Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang Kesenjangan Pembangunan antara Desa dan Kota

b belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah; c belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta; d belum berkembnagnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; e masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama diantara pelaku – pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat serta anatara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; f masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi; g keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta h belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antarwilayah maupun antarnegara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan. Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah – wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah – wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.

3. Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang

Wilayah perbatasan, termasuk pulau – pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan Universitas Sumatera Utara di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’ inward looking ’sehingga seolah – olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah – wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah – daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah.

4. Kesenjangan Pembangunan antara Desa dan Kota

Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini merupakan konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah infrastruktur dan kelembagaan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain daripada itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan trickling down effects , justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan backwash effects . Universitas Sumatera Utara 5. Rendahnya Pemanfaatan Rencana Tata Ruang Sebagai Acuan Koordinasi Pembangunan Lintas Sektor dan Wilayah Pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah saat ini masih sering dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan sehingga menurunkan kualitas degradasi dan kuantitas deplesi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Selain itu, seringkali pula terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor , contohnya adalah terjadinya konflik antar kehutanan dan pertambangan. Salah satu penyebab terjadinya permasalahan tersebut adalah karena pembangunan yang dilakukan dalam wilayah tersebut belum menggunakan ” Rencana Tata Ruang ” sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan antarsektor dan antarwilayah. Otonomi daerah harus benar-benar diarahkan pada optimalisasi manfaat yang akan diterima oleh masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Jika otonomi tidak dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan tadi, atau rendahnya komitmen serta kesiapan daerah dalam melaksanakan otonomi tersebut, bukannya akan menimbulkan efek positif dalam pemberdayaan ekonomi daerah, tetapi justru mengancam kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah pada dasarnya adalah juga pembangunan nasional. Atas dasar pemikiran itu, muncul pendekatan pembangunan atas dasar sektor-sektor kegiatan tanpa memperhatikan lokasinya. Namun, dalam perkembangannya pendekatan tersebut dirasakan kurang lengkap, karena kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua daerah memiliki kondisi dan potensi yang sama, sehingga muncul permasalahan kesenjangan inequality dan inefisiensi dalam pembangunan. Universitas Sumatera Utara Masih dalam tataran konsepsi pembangunan nasional, muncul pendekatan yang lebih memperhatikan kondisi dan potensi setiap region dalam suatu negara tertentu, yaitu pendekatan pembangunan regional. Pendekatan pembangunan regional, pada babak selanjutnya terus berkembang dan menjadi perhatian baik di kalangan praktisi maupun di kalangan akademisi. Yang semula banyak didasarkan atas pertimbangan ekonomi saja, kemudian diintegrasikan dengan perkembangan masyarakat yang makin menuntut kualitas dan kuantitas pelayanan dari pemerintah serta tuntutan kemandirian dan partisipasi pembangunan. Kini masalah kebijakan pembangunan regional tidak lagi hanya dikaitkan dengan masalah efisiensi dan pemerataan saja, melainkan pula dikaitkan dengan masalah pelayanan kepada masyarakat dan perkembangan aspirasi masyarakat tersebut. Kebijakan pembangunan merupakan unit pemerintahan pada tingkat manapun yang mengimplementasikannya, secara ekonomis ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu indikator terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya pendapatan perkapita. Dan peningkatan pendapatan perkapita ini bisa dicapai apabila terjadi pertumbuhan dalam bidang ekonomi. Bagi masyarakat di daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten Kota ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, jelas merupakan prospek yang menjanjikan adanya perubahan dan perbaikan kinerja kebijakannya termasuk kinerja kebijakan ekonomi makronya. Hal ini didasarkan kepada kenyataan bahwa pemerintah daerah sekarang ini telah diberikan keleluasaan dalam perumusan dan penetapan kebijakan daerah, dan untuk melaksanakan kebijakan tersebut telah dialokasikan dana perimbangan dari kas negara. Universitas Sumatera Utara Otonomi daerah dalam bidang fiskal sebagaimana tertuang dalam kedua undang-undang tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada dasarnya merupakan instrumen yang paling memungkinkan bagi daerah, terutama daerah kabupaten kota, untuk mampu berperan dalam memberdayakan ekonomi daerahnya. Akan tetapi kebijakan tersebut bukan tidak ada bahayanya, terutama jika implementasi kebijakan tersebut tidak dilengkapi dengan instrumen pengendalian yang memadai oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah propinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Pengeluaran expenditure atau spending pemerintah daerah yang tidak terkendali yang bersumber dari PAD, Dana Perimbangan ataupun pinjaman daerah Dalam Negeri maupun Luar Negeri sehingga mengakibatkan defisit yang berlebihan, akan berdampak kepada kondisi stabilitas makro ekonomi. Dalam pengertian ini, pemerintah harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sedemikian rupa dengan berbagai program pembangunan yang diarahkan kepada sektor-sektor produktif di daerah. Pembiayaan pembangunan harus betul-betul diarahkan kepada sektor-sektor yang secara langsung mampu mendorong terciptanya kegiatan produktif masyarakat, penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, serta penciptaan lapangan pekerjaan yang baru; dengan tetap memperhatikan sektor-sektor lainnya yang secara langsung dapat menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, penyediaan sumber-sumber produksi dan sebagainya. Kita sadari bahwa dalam kondisi dewasa ini, perekonomian daerah yang pada umumnya masih mengandalkan kepada sektor pertanian dirasakan sudah kurang mampu menghasilkan tingkat produktivitas ekonomi yang tinggi. Kondisi ini berbeda Universitas Sumatera Utara dengan struktur perekonomian nasional yang telah cenderung di dominasi oleh produktivitas sektor sekunder, yaitu sektor perindustrian bersama-sama sektor jasa- jasa. Memang, dalam periode krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1997- 1998 yang lalu, perekonomian daerah cenderung bertahan justru karena sektor pertanian tidak terkena dampaknya. Dengan semakin luasnya otonomi daerah yang dapat diselenggarakan di daerah, maka pemerintah daerah harus memiliki inisiatif dan kreatifitas yang lebih baik lagi dalam memberikan insentif bagi pertumbuhan kemandirian ekonomi daerah. Namun demikian, hendaknya pemerintah daerah tidak terjebak kepada opsi kebijakan yang cenderung terlalu bersifat redistributif, dengan mengobral subsidi ataupun bantuan-bantuan sosial ekonomi yang tidak mendidik masyarakat untuk produktif dan memiliki daya saing. Sebaliknya, masyarakat juga sebaiknya jangan selalu mengharapkan bahwa pemerintah daerah akan datang memberikan paket-paket bantuan seperti itu, karena pada kenyataannya kemampuan daerah sangat terbatas. Jika kita perhatikan, kontribusi pengeluaran pemerintah daerah dalam PDRB secara umum hanyalah berkisar antara 10 hingga 20 dari total PDRB daerah. Ini berarti peranan ekonomi pemerintah sendiri dalam perekonomian daerah adalah relatif rendah. Namun yang terpenting adalah seberapa jauh program pembelanjaan anggaran daerah dapat memberikan efek penggandaan Multiplier Effect yang cukup signifikan bagi terciptanya peningkatan pertumbuhan ekonomi produktif masyarakat. Oleh karena itu strategi dasar yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan otonomi yang berlaku, dampaknya adalah menciptakan efisiensi ekonomis dan efektivitas program-program pembelanjaan daerah. Universitas Sumatera Utara

2.2 Penelitian Terdahulu

Dalam bagian ini memuat berbagai penelitian yang telah dilakukan peneliti lain, dan permasalahan yang diangkat juga pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yang mendasari pemikiran penulis dalam penyusunan skripsi ini, seperti oleh beberapa penelitian yang terdahulu yang dijadikan kajian pustaka yaitu penelitian dari: Alisjahbana dan Akita 2002, melakukan studi tentang kesenjangan pendapatan regional dengan membandingkan Cina dan Indonesia, dan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesenjangan selama krisis ekonomi. Kim 1996, dengan penelitian di Korea menjelaskan bahwa sektor publik lokal mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea selama periode 1970-1991. Knowles 2002 dengan menggunakan model pertumbuhan Barro, menjelaskan bahwa tidak ada bukti yang signifikan hubungan antara inequality dan pertumbuhan ekonomi. Yilmaz 2002, meneliti bagaimana pola dan struktur perekonomian cenderung konvergen atau divergen. Hasilnya menjelaskan bahwa perbedaan wilayah dan perilaku temporal dari perekonomian nasional mempunyai efek terhadap kecepatan kondisi konvergensi. Ying 2000 melakukan penelitian di Cina tentang kesenjangan regional di 30 propinsi di Cina periode tahun 1978-1994. Kuncoro 2002, dengan menggunakan indeks Entropy Theil, menjelaskan bahwa kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 1983 mendorong kecenderungan konsentrasi geografis di Indonesia. Martin dan Ottaviano 2001, menyebutkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan aglomerasi. Bahwa kenaikan pertumbuhan urbanisasi, tetapi juga karena adanya pengelompokan industri secara parsial terhadap pertumbuhan, untuk 16 negara di Eropa selama periode 1984-1995. Hasilnya menjelaskan bahwa persebaran yang sama untuk kegiatan ekonomi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Universitas Sumatera Utara