua ciri tersebut masih terlalu umum sehingga program pendidikan agak sulit di desain untuk mencapai dua fungsi itu. Jika dirinci lebih jauh maka kita akan memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama badan sehat serta kuat. Kedua, otaknya cerdas serta pandai. Ketiga, lulusan mesti beriman kuat.34

Menurut Zakiah Daradjat fungsi agama itu adalah : a. Memberikan bimbingan dalam hidup

Agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sehingga merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan cepat bertindak menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan yang timbul. Karena keyakinan terhadap agama yang menjadi bagian dari kepribadiannya itu, akan mengatur sikap dan tingkah laku seseorang secara otomatis dari dalam.

b. Menolong dalam menghadapi kesukaran

Orang yang benar menjalankan agamanya, maka setiap kekecewaan yang menimpanya tidak akan memukul jiwanya. Ia tidak akan putusa asa, tapi ia akan menghadapinya dengan tenang. Dengan cepat ia akan ingat kepada Tuhan, dan menerima kekecewaan itu dengan sabar dan tenang.

c. Menentramkan batin

Agama bagi anak muda sebenarnya akan lebih tampak, betapa gelisahnya anak muda yang tidak pernah menerima pendidikan agama, karena usia muda itu adalah usia di mana jiwa yang

33 Akmal Hawi, Op, Cit., h. 21 34 Sukring, Op, Cit., hal.32


(40)

sedang bergolak, penuh dengan kegelisahan dan pertentangan batin dan banyak dorongan yang menyebabkan lebih gelisah lagi. Maka agama bagi anak muda mempunyai fungsi penenteram dan penenang jiwa di samping itu pengenali moral.35

C. Pembentukan Karakter 1. Pengertian Karakter

Bila ditelusuri asal karakter berasal dari bahasa latin “kharakter”,

“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa inggris : character dan Indonesia “karakter”, Yunani character, dari charessein yang berati membuat tajam, membuat dalam.36 Karakter dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, sifat, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, watak.37

Maka istilah berkarakter artinya memilik karakter, memiliki kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasioanal pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.38

Pengertian secara khusus, karakter adalah nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik,

35 Akmal Hawi, Op, Cit., h. 22

36 Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Prespektif Islam (Bandung ; Remaja Rosdakarya 2011), h. 10

37 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, hal. 529

38 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung ; Alfabeta 2012), h. 2


(41)

dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terwujud dalam perilaku.39

Sejalan dengan pendapat tersebut, Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia (2010) mengemukakan bahwa karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasi pada perilaku individu yang bersifat unik, maka karakter sangat dekat dengan kepribadian individu. Meskipun karakter setiap individu ii bersifat unik, karakteristik umum yang menjadi stereotip dari sekelompok masyarakat dan bangsa dapat diidentifikasi sebagai karakter suatu komunitas tertentu bahkan dapat pula dipandang sebagai karakter suatu bangsa. Dengan demikian, istilah karaker berkaitan erat dengan personality (kepribadian) seseorang, sehingga ia bisa disebut orang yang berkarakter (a person pf character) jika perilakunya sesuai dengan etika atau kaidah moral. Meskipun demikian, kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin seseorang yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai-nilai karakter. Hal ini dimungkinkan karena boleh jadi perbuatan tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai-nilai karakter.40

Sementara menurut istilah terdapat beberapa pengetian tentang karakter, sebagaimana telah dikemukakan oleh bebrapa ahli, di antaranya adalah sebagai berikut :

a. Hornby & Parnwell (1972) mendefinisikan karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.41

39 Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Bandung ; Pustaka Setia 2013), h.42

40 E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta ; Bumi Aksara 2011), h. 4 41 Abdul Majid dan Dian Andayani, Op, Cit., h. 11


(42)

b. Tadkirotun Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).

c. Hermawan Kartajaya (2010) mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu manusia. Ciri khas tersebut adalah asl, dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespons sesuatu.42

d. Wyhne (1991) mengemukakan bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.43 e. Karakter menurut pengamatan filosof kontemporer Michael

Novak, adalah perpaduan harmonis seluruh budi pekerti yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama, kisah-kisah sastra, cerita-cerita orang bijak, dan orang-orang berilmu sejak zaman dahulu hingga sekarang.44

Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut diatas, dapat dimaknai bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorag yang membedakan antara dirinya dengan orang lain. Pengertian karakter, watak dan kepribadian memang sering tertukar-tukar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu tidak heran jika dalam penggunaannya seseorang terkadang tertukar menyebutkan karakter, watak atau kepribadian. Hal ini karena ketiga istilah ini memang memiliki kesamaan yakni sesuatu asli yang ada dalam diri individu seseorang yang cenderung menetap secara permanen.45

42 Heri Gunawan, Op, Cit., h. 2

43 E.Mulyasa, Manajemen Op, Cit., h. 3

44 Thomas Lickona, Pendidikan Karakter (Bandung ; Nusa Media 2013), h. 72 45 Heri Gunawan, Op, Cit., h. 3


(43)

2. Pendidikan Karakter

Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Saw, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik. 46

Pendidkan karakter adalah sebuah sistem yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil.47

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aristoteles berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.48

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D (2004), character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical value (pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk membantu manusia memahami, peduli tentang, dan melaksanakan nilai-nilai etika inti. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be

46 Abdul Majid & Dian Andayani, Op, Cit., h. 30

47 Nurla Isna Auniah, Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah (Yogyakarta : Laksana 2011), hal. 19


(44)

able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within (ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang kita inginkan bagi anak-anak, maka jelas bahwa kita mengharapkan meraka mampu menilai apakah kebenaran, peduli secara sungguh-sungguh terhadap kebenaran, dan kemudian mengerjakan apa yang diyakini sebagai kebenaran, bahkan ketika menghadapi tekanan dari luar dan upaya dari dalam.)49

Pada dasarnya, hakikat pendidikan adalah untuk membentuk karakter suatu bangsa. Hal tersebut angat ditentukan oleh semangat, motivasi, nilai-nilai, dan tujuan dari pendidikan. Apabila dirumuskan, hakikat pendidikan yang mampu membentuk karakter bangsa (berkeadaban) adalah :

a. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan tekhnologi bagi pembentukan manusia seutuhnya;

b. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawan pendidik;

c. Pendidikan pada prinsipnya berlangsung seumur hidup; d. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan

masyarakat.50

Berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, dan olahraga.

2) Beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa ptriotik

49 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter ( Jakarta : Prenada Media Group 2011), h. 15 50 Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Op, Cit., h.49


(45)

3) Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolitan, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja

4) Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Tekhnologi dan Seni), dan reflektif.51

Melengkapi uraian diatas, Megawangi pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik disekolah maupun di luar sekolah yaitu sebagai berikut.

a) Cinta Allah dan kebenaran

b) Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri c) Amanah

d) Hormat dan santun

e) Kasih sayang, peduli, dan kerjasama

f) Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah g) Adil dan berjiwa kepemimpinan

h) Baik dan rendah hati i) Toleran dan cinta damai52

Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria

51 Retno Listyarti, Pendidikan Karakter (Jakarta ; Erlangga group 2012), h. 9 52 E.Mulyasa, Manajemen Op, Cit., h. 5


(46)

manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dam warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.53

Pendidikan karakter dapat dipahami sebagai upaya menanam kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengalaman dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. 54

Proklamator kita, Bung Karno, berulang kali mengucapkan character building dalam berbagai pidatonya. Ketika Bung Karno mengucapkan istilah tersebut bisa jadi diucapkan dalam konteks politik, di mana baginya watak bangsa harus dibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik seperti Ki Hajar Dewantara, konteksnya adalah pedagogis yang dimaksud adalah pendidikan watak untuk para siswa, satu demi satu. Artinya, untuk membangun karakter harus dipikirkan dengan kesungguhan.55

Sebagaimana dikutip dari Ahmad Fikri bahwa fungsi pendidikan karakter adalah:

a. Pengembangan: pengembangan potensi dasar peserta didik agar berhati, berpikiran, dan berperilaku baik; b. Perbaikan: memperkuat dan membangun perilaku

bangsa yang multikultural untuk menjadi bangsa yang bermartabat;

53 Heri Gunawan, Op, Cit., h. 24 54 Zubaedi, Op, Cit, h. 17


(47)

c. Penyaring: untuk menyaring budaya negatif dan menyerap budaya yang sesuai dengan nilai budaya dan karakter bangsa untuk meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.56

Selain dari pada itu, Mohammad Nuh menerangkan bahwa dengan dibekali pendidikan karakter, peserta didik diharapkan dapat menjadi agen di daerah asalnya dalam penyelenggaraan pendidikan karakter bagi yang lain. Sebab, sesungguhnya pendidikan berbasis karakter perlu dicontoh dan diteladani oleh orang lain, bukan hanya peserta didik.57

Berkaitan dengan tujuan perlunya diselenggarakan pendidikan karakter, Mohammad Nuh menambahkan bahwa proses pendidikan pada dasarnya berfungsi menyiapkan peserta didik agar mampu membangun kehidupan dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang akan dihadapi di masa mendatang. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan bagian dari upaya untuk menyiapkan peserta didik supaya ia menjadi pribadi yang unggul dan berkarakter.58

3. Proses Pembentukan Karakter

Proses pembentukan karakter diawali dari dalam keluarga. Fungsi keluarga dalam membangun masyarakat adalah sebagai pondasi yang utama. Apabila keluarga baik, maka masyarakat dan bangsa akan kokoh dan berjaya. Setelah anak masuk sekolah, maka tanggung jawab guru untuk membentuk karakter siswanya agar para siswanya mempunyai akhlak atau budi pekerti yang luhur.

Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktikan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor menunjukan bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah –sekolah di inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap

56 Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Op, Cit., h.104 57 Nurla Isna Aunillah, Panduan Op, Cit., h. 137


(48)

pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai ini dalam dua hal, yaitu: to build on and supplement values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equel opportunities and respect for diversity) and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values.59

Proses pembentukan karakter pada siswa diawali dari keteladan seorang gurunya yang dapat memberikan contoh yang baik melalui pembiasaan-pembiasan yang baik pula.

Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan lingkungan, dan pembiasaan; melaui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif. Dengan demikian, apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan turut membentuk karakter peserta didik.60

Penciptaan lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode sebagai berikut:

a. Penugasan b. Pembiasaan c. Pelatihan d. Pembelajaran e. Pengarahan f. keteladanan61

Psikologi empiris juga menemukan beberapa konsep yang mendukung perkembangan pendidikan karakter. Pada akhir tahun 1920, dua orang psikolog dari Yale University, Hugh Hartshorne dan Mark

59 Zubaedi, Op, Cit., h. 19 60 E.Mulyasa, Op, Cit., h. 9 61Ibid, h. 10


(49)

May, melakukan sebuah penelitian terhadap perilaku 10.000 anak-anak yang diberikan kesempatan untuk berbohong, berbuat curang, atau mencuri dalam berbagai kegiatan yang dilakukan di dalam kelas, tanggung jawab di rumah, permainan-permainan, dan kompetensi olahraga. Ketidakkonsistenan perilaku anak-anak tersebut sangat mengherankan; ternyata begitu sulit untuk memprediksikan perilaku mereka. Sebagai contoh, seorang anak yang berbuat curang ketika sedang bermain ternyata belum tentu melakukan hal yang sama ketika ia berada di kelas, begitu pula sebaliknya.62

Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).63

Metoda Pembentukan Karakter Metoda pembentukan karakter berkaitan langsung dengan tahapan perkembangannya. Tahapan tersebut terbagi dalam tiga tahapan yaitu tahapankarakter lahiriyah (karakter anak-anak), tahapan karakter berkesadaran (karakter remaja) dan tahapan kontrol internal atas karakter (karakter dewasa). Pada tahapan lahiriyah metoda yang digunakan adalah pengarahan, pembiasaan, keteladanan, penguatan (imbalan) dan pelemahan

62 Thomas Lickona, Op, Cit., h.10


(1)

27 P XII 4 3 4 4 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 3

28 P XII 4 2 4 4 3 3 4 2 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4

29 P XII 4 2 4 4 3 3 3 2 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3

30 P XII 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3

31 P XII 3 3 3 4 3 2 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4

32 P XII 4 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3

33 P XII 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4

34 L XII 4 4 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

35 P 4 3 4 4 3 3 4 3 4 4 3 2 4 3 3 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4

36 L XII 4 4 3 3 3 4 3 4 4 3 4 3 4 3 3 3 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4

37 P XII 4 4 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

38 P XII 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4

39 P XII 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 4 3 4

40 P XII 3 2 3 2 3 3 2 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)