segala keputusan dan keadaan yang dialami adalah karena dirinya, sedangkan kalau seseorang meyakini bahwa keadaan yang dialami adalah karena orang lain atau faktor
di luar dirinya maka disebut external locus of control. Jadi pada masyarakat Aceh, dirasakan bahwa semua kejadian adalah disebabkan faktor - faktor di luar kendalinya
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2005.
2.2. Stres Pasca-trauma
Stres pasca-trauma pertama kali diperkenalkan secara resmi sebagai gangguan psikiatrik tahun 1980, dalam DSM-III. Sejak itu setiap kali DSM memodifikasi
kriteria diagnosis untuk gangguan ini. DSM-III R adalah versi pertama yang memasukkan bagian-bagian serta diperluas dengan definisi stresor traumatik dan
perubahan serta pengaturan kembali bagian-bagian pada ketiga simtom kluster. Akhirnya adanya peningkatan jumlah dari simtom-simtom penghindaran dan
penumpulan yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria diagnosis dari satu menjadi tiga Cohen, 2005.
Stres pasca-trauma diklasifikasikan dalam Diagnostic and Statistical manual of Mental Disosders edisi keempat DSM-IV dengan lama gejala minimal untuk
gangguan stres selama satu bulan. Supaya seseorang dapat diklasifikasikan sebagai penderita stres pasca-trauma, harus mengalami suatu stres emosional yang akan
bersifat traumatik Kaplan, et al, 2003. Keaadan stres pasca-trauma timbul sebagai respons yang berkepanjangan
danatau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres baik singkat
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
maupun berkepanjangan dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang Depkes RI, 1993.
Menurut Maramis, dkk 2005, pengalaman traumatik secara sederhana merupakan luka yang sangat menyakitkan secara psikologik berarti pengalaman
mental yang laur biasa menyakitkan, melampaui ambang kemampuan rata-rata orang untuk menanggungnya, mengakibatkan perubahan yang drastis dalam kehidupan
seseorang, dapat mengubah persepsi terhadap kehidupan, mengubah perilaku dan kehidupan emosi seseorang.
Beberapa faktor risiko berkembangnya stres pasca-trauma termasuk level pemaparan trauma, kedekatan hubungan dengan korban dan maternal emotional
distres. Peningkatan level pemaparan pada trauma serta kurangnya dukungan sosial kepada korban diprediksikan akan menimbulkan kegawat daruratan stres pasca-
trauma serta dapat menimbulkan simtom-simtom psikopatologik yang lain Sadok et al, 2007.
Menurut Cohen 2005, stres pasca-trauma merupakan satu-satunya diagnoss dalam DSM-IV-TR yang memerlukan pemunculan dari agen etiologis yaitu kejadian
traumatik yang serius. Diperlukan lebih dari kejadian atau pengalaman untuk menimbulkan stres
pasca-trauma, kalau tidak bagaimana menjelaskan fakta bahwa stresor yang sama dapat memunculkan simtom pada seseorang, tetapi tidak kepada orang lain. Jadi
faktor–faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah: a durasi dan keparahan dari stres dan durasi dari berulang timbulnya dalam ingatan suatu keadaan yang bersifat
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
teror, b stabilitas emosional orang tersebut, c reaksi yang ditunjukkan anggota keluarga lainnya, c hubungan kehidupan dari komunitas sosial, d kultural dan
faktor politik, e trauma tunggal, trauma berulang atau stresor yang kronis Morison, 2003.
Studi Cohen 2005 melaporkan prevalensi stres pasca-trauma di Amerika Serikat pada anak pra sekolah usia 4-5 tahun sekitar 1,3, pada anak usia 9-17 tahun
sekitar 0,5-4, serta pada orang dewasa sekitar 1,3–8. Wanita juga diprediksikan mempunyai risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa kelompok risiko tinggi untuk mengalami stres pasca-trauma adalah anak-anak, perempuan dan lanjut usia.
Faktor pencetus stres pasca-trauma dilihat dari aspek psikologis meliputi clasical conditioning dan operant conditioning diimplikasikan ke dalam
perkembangan stres pasca-trauma. Stresor yang ekstrim secara tipikal memproduksi emosi yang negatif teror, kemarahan, kesedihan begitu juga hyperarausal
psikologis dari aktivitas sistem nervus simpatis the flight-orfight response. Clasical conditioning muncul apabila benda-benda hal-hal yang netral yang berada di tempat
kejadian trauma dapat bergabung menjadi pasangan dengan peristiwa traumatis dimana mereka juga bisa memicu reaksi-reaksi psikologis yang intens dan begitu juga
reaksi-reaksi fisiologis Maramis, dkk, 2005. Tidak adanya dukungan sosial yang kuat dapat meningkatkan risiko
timbulnya stres pasca-trauma setelah pemaparan peristiwa traumatik. Oleh karena itu kepentingan dari faktor sosial sebagai etiologi harus diperhatikan Cohen, 2005.
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya. Masyarakat yang
mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan kesehatan fisik tetapi juga dapat mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stres pasca-trauma yang
akhirnya dapat menurunkan produktifitas kerja, dan kualitas hidup secara nasional Rasmun, 2001.
Kecenderungan semakin meningkatnya penduduk yang mengalami stres pasca-trauma seiring dengan terus berubahnya situasi ekonomi dan politik ke arah
yang tidak menentu, prevalensinya bukan saja pada kalangan menengah kebawah sebagai dampak langsung dari kesulitan ekonomi, tetapi juga kalangan menengah
keatas sebagai dampak langsung atau tidak lansung ketidak mampuan individu dalam penyesuaian diri terhadap perubahan sosial yang terus berubah Rasmun, 2001.
Kecendrungan meningkatnya angka stres pasca-trauma dikalangan masyarakat saat ini dan yang akan datang akan terus menjadi masalah sekaligus tantangan bagi tenaga
kesehatan. Definisi Posttraumatic Stress Disorder PTSD dalam DSM IV-TR mengharuskan
adanya penjabaran akan keutuhan fisik dari diri sendiri atau orang lain dan reaksi emosional yang diakibatkannya, termasuk keadaan tidak berdaya atau ketakutan.
Orang tersebut bereaksi terhadap pengalaman ini dengan ketakutan dan ketidakberdayaan, mengenang kejadian tersebut secara menetap, dan mencoba
menghindar untuk mengingatnya Depkes RI, 1993.
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
Menurut Depkes RI 1993, yang termasuk PTSD dalam adalah: 1. Keadaan yang dialami kembali seperti mimpi buruk dan kilas balik
2. Hyperarausal, seperti peningkatan refleks kaget, cepat marah atau waspada yang berlebihan, dan
3. Tidak mau mendengar atau menghindari kejadian situasi yang mirip – walaupun hanya simbolis saja trauma atau ketidak mampuan bersosial bekerja makin
meningkat dari sebelumnya. Pengertian stres pasca-trauma adalah: a reaksi normal dari individu terhadap
kejadian yang luar biasa, b akibat dari pengalaman seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh diluar peristiwa yang bersifat amat hebat
dan luar biasa dialami banyak orang, bukan pengalaman yang normal bagi seseorang Maslim, 2001.
Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang
normal, walaupun tidak berarti bawa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma ini. Faktor psikologis, fisik, genetik dan sosial ikut berpengaruh pada
gangguan ini Syamsir, 1991. Menurut RPuK 2002 ada 3 bentuk proses timbulnya trauma, yaitu: a akut
stress, terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah pengalaman trauma terjadi dan dia tidak akan lama. Perasaan yang dirasakan adanya shock, hancurnya ilmu
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
kekebalan, orang tidak akan mengira kalau pengalaman itu dirasakan oleh pribadinya sehingga dia tidak siap dan shock, b reaksi stres pasca-trauma membuat perilaku
orang yang mengalaminya dianggap aneh oleh orang lain, semua orang dianggap jelek dan musuh, dia merasa bersalah karena tidak berhasil melindungi keluarganya,
c kesadaran menjadi sempit dan kejadian ini banyak ditemui pada stres berikutnya. Jenis stresor antara lain: bencana alam; banjir, gempa bumi, bencana
kecelakaan oleh karena manusia accidental made-man disasters, kecelakaan industri, kecelakaan mobil, kebakaran, bencana oleh karena manusia yang disengaja
deliberate manmadedisasters, kamp konsentrasi tahanantawanan, penganiayaan, pemboman Maslim, 2001.
Macam-macam stressor traumatik: menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah
longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan berutal di luar batas
kemanusiaan, Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung
meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan jiwa-emosional, penyanderaan, penculikan, perampokan atau pun
kecelakaan. Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga. Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan seksual yang mengancam integritas
fisik dan harga diri seseorang. Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan. Kematian mendadak atau berpisah dari anggota keluarga atau orang yang dikasihi
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat, Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman. Mendadak berada dalam
keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal. Terputus hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan berbagai adat
atau kebiasaan. Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privacy hak pribadi. Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan Maslim,
2001 Pasien dengan gangguan stres pasca-trauma mempunyai kecenderungan
bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres. Trauma mengaktifkan kembali konflik yang tidak terselesaikan pada masa kanak, termasuk trauma emosional yang
tidak disadari Syamsir, 1991. Menurut Patel 2001 peristiwa traumatis adalah suatu peristiwa yang
membuat seseorang takut dalam hidupnya, atau menyebabkan tekanan yang sangat hebat. Ada beberapa jenis peristiwa traumatis, yaitu: a trauma pribadi merupakan
peristiwa yang mengancam orang-orang tertentu, seperti: diperkosa, kehilangan seseorang yang dicintai, menjadi korban kejahatan, atau ikut mengalami kecelakaan
lalulintas, b perang dan terorisme: ketakutan perang dapat menjadi penyebab trauma, baik pada tentara maupun penduduk sipil, c tekanan yang besar: bencana-
bencana seperti: jatuhnya pesawat terbang, kebakaran dan gempa bumi dapat menyebabkan trauma pada sejumlah besar orang dalam waktu yang bersamaan.
Trauma dapat menyebabkan efek yang dalam terhadap kesehatan jiwa seseorang,
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
bahkan pada orang-orang yang hanya menyaksikan apa yang terjadi dapat mengalami efek kesehatan juga.
Reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat bervariasi antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali, mengalami reaksi ringan -
menampilkan reaksi dalam waktu singkat, menunjukkan reaksi hebat dan menetap dalam waktu yang cukup lama,disebut gangguan stres pasca-trauma Maslim, 2001.
Gejala-gejala gangguan stres pasca truama seperti hipervigilensi, mimpi buruk, dan reaksi yang berlebihan terhadap stimulus kecil yang mengingatkan kepada
kejadian traumatis, memberi tanda suatu arousal yang berlebihan dari amigdala yang mendorong ingatan yang menakutkan dari trauma yang menyusup kesadaran ingatan
traumatis disimpan dalam amigdala sebagai rambut pencetus mental, siap untuk mendengar suatu alarm fisiologis yang kecil yang menandakan bahwa trauma awal
terjadi kembali. Walapun gangguan stres pasca-trauma merupakan dampak dari suatu episode tertentu, hasil yang sama dapat terjadi dari kekejaman yang dialami selama
bertahun-tahun Goleman, 2000. Gambaran klinis terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang
bermakna pada hampir setiap orang, adanya gejala khas berupa episode dimana bayangan kejadian traumatik tersebut terulang kembali atau dalam mimpi, terjadi
dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan yang beku numbness dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya,
anhedonia dan menghindari aktifitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya, gangguan ingatan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, kesiagaan berlebihan,
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
survivor guilt rasa bersalah karena lolos dari bencana, gejala depresi. Lazimnya ada ketakutan dan menghindari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang
dialami, kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya
kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu. Onset terjadi setelah trauma dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan jarang sampai melampaui 6 bulan, Perjalanan keadaan ini berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada
sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakit dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama
Maslim, 2001. Berdasarkan kondisi stres pasca-trauma, penyedian pelayanan dilakukan
secara berjenjang yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi. Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut :
1. Pelayanan tingkat masyarakat, dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam lembagaorganisasi masyarakat luas atau keagamaan maupun kader atau petugas
pemerintah di tingkat desa atau kecamatan,berupa : a. Penyuluhan KIE
b. Bimbingan c. Membentuk “kelompok tolong diri”
d. Rujukan 2. Pelayanan tingkat PuskesmasRSU Kelas C dan D
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
a. Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami
gangguan stres pasca-trauma. Dilakukan secara komprehensif bersama-sama tim oleh konselor serta tenaga lain yang terkait dengan penanganan pasien
gangguan jiwa pasca-trauma. b.
Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan konseling lebih lanjutpsikoterapi atau penanganan lebih lanjut.
3. Pelayanan tingkat spesialistik Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ
atau Bagian Psikiatri RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani secara lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil psikiater atau psikolog sesuai
dengan kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara untuk membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan
konseling yang lebih mendalam Syamsir, 1991. Stres pasca-trauma dapat dideteksi sampai batas tertentu sehingga dapat
dicegah agar tidak menjadi gangguan yang kronik menahun. Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan dan akan mencegah
berkembangnya stres pasca-trauma menjadi gangguan stres pasca-trauma Syamsir, 1991.
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penanganan Stres Pasca-trauma
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penjelasan yang terkait dalam penanganan pasien stres pasca-trauma adalah:
aspek karakteristik, dukungan keluarga, dan kebutuhan pasien. Menurut Wiguna dkk 2005 faktor umur sangat penting diperhatikan secara
khusus, karena faktor umur, seperti anak-anak biasanya hidup dalam tekanan, baik itu dirumah maupun di tempat pengungsian, mereka cenderung lebih banyak menuntut
perhatian dan kasih sayang dari orangtua atau pengasuh bahkan juga dari gurunya. Anak-anak juga lebih mudah menjadi cemas dan takut yang berlebihan terhadap
lingkungan mereka, sehingga perlu ditangani secara berkesinambungan. Menurut Maramis dkk, 2005, secara karakteristik, kelompok yang risiko
tinggi mengalami stres pasca-trauma adalah anak-anak perempuan dan lanjut usia. Perempuan biasanya ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dalam masyarakat,
demikian juga dengan lanjut usia karena mengalami penurunan kemampuan fisik dan mental
Menurut Sarwono 2001, faktor-faktor karakteristik yang dapat menyebabkan gangguan pada diri seseorang adalah: a faktor umur dan seks, b status dalam
keluarga, c faktor meninggalnya orang tua atau pemisahan perceraian orang tua dan keragu-raguan terhadap kepercayaan pada orang tua, d faktor geografis penduduk
kota lebih tinggi “risk” dari penduduk desa dan keadaan perkotaan, e faktor suku ethnic factor, serta f penggolongan-penggolongan masyarakat people
charterizable.
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
Anak-anak dari akibat pecahnya rumah tangga serta anak-anak yang mempunyai cacat badaniah biasanya merasa sangat malu dan menderita batinnya.
Hari depannya merasa gelap tanpa harapan dan dirinya selalu dibayangi oleh ketakutan dan kebimbangan. Timbul rasa rendah diri, tidak mempunyai kepercayaan
diri selalu gagal dalam setiap usaha, semangatnya jadi patah, ambisinya musnah dan selalu saja dibayangi hubungan dengan gangguan jiwa Sarwono, 2001.
Menurut Kaplan et al 2003, gangguan stres pasca-trauma dapat tampak pada setiap usia, gangguan ini paling menonjol pada desawa muda, karena sifat situasi
yang mencetuskannya. Tetapi anak-anak juga dapat mengalami stres pasca-trauma. Trauma untuk laki-laki biasanya pengalaman peperangan dan trauma untuk wanita
paling sering adalah penyerangan atau pemerkosaan. Stres pasca-trauma kemungkinan terjadi pada mereka yang sendirian, bercerai, janda, mengalami
gangguan ekonomis atau menarik diri secara sosial. Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya. Faktor psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya hidup, dan
lingkungan kerja. Sesorang biasanya akan mencari dukungan dan persetujuan dari kelompok
sosialnya, hal ini akan mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap
terhadap gejala penyakit yang ia rasakan. Sehingga ia akan segera mencari
Rachmadiany : Pengaruh karakteristik, dukungan keluarga Dan kebutuhan pasien stres pasca trauma Terhadap pemanfaatan pelayanan Di trauma center Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara,2008.
USU Repository©2008
pertolongan ketika merasa ada gangguan pada kesehatannya Tjiptoherijanto dan Soestyo, 1994.
2.4. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan