Latar Belakang dan Tujuan Festival Malang Tempo Doeloe .

cxviii

B. Sajian Data

1. Latar Belakang dan Tujuan Festival Malang Tempo Doeloe .

Sejarah wilayah Malang sejak masa kuno, mewariskan jejak-jejak sejarah dan budaya yang tersebar di tiga daerah administratif dalam wilayah Malang. Jejak-jejak sejarah dalam pelbagai macam peninggalan sejarah merupakan bukti-bukti dari perjalanan sejarah. Ada pelbagai macam peninggalan purbakala, sejarah, dan budaya. Secara intrinsink jejak-jejak tempo dulu tersebut, merupakan sejarah lokal yang mengandung data-data sejarah dan budaya, sehingga memiliki potensi, antara lain potensi di bidang pendidikan dan pembelajaran bagi generasi berikutnya. Jejak-jejak sejarah yang memuat data-data sejarah Malang tempo dulu, berasal dari masa kuno, kolonial dan modern. Dari masa kuno, ada beberapa situs antara lain candi Badut, candi Songgoriti, candi Singosari, candi Jago, candi Kidal. Dari masa Islam, antara lain situs makam Gribik dan masjid Jamik. Dari masa kolonial, antara lain tata-kota kolonial dengan infrastrukturnya,. bangunan berlanggam Indies berupa bangunan kantor, sekolah, rumah sakit, hotel, toko, pabrik, objek wisata, perumahan. Dari masa modern, antara lain ada persenjataan, kendaraan dinas dan pribadi, monumen, dan makam pahlawan. Selain itu, terdapat pelbagai peninggalan tertulis seperti kakawin susastra, tinggalan arsip dokumen, majalahkoran, dan sebagainya. cxix Jejak-jejak budaya materi di Malang, ada dalam bidang mata pencaharian, kerajinan, bahasa, dan kesenian. Di bidang mata pencaharian, sektor pertanian sawah dan perkebunan, mewariskan tradisi berproduksi dan peralatan yang digunakan. Di bidang kerajinan, antara lain ada kerajinan gerabah, gula Jawa, batik Malangan, topeng Malangan, bubut kayu, dan tikar Mendong. Di bidang bahasa, ada bahasa walikan khas Malang osob kiwalan kera Ngalam. Bahasa yang diciptakan oleh seorang pejuang bernama Suyudi Raharno ini digunakan sebagai sandi untuk mengelabui mata-mata Belanda Dukut Imam Widodo, 2006b: 166. Di bidang kesenian, ada teater tradisional, antara lain ludruk, ketoprak, pelbagai macam wayang, dan pelbagai macam kuliner tradisional. Komprehensivitas khazanah sejarah dan budaya Malang tempo dulu, telah menarik perhatian masyarakat dari kalangan tertentu. Di kalangan komunitas akademis, sejarah dan budaya Malang menjadi ajang studi dan telah menghasilkan beberapa karya ilmiah. Misalnya, dari mahasiswa jurusan Sejarah lahir beberapa karya skripsi, dari dosen lahir beberapa karya penelitian dan penulisan tesisdisertasi. Dari peminat sejarah dan budaya Malang, lahir karya buku, seperti Dukut Imam Widodo menulis buku Malang Tempo Doeloe dua jilid, yang diterbitkan tahun 2006 oleh Bayumedia Publishing pengamatan di Laboratorium Sejarah, 2 Nopember 2009 . Di jenjang pendidikan sekolah, materi sejarah, seni dan budaya Malang kurang bahkan tidak mendapat ruang dalam pembelajaran berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP di tiap sekolah. Sejarah dan budaya lokal Malang cxx belum diadopsi sebagai muatan lokal. Jika ada, hanya disinggung satu kali dan atau sepintas. Misalnya, menurut siswa yang bernama Silka Yuanti Draditaswari, sejarah Malang masa kuno khususnya kerajaan Singosari diajarkan sebagai bagian sejarah nasional, sedangkan sejarah Malang masa kolonial dan modern di Malang tidak diajarkan. Demikian pula seni topeng Malang tidak dijelaskan, tetapi jika ada hanya disinggung sepintas sebagai contoh kesenian dalam mata pelajaran Anthropologi di SMA 9 wawancara tanggal 19 September 2009. Hal ini kontradiktif dengan filosofi KTSP yang menuntut siswa belajar mulai dan atau mendayagunakan potensi sumber belajar dari lingkungan terdekatnya. Di kalangan masyarakat luas di Malang, terjadi fenomena “kekosongan” pengetahuan sejarah dan budaya daerahnya. Dalam hal ini meskipun sejarah, seni dan budaya memiliki nilai-nilai luhur, tetapi masyarakat pada umumnya kurang mengetahui sejarahnya, keseniannya, maupun makanan tradisionalnya. Demikian pula, menurut Eva Nordiana masyarakat tidak mengetahui sejarah Kota Malang wawancara tanggal 24 Mei 2009. Pandangan yang relatif sama juga berasal dari Dwi Cahyono Ketua Yayasan Inggil Malang yang berpendapat bahwa masyarakat umum di Malang banyak yang kurang peduli pada sejarah dan budaya Malang. Pengetahuan sejarah dan budaya tentang kotanya masih rendah, sehingga tidak bangga terhadap masa lalunya. wawancara tanggal 24 Pebruairi 2010. Hal ini didukung oleh Khalid Ari yang menyatakan Dwi Cahyono mengatakan banyak bangunan sejarah di kota Malang yang telah dibongkar. Akibatnya banyak orang cxxi Malang lupa dan tidak tahu bangunan-bangunan sejarah yang ada di kotanya.. Sebenarnya, Malang sarat dengan sejarah wawancara tanggal 08 Oktober 2009. Apresiasi kesejarahan masyarakat Malang secara umum memprihatinkan, dan kenyataan ini berbanding terbalik dengan kekayaan warisan sejarah dan budaya yang dimiliki oleh daerah Malang. Di tengah kondisi demikian, masih ada pihak yang memiliki kepedulian bahkan tanggungjawab, untuk terus mencari cara-cara efektif menyebarluaskan informasi sejarah dan budaya kepada masyarakat luas. Upaya ini datang dari walikota Malang, sebagaimana dikemukakan Eva Nordiana semua benda sejarah, seni dan budaya memiliki nilai-nilai luhur, tetapi masyarakat pada umumnya kurang mengetahuinya. Demikian pula, masyarakat tidak mengetahui sejarah terbentuknya Kota Malang. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan pengenalan dan pemahaman warisan Malang tempo dulu wawancara 24 Mei 2009 . Pendapat senada dikemukakan Dwi Cahyono bahwa keprihatinan ini justru mencuatkan keinginan untuk terus mencari bagaimana cara yang efektif menyebarluaskan informasi tempo dulu mengenai Malang, sehingga masyarakat bangga dan cinta pada sejarah dan budaya daerahnya wawancara tanggal 24 Pebruari 2010. Kondisi kesejarahan masyarakat Malang yang memprihatinkan, dan kepedulian walikota dan ketua Yayasan Inggil, pada hakikatnya melatarbelakangi gagasan perlunya digalakkan penyebarluasan informasi sejarah, seni dan budaya Malang secara langsung kepada masyarakat. Gagasan walikota dapat dipahami karena merupakan bagian integral dari tugasnya di bidang eksekutif. Sedangkan gagasan Dwi Cahyono, menarik ditelusuri terkait dengan minatnya pada sejarah, seni cxxii dan budaya Malang, sampai obsesinya menggarap suatu festival berbasis sejarah, seni dan budaya Malang. Mengenai minat awalnya terhadap sejarah, seni dan budaya Dwi Cahyono mengemukakan hal ini sudah tertanam sejak kecil. Minat tersebut semakin kuat sejak mengunjungi suatu museum di Australia. Pada waktu itu muncul perasaan iri terhadap orang Australia yang justru bangga mengoleksi dan memamerkan benda sejarah dan budaya dari Indonesia, di suatu museum yang ada di sana. Di Malang menemukan kenyataan yang sangat berbeda, meskipun daerah ini memiliki kekayaan benda sejarah, seni dan budaya wawancara tanggal 24 Pebruari 2010 Kegundahannya terhadap fenomena rendahnya apresiasi masyarakat mendorongnya lebih giat menyalurkan hobinya, dengan berbuat lebih realistik, sebagaimana dikemukakan Dwi Cahyono sebagai berikut: merintis pengumpulan dan sekaligus mengoleksi benda sejarah, seni dan budaya Malang sejak tahun 1986. Semuanya dipamerkan di rumah makan Cahyaningrat jalan Sukarno-Hatta Malang. Namun mendapat kritikan, mengingat pengumpulan dan koleksi benda cagar budaya adalah tugas pemerintah. Oleh sebab itu, beberapa benda koleksi diserahkan kepada pemerintah untuk disimpan di balai penyelamatan benda sejarah wawancara tanggal 24 Pebruari 2010. Meskipun demikian, minat dan kecintaan Dwi Cahyono terhadap benda sejarah, seni dan budaya tidak memudar. Terbukti hobinya masih berlanjut dengan mengoleksi dan memamerkan benda sejarah, seni dan budaya tentang Malang dan sekitarnya. Hanya saja, koleksinya sekarang pada umumnya berbentuk replikamodel, cxxiii gambar foto, benda seni dan budaya, yang berada di luar ranah kewenangan pemerintah. Koleksi-koleksi ini dipamerkan di rumah makan Inggil pengamatan tanggal 6 Pebruari 2009. Mengenai koleksi benda sejarah, seni dan budaya yang dipamerkan di rumah makan Inggil, dalam kaitannya dengan gagasan Festival Malang Tempo Doeloe, Dwi Cahyono menganggap koleksi yang dipamerkan cukup efektif diketahui dan diminati di kalangan pegunjung rumah makan. Di sisi lain menimbulkan permasalahan, karena dianggap belum efektif menjangkau kalangan masyarakat luas. Permasalahan inilah yang melahirkan gagasan penyebarluasan informasi sejarah, seni dan budaya Malang tempo dulu, dalam bentuk festival. Bertalian dengan mengapa bentuk festival yang dipilih untuk mesosialisasikan sejarah, seni dan budaya Malang tempo dulu, pemkot Malang melalui Eva Nordiana menyatakan festival ini merupakan gagasan dari Walikota Malang, yang sering dikemukakan dalam pelbagai pertemuan wawancara tanggal 24 Mei 2009. Sedangkan Dwi Cahyono memberi argumentasi, melalui festival, memungkinkan segenap lapisan masyarakat Malang secara langsung mengenal secara lengkap pelbagai dimensi sejarah, seni dan budaya Malang tempo dulu. Dalam festival tidak hanya mengenal, tetapi sekaligus akan terjadi proses pembelajaran pada masyarakat secara menyenangkan, dan tanpa paksaan. Untuk kepentingan itu, konsep dan setting festival dipersiapkan dengan serius, agar mendekatkan masyarakat pada kondisi Malang tempo dulu. Bertalian dengan konsep dan setting festival, Khalid Ari menamakan konsep “museum berjalan”. Yang dimaksud adalah festival ini selalu cxxiv berubah-berubah, misalnya pada tema, disain, dan lain-lain. Namun poerubahan itu tetap berbasis dari penggalian sejarah asli. Malang wawancara tanggal 24 Pebruari 2010 Mengenai nama festival, sebenarnya Yayasan Inggil mengintrodusir nama “Malang Kembali”. Mengenai nama ini Khalid Ari menjelaskan gagasan awalnya bernama “Malang Kembali”. Maksudnya kita kembali ke Malang dalam rangka mengenal Malang. Yang memunculkan nama itu adalah Pak Dwi Cahyono Ketua Yayasan Inggil, sehingga tidak ada hubungan dengan pemerintah. Pemerintah hanya mendukung, namun akhirnya pemerintah lebih mempopulerkan festival dengan nama Malang Tempo Doeloe. Festival diselenggarakan setiap tahun dengan tema yang berbeda tetap berbasis sejarah wawancara tanggal 24 Pebruari 2010. Sedangkan nama Malang Tempo Doeloe lebih akrab dan populer di kalangan masyarakat. Mengenai komunikasi awalnya dengan Pemkot Malang untuk melaksanakan festival, Dwi Cahyono selanjutnya menyatakan, melakukan audiensi dengan pihak pemkot, khususnya Walikota Malang. Dalam rangka penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas tentunya perlu dukungan dan keterlibatan optimal Pemkot Malang. Gagasan itu bukan verbal, tapi diwujudkan secara tertulis dalam suatu disain festival. Gagasan ini tidak langsung disetujui, tapi memerlukan beberapa kali pertemuan untuk meyakinkan. Sesudah beberapa kali pertemuan, barulah pemkot menerima gagasan ini wawancara tanggal 24 Pebruari 2010. Berdasarkan latar belakang penyelenggaraan festival yang diuraikan di atas, tujuan umum penyelenggaraan festival Malang Tempo Doeloe ialah cxxv menyebarluaskan informasi tentang sejarah, seni dan budaya Malang tempo dulu kepada segenap lapisan masyarakat. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Disbudpar Kota Malang, festival ini merupakan cerminan perkembangan suatu masyarakat dan kotanya, mengembalikan nilai khasanah budaya Malang yang sebenarnya dengan menengok jendela peradaban masa lampau untuk bercermin sebagai bekal menghadapi masa depan. Jadi tidak dimaksudkan untuk sekedar bernostalgia Buku Panduan Malang Tempo Dulu, tanpa tahun: 1. Sedangkan tujuan khusus festival ialah untuk mengerti dan memahami dengan benar sejarah terbentuknya Kota Malang yang pada akhirnya akan menumbuhkan kecintaan dan kepedulian terhadap masa depan Kota Malang Keputusan Walikota Malang, tanggal 18-3-2009. Dengan rumusan berbeda, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Disbudpar Kota Malang mengemukakan bahwa tujuannya adalah untuk mendukung warga Malang dalam melestarikan budaya dan aset bangunan yang memiliki nilai historis sangat berharga Buku Panduan Malang Tempo Dulu, tanpa tahun: 1. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Khalid Ari dari Yayasan Inggil, yang menyatakan tujuan festival untuk meningkatkan kesadaran warga Malang agar menjaga sejarah dan kebudayaan kota Malang sendiri wawancara tanggal 8 Oktober 2009. Oleh karena itu, festival diselenggarakan dalam rangka memperingati harijadi Kota Malang. cxxvi

2. Penyelenggaraan Festival Malang Tempo Doeloe