Sumber Daya Implementasi Pelaksanaan POMP Filariasis

Berdasarkan hasil penelitian perihal faktor komunikasi tersebut, maka dapat diketahui adanya faktor penghambat keberhasilan implementasi pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan yaitu : a. Tidak adanya sosialisasi khusus tentang filariasis dan POMP filariasis kepada implementor di puskesmas dan masyarakat. b. Intensitas sosialisasi yang kurang. c. Tidak adanya kejelasan informasi yang diberikan oleh dinas kesehatan. d. Adanya ketidaksesuaian antara petunjuk teknis dan kenyataan di lapangan baik dalam hal persiapan pelaksanaan POMP filariasis maupun dalam hal pelaksanaan POMP filariasis.

5.1.2. Sumber Daya

Faktor sumber daya merupakan hal yang tak kalah pentingnya dalam proses implementasi suatu kebijakan. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan sangat baik dan jelas ke pada implementor, namun bila implementor kurang memiliki sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi tidak akan berjalan efektif Subarsono, 2009. Menurut Islamy 1998, pentingnya kesiapan agen pelaksana atau sumber daya dalam melaksanakan suatu kebijakan tidak bisa terlepas dari sumber daya yang memadai seperti human resources, financial resoures, technological resources maupun psychological resources.

5.1.2.1. Instrumen Kebijakan

Instrumen kebijakan utama dalam Kebijakan Program Eliminasi Filariasis ini adalah petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal PP PL Universitas Sumatera Utara Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dalam implementasi kebijakan Program Eliminasi Filariasis ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan tidak membuat SOP yang baru. Instrumen kebijakan adalah suatu bentuk informasi mengenai tujuan, tata cara atau prosedur yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Instrumen kebijakan yang dipedomani dalam Kebijakan Program Eliminasi Filariasis ini adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582MENKESSKXI2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah.

5.1.2.2. Alokasi Anggaran

Dalam melaksanakan Program Eliminasi Filariasis pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antar negara dan lembaga internasional. 2. Sumber pendanaan pelaksanaan pengobatan massal filariasis e. Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupatenkota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di kabupatenkota dan kerjasama di kabupatenkota. f. Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis bersumber dari pemerintah Departemen Kesehatan untuk obat DEC dan paracetamol dan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk obat albendazole. g. Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan reaksi pengobatan massal filariasis, bersumber dari anggaran pemerintah kabupatenkota. Universitas Sumatera Utara h. Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi. 3. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis Biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran pemerintah kabupatenkota. Alokasi anggaran yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam rangka pelaksanaan POMP filariasis dirasa sangatlah terbatas. Hal ini terbukti dari banyaknya pemangkasan anggaran yang telah diusulkan pada rencana kerja anggaran untuk tahun 2013. Anggaran yang telah diusulkan pada rencana kerja anggaran tahun 2013 adalah sebesar Rp. 529.700.000,- . Namun pada kenyataannya, Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu Selatan hanya mendapat jatah anggaran sebesar Rp.199.460.500,- untuk pelaksanaan POMP filariasis. Hal ini berarti bahwa anggaran yang telah diusulkan mengalami pemangkasan sebesar 62,3 . Ironinya, justru usulan dana yang diperuntukkan untuk kegiatan sosialisasi kepada masyarakat, pelatihan TPEkader dan transport TPEkader untuk melakukan sensus penduduk malah dihapuskan. Selain itu, tidak dialokasikannya anggaran yang diperuntukkan untuk penatalaksanaan kasus klinis filariasis menunjukkan kurangnya dukungan financial bagi kegiatan filariasis. Alokasi dana yang masih terbatas ini menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan belum mendapatkan komitmen yang serius dari Pemerintah Daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk melaksanakan Program Eliminasi Filariasis meskipun advokasi sudah dilakukan. Hal yang sama terlihat pada hasil Universitas Sumatera Utara penelitian Sekar Tuti dkk di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur di mana Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka belum mendapatkan komitmen yang serius dari pemda setempat meskipun advokasi sudah dilakukan. Alokasi dana untuk program filariasis di Kabupaten Sikka masih sangat terbatas.

5.1.2.3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses implementasi suatu kebijakan . Menurut Hessel 2003 bahwa kemungkinan sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf dengan jumlah yang cukup dan keterampilan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Dalam rangka merealisasikan strategi eliminasi filariasis di setiap daerah, menurut pedoman Program Eliminasi Filariasis, prioritas dan pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan daerah. Hal ini berarti bahwa tiap daerah harus berusaha mempersiapkan seluruh tenaga profesional tersebut di atas, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas demi suksesnya Program Eliminasi Filariasis. Kurangnya tenaga kesehatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas masih merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Hal yang sama terlihat juga pada hasil penelitian Sekar Tuti dkk di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT di mana tenaga Universitas Sumatera Utara kesehatan di sana belum ada yang dilatih khusus untuk menangani kasus filariasis baik mikroskopis, paramedis, maupun dokternya. Menurut Iskandar 2009, aset yang paling penting yang harus dimiliki oleh organisasi adalah SDM yang berkualitas. SDM adalah orang-orang yang merancang dan menghasilkan suatu produk, serta merumuskan seluruh strategi dan tujuan organisasi. SDM inilah yang membuat sumber daya lainnya dapat berjalan. Menurut Sadili 2006, banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh suatu organisasi tidak akan dapat menghasilkan produk yang bermutu jika di dalamnya tidak disertai dengan SDM yang berkeahlian, berkompeten dan berdedikasi tinggi terhadap organisasi. Pengangkatan dan penempatan SDM dalam suatu jabatan struktural bidang kesehatan haruslah dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai standar kompetensi yang jelas. Dari hasil penelitian terlihat bahwa ada beberapa jabatan struktural di Dinas Kesehatan Labuhanbatu Selatan yang bersifat strategis tidak diisi oleh SDM yang sesuai dengan standar kompetensi jabatan yang akan dipangkunya. Selain itu pengangkatan pejabat struktural tersebut tidak melalui proses rekruitmen dan seleksi sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 971MENKESPERXI2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan. Dalam Bab III Standar Kompetensi Struktural Kesehatan pasal 3 ayat 1 Permenkes ini dikatakan bahwa pengangkatan pegawai ke dalam jabatan struktural kesehatan dilakukan setelah memenuhi persyaratan kualifikasi serta standar kompetensi jabatan yang akan Universitas Sumatera Utara dipangkunya melalui proses rekruitmen dan seleksi sesuai peraturan perundang- undangan. Selanjutnya dalam Bab V Kompetensi Pejabat Struktural Dinas Kesehatan ProvinsiKabupatenKota pasal 19 ayat 1 mengatakan bahwa “Kepala dan sekretaris dinas kesehatan berlatar belakang pendidikan sarjana kesehatan dengan pendidikan Sarjana Strata 2 di bidang kesehatan masyarakat.” Selanjutnya pada pasal 20 ayat 1 dikatakan bahwa “Kepala bidang danatau bagian berlatar belakang pendidikan paling sedikit Sarjana Kesehatan”.

5.1.2.4. Kelengkapan Fasilitas Pendukung Program Eliminasi Filariasis

Implementasi suatu kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kelengkapan fasilitas di sarana kesehatan. Dalam implementasi Kebijakan Program Eliminasi Filariasis, khususnya implementasi pada pelaksanaan POMP filariasis, kelengkapan fasilitas kesehatan akan berdampak pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Penelitian ini lebih memfokuskan kecukupan fasilitas dari segi faktor pendukung pelaksanaan POMP filariasis. Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi terlihat bahwa fasilitas yang ada di sarana puskesmas masih belum memadai. Dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak semua puskesmas memiliki fasilitas laboratorium. Dari data sekunder diketahui bahwa hanya ada 3 puskesmas yang memiliki fasilitas laboratorium, ada 4 dari 17 puskesmas yang tidak memiliki fasilitas kenderaan dinas baik ambulance maupun sepeda motor. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa puskesmas yang tidak memiliki fasilitas ambulance dan sepeda Universitas Sumatera Utara motor, terkadang harus menyewa kenderaan untuk menuju lokasi yang sulit dijangkau, tidak semua ambulance dalam kondisi yang baik, hal ini disebabkan karena usia ambulance yang sudah cukup tua. Fasilitas pendukung lainnya yang tidak lengkap adalah peralatan administrasi seperti komputer dan printer. Dari hasil wawancara terungkap ada puskesmas yang tidak memiliki komputer maupun printernya dan ada juga puskesmas yang memiliki komputer namun dalam kondisi rusak. Media promosi untuk penyuluhan maupun kampanye pencegahan filariasis juga tidak ada. Dari hasil wawancara dan observasi juga ditemukan kendala lainnya di mana puskesmas menerima alat-alat kesehatan alkes yang terbilang cukup canggih, namun tidak dibarengi dengan pelatihan petugas kesehatan untuk mempergunakan alat tersebut sehingga timbul kesan bahwa pengadaan alkes tersebut bersifat mubazir, tidak dipergunakan sama sekali. Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa setiap komponen dari variabel sumber daya saling berhubungan dan tidak dapat berdiri sendiri.

5.1.3. Disposisi atau Sikap