Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan output perkapita dalam jangka panjang. Hal ini berarti, bahwa dalam jangka panjang, kesejahteraan tercermin pada peningkatan output perkapita yang sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa, serta diikuti oleh daya beli masyarakat yang semakin meningkat Boediono, 1993: 1-2. Pertumbuhan ekonomi juga bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan, bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Dalam hal ini berarti terdapatnya kenaikan dalam pendapatan nasional yang ditunjukkan oleh besarnya nilai Produk Domestik Bruto PDB. Indonesia, sebagai suatu negara yang sedang berkembang berusaha dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan kestabilan. Pembangunan nasional mengusahakan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yang pada akhirnya memungkinkan terwujudnya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat Yunan, 2009: 2. 1 2 Resesi ekonomi dunia yang telah berlangsung sejak awal tahun 1980- an, telah mempengaruhi perkembangan indonesia pada tahun 1983. Oleh karena itu laju pertumbuhan ekonomi menurut harga konstan 1983 hanya mencapai sebesar 4.20 dari beberapa tahun sebelumnya rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih besar dari 5. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi ini disebabkan antara lain menurunnya harga minyak dunia sehingga penerimaan ekspor menurun Statistik Indonesia, 1984. Secara umum kondisi perekonomian Indonesia mengalami berbagai tekanan, baik yang disebabkan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Walaupun antara kurun waktu 1980-an sampai pertengahan 1990-an perekonomian Indonesia menunjukan perkembangan yang cukup baik, tetapi secara keseluruhan perkembangan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun 1997 mengalami perlambatan yang cukup berarti pada paruh kedua tahun 1997 karena mulai terjadi krisis moneter khususnya kejatuhan nilai tukar dan ditambah lagi dengan meningkatnya utang luar negeri Indonesia yang jatuh tempo menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun secara drastis. Ditinjau dari sisi permintaan, penurunan pertumbuhan ekonomi diakibatkan oleh melemahnya permintaan domestik khusunya konsumsi rumah tangga dan investasi swasta. Sedangkan dari sisi penawaran, perlambatan ini terjadi pada sektor-sektor yang memiliki pangsa yang cukup besar terhadap total pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti sektor industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor perdagangan. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan biaya impor bahan baku dan pembayaran utang yang jatuh 3 tempo dan keduanya dipacu oleh tekanan nilai tukar dan ketatnya likuditas perbankan nasional Statistik Indonesia, 1999. Perkembangan konsumsi masyarakat di Indonesia dari tahun 1980 sampai dengan 1997 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seiring pertambahan penduduk, konsumsi dari tahun ke tahun penduduk Indonesia selalu meningkat, kebutuhan masyarakat atas barang dan jasa juga menunjukkan peningkatan. Namun pada pertengahan tahun 1997 sampai tahun 1998, konsumsi masyarakat di Indonesia mengalami penurunan karena terjadi krisis nilai tukar rupiah yang terus mengalami penurunan depresiasi, yang kemudian disusul dengan krisis moneter dan pada akhirnya berubah menjadi krisis ekonomi yang menimbulkan konsekuensi terhadap ketidakstabilan perekonomian Indonesia. Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi 1998, ekonomi Indonesia sudah kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun hingga saat ini pertumbuhannya rata-rata per tahun relatif masih lambat dibandingkan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, atau masih jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang pernah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru ORBA, khususnya pada periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Salah satu penyebabnya adalah masih belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar negeri maupun dalam negeri. Di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia tidak mempunyai sumber dana yang cukup guna membiayai pembangunan 4 negerinya atau terbatasnya akumulasi berupa kapital tabungan di dalam negeri. Selain itu dikarenakan oleh rendahnya produktivitas dan tingginya konsumsi. Penggairahan iklim investasi di Indonesia dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN. Pemberlakuan undang-undang ini menyusul tampilnya rezim orde baru memegang tampuk pemerintahan. Sebelumnya, dalam pemerintahan orde lama, Indonesia sempat menentang kehadiran investasi dari luar negeri. Ketika itu tertanam keyakinan bahwa modal asing hanya akan menggerogoti kedaulatan negara. Undang-undang UU No.6 Tahun 1968 tentang PMDN kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No.12 Tahun 1970. Perbaikan iklim penanaman modal tak henti-hentinya dilakukan pemerintah, terutama sejak awal pelita IV atau tepatnya tahun 1984 Dumairy, 1996: 132. Semenjak diberlakukannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 dan No. 12 Tahun 1970 tentang PMDN, investasi cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Walaupun demikian, pada tahun-tahun tertentu sempat juga terjadi penurunan. Kecenderungan peningkatan bukan hanya berlangsung pada investasi oleh kalangan masyarakat atau sektor swasta, baik PMDN maupun PMA, namun juga penanaman modal oleh pemerintah. Ini berarti pembentukan modal domestik bruto meningkat dari tahun ke tahun. Penanaman modal oleh dunia usaha meningkat pesat terutama dalam dasawarsa 1980-an sesudah pemerintah meluncurka sejumlah paket 5 kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Dalam dasawarsa 1970-an sebagian besar penanaman modal negeri berasal dari sektor pemerintah. Keadaan tersebut sekarang telah berbalik. Selama paruh pertama dasawarsa 1990-an sebagian besar investasi domestik berasal dari dunia usaha dan masyarakat. Investasi oleh pemerintah sendiri juga tetap bertambah sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan sarana dan prasarana serta pelayanan dasar lainnya Dumairy, 1996: 133. Pada tahun 1970-an, peranan investasi swasta mengalami penurunan seiring dengan meningkat pesatnya investasi pemerintah. Namun pada masa sewindu berikutnya, periode awal 1980-an hingga tahun 1987, sejalan dengan merosotnya penerimaan pemerintah dari sector minyak bumi serta membengkaknya pembayaran utang luar negeri, peranan investasi pemerintah menurun. Sebaliknya, peranan investasi swasta meningkat. Kemudian, sejajar dengan membaiknya lagi penerimaan pemerintah yang kali ini karena kenaikan pesat penerimaan pajak, peranan investasi pemerintah pun meningkat kembali, sehingga kontribusi relatif investasi swasta sedikit menurun. Perkembangan investasi sepanjang Pembangunan Jangka Panjang I bahkan melebihi pertumbuhan produksi nasional. Rasio investasi terhadap produksi nasional melonjak cukup berarti, dari semula 18 persen menjadi kemudian 30,5 persen. Lonjakan rasio ini merupakan pertanda kenaikan kapasitas produksi nasional. Semua itu dimungkinkan berkat digulirkannya kebijaksanaan-kebijaksanaan penyederhanaan prosedur dan pelunakan 6 persyaratan, sehingga calon-calon investor tertarik untuk menanamkan modal mereka Dumairy, 1996: 133. Namun tak kalah pentingnya, kenaikan investasi yang cukup berarti itu juga dimungkinkan berkat berkat kenaikan dalam sumber pembiayaannya, baik dari tabungan dalam negeri maupun dana dari luar negeri. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mencerahkan iklim investasinya di masa datang, baik secara internal di dalam negeri sendiri maupun secara eksternal dari negara lain. Di dalam negeri, tantangan itu antara lain masih belum memadainya ketersediaan sarana dan prasarana perekonomian yang berupa barang publik. Sementara keuangan pemerintah justru harus dikelola lebih efisien, kalangan swasta biasanya enggan atau tidak tertarik untuk menanam modal bagi penyediaan barang publik. Tantangan lain adalah rendahnya produktivitas pekerja dan efisiensi produksi, kelangkaan tenaga kerja terampil, serta kurang terjaminnya kepastian hukum bagi investor, khususnya investor asing. Tantangan eksternalnya antara lain berupa persaingan iklim investasi dengan beberapa negara di kawasan Asia lainnya, terutama China, Vietnam, Thailand dan India Dumairy, 1996: 134. Dilihat dari periode sebelum dan sesudah krisis moneter peran investasi baik investasi pemerintah maupun investasi swasta mengalami peningkatan yang pesat dan juga mengalami penurunan di tahun-tahun tertentu. Proporsi investasi di dalam PDB dan pesatnya pertumbuhan investasi tidak berarti pembangunan ekonomi berjalan dengan baik dan begitu pula sebaliknya, karena yang penting bukan besarnya investasi dalam nilai uang 7 atau jumlah proyek, tetapi bagaimana efisiensi atau produktivitas dari investasi tersebut. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sumber utama pembiayaan investasi di Indonesia masih didominasi oleh penyaluran kredit perbankan. Seperti halnya di negara-negara berkembang lain, perbankan dalam perekonomian Indonesia mendominasi keseluruhan sektor keuangan dilihat dari segi pemilikan aset, pengumpulan dana maupun dana tersebut dalam perekonomian. Perkembangan Perbankan yang terjadi di Indonesia dengan hadirnya Reformasi Perbankan 1983 dan Reformasi Perbankan 1988 memiliki implikasi penting bagi perkembangan perekonomian nasional. Pada bulan maret 1983 pemerintah Indonesia memperkenalkan suatu program pengukuran sektor keuangan yang akan mengubah bentuk sistem perbankan nasional sebagai suatu program internasional termasuk transformasi pajak, regulasi perdagangan internasional, dan pasar keuangan lainnya dan kemudian disusul dengan deregulasi perbankan di tahun 1988. dengan deregulasi tersebut, pemerintah memberikan kebebasan kepada bank, baik untuk menentukan suku bunga maupun dalam memberikan kredit, yang sebelumnya baik bunga maupun kredit diatur melalui batas dan pagu tertentu. Kedua refomasi ini mendorong peningkatan penghimpunan dana masyarakat dan pemberian kredit oleh masing-masing bank Rafika Sari, 2006: 2. Pembangunan ekonomi di suatu negara sangat bergantung pada perkembangan dinamis dan kontribusi nyata dari sektor perbankan. Ketika 8 sektor perbankan terpuruk perekonomian nasional juga ikut terpuruk. Demikian pula sebaliknya, ketika perekonomian mengalami stagnasi sektor perbankan juga terkena imbasnya dimana fungsi intermediasi tidak berjalan normal Kiryanto, 2007: 2. Krisis Moneter 1997-1998 yang melanda perekonomian Indonesia telah berimbas pada sektor perbankan. Krisis yang diawali dengan devaluasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS telah menimbulkan ledakan kredit macet dan melunturkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga perbankan, yang pada gilirannya melemahkan fungsi intermediasi perbankan. Masyarakat kala itu banyak menarik dananya rush yang ada di bank swasta dan mengalihkannya ke bank yang dianggap aman flight to safety, yakni bank asing dan bank BUMN. Untuk mencegah hal ini bank-bank mematok suku bunga dananya dengan sangat tinggi, yang diikuti dengan penyesuaian suku bunga kredit. Penyaluran kredit perbankan praktis terhenti karena sektor riil tidak mampu menyerap dana yang mahal harganya Dari uraian di atas, konsumsi dan investasi adalah unsur paling esensial bagi sebuah perekonomian. Banyak alasan yang menyebabkan analisis makro ekonomi perlu memperhatikan tentang konsumsi rumah tangga secara mendalam. Alasan pertama, konsumsi rumah tangga memberikan pemasukan kepada pendapatan nasional. Di kebanyakaan negara pengeluaran konsumsi sekitar 60-75 persen dari pendapatan nasional. Alasan yang kedua, konsumsi rumah tangga mempunyai dampak dalam menentukan fluktuasi kegiataan ekonomi dari satu waktu ke waktu lainnya. Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya Sukirno, 2003: 338. 9 Sedangkan sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil via akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih tepatnya, sektor keuangan mampu memobilisasi tabungan. Mereka menyediakan para peminjam berbagai instrumen keuangan dengan kualitas tinggi dan resiko rendah. Hal ini akan menambah investasi dan akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi Inggrid, 2006: 40.

B. Perumusan Masalah