xxxviii
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Konsep dan Ciri Partisipasi
Peringatan hari-hari bersejarah dapat dipandang sebagai program yang mengisi dimensi pembangunan perkotaan. Peran serta masyarakat harus dilibatkan
sejak tingkat perencanaan. Mekanisme pembangunan merupakan perpaduan yang serasi antar kegiatan pemerintah dan partisipasi masyarakat.
Kieth Davis sebagaimana disitir oleh Tjokrowinoto, mengartikan partisipasi sebagai kegiatan mental serta emosi seseorang dalam suatu situasi kelompok, yang
mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan, bagi tercapainya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi tersebut
Kutoyo, 1981. Teague 2000 berdasarkan model Social Constructivism mengemukakan:
pengetahuan nilai dikonstruksi melalui interaksi sosial dan hasil dari proses sosial. Realitas dibentuk oleh suatu konsensus sosial. Untuk itu
partisipan harus terlibat dalam beberapa bentuk interaksi bagi pengetahuan nilai yang dikonstruksikan. Partisipan harus hadir
menggunakan beberapa bentuk interaksi dengan menggunakan bahasa atau tindakan. Dalam transaksi parisipan merundingkan suatu makna. Jadi
produk dibentuk dari hasil interaksi antar partisipan
xxxix Pendapat di atas menempatkan pentingnya partisipan dan interaksinya dalam suatu
aktivitas bersama. Hanya dengan cara itu akan dapat diperoleh pengetahuan dan nilai- nilai tertentu.
Berkaitan dengan partisipasi sebagai sifat khas pribadi yang berbuat bersama dengan pribadi lain, Djajaatmadja 1987: 70 mengemukakan:
Dengan berpartisipasi dalam perbuatan bersama dengan pribadi lain, pribadi menikmati nilai perbuatan bersama dan sekaligus nilai
kepribadian perbuatannya sendiri. Adapun dasar khas partisipasi ialah transendensi pribadi yang merupakan sifat khas pribadi. Oleh sebab itu
partisipasi adalah sifat khas pribadi. Dengan pengertian khas partisipasi kita mencapai dasar perbuatan bersama dengan orang lain. Jadi partisipasi
menunjuk pada segi istimewa dari pribadi sendiri. Partisipasi masyarakat menyangkut 2 tipe berbeda, yaitu partisipasi dalam
aktivitas bersama, dan partisipasi sebagai individu di luar aktivias bersama Koentjaraningrat, 1984. Pada tipe pertama, masyarakat diajak, dipersuasi,
diperintah, atau dipaksa oleh pimpinan formal atau informal untuk berpatisipasi menyumbangkan tenaga atau hartanya. Pada tipe kedua, partisipan tidak dipaksa
berpatisipasi, sebab tidak ada proyek bersama yang khusus, tetapi atas kemauan dan kesadaran sendiri.
Para pimpinan formal maupun informal merupakan penentu partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan, yang dipandang memiliki
keunggulan dan pengaruh tertentu terhadap masyarakatnya. Dalam era otonomi
xl daerah dewasa ini, keunggulan itu terutama karena faktor politik, bisnis dan
pendidikan. Seseorang dianggap sebagai pemimpin, terkait dengan posisinya sebagai ketua partai, kepala daerah, ketua atau anggota legislatif. Keunggulan bisnis yang
mempengaruhi politik dan kekuasaan, juga memunculkan seseorang menjadi pemimpin. Sementarta faktor pendidikan berimplikasi pada pola rekrutmen
seseorang dalam jabatan tertentu. Pemuka masyarakat tidak saja dipandang sebagai pemimpin di dalam arti
formal, tetapi sekaligus juga dipandang sebagai “Bapak” oleh masyarakatnya. Sebagai “Bapak”, maka hubungan antara pemuka masyarakat dengan anggota
masyarakat lebih diikat dan dipersatukan dalam suasana emosional daripada formal. Hubungan semacam ini tampak sebagai suatu ikatan primordial dimana unsur-
unsur kesetiaan, penghormatan, panutan, rasa tunduk dan mengiyakan, menjelma dalam berbagai sikap dan perilaku di kalangan masyarakat tertentu. Di sini,
mentalitas paternalistik masih mewarnai kehidupan. Niels Mulder 1973:41 menyatakan.
Rasa setia yang kuat kepada keluarga, kelompok-kelompok kecil, dan kelompok perlindungan patronage group = bapak beserta anak buahnya
dengan menekankan keluwesan hubungan antarpribadi, namun di luar itu individu sering memperlihatkan kelemahan moral yang menonjolkan
individualisme yang serakah Rahardjo dalam Kutoyo. 1981:12 melihat pemuka masyarakat sebagai
pengenal ide-ide baru, serta sebagai opinion leader. Tidak dapat disangkal bahwa
xli elite paling menentukan partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Akan tetapi
karena adanya ikatan primordial yang secara tradisional memang telah berakar dalam kehidupan masyarakat, maka partisipasi itu lebih didorong oleh keterikatan
emosionalnya terhadap pemimpin daripada kesadaran akan objek partisipasinya. Kelihatan masyarakat bergairah melaksanakan anjuran, namun demi kepentingan
“Bapak”. Jadi keseimbangan tatanan primordial dipertahankan dalam sikap dan tindakan. Pendidikan kesadaran sejarah melalui peringatan hari bersejarah, dapat
meminimalkan kohesitas ikatan primordial sempit tersebut. Pembinaan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam program
pembangunan, tidak dapat dilepaskan dari manfaat yang dapat dirasakan dari program yang bersangkutan. Dorothy Nelkin menyatakan bahwa keanekaragaman bentuk
partisipasi masyarakat banyak ditentukan oleh nilai lebih yang ingin dicapai.
2. Konsep dan Komponen Persepsi