struktur anarki dimana tidak ada kekuasaan tertinggi diatas negara. Semua adalah tentang power dan power juga yang membuat negara satu dengan negara lain
terlihat berbeda. Berbeda dengan perspektif realisme, neorealisme lebih membuka diri untuk bekerja sama dengan negara lain meskipun pada dasarnya neorealisme
masih memiliki keraguan untuk bekerja sama. Neorealisme berpendapat bahwa negara- negara yang bekerja sama akan selalu berusaha memaksimalkan kekuatan
relatif dan mempertahankan otonominya.
42
Kaum neorealis percaya bahwa didalam hubungan internasional state actor adalah negara dan memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam hubungan
internasional. Namun neorealisme sudah mulai mengakui bahwa peran non state actor juga tidak kalah penting karena jika state actor bekerja sendiri tanpa
didampingi oleh non state actor maka state actor tidak akan bisa bekerja maksimal. Karena berdasar pada power maka dalam perspektif ini hubungan
kerjasama menggunakan keuntungan absolute yang artinya negara akan melakukan kerjasama jika negara tersebut memperoleh keuntungan yang lebih
besar terutama negara yang memiliki power yang lebih besar. Dalam neorealisme tujuan negara yang lebih utama adalah pertahanan dan keamanan.
Pada sistem anarki, neorealisme mempercayai bahwa dalam sistem ini, yang dibutuhkan negara adalah survive atau bertahan dalam sistem anarki internasional
42
Kenneth Waltz dalam buku Jackson, R. G. Sorensen. 1999. Introduction to International Relations, Oxford University Press, hal 68.
dengan menjamin pencapaian kepentingan nasionalnya melalui kerjasaam atau aliansi dengan negara lain.
43
Dalam masalah ini adanya pertahanan negara sebagai langkah yang efektif yang digunakan Venezuela dalam pencapaian kepentingan nasionalnya dengan
melakukan aliansi dengan negara nlain.
1.5.2 Teori Defensive Structural Realism
Pada tahun 1990-an, para pemikir neo-realis mulai terbagi kedalam dua divisi, yaitu defensive dan offensive realism. Dipelopori oleh Kenneth Waltz
melalui bukunya yang berjudul Theory of International Politics, kaum defensive realist memiliki pandangan bahwa sebuah negara yang tergolong great powers
lebih memilih untuk mempertahankan status quo daripada meningkatkan kapasitas powernya, hal ini dikarenakan harga yang harus dibayar untuk melakukan
ekspansi umumnya lebih besar daripada keuntungan yang akan mereka dapatkan. Selain itu, defensive realist menganggap bahwa kerjasama yang terjalin diantara
great powers dapat mengurangi risiko dari sistem internasional yang anarki dan akan memperkecil dampak dari security dillema.
44
Menurut structural realism offensive dan defensive menganggap bahwa fenomena utama yang harus dijelaskan adalah adanya pengaruh dari sistem
terhadap negara dan berbagai model dari perilaku negara international outcomes
43
Baldwin, David A., 1993. Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate. New York : Columbia University Press, pp. 1-142.
44
Waltz, Kenneth. 1979. The Theory of International Politics. New York: McGraw-Hill.
and modes of behaviour.
45
Menurut structural realism offensive dan defensive bukan lagi negara yang harus dianalisisn tetapi sistem syistem sebab perlikaku
dan kebijakan negara oleh structural realism dianggap dipengaruhi oleh sistem yang berlaku. Bagi structural realism offensive dan defensive setiap negara
dipandang memiliki perilaku, kebijakan serta kepentingan yang sama
46
. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang sama
untuk bertahan hidup sehingga memaksa setiap negara untuk dapat berkompetisi dengan negara yang lainnya. Bagi defensive realism memandang bahwa power
merupakan sarana pencapaian kepentingan, bukan merupakan tujuan akhir serta power hanya diperlukan secukupnya sesuai kebutuhan.
47
jadi, teori ini dapat digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan terjadinya peningkatan kerjasama anatara Venezuela dan negara-negara yang
mempunyai perkembangan ekonomi yang pesat, seperti, Rusia, Tiongkok, Brazil, German, dan Spayol. Kerjasama ini dilakukan dalam masalah pembelian senjata
yang digunakan Venezuela untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negaranya.
1.5.3 Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional berfokus pada kompleksitas dan keberagaman terkait hal-hal yang diatur dalam kebijakan luar negeri serta kebijakan luar negeri
itu, yang nantinya akan dipahami sebagai sikap yang diambil oleh suatu negara
45
Toft, Peter. John J. Mearsheimer: an Offensive Realist Between Geopolitics and Power. International Relations and Development 8 2005: 403
46
Ibid.
47
Ibid.
mengenai suatu isu. Kepentingan nasional itu merupakan nilai yang dibangun oleh sebagian, bahkan semua orang dalam suatu masyarakat.
48
Kepentingan nasional juga berkaitan dengan power karena biasanya pada saat pembuatan kebijakan luar negeri sebuah negara, maka aktor pembuat
kebijakan akan memperhitungkan seberapa besar power yang dimiliki negara tersebut. Power yang dimiliki oleh negara nantinya akan mengalokasikan
kepentingan nasionalnya. Semakin besar power yang dimiliki maka semakin mudah mempertahankan kepentingan sebuah negara.
49
Menurut Donald E. Nuechterlin, kepentingan nasional dibagi menjadi empat jenis sebagai berikut; Pertama, kepentingan pertahanan, diantaranya
menyangkut kepentingan untuk melindungi warga negaranya serta wilayah dan sistem politik dari ancaman negara lain. Kedua, kepentingan ekonomi, yakni
kepentingan pemerintah untuk meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan negara lain. Ketiga, kepentingan tata internasional,
yaitu kepentingan untuk mewujudkan atau mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional yang menguntungkan bagi negaranya. Keempat,
kepentingan ideologi, yaitu kepentingan untuk mempertahankan atau melindungi ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain.
50
48
Fred A Sondermann. 1960. „’The concept of national interest’’ dalam Oslon, wiliam C.Mc Cellan,David S. The Theory And Practice Of International Relations.USA.Prentince-
Hall.Inc.
49
Thomas W, Robinson.1969 „’National Interest’’. James N. Rosenau ed. Internasional
Politics and Foreign Policy.London; the Free Press, 1969 hal 185.
50
Donald E. Nuechterlein, National Interests and Presidential Leadership: The Setting of Priorities Boulder, 1978, 4; Clinton, TFNI, 54-56.