kelenteng akan senantiasa melindungi kawasan Pecinan dari segala mara bahaya
3
. Kawasan Pecinan Suryakencana yang merupakan kawasan perdagangan akan
dilindungi oleh Hok Tek Ceng Sin Dewa Bumi dan Kwan Sheng Tee Kun atau Kwan Kong
Dewa Perang dan Perdagangan.
Gambar 6. Orientasi Kawasan Kwa, 2008
5.2 Karakter Lanskap Pecinan Suryakencana
Kawasan Pecinan pada dasarnya terbentuk karena dua faktor, yaitu faktor politik berupa peraturan pemerintah lokal yang mengharuskan masyarakat
Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah tertentu agar lebih mudah diatur Wijkenstelsel, 1835-1915 beserta surat izin keluar atau masuk wilayah
Passenstelsel, 1863 dan faktor sosial berupa keinginan masyarakat Tionghoa
untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan saling membantu sebagai perantau di negeri orang Hindia Belanda.
Walaupun di tanah asalnya orang Tionghoa bertani. Tapi di Hindia Belanda berbeda, hal ini dikarenakan pemilikan tanah berada di tangan orang
3
Keterangan dari David Kwa 2008, pemerhati budaya Tionghoa Sungai Ciliwung
Kelenteng Hok Tek Bio
Gunung Gede
Sungai Cipakancilan
Gunung Salak
U
Tanpa Skala
pribumi, sedangkan orang Tionghoa sama sekali tidak diperbolehkan memiliki tanah. Kebebasan bergerak orang Tionghoa dihalangi oleh suatu sistem surat jalan
yang sangat mengekang, dan mereka tidak dapat dengan bebas bermukim di daerah pedalaman. Mereka juga tidak mempunyai kesempatan untuk mendapat
pendidikan yang layak sehingga tidak ada kesempatan untuk menduduki jabatan- jabatan pimpinan dalam masyarakat. Dengan demikian, sejak dulu orang
Tionghoa di Indonesia harus mencari nafkah di dalam bidang non-pertanian, yaitu dalam bidang perdagangan perantara dan pertukangan.
Berdasarkan hal tersebut, kawasan Pecinan Suryakencana merupakan lanskap pecinan perdagangan dan pemukiman. Ciri khas kawasan Pecinan
Suryakencana adalah bangunan rukonya yang berdempet rapat dengan chim-cay di dalamnya dan tidak adanya halaman pada bangunan. Pada Gambar 7 dapat
dilihat kawasan Pecinan pada tahun 1901 dengan bangunan berdempet rapat dibandingkan dengan kawasan lainnya
Gambar 7. Peta Kawasan Pecinan Suryakencana Tahun 1901 Sumber : www.kitlv.nl
U
Tanpa skala
Bangunan Keterangan :
5.3 Elemen Lanskap Pecinan Suryakencana
Elemen lanskap Pecinan Suryakencana merupakan susunan, bangunan, ruang ataupun elemen pendukung lainnya yang membentuk satu kesatuan suatu
kawasan Pecinan.
5.3.1 Rumah
Masyarakat Cina di kawasan ini terkotak-kotak dalam kelas sosial dan menempati hunian sesuai dengan kelas mereka Gambar 12. Golongan pedagang
berkumpul di sekitar Pasar Bogor, mereka menghuni ruko sewa dan rumah petak di balik ruko. Bentuk rumah mereka masih memiliki ciri khas Cina. Sementara
golongan elite cenderung menghuni bagian selatan. Rumah mereka biasanya mencirikan gaya hidup yang kebarat-baratan dengan bangunan berasitektur Indis
rumah tipe villa. Ciri khas rumah-rumah orang Tionghoa di kawasan ini adalah bentuk atap
pelana dengan dinding sopi-sopi Gambar 8, pola rumah yang berbentuk petak dalam satu atap Gambar 9, pola pintu Thiam Tang yang berderet dua di atas dan
satu di bawah Gambar 10, dan kadang-kadang tempat dupa hio di depan pintu .
Ruangan paling depan dari rumah selalu merupakan ruang tamu dan tempat meja abu.
Sebutan Indis sebenarnya berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Bangunan berarsitektur Indis sendiri
merupakan asimilasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat terutama Belanda dengan budaya Indonesia khususnya dari Jawa. Pengaruh budaya Barat
dapat terlihat dengan adanya telundak semacam teras yang lebar, hiasan diatas atap rumah, pilar-pilar besar, lampu-lampu gantung yang dipasang pada serambi
depan, pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan dan antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung
porselen Kompas, 2001.
Gambar 8. Sopi-sopi pada atap rumah Gambar 9. Rumah petak dalam satu
atap
Gambar 10. Thiam Tang
5.3.2 Rumah Toko
Sebagian besar masyarakat Cina bermata pencaharian sebagai pedagang oleh karena itu di kawasan ini juga banyak terdapat ruko yang sudah ada sejak
lama. Ruko secara terminologi diduga berasal dari dialek Hokkian, tiam-chu yang berarti rumah dan toko. Ruko tidak jarang dihuni sebuah keluarga besar yang
semua anggotanya turut terlibat peran dalam bisnis keluarga tersebut. Beberapa ruko juga memiliki sebuah altar leluhur atau meja abu yang
merupakan simbol kehadiran anggota keluarga yang telah tiada. Dengan demikian, ruko juga memiliki arti penting sebagai simbol status keluarga yang
terus dipelihara dan diturunkan ke generasi berikutnya. Ruangan depan atau lantai dasar biasa dipakai sebagai toko, sehingga meja abu selalu ditempatkan
dibelakangnya.
Ruko-ruko biasanya berdempetan rapat dan hampir tidak menyisakan lahan terbuka, memiliki muka yang sempit, sekitar empat sampai lima meter saja,
namun panjangnya bisa mencapai 30 meter lebih Gambar 11. Lazimnya memiliki satu hingga dua dan bahkan empat lantai yang ditujukan untuk
menampung aktivitas ekonomi sekaligus juga hunian. Hal ini dikompensasikan dengan keberadaan bagian tengah ruko yang terbuka ke langit chim-chay atau
sumur dalam. Sebelum abad ke-20, bagian tersebut memiliki fungsi sebagai tempat cuci,
penampungan air, memasak, makan, hingga berkumpul keluarga. Sayangnya pergeseran makna terhadap Chim-cay mengakibatkan Chim-cay menjadi terletak
di belakang rumah. Chim-cay di Bogor berbeda dengan ruko di kota lain, karena ditutup atap khusus yang dinaikkan sehingga tetap mempunyai akses terhadap
udara luar dan sinar matahari, namun tetap terlindung dari curah hujan yang tinggi. Hal ini membuktikan bahwa ruko di Kota Bogor adaptif terhadap iklim
Bogor
Gambar 11. Rumah Toko
Gambar 12. Kelas Sosial Kawasan Pecinan Suryakencana Jalan Roda
Kampung Cincau
5.3.3 Kelenteng
Istilah kelenteng sebenarnya berasal dari istilah asli Indonesia. Istilah ini diambil dari suara yang terdengar dari bangunan suci tersebut ketika sedang
menyelanggarakan upacara sembahyang yang berbunyi klinting-klinting atau jika genta besar berbunyi klonteng-klonteng. Kemudian untuk memudahkan penamaan
bangunan ini, maka disebutlah dengan istilah kelenteng Moerthiko,1980. Ada
juga istilah lainnya untuk menyebut bangunan ini, yaitu bio atau miao.
Dalam setiap perkampungan Tionghoa, selalu ditemukan satu atau dua kelenteng. Besar kecilnya sebuah kuil tergantung pada kekuatan dari umatnya
untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaannya Pada kawasan Pecinan Suryakencana, terdapat satu kelenteng yang paling terkenal, yaitu Kelenteng Hok
Tek Bio Vihara Dhanagun. Posisi Kelenteng berada tepat di sebelah Bogor Plaza,
dengan Kebun Raya Bogor di sebelah utaranya. Gambar 13 menunjukkan Kelenteng Hok Tek Bio tahun 1870, sedangkan Gambar 14 menunjukkan
Kelenteng Hok Tek Bio dan lingkungan sekitarnya tahun 2008.
Gambar 13. Kelenteng Hok Tek Bio Gambar 14. Kelenteng Hok Tek Bio tahun 1870 Sumber : www.kitlv.nl tahun 2008.
5.3.4 Jalan
Umumnya, di setiap kawasan Pecinan, selalu terdapat jalan utama dan jalan kecil dengan gang diluar jalan utama Tan, 2008. Hal ini juga dapat terlihat
di kawasan Pecinan Suryakencana. Jalan Suryakencana adalah jalan utama, dicirikan dengan banyaknya rumah toko yang berderet rapat disepanjang jalan.
Sementara Jalan Roda, Lawang Seketeng, Pedati, Kampung Cincau dan Padasuka
adalah jalan kecil diluar jalan utama yang dicirikan dengan deretan pemukiman kecil Gambar 15
Gambar 15. Pembagian Jalan Kawasan Pecinan
5.4 Elemen Lanskap Sejarah