29
2.3 Sejarah Jalan dan Jembatan di Indonesia
2.3.1 Awal Pembangunan Jalan dan Jembatan di Indonesia
Perkembangan pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia berawal pada tahun 1800-an, khususnya setelah terjadi peralihan kekuasaan dari VOC ke tangan
kerajaan Belanda. Kendaraan yang ditarik hewan telah lebih dahulu digunakan sebagai alat transportasi. Sarananya adalah kereta yang ditarik dengan kuda atau
sapi yang dimanfaatkan untuk mengangkut hasil bumi. Atau ekstrimnya untuk mengangkut upeti sebagai persembahan kepada raja, dan kondisi ini sudah
diketahui jauh sebelum kedatangan orang asing khusunya dari Barat. Sedangkan jembatan dibangun pada tahun 1900-an dimana jembatan yang dibangun masih
dalam keadaan sangat sederhana sekali yaitu sebagai sarana penyebrangan melewati sungai.
Berdasarkan catatan, sebagian besar jaringan jalan di Indonesia dibangun pada zaman pemerintahan jajahan kolonial Belanda, yaitu antara akhir abad ke-
16 dan awal abad ke-20. jalan Jakarta-Tangerang dan Jakarta-Bogor tercatat sebagai jalan pertama yang dibangun yaitu pada abad ke-17. Tahun 1808, pada
saat awal kekuasaannya Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels 1808- 1811 memerintahkan pembuatan jalan raya yang dirancang untuk
menyambungkan daerah-daerah di pulau Jawa. Dengan terbangunnya jalan tersebut, pengembangan jaringan jalan dari Anyer hingga Panarukan menjadi
lebih mudah dan jalan tersebut diperuntukkan bagi masalah pertahanan. Sebanyak kurang lebih 30.000 orang pekerja menjadi korban meninggal karena sistem kerja
Universitas Sumatera Utara
30
paksa verplichte diensten yang diterapkan. Jalan sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer tersebut dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Jalan Raya Pos Groote Postweg dibangun dengan rute Bogor, Cipanas, Bandung, Sumedang, Karang Sambung Cirebon, Surabaya hingga kota
Banyuwangi. Pembangunan jalan tersebut telah sangat membantu memperpendek waktu perjalanan. Perjalanan yang sebelumnya membutuhkan waktu hingga 3
minggu dapat ditempuh hanya dalam waktu 5 hingga 10 hari. Pembangunan jalan dilanjutkan dengan membuat jalan ke daerah
pedalaman dari jalan poros tersebut, yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Standford Raffles 1811-1816.
Pembangunan dilanjutkan pada masa J van der Bosch dengan menerapkan model tanam paksa culture stelsel, yang dimanfaatkan untuk mengangkut hasil
perkebunan. Jalan tersebut dibangun untuk menghubungkan perkebunan dnegan titik distribusinya. Di samping itu jalan juga dibuat untuk kepentingan militer atau
sistem pertahanan seperti pada masa perlawanan oleh Tuanku Imam Bonjol. Demi kepentingan militer dan eksploitasi hasil bumi, beberapa segmen
jalan juga dibangun. Pada tahun 1873 dibangun jalan utara-selatan, antara lain jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur dan jalur Bandung-Ciamis-Majenang-Ajibarang-
Purworejo-Yogyakarta-Sala-Ngawi-Caruban. Jalan ini terus dilanjutkan hingga mencapai Surabaya. Lompatan besar terjadi pada tahun 1911 dengan dibangunnya
untuk pertama kali rencana induk master plan jaringan jalan di Pulau Jawa. Pola jaringan tersebut terdiri atas:
a. Jalan primer utara anyer-Jakarta-Semarang-Rembang-Ngawi-Surabaya.
Universitas Sumatera Utara
31
b. Jalan primer selatan Jakarta-Surabaya yang dibangun di melalui kota-kota di
daerah selatan. c.
Arteri timur Surabaya-Probolinggo-Klakah-Jember-Banyuwangi. Jalan kolektor Kerawang-Padalarang, Cirebon-Bandung, Tegal-Wangon-Cilacap,
Semarang-Solo dan Cepu-Ngawi.
Di luar pulau Jawa, pada tahun 1913-1914 mulai dilaksanakan di Sumatera dan daerah Provinsi Aceh survey untuk merencanakan induk jaringan jalannya.
Oleh Ir. S. Hotman van der Heide. Pada awal 1900-an pembangunan jalan cenderung tidak lagi ditujukan kepada kepentingan militer, tetapi sudah berubah
orientasinya kepada kepentingan ekonomi. Tercatat juga pada tahun 1917 pembangunan jalan dilaksanakan di luar Pulau Jawa, yaitu jaringan yang disebut
Flores Weg, jalan ini menghubungkan Larantuka dengan Ruteng, masing-masing di bagian timur dan barat Pulau Flores.
2.3.2 Penyelenggaraan Jalan