18 1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kelangsungan hidup ikan lele Clarias sp pada budidaya intensif dengan menggunakan sistem heterotrofik?
2. Bagaimana kadar nitrogen pada budidaya intensif dengan menggunakan sistem heterotrofik?
3. Berapakah nilai volatile suspendid solid yang dapat diperoleh pada budidaya intensif dengan menggunakan sistem heterotrofik?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kelangsungan hidup ikan lele Clarias sp dengan menggunakan sistem heterotrofik pada budidaya intensif.
2. Menganalisis kadar amonia, nitrit dan nitrat pada budidaya intensif dengan menggunakan sistem heterotrofik.
3. Menganalisis nilai volatile suspendid solid pada budidaya intensif dengan menggunakan sistem heterotrofik.
1.4 Hipotesis
1. Sistem heterotrofik dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan lele Clarias sp pada budidaya intensif.
2. Sistem heterotrofik dapat menurunkan kadar nitrogen pada budidaya intensif.
3. Sistem heterotrofik dapat meningkatkan nilai volatile suspendid solid pada budidaya intensif.
19 1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup ikan air tawar khususnya ikan lele Clarias sp pada budidaya intensif sistem
heterotrofik.
20 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Lele
Clarias gariepinus
Ikan lele Gambar 1 adalah ikan yang hidup di perairan umum dan merupakan ikan yang bernilai ekonomis serta disukai oleh masyarakat. Ikan lele
bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makanan pada malam hari. Ikan lele memiliki berbagai kelebihan, diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi Suyanto 2006.
2.1.1 Klasifikasi Ikan Lele Clarias sp
Klasifikasi ikan lele menurut Saanin 1984 adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
21 Gambar 1. Ikan Lele
Clarias gariepinus Sumber :
Dokumentasi Pribadi
2.1.2 Morfologi
Ikan lele memiliki kulit tubuh yang licin, berlendir, tidak bersisik dan mempunyai organ arborecent, yaitu alat yang membuat lele dapat hidup di lumpur
atau air yang hanya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele berwarna kehitaman atau keabuan memiliki bentuk badan yang memanjang pipih kebawah
depressed, berkepala pipih dan memiliki empat pasang kumis yang memanjang sebagai alat peraba.
Ikan lele mempunyai jumlah sirip punggung D.68-79, sirip dada P.9-10, sirip perut V.5-6, sirip anal A.50-60 dan jumlah sungut sebanyak empat pasang,
satu pasang diantaranya lebih panjang dan besar. Sirip dada dilengkapi sepasang duri tajam dan patil yang memiliki panjang maksimum mencapai 400 mm
terutama pada ikan lele dewasa, sedangkan pada ikan lele yang tua sudah berkurang racunnya. Panjang baku 5-6 kali tinggi badan dan perbandingan antara
panjang baku dan panjang kepala adalah 1: 3-4. Ukuran matanya sekitar 18
22
panjang kepalanya. Giginya berbentuk villiform dan menempel pada rahang Rahardjo dan Muniarti, 1984.
2.1.3 Habitat dan Perilaku
Habitat atau lingkungan hidup ikan lele adalah semua perairan tawar, meliputi sungai dengan aliran yang tidak terlalu deras atau perairan yang tenang
seperti waduk, danau, telaga, rawa dan genangan air seperti kolam. Ikan lele tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif tahan
terhadap pencemaran bahan- bahan organik. Ikan lele dapat hidup normal dilingkungan yang memiliki kandungan
oksigen terlarut 4 ppm dan air yang ideal mempunyai kadar karbondioksida kurang dari 2 ppm, namun pertumbuhan dan perkembangan ikan lele akan
cepat dan sehat jika dipelihara dari sumber air yang cukup bersih, seperti sungai,
mata air, saluran irigasi ataupun air sumur Suyanto, 2006.
Ikan lele dapat hidup baik di dataran rendah sampai dengan perbukitan yang tidak terlalu tinggi, misalnya di daerah pegunungan dengan ketinggian
diatas 700 m. Ikan lele jarang menampakkan aktivitasnya pada siang hari dan lebih menyukai tempat-tempat yang gelap, agak dalam dan teduh. Hal ini bisa
dimengerti karena lele adalah binatang nokturnal yang mempunyai kecenderungan beraktivitas dan mencari makan pada malam hari. Pada siang hari lele lebih
suka berdiam atau berlindung ditempat-tempat yang gelap. Akan tetapi, pada kolam pemeliharaan, terutama budidaya secara intensif, lele dapat dibiasakan
diberi pakan pelet pada pagi atau siang hari walaupun nafsu makannya tetap
23
lebih tinggi jika diberikan pada malam hari. Kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele adalah suhu yang
berkisar antara 20-30
o
C, akan tetapi suhu optimalnya adalah 27
o
C, kandungan oksigen terlarut 3 ppm, pH 6.5-8 dan NH
3
sebesar 0,05 ppm. Ikan lele digolongkan kedalam kelompok omnivora pemakan segala dan mempunyai
sifat scavanger yaitu ikan pemakan bangkai. Selain pakan alami, untuk mempercepat pertumbuhan ikan lele perlu pemberian makanan tambahan berupa
pelet. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3 per hari dari berat total ikan yang ditebarkan di kolam dengan frekuensi 2-3 kali sehari Khairuman dan
Amri, 2002.
2.1.4 Kebiasaan Makan
Ikan lele digolongkan sebagai ikan karnivora. Pakan alami yang baik untuk benih ikan lele adalah jenis zooplankton diantaranya Moina, Dapnia, dan
yang termasuk dapnia adalah cacing, larva jentik-jentik serangga, siput-siput kecil dan sebagainya. Pakan alami biasanya digunakan untuk pemberian pakan
lele pada fase larva sampai benih, akan tetapi kan lele biasanya mencari makan di dasar kolam Suyanto, 2006.
Ikan lele dapat memakan segala macam makanan. Pakan alami ikan lele adalah jasad renik yang hidup di lumpur dasar maupun di dalam air, antara lain
cacing, jentik-jentik lainnya nyamuk, serangga, anak-anak siput, kutu air zooplankton. Selain itu, lele juga dapat memakan kotoran atau bahkan apa
saja yang ada dalam air Murhananto, 2002.
24
Pakan tambahan yang baik untuk lele adalah yang banyak mengandung protein hewani. Jika pakan yang diberikan banyak mengandung protein nabati,
maka pertumbuhannya lambat. Lele bersifat kanibalisme, yaitu mempunyai sifat yang suka memakan jenisnya sendiri. Jika kurang. Sifat kanibalisme juga akan
timbul oleh karena perbedaan ukuran. Lele yang berukuran besar akan memangsa ikan lele yang berukuran lebih kecil Mahyuddin, 2008.
2.1.5 Penyebaran
Ikan lele tersebar luas di benua Afrika dan Asia, terdapat di perairan umum yang berair tawar secara liar. Di beberapa negara khususnya Asia, seperti Filipina,
Thailand, Indonesia, Laos, Kamboja, Vietnam, Birma dan India, ikan lele telah banyak dibudidayakan dan dipelihara di kolam . Secara alami ikan lele terdapat di
pulau jawa Suyanto, 2006. Ikan lele diindonesia mempunyai beberapa nama daerah, antara lain: ikan
kalang Padang, ikan maut Gayo, Aceh, ikan pintet Kalimantan Selatan, ikan keling Makasar, ikan cepi Bugis, ikan lele atau lindi Jawa Tengah. Sedang di
negara lain dikenal dengan nama mali Afrika, plamond Thailand, ikan keli Malaysia, gura magura Srilangka, catre trang Jepang. Dalam bahasa Inggris
disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish Suyanto, 2006.
25 2.2
Kelangsungan Hidup Ikan Survival rate
Kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal
pemeliharaan. Kelangsungan hidup merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu.
Kelangsungan hidup ikan dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik yang mempengaruhi yaitu kompetitor, parasit, umur, predasi, kepadatan
populasi, kemampuan adaptasi dari hewan dan penanganan manusia. Faktor abiotik yang berpengaruh antara lain yaitu sifat fisika dan sifat kimia dari suatu
lingkungan perairan Effendi, 2003. Jumlah waktu pemberian pakan dan pemberian shelter pada kolam pemeliharaan akan mempengaruhi kelangsungan
hidup karena dapat mengurangi mortalitas Iskandar, 2003. Pertumbuhan ikan yang baik akan meningkatkan produksi dari usaha
budidaya. Besarnya produksi bergantung pada tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang dibudidayakan Wahyudi, 2006. Padat penebaran
yang tinggi berpengaruh terhadap kegiatan ikan budidaya yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kesehatan ikan Kordi dan Tancung, 2007.
2.3 Budidaya Intensif
Intensifikasi budidaya ikan ditandai dengan peningkatan padat penebaran yang diikuti dengan peningkatan pemakaian pakan buatan kaya protein. Industri
akuakultur dalam upaya memperoleh keuntungan menghadapi kendala harga produk rendah sementara biaya input selalu meningkat, dan semakin terbatasnya
26
sumberdaya lingkungan, air, dan lahan. Sistem akuakultur intensif berkaitan dengan bagaimana menghasilkan ikan secara efesien. Dua faktor pembatas
penting dalam sistem akuakultur intensif adalah kualitas air dan aspek ekonomi Avnimelech, 2006.
Hal ini tidak dapat dihindari karena ikan memanfaatkan hanya 20-30 nutrien pakan. Sisanya dikeluarkan dari tubuh ikan dan umumnya terkumpul
dalam air. Hal ini, pada gilirannya akan menimbulkan penumpukan kandungan amonia dan limbah bahan organik dalam air kolam. Pemeliharaan ikan lele dalam
kolam tembok secara intensif menunjukkan adanya pengaruh kedalaman air terhadap pertumbuhan, derajat kelangsungan hidup ikan dan efesiensi pakan ikan
lele Jangkaru et al, 1991
2.4 Sistem Heterotrofik
Bakteri heterotrof merupakan golongan bakteri yang mampu memanfaatkan dan mendegradasi senyawa organik kompleks baik yang
mengandung unsur C, H, dan N. Kelompok bakteri ini mengawali tahap degradasi senyawa organik dengan serangkaian tahapan reaksi enzimatis, dan
menghasilkan senyawa yang lebih sederhana atau senyawa anorganik, senyawa tersebut digunakan sebagai sumber energi untuk pembentukan sel
– sel baru dan untuk reproduksi yang menyebabkan pertambahan populasi. Pemecahan senyawa
organik dapat berlangsung lebih cepat apabila tersedia oksigen yang mencukupi
Parwanayoni, 2008.
27
Menurut Woon 2007 pertumbuhan bakteri heterotrof mempengaruhi jumlah nitrogen dalam perairan melalui tiga hal, yaitu proses asimilasi nitrogen
menjadi sel, asimilasi nitrogen melalui proses respirasi, dan denitrifikasi nitrat dan nitrit. Beberapa faktor kunci pengembangan sistem heterotrofik adalah kepadatan
yang tinggi, aerasi yang cukup bagi pergerakan air untuk menjaga padatan tetap terlarut, dan tingkat oksigen yang mencukupi bagi biota budidaya, input bahan
organik yang tinggi, sebagai sumber bahan makanan bagi bakteri dan biota budidaya. Selain itu juga perlu diperhatikan kesetimbangan nutrien yang
dibutuhkan oleh bakteri, seperti karbon dan nitrogen McIntosh, 2000 Limbah dalam kegiatan budidaya merupakan sebuah potensi yang apabila
dimanfaatkan kembali akan memberi manfaat yang besar. Pemanfaatan limbah kegiatan budidaya dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan budidaya sistem
polikultur intensif, yaitu dengan menerapkan teknologi resirkulasi air, sehingga teknologi ini mampu memanfaatkan air dalam jumlah terbatas untuk kegiatan
budidaya perikanan. Pemanfaatan limbah budidaya ikan terutama ditujukan pada senyawa-senyawa terlarut. Senyawa tak terlarut particulate waste seringkali
dibuang begitu saja dalam jumlah besar sebagai bahan yang tidak termanfaatkan. Bakteri heterotrof dapat mengubah nutrien-nutrien semacam ini menjadi bakteri
yang potensial sebagai bahan pakan ikan Schneider et al, 2005.
Sistem heterotrofik mempunyai potensi untuk diterapkan dalam pemanfaatan limbah amonia pada pemeliharaan ikan Gunadi dan Hafsaridewi,
2007. Komunitas bakteri yang terakumulasi di dalam sistem akuakultur
28
heterotrofik akan membentuk flok gumpalan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan untuk ikan Crab et al, 2007.
2.5 Volatile Suspended Solid VSS