6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keamanan Insani HumanSecurity
Sebagai konsep yang masih dalam proses pemapanan, literatur konsep keamanan insani bisa dianggap telah cukup memadai untuk meretaskan agenda riset dan membaca arah
perdebatan. Perdebatan yang muncul berkisar dari persoalan redefinisi atau penakrifan ulang konsep keamanan, pendekatan yang menjadi acuan, serta transformasinya ke ranah kebijakan.
Perubahan yang cukup signifikan dalam cara pandang global terkait keamanan berasal dari adanya perubahan dalam memaknai konsep keamanan tradisional yang dahulunya
hanya berorientasi pada keamanan negara. Keamanan Insani merupakan perluasan makna keamanan dalam bentuknya yang paling mutakhir Werthes dan Debiel, 2006: 11. Berada di
generasi ketiga yang berpijak pada perspektif masyarakat dunia, keamanan insani menjalin kelindankan pemaknaan keamanan dalam jangkauan sempit freedom from fear dengan
pemaknaan keamanan dalam cakupan yang lebih luas freedom from want. Generasi pertama meletakkan pemaknaan keamanan secara konvensional dalam
konsep keamanan tradisional traditional or common security. Bagi generasi pertama, pusat pengkajian keamanan terletak pada persoalan power. Sementara generasi kedua
merentangkan pemaknaan keamanan pada keamanan yang diperluas dan komprehensif extended or comprehensive security. Bagi generasi ini, pengkajian tertuju tak hanya pada
persoalan power, tapi juga memasukkan hukum internasional untuk meningkatkan, serta menyelesaikan, persoalan keamanan. Bagi generasi ketiga, keamanan insani tak hanya hirau
pada persoalan power dan hukum internasional, tapi juga menyertakan upaya pemberdayaan
7 individu dalam penyelesaian persoalan keamanan yang kian pelik Werthes dan Debiel 2006:
10. Kerr 2007: 98 melihatnya dengan lebih sederhana. Tanpa membaginya berdasar generasi, baginya, keamanan insani adalah upaya rekonsiliasi antara kubu sempit narrow
school dengan kubu perluasan broad school. Titik anjak pemaknaan dari keamanan tradisional ke keamanan yang lebih mutakhir
terletak pada penentuan obyek rujukan referent object. Mazhab pertama, berhaluan Realis yang negara-sentris, masih memfokukan pada keamanan negara dan integritasnya dari
ancaman, utamanya militer, dengan sedikit kepedulian pada upaya membangun kapabilitas bagi perlindungan warganya. Sementara kubu kedua—berhaluan konstruktivis atau kritis—
beranjak lebih jauh dengan menjadikan individu sebagai obyek rujukan yang harus mendapat fokus perlindungan dari ancaman baik militer maupun nirmiliter. .
Setidaknya ada dua hal utama yang menyebabkan bergesernya paradigma tradisional terkait keamanan. Pertama, meluasnya kesadaran bahwa keamanan secara nasional
dan global hanya bisa tercapai jika keamanan secara individual telah terpenuhi. Kedua, keamanan tidak bisa dilihat sebagai sebuah proses yang terpisah dari pembangunan, di mana
kedua fenomena ini saling menguatkan dalam mencapai tujuan nasional dan dalam memperjuangkan kepentingan nasional. Meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya
keamanan individual dan titik temu antara pembangunan-keamanan menyebabkan lahirnya konsep keamanan insani human security dalam studi mengenai keamanan. Meski demikian,
ada perbedaan pendekatan sebagai acuan penerapan keamanan insani Dalam beragam literatur, setidaknya ada tiga pendekatan acuan dalam keamanan
insani; United Nations Development Program UNDP, Kanada, dan JepangAsia. Pendekatan UNDP berasal dari Human Development Report yang pertama kali dikeluarkan
8 oleh UNDP pada tahun 1994 dianggap sebagai tonggak sejarah penting dalam memformalkan
konsep keamanan insani dengan memunculkan dua pembagian utama terkait ancaman dan keamanan yakni freedom from fear dan freedom from want. Dalam perkembangan selanjutnya,
dua konsep besar ini diturunkan menjadi 7 elemen utama dari keamanan insani UNDP, 1994. Secara umum, keamanan insani meliputi 7 bidang utama yakni a Economic
Security; b Food Security; c Health Security; d Environmental Security; e Personal Security; f Community Security dan g Political Security. Ketujuh bidang inilah yang
selanjutnya harus dipromosikan agar dapat menciptakan rasa aman bagi individu. Jika ketujuh aspek keamanan ini telah terpenuhi, barulah seorang individu dapat dikatakan aman, baik dari
freedom from fear maupun freedom from want. Sekilas Definisi UNDP atas keamanan mudah dinisbatkan pada hak asasi manusia dan hukum humaniter—yang lekat dengan pengalaman
Barat—melihat cakupannya yang luas, hal yang dituduhkan oleh beberapa ilmuwan. Namun sebenarnya penggagasnya, Mahbub-ul-Haq—konselor kawak UNDP dari Pakistan—
meretaskannya dari pengalaman empatik dan empirisnya sebagai warga negara dunia berkembang.
Pendekatan UNDP mendapat kritik dari Kanada yang segera mengajukan pendekatan tandingan. Setelah sebelumnya memiliki kemiripan dengan UNDP, Kanada
kemudian menemukan ketidaksepakatan dengan UNDP Bajpai, 2003: 17. Selain lingkupnya dianggap terlalu luas, bagi Kanada, takrif dari UNDP atas keamanan lekat dengan
keterbelakangan dan abai atas ketidakamanan manusia dari konflik dengan kekerasan. Kanada kemudian menginisiasi konferensi di Lysoen tahun 1999 dengan menggandeng
Norwegia. Dari kota di Norwegia ini, Deklarasi Lysoen menyatakan bahwa nilai pokok dari keamanan insani ialah freedom from fear, freedom from want, dan kesempatan yang setara.
9 Meski demikian, mereka menyatakan bahwa inti utamanya ialah kebebasan dari pervasive
threats to people’s right, their safety or their lives. Bagi mereka, kemanan insani adalah keamanan warga negara yang berpedoman pada Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan
Konvensi Jenewa. Pernyataan ini—yang mencerminkan konteks pengalaman dan kondisi psikologis mereka sebagai warga dunia maju—menjadikan pendekatan Kanada lebih dikenal
sebagai kubu freedom from fear Bajpai, loc.cit., Alkire, 2003: 21. Pendekatan ketiga, pendekatan Jepang, sangat mirip dengan pendekatan UNDP.
Bagi Jepang, keamanan insani mencakup secara komprehensif segala hal yang mengancam keselamatan, kesejahteraan, dan kehormatan individu, misalnya kerusakan lingkungan,
pelanggaran HAM, kejahatan internasional terorganisir, persoalan pengungsi, peredaran narkotika, penyebaran penyakit menular, dan sebagainya. Namun, Jepang sebenarnya tak
menawarkan upaya konseptualisasi keamanan insani untuk diterjemahkan sebagai pedoman praktis dalam pelaksanaan. Negara yang dipaksa menjadi negara pasifis oleh AS melalui
Konstitusi 1947 sejatinya menjadikan keamanan insani sebagai alat pandu kebijakan bagi aktivitasnya di wilayah keamanan non-tradisional dengan penekanan utama pada pemenuhan
kebutuhan dan pembangunan insani Atanassove-Cornelis, 2006: 49 Sayangnya dalam implementasinya, belum banyak negara yang telah memasukkan
konsep keamanan insani dalam kebijakannya. Tercatat hanya tiga negara di dunia yang memasukkan kerangka keamanan insani ke dalam kebijakan luar negerinya, yakni Jepang,
Kanada, dan Norwegia Alkire, 2003: 17. Kerangka kebijakan luar negeri Kanada dibangun dengan fokus pada perdamaian, keamanan, pembangunan, dan kerja sama internasional
semasa dan selewat Perang Dingin. Bidang garapnya meliputi pemberantasan ranjau darat, perlindungan warga sipil saat pecah konflik, hingga intervensi kemanusiaan di Rwanda atau
10 Srebrenica. Sementara Norwegia, masih bersudut pandang freedom from fear, memfokuskan
pada upaya preventif perang, kontrol senjata ringan dan tangan small and light arms, serta operasi jaga damai. Kanada dan Norwegia bermitra dalam membangun Human Security
Network Lysoen Group yang pertemuan tahunannya menarik minat pemerintah dan ornop dari 13 negara, termasuk diantaranya Australia, Chili, Yunani, Yordania, Mali, Slovenia,
Thailand. Di sisi lain, Jepang, yang memiliki kemiripan dengan bidang garap UNDP, mewujudkan komitmennya melalui program Official Development Assistance ODA ke
negara berkembang dan mendirikan Commission on Human Security CHS. Meski ada perbedaan dalam filosofi dan penerjemahan bidang garap, namun
tantangan yang juga harus diajukan adalah persoalan keterukuran, yakni kemungkinan menyusun audit keamanan insani yang bisa dijadikan patokan tahunan untuk merekam tingkat
keselamatan dan kebebasan individu di pelbagai tempat dan kapabilitas untuk menanggulangi ancaman tersebut. Bagi Bajpai, ancaman keamanan dan kapabilitas untuk meredamnya akan
berubah dari waktu ke waktu, maka takrif keamanan insani yang universal akan menyesatkan Tadjbakhsh, 2007: 433. Pun indikator kemanan insani bisa lentur tergantung tempat karena
perbedaan konteks Bajpai 2000: 55. Namun demikian, ada dua hal penting yang layak dipertimbangkan: 1 ancaman langsung dan tak langsung bagi keselamatan dan kebebasan
individu, dan 2 kapasitas untuk menghadapi ancaman, yakni kemampuan menciptakan norma, institusi, dan demoktratisasiketerwakilan dalam struktur pembuatan keputusan di
tingkat global, regional, nasional atau sub-nasional Bajpai, 2000: 53. Yang pertama berarti pengukuran pertumbuhan atau penurunan ancaman, sementara yang kedua bermakna
perkiraan kapabilitas untuk menghadapi ancaman tersebut.
11 Dari sisi operasionalisasi, audit kemanan insani, menurut Bajpai, bisa dijalankan
secara kuantitatif maupun kualitatif. Pertama, metode kuantitif bisa dilakukan untuk mengukur keamanan insani sebagai patokan tahunan. Hal ini paralel dengan Human Security Index HSI
dan Humane Governance Index HDI. Sementara metode kualitatif lebih kerap untuk mengukur kapabilitas daripada ancaman
12
BAB III DESAIN DAN METODE PENELITIAN