Pengertian dan Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan.
undang tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah di Indonesia.
3
Dalam Undang- undang No. 22 Tahun 1946 ditetapkan bahwa nikah adalah sah apabila dilakukan
menurut agama Islam yang diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya.
4
Pencatatan perkawinan kemudian diatur lebih lanjut pada Undang-undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 2 ayat 2:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
”.
5
Sedangkan dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
dengan pencatatan peristiwa-perisiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi
yang dimuat dalam daftar pencatatan.
6
Selanjutnya dalam BAB II Pasal 2 sampai pasal 9 PP No.9 Tahun 1975 dijelaskan tentang pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut dilengkapi
dengan berbagai perundangan lainnya yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
7
Dalam PP No.9 Tahun 1975 dalam pasal 2 menyebutkan bahwa, pencatatan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
3
Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum Jakarta: Pradnya Paramitha, 2000, h.70
4
Undang-undang No.22 Tahun 1946 Pasal 11 ayat 1
5
Djaja S Mailala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Hukum Orang dan Hukum Keluarga Bandung: Nuansa Aulia, 2007, h 44-45
6
Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. h. 33
7
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Jakarta: Tinta Mas,1995, h.5
Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.32 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yaitu
Kantor Urusan Agama setempat daerah dimana perkawinan dilaksanakan dan selain yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN di kantor
catatan sipil.
8
Kompilasi Hukum Islam memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut:
1 Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, perkawinan
harus dicatat. 2
Pencatatan perkawinan tersebut pada pasal 1 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah PPN sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946
Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk jo. Undang-undang No.32 Tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Selanjutnya pada Pasal 6 dijelaskan : 1
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5 setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan pencatatan nikah.
2 Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
9
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia Jakarta: Ghalia Indonesia,1976, h.75
9
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Akademika Pressindo,2007, cet-5. h. 68
Pencatatan perkawinan dalam Undang-undang No 24 Tahun 2013 perubahan atas Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan
mengatur tata cara dan tata laksana pencatatan peristiwa penting atau pencatatan sipil yang dialami oleh setiap penduduk Republik Indonesia, dimana maksud dari
peristiwa penting menurut pasal 1 angka 17 adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan. Pencatatan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam
dalam pasal 8 Undang-undang No.23 Tahun 2006 menentukan, bahwa kewajiban instansi Pelaksana untuk pencatat nikah, talak, cerai dan rujuk, bagi penduduk yang
beragama Islam dalam tingkatan kecamatan dilakukan oeh pegawai pencatat pada Kantor Urusan Agama KUA kecamatan.
10