Proses komunikasi lintas budaya mantan Au pair Indonesia dengan keluarga angkat

Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian hasil penelitian kepada delapan orang informan yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti akan menjabarkan hal-hal yang peneliti dapatkan dengan menggunakan teknik analisis data oleh Miles dan Huberman, yaitu mereduksi data dengan cara merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan hal yang penting untuk penelitian dan disajikan ke dalam bentuk narasi serta sesuai dengan pembahasan awal penelitian. Setelah disajikan, data tersebut diambil kesimpulan untuk menjawab fenomena inti yang sedang diteliti ini. Hasil penelitian kemudian disajikan dalam pembahasan yang didukung dengan teori dan kemudian akan dianalisis untuk mengetahui “Bagaimanakah proses komunikasi lintas budaya mantan Au pair Indonesia dengan keluarga angkat selama berada di Je rman.”

4.3.1. Proses komunikasi lintas budaya mantan Au pair Indonesia dengan keluarga angkat

Dalam teori komunikasi antarbudaya, komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda ras, etnis, sosio ekonomi atau gabungan dari semua perbedaan ini. Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari satu atau gabungan dari semua perbedaan ini. Proses komunikasi yang terjadi sangat memperngaruhi bagaimana seorang Au pair memahami dan memaknai pesan yang disampaikan dalam komunikasi tersebut. Au pair bisa dikatakan juga sebagai seorang migran, merujuk pada pengertian migran dalam kamus besar bahasa Indonesia dan Cambridge dictionary online bahwa migran adalah seseorang yang melakukan perjalanan ke negara lain dalam waktu tertentu untuk bekerja. Melalui komunikasi para migran yang datang ke suatu wilayah tertentu memperoleh pola-pola budaya yang ada di wilayah tersebut. Lewat komunikasi juga para pendatang akan memahami, mengidentifikasi dan menginternalisasi lambang-lambang yang berlaku baik dari segi bahasa, struktur sosial masyarakat dan lain sebagainya. Dalam proses identifikasi, para migran biasanya mengalami Trial dan error dalam interaksinya, baik dalam hal bahasa, simbo-simbol non verbal, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara perbedaan dan pengaturan ruang serta jarak antar pribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gesture tubuh lainnya. Melalui interaksi dengan orang setempat yang di mana memiliki kebudayaan yang bebeda juga akan mempengaruhi cara pandang atau persepsi para migran dalam memaknai, menilai dan mempelajari budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Secara umum kultur masyarakat tempatan akan lebih kuat pengaruhnya terhadap kultur pendatang. Hal ini dianggap wajar sebab kultur yang ada di di dalam suatu lingkungan bersifat mengikat dan sudah mendarah daging di dalam komunitasnya sejak zaman nenek moyang mereka dan sudah diwariskan secara turun-temurun. Kultur tersebut telah menjadi jati diri bagi para penduduk asal dan biasanya berlaku dominan terhadap budaya lain yang masuk, sehingga secara sadar atau tidak, secara bertahap para pendatang harus mengenali dan mempelajari kebudayaan yang berlaku dan mencoba mengadopsinya dalam segala aspek baik segi nilai-nilai, cara berperilaku, norma sosial dan lain-lain. Pengunjung sementara sojourners dan seseorang yang memutuskan untuk tinggal secara permanen settlers memiliki perhatian terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain yang berbeda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojouners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun Samovar dan Porter, 2007: 334. Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki.Reaksi yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi dalam Samovar dan Porter, 2007: 335 antara lain: 1. antagonis memusuhi terhadap lingkungan baru. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 2. rasa kehilangan arah 3. rasa penolakan 4. gangguan lambung dan sakit kepala 5. homesick rindu pada rumah lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga 7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri 9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan melewati 4 empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve. 1. Fase optimistik Optimistic Phase, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru

2. Fase Masalah Kultural Cultural Problems, fase kedua dimana masalah dengan

lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. 3. Fase Kesembuhan Recovery Phase, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. Universitas Sumatera Utara