Pada umumnya penduduk di Kota Bogor terserap pada lapangan pekerjaan perdagangan dan jasa. Dengan rincian sebanyak 115 406 orang bekerja pada
lapangan pekerjaan perdagangan, rumah makan, dan hotel sedangkan pada lapangan pekerjaan jasa sebanyak 113 108 orang. Penduduk berumur 15 tahun ke
atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor ditampilkan pada Tabel 11.
Tabel 11 Penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin di Kota Bogor pada tahun 2010
Lapangan Usaha Laki-laki
Orang Perempuan
Orang Jumlah
Orang Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
5 213 985
6 198 Industri Pengolahan
50 943 16 731
67 674 Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel
68 629 46 777
115 406 Jasa Kemasyarakatan
64 001 49 097
113 108 Lainnya
72 734 7 991
80 725 Jumlah
261 530 121 581
383 111 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor, diolah 2010
5.3 Perindustrian dan Perdagangan
Pembangunan pada sektor industri difokuskan pada terciptanya struktur ekonomi yang kuat dan berimbang sehingga dapat menjadi landasan pengembangan
ekonomi yang kuat dan mandiri. Kota Bogor mempunyai nilai investasi sebesar Rp 746.66 miliar. Investasi terbesar adalah industri tekstil kategori industri besar dan
menengah yang mencapai 28.74 dari total investasi, diikuti dengan industri minuman kategori industri besar dan menengah yang mencapai 15.72 terhadap
total investasi. Industri di Kota Bogor di dominasi oleh usaha mikro. Perusahaan yang paling banyak unit usahanya adalah jenis usaha makanan kategori usaha kecil
informal sebanyak 1 116 unit BPS Kota Bogor 2013. Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor ekonomi andalan di Kota
Bogor. Jumlah perusahaan perdagangan formal pada tahun 2012 sebanyak 342 perusahaan, yang terdiri atas 7 perusahaan besar dengan investasi di atas Rp 5
miliar, 49 unit perusahaan menengah investasi Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar dan 192 unit perusahaan kecil dengan investasi sebesar Rp 50 juta hingga Rp 500
juta. Selebihnya adalah perusahaan mikro dengan nilai investasi kurang dari Rp 50 juta BPS Kota Bogor 2013.
Pada tahun 2012 perdagangan melalui ekspor barang dan jasa mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan tahun 2011. Realisasi ekspor non migas
pada tahun 2012 tercatat sebesar US 151.86 juta atau mengalami penurunan sebesar 2.87 dibandingkan dengan tahun 2011. Ekspor non migas ini masih
didominasi oleh komoditas pakaian jadi sekitar US 74.19 juta atau 48.4 dari total ekspor BPS Kota Bogor 2013.
5.4 Karakteristik Responden dan Usaha
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 30 unit UMK sektor makanan dan minuman yang ada di Kota Bogor. Usaha mikro dan kecil sektor makanan dan
minuman tersebut tersebar di 6 kecamatan, sehingga setiap kecamatan ada UMK yang mewakilinya. Responden terdiri atas pemilik usaha pembuat tahu, usaha
pembuat manisan, usaha es krim, usaha pengolahan aci, usaha pengolah tempe dan beberapa jenis UMK lainnya. Responden ditentukan secara acak dan tidak terpaku
pada satu jenis usaha. Jumlah responden ditentukan melalui metode quota sampling
. Karakteristik pemilik usaha dalam penelitian ini, berdasarkan faktor sosial ekonomi usaha terdiri atas jenis kelamin, umur, alamat dan tingkat
pendidikan. Adapun untuk karakteristik usaha terdiri atas jenis usaha, lama usaha, status usaha, prospek usaha, dan tenaga kerja. Karakteristik pemilik usaha hasil
penelitian ditampilkan pada Tabel 12. Tabel 12 Karakteristik pemilik UMK sektor makanan dan minuman Kota Bogor
Karakteristik Keterangan
Jumlah Responden Orang Persentase
Jenis Kelamin Laki-laki
21 70
Perempuan 9
30 Usia
20-30 2
7 31-40
3 10
41-50 13
43 51-60
7 23
60 5
17 Pendidikan
Tidak Sekolah 2
7 Sekolah Dasar
20 67
SMP 4
13 SLTA
4 13
Sumber: Data Primer, diolah 2013
Berdasarkan karakteristik pemilik usaha, sebagian besar pemilik usaha berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 21 orang, dengan usia di antara 41-50
tahun. Hal ini menunjukkan tingkat kesiapan pemilik usaha dalam mendirikan
usaha. Pendidikan terakhir pemilik usaha bervariasi, namun yang paling banyak adalah responden dengan tingkat pendidikan sekolah dasar. Tingkat pendidikan
pemilik usaha dinilai masih rendah, karena dari 30 orang responden tidak ada satupun yang mencapai jenjang diploma ataupun sarjana sehingga dapat dinilai
bahwa tingkat pengetahuan pemilik usaha juga masih rendah. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan pemilik
usaha melalui pelatihan-pelatihan usaha. Karakteristik usaha yang diteliti dalam penelitian ini meliputi umur usaha,
awal kepemilikan usaha, prospek usaha, kepemilikan izin usaha, ketenagakerjaan dan bagaimana sistem produksi dijalankan. Karakteristik dari setiap UMK berbeda-
beda sesuai dengan jenis usahanya. Karakteristik usaha pada penelitian ini berdasarkan pada karakteristik 30 sampel yang diambil pada saat penelitian.
Karakteristik usaha pada peenelitian ini ditampilkan pada tabel 13. Tabel 13 Karakteristik usaha UMK sektor makanan dan minuman di Kota Bogor
Karakteristik Keterangan
Jumlah responden orang
Persentase Lama Usaha
1-10 10
33 11-20
13 44
21-30 3
10 31-40
3 10
40 1
3 Awal Kepemilikan Usaha
Merintis Sendiri 18
60 Turun Temurun
12 40
Kepemilikan izin Memiliki Izin
19 63
Tidak Memiliki Izin 11
37 Tenaga Kerja
Tenaga Kerja Bulanan 6
20 Tenaga Kerja Borongan
16 53
Tidak Memakai Tenaga Kerja di Luar Keluarga
8 27
Hubungan tenaga kerja Keluarga
11 37
Bukan Keluarga 19
63 Sistem produksi dijalankan
Persediaan Barang 22
73 Pesanan
8 27
Sumber: Data Primer, diolah 2013
Berdasarkan Tabel 13, sebagian besar UMK sektor makanan dan minuman di Kota Bogor sudah mengelola usahanya selama 1-20 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa UMK sektor makanan dan minuman sudah memasuki usai produktif dalam menjalankan usahanya dan usaha yang mereka jalankan memiliki prospek yang
bagus dan menguntungkan. Sebanyak 60 sampel UMK memulai usahanya dengan merintis sendiri, dan sebanyak 40 sampel UMK yang menjalankan
usahanya dari turun temurun. Proporsi UMK sektor makanan dan minuman yang
memiliki izin usaha sebanyak 63. Izin usaha tersebut diperoleh dari kelurahan ataupun dari Kantor Koperasi dan UKM Kota Bogor sedangkan UMK yang tidak
memiliki izin usaha sebesar 37. Beberapa kendala untuk mendapatkan perizinan disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan pemilik usaha akan peraturan perizinan.
Sistem ketenagakerjaan pada UMK biasanya dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja borongan. Tenaga kerja borongan terdiri atas beberapa orang dengan
sistem pemberian upah secara kolektif. Sebanyak 53 UMK menggunakan sistem tenaga kerja borongan, 20 lainnya menggunakan sistem upah bulanan dan
sebanyak 27 tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Usaha mikro dan kecil yang tidak menggunakan tenaga kerja dikarenakan beberapa faktor,
diantaranya adalah: 1 upah tenaga kerja yang tinggi, 2 skala produksi yang kecil, dan 3 rendahnya minat tenaga kerja terhadap usaha tersebut. Upah tenaga kerja
tinggi menyebabkan sebagian UMK tidak menggunakan tenaga kerja, hal ini disebabkan penggunaan tenaga kerja akan meningkatkan biaya produksi. Faktor
kedua karena skala produksi usaha kecil sehingga proses produksi dapat dikerjakan oleh tenaga kerja sendiri. Selain itu UMK tidak menggunakan tenaga kerja juga
disebabkan oleh rendahnya minat tenaga kerja terhadap usaha tersebut. Sistem produksi pada UMK dijalankan berdasarkan persediaan bahan baku
dan pesanan. Sebanyak 22 responden menjalankan sistem produksinya berdasarkan persediaan bahan baku. Persediaan bahan baku produksi sangat penting dalam
proses produksi sehingga harga dan jumlah bahan baku sangat mempengaruhi biaya produksi dalam UMK.
Jumlah UMK sektor makanan dan minuman yang mendapatkan bantuan dari pemerintah hanya sebesar 6. Usaha mikro dan kecil yang memperoleh bantuan
dari pemerintah merupakan UMK yang sering mengikuti program-program pemerintah. Bantuan yang diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
adalah berupa bantuan mesin setelah UMK tersebut mengajukan persyaratan pengajuan bantuan.