Identifikasi Masalah Batasan Masalah

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pendidikan Inklusif

1. Pengertian dan Konsep Dasar Pendidikan Inklusif

Definisi pendidikan inklusif terus-menerus berkembang sejalan dengan semakin mendalamnya renungan orang terhadap praktek yang ada, dan sejalan dengan dilandaskannya pendidikan inklusif dalam berbagai budaya dan konteks yang semakin luas. Definisi pendidikan inklusif harus terus berkembang jika pendidikan inklusif ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia. Sapon Sevin Sukinah, 2010: 44 mengatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan Anak Berkebutuhan Khusus ABK belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Jadi pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomis, jenis kelamin, suku budaya, tempat tinggal, bahasa, dan sebagainya, di mana semua anak belajar bersama-sama, baik di kelassekolah formal maupun nonformal yang berada di dekat tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak. Sementara UNICEF 2004: 2 menyatakan bahwa selama ini, istilah “inklusif” diartikan dengan “mengikutsertakan anak berkelainan” di kelas “regular” bersama dengan anak-anak lainnya. “Inklusif” memang mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak-anak yang memiliki kesulitan melihat atau mendengar, yang tidak dapat berjalan atau lebih lamban dalam 11 belajar. Namun, secara luas “inklusif” juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti: a. Anak yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas. b. Anak yang beresiko putus sekolah karena sakit, kelaparan atau tidak berprestasi dengan baik. c. Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda. d. Anak yang sedang hamil. e. Anak yang terinfeksi HIVAIDS. f. Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah. Stubbs 2002: 18 mengatakan bahwa peraturan standar berakar pada gerakan hak penyandang disabilitas dan mencerminkan pengalaman berbagai kelompok penyandang disabilitas. Penyandang tunanetra dan tunarungu meskipun jumlahnya sedikit memperoleh banyak keuntungan dari sistem segregasi. Tanpa adanya Sekolah Luar Biasa SLB, penyandang disabilitas, tunanetra, dan tunarungu mungkin tidak akan memperoleh kesempatan pendidikan atau tidak dapat mengakses kurikulum di sekolah reguler. Konferensi Salamanca setahun kemudian didasarkan atas perspektif para profesional yang bekerja di sekolah-sekolah, yang berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama. Perbedaan utamanya adalah bahwa peraturan standar membicarakan tentang suatu kelompok tertentu penyandang disabilitas dan hak- haknya, sedangkan Salamanca berfokus pada keberagaman karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak.