Hubungan Nilai Glomerular Filtration Rate Dengan Gangguan Fungsi Kognitif Pada Pasien Diabetes Melitus

(1)

HUBUNGAN NILAI GLOMERULAR FILTRATION RATE DENGAN

GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN

DIABETES MELITUS

TESIS

FERYARY DIPLOMA SEMBIRING 087112008

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011 


(2)

HUBUNGAN NILAI GLOMERULAR FILTRATION RATE DENGAN GANGGUAN FUNGSI KOGNTIF PADA PASIEN

DIABETES MELITUS

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Spesialis Saraf Pada

Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

FERYARY DIPLOMA SEMBIRING 087112008

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK–SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN NILAI GLOMERULAR FILTRATION RATE DENGAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Nama Mahasiswa : FERYARY DIPLOMA SEMBIRING Nomer Induk Mahasiswa : 087112008

Program Studi

Konsentrasi

: :

Magister Kedokteran Klinik Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. DR.Dr.Hasan Sjahrir, Sp.S (K) Ketua

Ketua Program Studi/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK USU/ RSUP HAM Medan

Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)

Ketua TKP PPDS Fakultas Kedokteran USU


(4)

Tanggal Lulus : Telah diuji pada : Selasa, 16 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir,SpS(K) 2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution,SpS(K) 3. Dr. Darlan Djali Chan,SpS

4. Dr. Yuneldi Anwar,SpS(K) 5. Dr. Rusli Dhanu,SpS(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan,MKT,SpS(K) 7. Dr. Aldy S Rambe,SpS(K)

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat,SpS 9. Dr. Khairul P. Surbakti,SpS 10.Dr. Cut Aria Arina,SpS 11.Dr. Kiki M. Iqbal,SpS 12.Dr. Alfansuri Kadri,SpS


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN NILAI GLOMERULAR FILTRATION RATE DENGAN GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN DIABETES

MELITUS

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 16 Juni 2011


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik – Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K), selaku Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H.Adam Malik Medan disaat penulis melakukan penelitian dan juga sebagai guru dan pembimbing penulis dalam penyusunan tesis ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.


(7)

3. Dr. H. Rusli Dhanu, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan penelitian dan sebagai Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K), Ketua Program Studi PPDS-I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat ini yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) dan Prof. DR. dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S (K), selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

6. Guru-guru penulis: Prof. Dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S (K); Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S; Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; Dr. Cut Aria Arina, Sp.S; Dr. S. Irwansyah, Sp.S; Dr. Kiki M.Iqbal, Sp.S; Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Dina Lystianingrum, Sp.S, MSi Med., Dr. Aida Fitri, Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.


(8)

7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik. 8. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.

9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi kritis dalam berbagai pertemuan formal maupun informal, serta selalu memberikan dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis menyelesaikan Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

10.Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.

11.Semua pasien diabetes melitus yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.

12.Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi ayahanda Penni Sembiring dan ibunda Katarina Br Karosekali yang telah memberikan cinta, perhatian dan tetap setia berdoa untuk kebaikan penulis hingga saat ini.


(9)

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Penulis


(10)

   

ABSTRAK

Latar belakang: Sudah diketahui bahwa prevalensi demensia dan mild cognitive impairment pada penderita diabetes melitus (DM) lebih tinggi dibanding dengan populasi umum. Penyakit ginjal kronis juga telah diketahui sebagai komplikasi DM yang diklasifikasi berdasarkan nilai glomerular filtration rate (GFR). Belum banyak penelitan yang mencari hubungan antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif.

Objektif: Bertujuan untuk meneliti hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan pengumpulan sampel secara konsekutif di Poliklinik Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam RS H Adam Malik Medan dengan sampel 35 orang. GFR dinilai dengan menggunakan metode MDRD (Modification of Diet in Renal Disease). Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan CDR (Clinical Dementia Rating).

Hasil: Dengan menggunakan MMSE yang disesuikan dengan umur dan tingkat pendidikan diperoleh 28 subjek dengan normal kognitif dan 7 subjek dengan MCI. Ketika menggunakan CDR terdapat 4 subjek dengan MCI dan 31 subjek normal. Dengan uji t-independent, hubungan yang antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM adalah signifikan baik ketika dinilai menggunakan MMSE (p=0,036) maupun menggunakan CDR (p=0,004).

Kesimpulan: terdapat hubungan yang signifikan antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes melitus.


(11)

ABSTRACT

Background: It have been known that prevalence of dementia and mild cognitive impairment among diabetic patient was higher then general population. Chronic kidney disease (CKD) was also known as one of complication of diabetes which is assessed by glomerular filtration rate (GFR) level. There were only few studies that seeking for association between GFR and cognitive impairment.

Objective: To assess the association between GFR level and cognitive impairment among diabetic patients.

Method: This study is a cross sectional study with consecutive sampling at Endocrinology Clinic of Internal Medicine Department, H. Adam Malik General Hospital Medan with 35 samples. GFR is calculated by MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) method. Cognition is assessed by MMSE (Mini Mental Stage Examination) and CDR (Clinical Dementia Rating).

Result: By Using MMSE that adjusted with age and educational status there was 28 patients with normal cognition and 7 with MCI. When assessment used CDR there are 4 subjects with MCI and 31 normal subjects. By using t-independent test the association between GFR level and cognitive impairment in diabetes patient is significant when asses using MMSE (p=0.36) or using CDR (p=0,004).

Conclusion: There are significant association between GFR level with cognitive impairment among diabetic patient.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Ucapan Terima Kasih... v

Abstrak ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Singkatan ... xv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar... xvii

BAB I. PENDAHULUAN...1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 4

3.Tujuan Penelitian ... 4

4. Hipotesa ... 5

5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

1. Gangguan Fungsi Kognitif... 6

1.1.Defenisi ... 6

1.2. Sejarah dan Epidemiologi ... 6

1.3. Klasifikasi Demensia ... 8

1.4. Pemeriksaan Demensia ... 8

1.5. Pemeriksaan Penunjang ... 10

1.6. Diagnosa Banding Demensia ... 12

1.7. Pemeriksaan Neuropsikologis... 13


(13)

2.1. Epidemiologi ... 16

2.2. Pemeriksaan Penyaring DM... 16

2.3. Diagnosa DM ... 17

2.4. Komplikasi Kronik DM ... 18

2.5. Komplikasi Renal DM ... 19

2.6. Pemeriksaan Fungsi Ginjal ... 19

3. Patofisiologi Gangguan Fungsi Kognitif pada Diabetes Melitus... 21

3.1. Peran Hiperglikemia ... 21

3.2. Peran Penyakit Vaskular ... 23

3.3. Peran Hipoglikemia... 24

3.4. Peran Resistensi Insulin dan Amyloid ... 26

4. Patofisiologi Gangguan Fungsi Kognitif pada CDK ... 29

5. Kerangka Konseptual ... 30

6. Kerangka Teori ... 31

BAB III. METODE PENELITIAN ...32

1. Tempat dan Waktu ... 32

2. Subjek Penelitian... 32

2.1. Populasi Sasaran ... 32

2.2. Populasi Terjangkau... 32

2.3. Kriteria Inklusi ... 32

2.4. Kriteria Eksklusi ... 33

2.5. Besar Sampel... 33

3. Batasan Operasional... 34

4. Instrumen ... 36


(14)

6. Pelaksaan Penelitian... 37

7. Kerangka Operasional... 38

8. Analisa Statistik ... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...39

1. Hasil Penelitian ... 39

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian... 39

1.2. Penilaian Fungsi Ginjal dan Fungsi Kognitif... 40

1.2.1. Kadar Creatinine Serum, Nilai GFR dan Skor MMSE ... 40

1.2.2. Fungsi Kognitif Menggunakan MMSE dan CDR... 41

1.3. Distribusi Rerata Kadar Creatinine Serum dan Nilai GFR Berdasarkan variabel ... 42

1.3.1. Distribusi Rerata Kadar Creatinine Serum Berdasarkan Variabel... 42

1.3.2. Distribusi Rerata Nilai GFR Berdasarkan Variabel ... 43

1.4. Distribusi Penilaian Fungsi Kognitif Berdasarkan Variabel... 45

1.4.1. Distribusi Rerata Skor MMSE Berdasarkan Variabel ... 45

1.5. Hubungan Nilai GFR Dengan Fungsi Kognitif ... 47

1.5.1. Hubungan Nilai GFR Dengan Skor MMSE ... 47

1.5.2. Hubungan stage CKD dengan Skor MMSE ... 48

1.5.3. Hubungan Nilai GFR Dengan Fungsi Kognitif Menggunakan MMSE ... 49

1.5.4. Hubungan Nilai GFR Dengan Fungsi Kognitif Menggunakan CDR... 50

2. Pembahasan... 50


(15)

2.2. Rerata Kadar Creatinine Serum, Nilai GFR dan Distribusinya

Berdasarkan Variabel ... 51

2.3. Rerata Skor MMSE dan Distribusinya Berdasarkan Varibel... 51

2.4. Hubungan Nilai GFR dengan Gangguan Fungsi Kognitif... 52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

1. Kesimpulan ... 54

2. Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA Lampiran

Lampiran 1: Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian Lampiran 2: Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 3: Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan

Lampiran 3: Lembar Pengumpulan Data Penelitian Lampiran 4: Clinical Demetia Rating

Lampiran 5: MMSE

Lampiran 6: Data Subjek Penelitian

Lampiran 7: Interpretasi Skor MMSE Pasien Menurut Kriteria Petersen Lampiran 8: Daftar Riwayat Hidup


(16)

DAFTAR SINGKATAN

AGEs advanced glycationend products APOE Apolipoprotein E

APP amyloid precursor protein CBF cerebral blood flow CKD Chronic Kidney Disease CT computed tomography DM diabetes melitus

EEG Electroencephalogram ESRD End Stage Renal Disease

GBM Glomerular BasementMembrane GFR Glomerular Filtration Rate

KDOQI Kidney Disease Outcome Quality Initiative MCI Mild Cognitive Impairment

MDRD Modification of Diet in Renal Disease MMSE mini mental state examination

MRI Magnetic Resonance Imaging

NKF National Kidney Foundation Kidney NT neurofibrillary tangles

PET Positron Emission Tomography PNS Pegawai Negeri Sipil

rAGEs reseptor AGEs SP senile plaque


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan klinis Delirium dengan Demensia ... 12

Tabel 2. Perbedaan klinis Pseudodemendia dengan Demensia ... 13

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL) ... 17

Tabel 4. Kriteria diagnosa DM ... 18

Tabel 5. Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI ... 21

Tabel 6. Karakteristik subjek penelitian ... 40

Tabel 7. Rerata nilai kadar creatinin serum, GFR dan klasifikasi GFR... 41

Tabel 8. Fungsi Kognitif berdasarkan MMSE dan CDR ... 41

Tabel 9. Distribusi rerata kadar creatinin serum berdasarkan variabel... 43

Tabel 10. Distribusi rerata nilai GFR berdasarkan variabel... 45

Tabel 11. Distribusi rerata skor MMSE berdasarkan variabel... 47

Tabel 12. Hubungan nilai GFR dengan skor MMSE... 48

Tabel 13. Tabel 13. Rerata MMSE dengan GFR yang dibagi menurut staging CKD ... 49

Tabel 14. Hubungan nilai GFR dengan Fungsi Kognitif dinilai dengan MMSE ... 49


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I: Akibat hyperglikemia pada Polyol Pathway... 22 Gambar II: Grafik Hubungan GFR dengan skor MMSE ... 48

 

   

 

 

 

 

 

 

 


(19)

   

ABSTRAK

Latar belakang: Sudah diketahui bahwa prevalensi demensia dan mild cognitive impairment pada penderita diabetes melitus (DM) lebih tinggi dibanding dengan populasi umum. Penyakit ginjal kronis juga telah diketahui sebagai komplikasi DM yang diklasifikasi berdasarkan nilai glomerular filtration rate (GFR). Belum banyak penelitan yang mencari hubungan antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif.

Objektif: Bertujuan untuk meneliti hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan pengumpulan sampel secara konsekutif di Poliklinik Endokrinologi Departemen Penyakit Dalam RS H Adam Malik Medan dengan sampel 35 orang. GFR dinilai dengan menggunakan metode MDRD (Modification of Diet in Renal Disease). Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE (Mini Mental Stage Examination) dan CDR (Clinical Dementia Rating).

Hasil: Dengan menggunakan MMSE yang disesuikan dengan umur dan tingkat pendidikan diperoleh 28 subjek dengan normal kognitif dan 7 subjek dengan MCI. Ketika menggunakan CDR terdapat 4 subjek dengan MCI dan 31 subjek normal. Dengan uji t-independent, hubungan yang antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM adalah signifikan baik ketika dinilai menggunakan MMSE (p=0,036) maupun menggunakan CDR (p=0,004).

Kesimpulan: terdapat hubungan yang signifikan antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes melitus.


(20)

ABSTRACT

Background: It have been known that prevalence of dementia and mild cognitive impairment among diabetic patient was higher then general population. Chronic kidney disease (CKD) was also known as one of complication of diabetes which is assessed by glomerular filtration rate (GFR) level. There were only few studies that seeking for association between GFR and cognitive impairment.

Objective: To assess the association between GFR level and cognitive impairment among diabetic patients.

Method: This study is a cross sectional study with consecutive sampling at Endocrinology Clinic of Internal Medicine Department, H. Adam Malik General Hospital Medan with 35 samples. GFR is calculated by MDRD (Modification of Diet in Renal Disease) method. Cognition is assessed by MMSE (Mini Mental Stage Examination) and CDR (Clinical Dementia Rating).

Result: By Using MMSE that adjusted with age and educational status there was 28 patients with normal cognition and 7 with MCI. When assessment used CDR there are 4 subjects with MCI and 31 normal subjects. By using t-independent test the association between GFR level and cognitive impairment in diabetes patient is significant when asses using MMSE (p=0.36) or using CDR (p=0,004).

Conclusion: There are significant association between GFR level with cognitive impairment among diabetic patient.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada milenium baru, 2.8% dari populasi dunia (171 juta) diperkirakan akan menderita diabetes dan pada tahun 2030, diprediksikan 4.4% dari populasi dunia yaitu 366 juta akan menderita diabetes. Perubahan demografi di seluruh dunia yang paling berperan dalam hal meningkatnya penderita DM (diabetes melitus) adalah terus meningkatnya proporsi populasi dengan usia diatas 65 tahun. Peningkatan proporsi populasi ini akan meningkat sebesar 134% dalam periode 30 tahun sehingga penduduk yang berusia 65 tahun akan bertambah dari 25 juta menjadi 48 juta di negara berkembang. (Strachan,dkk. 2008).

Tentu bukan diabetes saja penyakit yang akan meningkat prevalensinya dalam periode ini. Penyakit lain yang berhubungan dengan meningkatnya proporsi populasi usia tua juga akan meningkat secara signifikan, yaitu demensia. Ketika salah satu anggota keluarga telah dikonfirmasi sebagai penderita, maka demensia akan menimbulkan banyak masalah. Hal itu berarti ketidakmanpuan penderita untuk hidup secara mandiri akan meningkat, menempatkan masalah besar pada kehidupan dan ekonomi keluarga dan juga menjadi beban ekonomi bagi masyarakat. (Strachan,dkk. 2008).

Demensia adalah suatu sindroma dengan gejala adanya kemunduran fungsi intelektual dan kemampuan fungsi sosial yang mencukupi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya sebagaimana orang yang waspada normal. (Sjahrir,1999)

Karakteristik demensia adalah suatu sindroma klinik yang terdiri atas gejala gangguan lebih dari satu diantara beberapa komponen kognitif seperti berbahasa,


(22)

memori, visuospatial, atensi dan fungsi eksekutif. Biasanya gangguan memori selalu ada dan diikuti oleh gangguan kognitif lainnya. Akan tetapi bila hanya ada gangguan memori saja tanpa ada penurunan fungsi intelektual/kognitif lainnya masih belum dapat digolongkan demensia tetapi dapat dimasukkan ke dalam golongan Mild Cognitive Impairment (MCI) yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu penyakit Alzheimer di kemudian hari. (Sjahrir,1999).

Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuroimaging, pemeriksaan darah dan pemeriksaan cairan otak yang dapat dipakai untuk menegakkan demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

Beberapa studi menemukan bahwa (DM) berhubungan dengan demensia dan gangguan fungsi kongnitif. (Arvanitakis dkk,2005 ; Bennet,2000) Hubungannya diduga merupakan efek dari hiperinsulinemia perifer pada clearance beta amyloid atau mekanisme lainnya adalah meningkatnya produk-produk glikosilasi. (Luchsinger dkk,2007).

Diabetes Melitus telah dihubungkan dengan peningkatan deposit dan penurunan clearance dari beta amyloid. Kontrol glikemik yang tidak baik dan episode hipoglikemi atau hiperglikemik jangka panjang, bisa mengarah ke mikroangiopati, berkurangnya sel saraf dan ahirnya gangguan kognitif. (Roberts dkk, 2008). Diabetes melitus berhubungan dengan ateroskeloris dari arteri serebral dan mengarah ke perubahan vaskular serebral yang menyebabkan menurunnya cerebral blood flow (CBF). Lebih lanjut hiperglikemi berhubungan dengan meningkatnya pembentukan advanced glycation end products (AGEs), yang berhubungan dengan meningkatnya deposit amyloid, pembentukan tau dan oxidative stress. (Paila dkk,2007).


(23)

Pada suatu studi prospektif observasional ditemukan bahwa, pada kelompok pasien dengan DM nilai rata-rata MMSE (mini mental state examination) kelompok tersebut lebih menurun dalam 2 tahun pengamatan dibanding dengan yang bukan DM. (Hassing dkk,2004).

Prevalensi gangguan kognitif dan demensia pada End Stage Renal Disease (ESRD) lebih dari dua kali lipat dibanding populasi umum. Beberapa studi menduga Chronic Kidney Disease (CKD) mungkin merupakan faktor resiko untuk gangguan kognitif. Ada beberapa faktor yang disarankan sebagai mediator terjadinya gangguan kognitif pada ESRD, seperti anemia, dan inflamasi yang mungkin saja muncul pada tahap awal CKD. (Kurella dkk,2005)

Faktor yang lain yang mungkin berperan pada gangguan kognitif pada ESRD termasuk tingginya prevalensi faktor resiko kardiovaskular yang menyebabkan kerusakan subklinis dan uremia, dan hal itu dihubungkan dengan kelainan metabolik. Peningkatan resiko untuk stroke dan ateroskeloris karotis diantara ESRD juga berpredisposisi untuk gangguan kognitif. (Hailpern,2007).

Mild Cognitive Impairment adalah status transisi antara kognitif normal pada orang tua dengan demensia. Tidak adanya pengobatan kuratif untuk demensia, maka indentifikasi subjek dengan resiko tinggi terkena demensia dan faktor yang dapat dimodifikasi bisa saja memberi intervensi yang akan mencegah progresivitas dari yang preklinis (MCI) menjadi yang klinis (demensia). (Roberts dkk, 2008).

Berdasarkan uraian diatas telah banyak penelitian yang meneliti hubungan antara DM dengan gangguan fungsi kognitif. Chronic Kidney Disease (CKD) juga telah lama diketahui sebagai salah satu komplikasi mikrovaskular dari DM. (Harrisons,2005). Telah ada beberapa penelitian yang menghubungkan antara CKD dengan gangguan fungsi kognitif. Namun masih sedikit data yang meneliti hubungan


(24)

antara penurunan fungsi ginjal dalam hal ini penurunan nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) dengan gangguan fungsi kognitif yang khusus pada penderita DM.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian–penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas dirumuskanlah masalah sebagai berikut :

Apakah ada hubungan antara nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM?

3. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM.

3.1. Tujuan Khusus

3.1.1 Untuk mengetahui hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM yang berobat ke poliklinik Endokrinolgi RSUP HAM Medan.

3.1.2 Untuk mengetahui karakteristik demografi, kadar creatinine serum, nilai GFR, skor MMSE dan skor Clical Dementia Rating (CDR) dari subjek penelitian.

3.1.3 Untuk mengatahui hubungan karakteristik demografi dengan kadar creatinine serum dan nilai GFR dari subjek penelitian

3.1.4 Untuk mengetahui hubungan karakteristik demografi dengan skor MMSE dan skor CDR dari subjek penelitian.


(25)

3. Hipotesis

Ada hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien DM.

4. Manfaat Penelitian

Dengan mengetahui hubungan nilai GFR dengan gangguan fungsi kognitif pada pasien penderita DM, maka dapat meningkatkan kewaspadaan pasien dan dokter yang merawat terhadap terjadinya gangguan fungsi kognitif pada pasien DM.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF

1.1 Defenisi

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

1.2 Sejarah dan epidemologi

Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999)

Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari


(27)

bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)

Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)

Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)

1.3 Klasifikasi demensia. (Sjahrir,1999) Demensia terbagi atas 2 dimensi:

Menurut umur; terbagi atas:

Demensia senilis onset > 65 tahun Demensia presenilis < 65 tahun Menurut level kortikal:


(28)

Demensia kortikal Demensia subkortikal

Klasifikasi lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya 1. Anterior : Frontal premotor cortex

Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat. 2. Posterior: lobus parietal dan temporal

Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik. 3. Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.

4. Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.

1.4 Pemeriksaan demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain :

1. Riwayat medik umum

Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign. 2. Riwayat neurologi umum

Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau


(29)

hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.

3. Riwayat neurobehavioral

Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.

4. Riwayat psikiatrik

Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan

Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.

6. Riwayat keluarga

Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.


(30)

Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.

1.5 Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) 1. Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat

2. Imaging

Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.

3. Pemeriksaan EEG

Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.

4. Pemeriksaan cairan otak

Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,


(31)

demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.

5. Pemeriksaan genetika

Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.

1.6 Diagnosa banding demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003) 1.6.1 Delirium

Delirium adalah keadaan akut dan serius, dapat mengancam jiwa. Dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, gangguan metabolik dan reaksi obat.


(32)

Tabel 1. Perbedaan klinis Delirium dengan Demensia

Delirium

Awitan akut dengan waktu awitan diketahui dengan tepat

Perjalanan klinis akut, berlangsung sampai berhari-hari sampai mingguan

Biasanya reversibel

Disorientasi terjadi pada fase awal penyakit Fluktuasi dari jam kejam

Perubahan fisiologis yang nyata Tingkat kesadaran yang berfluktuasi Gangguan siklus tidur-bangun bervariasi dari jam ke jam

Gangguan psikomotor jelas terjadi pada fase awal

Demensia

Awitan tidak jelas dengan waktu awitan tidak diketahui

Perjalanan klinis perlahan, bertahap dan progresif memburuk

Biasanya irreversible

Disorientasi terjadi pada fase lanjut Fluktuasi ringan dari hari ke hari Perubahan fisiologis tidak begitu nyata Rentang waktu atensi normal

Gangguan siklus tidur-bangun bervariasi dari siang ke malam

Gangguan psikomotor terjadi pada fase lanjut

1.6.2. Pseudodemensia

Depresi dapat mempengaruhi status kognisi penyandang, oleh sebab itu sebelum mencari etiologi demensia perlu dipastikan apakah penyandang mengalami demensia atau pseudodemensia karena depresi.


(33)

Tabel 2. Perbedaan klinis Pseudodemendia dengan Demensia Gambaran klinis Pseudodemensia Demensia Awitan (onset)

Mood /tingkah laku

Pandangan tentang diri sendiri

Keluhan terkait

Durasi

Alasan konsultasi

Riwayat hidup sebelumnya

Akut dengan perubahaan tingkah laku

Banyak keluhan; seperti tidak dapat melakukan test tetapi hasil test objektif baik

Jelek

Ansietas, insomnia, anoreksia

Bervariasi dapat berhenti spontan/ setelah terapi

Rujukan sendiri

Riwayat psikiatri

Perlahan, berbulan-bulan

Test neuropsikologis jelek tetapi penyandang berusaha

meminimalkan/merasion aliasasi kekurangannya

Normal

Jarang, kadang-kadang insomnia

Keluhan progresif perlahan dalam berbulan-bulan-bertahun

Penyandang dibawa oleh keluarga yang merasakan perubahan memori, kepribadian dan tingkah laku

Tidak jarang ditemukan riwayat keluarga dengan demensia

1.7 Pemeriksaan neuropsikologis

Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan


(34)

untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:

- mampu menyaring secara cepat suatu populasi

- mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)

Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)

Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.

Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat


(35)

menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)

2. DIABETES MELITUS

Diabetes Melitus merupakan kumpulan kelainan metabolik yang umum dengan gejala yang sama berupa hiperglikemia. Beberapa jenis DM yang telah diketahui, disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetik, faktor lingkungan dan gaya hidup. Berdasarkan etiologi dari DM, faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya hiperglikemia antara lain berkurangnya sekresi insulin, berkurangnya glucose utilization, dan peningkatan produksi glukosa. Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM menyebabkan perubahan patofisologi sekunder pada berbagai sistem organ yang menimbulkan beban berat bagi individu penderita DM dan bagi sistem kesehatan masyarakat. (Harrisons,2005).

2.1 Epidemiologi:

Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia, sekitar tahun 1980-an didapatkan prevalensi DM antara 0.8% di Tanah Toraja sampai 6.1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari prevalensi DM


(36)

1,7 % pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7.2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetisi sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,4 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban 14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetisi di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006)

2.2 Pemeriksaan Penyaring DM. (Perkumpulan Endokrin Indonesia,2006)

Pemeriksaan penyaring DM dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu sebagai patokan penyaring dan diagnosa DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa

darah sewaktu Kadar glukosa darah puasa

Vena Kapiler Vena Kapiler

<100 <90 <100 <90

100-199 90-199 100-125 90-99

>=200 >=200 >=126 >=100


(37)

2.3 Diagnosa DM. (Perkumpulan Endokrin Indonesia. 2006)

Berbagai keluhan dapat diketemukan pada diabetes. Kecurigaan akan DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan TTGO. Ketiga dengan pemeriksaan glukosa darah puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosa DM.

Tabel 4. Kriteria diagnosa DM

1 Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu >= 200 mg/dL

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada satu hari tanpa memperhatikan waktu makan terahir

2. Gelaja klasik DM + kadar glukosa darah puasa >= 126 mg/dL

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO >= 200 mg/dL

TTGO menggunakan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 glukosa yang dilarutkan ke dalam air.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah beban, antara 140-199 mg/dL GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL


(38)

2.4 Komplikasi Kronik DM

Komplikasi kronik dari diabetes melibatkan berbagai organ dan berperan terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Komplikasi kronik dapat dibagi menjadi komplikasi vaskular dan non vaskular. Komplikasi vaskular kemudian dibagi lagi menjadi komplikasi mikrovaskular (retinopati, neuropati, nefropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Komplikasi non vaskular termasuk gastroparesis, infeksi dan perubahan pada kulit. Resiko terhadap komplikasi kronik meningkat menurut durasi dari hiperglikemia; yang biasanya muncul pada dekade kedua. Karena pada diabetes tipe 2 berlangsung periode hiperglikemia yang asimtomatik dalam waktu yang lama, banyak penderita yang telah memiliki komplikasi ketika di diagnosa diabetes. (Harrison’s. 2005)

2.5 Komplikasi Renal DM

Nefropati diabetik adalah penyebab utama dari ESRD (End Stage Renal Disease) di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama dari mortalitas dan morbiditas yg terkait dengan DM. Nefropati diabetik mempunyai runtutan kejadian yang karakteristik yang mulanya dikenali pada individu dengan DM tipe I tapi sepertinya sama dengan DM tipe II. Hiperperfusi renal dan renal hipertropi terjadi pada tahun pertama setelah onset DM dan menyebabkan terjadinya peningkatan dari Glomerular Filtration Rate (GFR). Selama lima tahun pertama dari DM, terjadi penebalan dari Glomerular Basement Membrane (GBM), hipertropi glomerular dan peningkatan volume mesangial dan GFR kembali normal. Setelah 5 sampai 10 tahun terkena DM tipe I, 40 % penderita mulai mengeksresi sejumlah kecil albumin dalam urine. Mikroalbuminuria adalah dijumpainya 30-300 mg/hari pada urine 24 jam.


(39)

Adanya mikroalbuminuria pada pasian DM tipe I adalah prediktor untuk berkembang menjadi proteinuria (>300 mg/hari) atau nefropati yang jelas terlihat. Pada fase ini tekanan darah mungkin sedikit meningkat tapi umumnya masih normal. Ketika proteinuria telah muncul maka akan terjadi penurunan GFR secara berangsur-angsur dan 50% penderita akan jatuh ke ESRD dalam 7 sampai 10 tahun. (Harrisons,2005)

2.6 Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Glomerular fitration rate (GFR) merupakan pengukuran yang baik untuk menilai kapasitas filtrasi dari ginjal. GFR yang rendah atau menurun adalah indeks dari Chronic Kidney Disease, CKD. Perhitungan yang paling sering dipakai untuk mengestimasi GFR pada orang dewasa adalah persamaan Cockcroft-Goult yang dikembangkan untuk mengestimasi creatinine clearance tapi telah banyak diuji akan kemampuannya dalam mengukur GFR. Walaupun persamaan yang berdasarkan serum creatinine (Cockcroft-Goult) adalah metode yang baik dari segi keefektifan dan harga, ketepatannya terbatas. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)

Metode baru diperlukan terutama untuk mendeteksi penyakit ginjal yang ringan dan sedang, tapi akurasi, ketepatan dan kepraktisannya harus diuji dalam subjek yang besar, dengan yang subjek yang berpenyakit ginjal dan yang tidak. Studi yg terbesar yang mengevaluasi persamaan Cockcroft-Goult adalah studi MDRD. Serum creatinine assay pada studi ini dikalibrasi kira-kira sama dengan creatinine yang sebenarnya. Hasilnya, persamaan Cockcroft-Goult over-estimated terhadap GFR sebesar 23%. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)

Metode yang paling akurat untuk menentukan fungsi ginjal adalah pengukuran formal GFR dengan Iothalamate atau marker yang mirip. Ini merupakan test yang


(40)

mahal dan membutuhkan banyak waktu dan tidak sesuai dengan praktek klinis, tersedia hanya dibeberapa sentra dan tidak efektif untuk skrining CKD. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI.2000)

Formula yang dikembangkan dari Studi Modifikasi Diet pada Penyakit Ginjal (Modification of Diet in Renal Disease, MDRD) saat ini adalah metode yang divalidasi yang terbaik untuk orang dewasa untuk kegunaan praktis.. Kalkulator online untuk estimasi GFR dengan metode MDRD disediakan oleh National Kidney Fondation di situs www.kidney.org. (Brosius FC, dkk.2005)

Berikut adalah klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF KDOQI) 2000.

Tabel 5. Derajat Keparahan CKD menurut NKF-KDOQI

Stage Deskripsi GFR

(ml/mnt/1.73 m²) I Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau meningkat ≥90 II Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR ringan 60-89 III Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR sedang 30-59 IV Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR berat 15-29 V Gagal ginjal (ESRD) < 15

3. PATOFISIOLOGI GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA

DIABETES MELITUS (Kodl,2008)

Patofisiologi yang mendasari perkembangan gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes belum jelas diungkapkan. Banyak hipotesa yang didukung oleh bukti, diantaranya hal yang potensial berperan sebagai faktor kausatif terjadinya


(41)

hiperglikemia, penyakit vaskular, hipoglikemia, resistensi insulin dan pengendapan amyloid. Meskipun penelitian lanjutan untuk tiap mekanisme kandidat masih diperlukan, penyebab gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes mungkin pada ahirnya adalah kombinasi dari faktor-faktor tersebut, tergantung dari tipe diabetes, komorbiditas, umur dan terapi.

3.1 Peran Hiperglikemia

Hiperglikemia sepertinya berhubungan dengan abnormalitas pada fungsi kognitif pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2. Namun, bagaimana hiperglikemia bisa memediasi efek tersebut masih kurang jelas. Pada organ lain, hiperglikemia mempengaruhi fungsinya melalui berbagai mekanisme termasuk aktivasi jalur polyol, meningkatkan pembentukan dari advanced glycation end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol dari protein kinase C, dan peningkatan shunting glukosa pada jalur hexosamine. Mekanisme yang serupa mungkin terjadi di otak dan menginduksi perubahan dalam fungsi kognitif yang dideteksi pada pasien diabetes. Peran AGEs dan reseptor AGEs (RAGEs) dalam terjadinya komplikasi serebral dari diabetes masih tidak jelas. Tikus yang diabetes (32% HbA1c vs 12% pada control) yang menunjukkan gangguan kognitif dijumpai peningkatan ekspresi dari RAGEs pada neuron dan sel glia dan kerusakan pada white matter dan myelin, menyarankan peranan RAGEs pada terjadinya disfungsi serebral. Pada manusia, pasien dengan diabetes dan Alzheimer disease memiliki N-carboxymethyllysine (suatu tipe AGEs) yang lebih tinggi pada pewarnaan yang dilakukan pada pemeriksaan postmortem dibanding pada pasien yang hanya menderita Alzheimer disease.


(42)

Gambar I: Akibat hyperglikemia pada Polyol Pathway

Sebagai tambahan pada kerusakan organ terminal yang diinduksi hiperglikemia, fungsi neurotransmitter yang berubah yang diamati pada percobaan binatang diabetes juga berperan terhadap disfungsi kognitif. Pada tikus diabetes, dijumpai gangguan pada long term potentiation yang diartikan sebagai peningkatan secara terus-menerus jangka panjang dari kekuatan synaps pada neuron yang kaya akan neurotransmitter N-methyl d aspartate (NMDA), yang dapat berkontribusi pada kelemahan proses belajar. Perubahan neurokemikal yang telah diamati, penurunan asetilkolin, penurunan turnover serotonin, penurunan aktivitas dopamine, dan peningkatan norepinephrine pada otak binatang diabetes. Menariknya adalah semua kelainan ini membaik dengan pemberian insulin. Suatu usulan hipotesa bahwa perubahan kadar glukosa yang tinggi dan rendah pada penderitia diabetes yang tidak terkontrol bisa memperburuk fungsi neurotransmitter.


(43)

Pasien dengan diabetes beresiko 2 sampai 6 kali lipat untuk terjadinya stroke thrombotic, dan penyakit pembuluh darah telah lama dihipotesa berperan pada kelainan kognitif pada pasien tersebut. Studi dengan otopsi pada pasien diabetes tipe 1 memperlihatkan perubahan yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah, termasuk degenerasi otak difus, pseudocalcinosis, demyelinisasi dari saraf kranial dan medula spinalis dan fibrosis saraf. Penebalan basement membrane kapiler, suatu tanda khas dari diabetik mikroangiopati telah ditemukan pada pasien dengan diabetes. Pesien diabetes juga didapati penurunan cerebral blood flow yang diukur dengan xenon, dan derajat penurunan sesuai dengan lama penyakit. Namun kadar glukosa darah tidak dikontrol selama penelitian. Menariknya tingkat cerebral blood flow pada pasien dengan diabetes serupa dengan pasien Alzheimer’s. Observasi pada penderita diabetes didukung oleh studi-studi pemberian streptozotocin pada tikus dengan hiperglikemia kronik. Diduga bahwa penurunan pada cerebral blood flow, dilawan dengan stimulasi dari reseptor thromboksan A2 terjadi pada pasien diabetes, dapat berkontribusi dalam ketidakmanpuan dari pembuluh darah otak untuk berdilatasi secara adekuat, yang akan mengarah pada kecenderungan untuk terjadinya iskemia. Koinsidensi dari iskemia dan hiperglikemia bisa secara khusus merusak otak. Bahkan peningkatan kadar glukosa darah yang tidak tinggi pada manusia selama cerebrovascular event berhubungan dengan perbaikan klinis yang lebih jelek. Salah satu mekanisme potensial dimana hiperglikemia dapat mempotensiasi kerusakan akibat iskemia adalah akumulasi laktat. Hiperglikemia menyediakan lebih banyak substrat untuk pembentukan laktat, menyebabkan asidosis selular, dan memperburuk injury. Mekanisme lain adalah akumulasi glutamate pada kondisi hiperglikemia dan iskemik. Glutamate, suatu asam amino neurotransmitter eksitatori, telah menunjukkan kerusakan neural pada otak.


(44)

3.3. Peran Hipoglikemia

Episode yang berulang dari hipoglikemi berperan pada kelainan kognitif kontroversial dan sepertinya tergantung dengan umur pasien. Kebanyakan endokrinologis memiliki pengalaman dengan pasien yang mengalami hipoglikemia berat dengan sedikit atau tidak ada kelainan permanen. Hal ini sepertinya ketidakakuratan glukometer pada level glukosa yang rendah, waktu yang tidak adekuat dalam penanganan hipoglikemia berat, atau variasi dalam penyimpanan glikogen. Telah terlihat pada percobaan binatang, bahwa setelah 30-60 menit dengan kadar glukosa antara 0,12 dan 1,36 mmol/liter, nekrosis neuronal terjadi disertai dengan peningkatan aspartate, alkalemia, dan kegagalan energi yang membawa pada gambaran yang datar pada EEG. Korteks, basal ganglia, dan hipokampus sepertinya daerah yang paling rentan terhadap hipoglikemia, dimana adanya nekrosis laminar dan gliosis yang dijumpai pada daerah ini ketika dilakukan otopsi pada pasien yang meninggal karena hipoglikemia. Studi lain, otopsi yang dilakukan pada kematian yang terjadi karena hipoglikemia menunjukkan nekrosis multifocal atau yang difus dari korteks serebral dan kromatolisis dari ganglion sel. Percobaan pada binatang, kerusakan yang diinduksi hipoglikemia sepertinya slektif terhadap neuron tertentu dengan pengecualian astrosit dan oligodendrosit. Beberapa telah membuat hipotesa bahwa kerusakan neuron akibat hipoglikemia adalah akibat overaktivasi dari reseptor neurotransmitter eksitatori NMDA. Menariknya, adanya reseptor antagonis NMDA yang sepertinya mencegah nekrosis neuron membuka peluang terapi potensial untuk kerusakan otak yang diinduksi oleh hipoglikemia. Terapi itu mungkin bermanfaat pada anak dengan diabetes tipe 1 yang sepertinya rentan terhadap komplikasi serebral dari hipoglikemia. Mungkin ada juga hubungan antara hipoglikemia selama tidur pada tengah malam, dimana terjadi konsolidasi memori dan kelainan kognitif. Perbandingan hasil test


(45)

antara yang euglikimia selama tidur dengan pasien diabetes tipe 1 yang mengalami hipoglikemia relatif selama tidur (2,2 mmol) selama tidur menununjukan adanya gangguan memori deklaratif. Namun tidak dijumpai defisit neurokognitif pada beberapa studi dimana hipoglikemia nokturnal yang diinduki selama tidur.

3.4. Peran Resistensi Insulin dan Amyloid

Meskinpun peran dari insulin pada metabolisme serebral dan fungisnya masih diselidiki, penelitian selama duapuluh tahun dalam bidang ini telah memberi banyak pencerahan. Sebelumnya diduga otak adalah organ yang tidak memerlukan insulin, namun banyak penelitian yang mempertanyakan hal itu. Reseptor insulin dan ekspresi mRNA telah dijumpai terdistribusi luas di otak dengan menggunakan immunohistochemistry dan in situ hybridization, secara berturut termasuk bulbus olfaktorius, hipotalamus, hipokampus, serebelum, kortek piripormis, korteks serebral dan amigdala.

Resistensi insulin dan diabetes tipe 2 mungkin berkontribusi dalam disfungsi kognitif melalui tiga mekanisme tidak langsung lainnya. Pertama, disfungsi kognitif pada diabetes tipe 2 berhubungan dengan marker inflamasi, dan peningkatan inflamasi mungkin berperan dalam berkembangnya Alzheimer’s atau penyakit makrovaskular. Dalam sebuah penelitian, pasien dengan sindroma metabolik, peningkaktan C-reaktif protein, dan peningakatan IL-6 ditemukan mengalami gangguan fungsi kognitif, sedang pasien dangan sindroma metabolik dengan marker inflamasi yang normal memiliki fungsi kognitif yang sama dengan kontrol. Pasien dengan diabetes tipe 2 diketahui memiliki kadar marker inflamasi yang lebih tinggi termasuk C-reaktif protein, α-1 antichymotrypsin, IL-6, dan intercellular adhesion molecule 1 dibanding dengan kelompok kontrol. Temuan ini meningkatkan kemungkinan bahwa resistensi


(46)

insulin dan Alzheimer’s disease mungkin memiliki patofisiologi yang sama, karena pasien dengan Alzheimer’s disease juga menunjukkan peningkatan marker inflamasi. Mekanisme kedua yang potensial bagaimana resistensi insulin dan diabetes tipe 2 bisa berperan dalam gangguan kognitif adalah melalui hambatan pada aksis hypothalamicpituitary adrenal. Baik hewan maupun manusia dengan diabetes tipe 2 mengalami peningktan regulasi dari aksis hypothalamicpituitary adrenal, yang meningkatkan kortisol serum dibandingkan dengan kontrol. Dalam penelitian lain, hiperkortisolemia ditemukan menyebabkan disfungsi kognitif. Manusia sehat yang mendapatkan deksametason, kortikosteron, dan hidrokortison yang menyerupai kondisi stres semuanya menunjukkan performa memori yang lebih jelek. Tambahan, pasien dengan Cushing’s disease ditemukan memiliki performa yang lebih jelek dalam memori, atensi, reasoning, dan pembentukan konsep dibanding dengan kontrol, yang mungkin disebabkan penurunan dalam metabolisme glukosa serebral yang didapatkan melalui PET (Positron Emission Tomography) scan pada pasien Cushing’s disease. Yang mendukung penemuan ini adalah penelitian pada binatang dimana glukokortikoid menyebabkan kerusakan struktural dan penurunan fungsi neuron di hipokampus. Berdasarkan fakta bahwa diabetes tipe 2 dapat meningkatkan regulasi aksis hypothalamicpituitary adrenal dan hiperkortisolemia dapat menyebabkan disfungsi kognitif, dapat diduga bahwa peningkatan level kortisol yang dijumpai pada pasien diabetes tipe 2 mungkin berperan terhadap disfungsi kognitif.

Mekanisme potensial ketiga bagaimana resistensi insulin mungkin berperan dalam disfungsi kognitif adalah dengan membantu pembentukan senile plaque pada Alzheimer’s disease. neurofibrillary tangles intraselular dan senile plaque ekstraselular yang membentuk -amyloid adalah tanda khas patologik dari Alzheimer’s diaease. Beta-amyloid terbentuk dari pemecahan amyloid precursor


(47)

protein (APP), yang diproduksi neuron, dengan bantuan ezim dan sekretase. -amyloid sebenarnya dihancurkan oleh insulin degreading enzyme. β-peptide amyloid dapat dengan sendirinya berikatan dengan RAGEs dan menyebabkan disfungsi neuronal dan mikroglia dan stress oksidatif. Menariknya -peptide amyloid, AGEs, RAGEs telah ditemukan dalam astrosit menggunakan immunohistochemistry dalam irisan otak manusia. Tambahan, ada bukti yang menguatkan bahwa resistensi insulin dapat mempengaruhi metabolism APP dan -amyloid yang potensial meningkatkan beban senile plaque serebral.

Pengamatan terhadap sel pulau Langerhans pada penderita diabetes tipe 2 adalah khas dengan kehilangan sel dan penumpukan dari amyloid di sel pulau Langerhans dimana ini mengingatkan akan penumpukan -amyloid yang terlihat pada Alzheimer’s disease. Yang membentuk amyloid pada sel pulau Langerhans dan sel saraf adalah sama dan sama-sama toksik terhadap sel pulau Langerhans dan sel saraf. Penelitian pada 29 subjek dimana otopsi pada otak dan pancreas tersedia, amyloid ditemukan pada semua subjek dengan berbagai tingkatan. Pada penelitian lain, amyloid sel pulau Langerhans ditemukan lebih banyak pada otopsi pasien Alzheimer’s dibanding dengan yang bukan. Berdasarkan kesamaan -amyloid pada sel pulau dan sel saraf ada yang menduga bahwa patogenesis yang sama mungkin terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dan Alzheimer’s disease, yang mungkin juga melibatkan kelainan pada protein chaperone yang membantu lalulintas protein intraselular.

4. PATOFISIOLOGI GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA CKD

Angka kejadian yang tinggi dari gangguan fungsi kognitif dan demensia telah banyak dilaporkan pada berbagai peneltian pada pasien dengan ESDR, tapi tidak


(48)

   

semuanya. Faktor-faktor yang bisa berkontribusi terhadap gangguan fungsi kognitif pada ESDR tersebut antara lain tingginya prevalensi faktor resiko kardiovaskular yang menyebabkan kerusakan subklinis, uremia dan hubungannya dengan kelainan metabolik yang mengikutinya. (Hailpern SM, 2007).

Faktor lain yang mungkin berperan dalam terjadinya gangguan fungsi kognitif pada CKD adalah anemia, dimana hal ini biasanya terjadi pada CKD stadium lanjut (Kurella,2005 ; Katri M, 2009). Perubahan neuropatologis pada otak yang terjadi secara paralel pada ginjal telah ditempatkan sebagai mekanisnya yang menjelaskan hubungan antara CKD dan gangguan fungsi kognitif. Hal ini termasuk atheroskeloris, penyakit mikrovaskular, stroke, silent stroke, oksidative stress dan white matter lesions (Elias FM, 2009)


(49)

5. Kerangka Konsepsional

DM

- episode hiperglikemia - episode hipoglikemei Aterosklerosis; Penebalan GBM;

Perubahan epitel Glomorulus

Roberts RO,dkk;2008

- hiperinsulimenia - produk² glikosilasi

Lucnsinger dkk; 2007

- vascular change - oxidative stress

Paila dkk; 2007

Gangguan Fungsi Kognitif Harrison:2005; Knobler dkk. 2004 

Dasch S.C:1989; Giunti dkk. 2006 

CKD

(GFR

)

Uremia; Anemia Inflamasi

Kurella dkk; 2005 Heilpern dkk; 2007


(50)

   

GANGUAN FUNGSI KOGNITIF ‐ Hiperkortisulemia

‐ Peningkatan marker inflamasi Resistensi Insulin & Amyloid

‐ Pembentukan senile plaque

6. Kerangka Teori

PENURUNAN GFR /CKD

KOMPLIKASI RENAL

DIABETES MELITUS

Hiperglekimia:

‐ Aktivasi jalur polyol

‐ Overaktivasi reseptur NMDA

‐ Nekrosis neural Hipoglikomia:

‐ Pembentukan ages

‐ Aktivasi diacylglicerol

‐ Shinting glukosa jalur hexosamin

‐ Perubahan fungsi

Peny. Vaskular:

‐ Resiko trombotik

‐ Preudocalcinosis, demyelinisasi & figrosis

‐ Penebalan basemen membrane kapiler


(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan pada Poliklinik Endokrin Ilmu Penyakit Dalam, RSUP H. Adam Malik / FK USU Medan dari tanggal 14 Juni 2010 sampai 31 Januari 2011.

2. Subjek

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode non random jenis konsekutif.

2.1 Populasi sasaran:

Semua pasien diabetes melitus yand telah ditegakkan sebagai penderita DM dengan pemeriksan gula darah.

2.2 Populasi terjangkau:

Semua penderita DM yang dirawat jalan di Poli Endokrin RSUP H Adam Malik Medan.

2.3 Kriteria Inklusi:

1. Penderita DM yang dirawat jalan di Poli Endokrin 2. Penderita berusia ≤65 thn.

3. Pasien yang ditegakkan menderita DM berdasarkan klinis dan laboratorium (sesuai konsesus Perkeni 2006) atau pasien yang telah mendapat terapi obat anti diabetik oral dan atau insulin.

4. Penderita DM yang diperiksa kadar creatinine serumnya

2.4 Kriteria Eksklusi :

1. Penderita DM dengan riwayat Stroke


(52)

3. Penderita DM dengan gangguan kesadaran

4. Penderita DM dengan afasia, tidak bisa berbahasa Indonesia

2.5 Besar Sampel:

Besar sampel dihitung menurut rumus

(zα+z ) n = [ ]² + 3

0,5 ln [(1+r)/(1-r)]

r = perkiraan koefisien korelasi antara GFR dengan MMSE, diperolah dari perhitungan data awal = 0,308

Zα = nilai baku normal dengan label Z yang besarnya tergantung pada nilai

α yang ditentukan. Untuk α=0,05 maka Zα=1,96

Z = nilai baku normal dengan label Z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan. Untuk =0,1 maka Z =1,282

n = jumlah sampel

(1,96+1,282) n = [ ]² + 3

0,5 ln [(1+0,308)/(1-0,308)] n= 34,99 ~ 35

3. Batasan operasional

3.1 Gangguang Fungsi Kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah demensia dan mild cognitive impairment.

3.2 Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian ini pasien ditegakkan


(53)

menderita demensia jika skor MMSE sesuai dengan batasan untuk demensia yang disesuikan dengan umur dan tingkat pendidikan. Sedang berdasarkan CDR pasien masuk kategori demensia jika skornya 1 atau lebih.

3.3 Mild Cognitive Impairment adalah stage intermediate antara kognisi normal dan demensia. Berdasarkan skor MMSE dikategorikan MCI jika skor MMSEnya kurang dari 1,5 standar deviasi dari skor rerata populasi normatif yang disesuaikan dengan umur dan tingkat pendidikan. Penelitian ini menggunakan skor nomatif penelitian Crum dkk tahun 1993. Sedangkan berdasarkan CDR, pasien dikategorikan MCI jika skornya 0,5.

3.4 Penderita Diabetes Melitus adalah penderita dengan gejala keluhan khas DM antara lain poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dl (Perkumpulan Endokrin Indonesia, 2006). Atau penderita yang telah mendapat terapi obat anti hiperglikemia oral maupun terapi insulin. Pada penelitian ini tidak dibedakan penderita DM dengan kontrol glikemik yang baik atau yang tidak terkontrol. Juga tidak dibedakan yang mendapat terapi satu macam obat atau yang lebih.

3.5 Riwayat Stroke adalah adanya riwayat serangan yang ditandai dengan timbulnya suatu gangguan fungsi neurologis akibat gangguan pada pembuluh darah otak yang timbul secara mendadak atau secara cepat berlangsung 24 jam atau lebih. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan neurologis.

3.6 Mini Mental State Examination (MMSE) adalah suatu pengukuran fungsi kognitif yang pertama kali digunakan oleh Folstein. Skor mulai dari 0


(54)

sampai dengan 30. Skor dibawah 24 menunjukkan gangguan fungsi kognitif. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)

3.7 Clinical Dementia Rating (CDR) adalah penelitian fungsi kognitif yang penilaiannya berdasarkan gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah, hobi dan perawatan diri. (Asoisasi Alzheimer Indonesia,2003)

3.8 Glomerular Filtration Rate (GFR) adalah estimasi Laju Filtrasi Glomerulus yang dihitung dengan menggunakan perhitungan berdasar kan kadar serum creatinine dengan metode perhitungan MDRD. Rumus perhitungan GFR dengan metode MDRD adalah sbb:

GFR=186X(Serum Creatinine)-1.154X(Umur)-0.203 dikali faktor 0.742 untuk wanita. (Kidney Disease Outcome Quality Initiative, KDOQI 2000)

3.8 CKD menurut nilai GFR digolongkan menurut NKF-KDOQI

Stage Deskripsi GFR

(ml/mnt/1.73 m²) I Kerusakan ginjal dengan GFR Normal atau meningkat ≥90

II Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR ringan 60-89 III Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR sedang 30-59 IV Kerusakan ginjal dengan pe↓ GFR berat 15-29 V Gagal ginjal (ESRD) < 15

4. Instrumen

4.1. Pemeriksaan Creatinie Serum

Pemeriksaan creatinine serum diukur dengan mengunakan Cobas 6000, dengan metode Jaffe.


(55)

4.2. Glomerular Filtration Rate dihitung menggunakan perhitungan MDRD. 4.3. Fungsi kognitif dinilai dengan menggunakan MMSE dan CDR

5. Rancangan

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan penumpulan data secara cross-sectional (potong lintang) dengan sumber data primer yang diperoleh dari semua penderita DM yang berobat di Poliklinik Endokrin RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Studi observasional digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi nilai GFR, MMSE, dan CDR pada subjek penelitian. Studi ini juga digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi penderita MCI dan demensia pada penderita DM yang menjadi subjek penelitian dengan tingkatan GFR yang berbeda.

b. Studi korelasi digunakan untuk menilai hubungan antara nilai GFR dengan ganguan fungsi kognitif, yang menggunakan MMSE dan CDR.

6. Pelaksanaan Penelitian 6.1. Pengambilan Sampel

Semua penderita DM yang berobat jalan ke Poliklinik Endokrin RSUP H. Adam Malik Medan yang yang diambil secara konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil darah venanya tanpa berpuasa terlebih dahulu. Spesimen darah tersebut langsung dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan fungsi kognitif dilakukan oleh peneliti.


(56)

6.2. Variabel yang diamati

Variabel bebas : nilai GFR

Variabel terikat : gangguan fungsi kognitif

7. Kerangka Operasional:

Penderita Diabetes Melitus

Anamnesa

Pemeriksaan fisik umum Pemeriksaan neurologi

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Penilaian fungsi kognitif : MMSE, CDR Penilaian fungsi ginjal : GFR

Analisa Data

8. Analisa Statistik

Data akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program SPSS versi 15.0. Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut:


(57)

1. Analisis deskriptik digunakan untuk melihat karakteristik demografi, tingkat pendidikan, kadar creatinine serum, nilai GFR dan fungsi kognitif yang dinilai menggunakan MMSE dan CDR.

2. Untuk mengetahui perbedaan kadar creatinine serum dan nilai GFR berdasarkan jenis kelamin digunakan Uji T independent, sedangkan berdasarkan suku, tingkat pendidikan dan pekerjaan digunakan Uji Anova.

3. Untuk mengetahui hubungan nilai GFR dengan skor MMSE digunakan korelasi Pearson.

4. Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai GFR dengan fungsi kognitif yang dinilai dengan MMSE dan CDR digunakan uji t-independent.


(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. HASIL PENELITIAN 1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien DM yang berobat jalan ke Poli Endokrinologi RSUP H.Adam Malik Medan pada periode Juli 2010 hingga Januari 2011, terdapat 35 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

Dari 35 orang subjek yang dianalisa, terdiri dari 20 pria (57,1%) dan 15 wanita (42,9%). Rerata usia subjek adalah 58,09 ± 5,92 tahun dengan rentang usia 45 tahun hingga 65 tahun, dimana usia terbanyak adalah 65 tahun yaitu 7 orang (20,0%). Dari seluruh subjek, suku terbanyak adalah suku Karo yaitu 10 orang (28,6%), dan Batak Toba 9 orang (25,7%).

Dari 35 subjek penelitian, tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SLTA dan Perguruan Tinggi masing-masing 9 orang (25,7%), dan jenis pekerjaan yang paling banyak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jumlah 14 orang (40,0%). Data lengkap mengenai karakteristik subjek penelitian ini disajikan pada tabel berikut.


(59)

Tabel 6. Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik Sampel N (35) %

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia: 45-65 tahun

60-65 tahun <60 tahun Suku Batak Karo Jawa Mandailing Aceh Pendidikan SD SLTP SLTA Akademi PT Pekerjaan

Pegawai Negeri Sipil Pensiunan IRT Wiraswasta Petani 20 15 35 14 21 11 10 7 4 3 5 6 9 6 9 13 9 7 3 3 57,1 42,9 100,0 40,0 60,0 31,4 28,6 20,0 14,4 8,6 14,3 17,1 25,7 17,1 25,7 37,1 25,7 20,0 8,6 8,6

1.2. Penilaian Fungsi Ginjal dan Fungsi Kognitif

1.2.1. Kadar Creatinine serum, Nilai GFR dan Skor MMSE

Nilai rerata kadar creatinine serum pada seluruh subjek adalah : 1,0009 ± 0,246 mg/dL. Untuk GFR nilai reratanya adalah 77,26 ± 20,35 ml/mnt/1,73m2. Skor MMSE memiliki rerata dan SD adalah 26,23±2,31 dengan rentang dari 19-29.


(60)

Tabel 7. Rerata nilai kadar creatinin serum, GFR dan klasifikasi GFR

Variabel (n) ± SD Rentang

Creatinine serum (35) GFR (35)

Klasifikasi GFR: CKD stage I (10) CKD stage II (21) CKD stage III (4) Skor MMSE

1,0009 ± 0,246 77,26 ± 20,35 101,10±12,35 72,67±8,31 41,75±7,27 26,37±2,06 0,66-1,77 31-129 90-129 60-89 31-47 22-29

*Penilaian Fungsi kongitif berdasarkan CDR tidak dapat dihitung rerata dan SD nya karena skor CDR merupakan data kategorik

1.2.2. Distribusi Fungsi Kognitif Berdasarkan MMSE dan CDR

Penilaian fungsi kognitif berdasarkan MMSE terdapat 8 subjek dengan MCI dan 27 normal. Sedang berdasarkan CDR terdapat 4 subjek dengan MCI dan 31 normal. Tabel 8. Fungsi Kognitif berdasarkan MMSE dan CDR

Fungsi Kognitif n %

MMSE: Normal MCI CDR: Normal MCI 28 7 31 4 80,0 20,0 88,6 11,4 .

1.3. Distribusi Rerata Kadar Creatinin Serum dan Nilai GFR Berdasarkan Variabel

1.3.1. Distribusi Rerata Kadar Creatinin Serum Berdasarkan Variabel

Berdasarkan jenis kelamin, rerata kadar creatinine serum ± SD adalah 1,011 ± 0,222 mg/dL pada laki-laki dan 0,987 ± 0,282 mg/dL pada wanita. Hasil analisa dengan menggunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata kadar creatinine serum berdasarkan jenis kelamin (p=0,783).


(61)

Berdasarkan umur, rerata kadar creatinine serum ± SD adalah 0,962 ± 0,176 mg/dLpada kelompok usia 60-65 tahun dan 1,026 ± 0,284mg/dLpada kelompok usia <60 tahun. Dengan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari rerata kadar creatinine serum berdasarkan kelompok umur (p=0,456).

Berdasarkan suku, rerata kadar creatinine serum yang tertinggi dijumpai pada suku Mandailing yaitu 1,265 ± 0,266mg/dL dan terendah pada suku Karo yaitu 0,949 ± 0,166 mg/dL. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata kadar creatinin serum berdasarkan suku (p=0,261). Berdasarkan tingkat pendidikan, rerata kadar creatinin serum yang tertinggi dijumpai pada subjek tamatan SLTP yaitu 1,086 ± 0,389mg/dL dan terendah pada tamatan SLTA yaitu 0,962 ± 0,199 mg/dL. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata kadar creatinin serum berdasarkan tingkat pendidikan (p=0,892). Berdasarkan pekerjaan, rerata kadar creatinin serum yang tertinggi dijumpai pada pensiunan yaitu 1,083 ± 0,293mg/dL dan terendah pada IRT yaitu 0,894 ± 0,132 mg/dL. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata kadar creatinin serum berdasarkan pekerjaan (p = 0,655).


(62)

Tabel 9. Distribusi rerata kadar creatinin serum berdasarkan variabel

Karakteristik Rerata Kadar Creatinine serum (mg/dL) SD p Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 60-65 Tahun <60 Tahun Suku Batak Karo Jawa Mandaling Aceh Pendidikan SD SLTP SLTA Akademi PT Pekerjaan PNS Pensiunan IRT Wiraswasta Petani 1,011 0,987 0,962 1,027 0,982 0,949 0,960 1,265 0,987 1,014 1,122 0,924 1,038 0,964 1,020 1,083 0,894 0,950 0,970 0,222 0,282 0,177 0,284 0,299 0,166 0,183 0,266 0,295 0,189 0,359 0,170 0,347 0,185 0,248 0,293 0,132 0,295 0,310 0,783* 0,456* 0,261** 0,640** 0,655**

*Uji t-independent **Uji ANOVA

1.3.2. Distribusi Rerata Nilai GFR Berdasarkan Variabel

Berdasarkan jenis kelamin, rerata nilai GFR dan SD adalah 84,6 ± 19,7 mL/menit/1,73m2 pada laki-laki dan 67,5 ± 17,2 mL/menit/1,73m2 pada wanita. Hasil analisa dengan menggunakan uji T Independent menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan rerata nilai GFR berdasarkan jenis kelamin (p=0,01). Berdasarkan umur, rerata nilai GFR dan SD adalah 78,3 ± 23,6 mL/menit/1,73m2 pada kelompok usia 60-65 tahun dan 76,7 ± 18,4 mL/menit/1,73m2 pada kelompok usia <60 tahun. Dengan mengunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari rerata nilai GFR berdasarkan kelompok umur (p=0,811).


(63)

Berdasarkan suku, rerata nilai GFR yang tertinggi dijumpai pada suku Batak yaitu 82,2 ± 26,4 mL/menit/1,73m2 dan terendah pada suku Mandaling yaitu 65,0 ± 14,8 mL/menit/1,73m2. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata nilai GFR berdasarkan suku (p=0,839). Berdasarkan tingkat pendidikan, rerata nilai GFR yang tertinggi dijumpai pada subjek tamatan Sarjana yaitu 82,3 ± 17,3 mL/menit/1,73m2 dan terendah pada tamatan SLTP yaitu 69,6 ± 27,8 mL/menit/1,73m2. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata nilai GFR berdasarkan tingkat pendidikan (p=0,737). Berdasarkan pekerjaan, rerata nilai GFR yang tertinggi dijumpai pada wiraswasta yaitu 92,7 ± 27,5 mL/menit/1,73m2 dan terendah pada pensiunan yaitu 72,0 ± 22,1 mL/menit/1,73m2. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata nilai GFR berdasarkan pekerjaan (p = 0,550).


(64)

Tabel 10. Distribusi rerata nilai GFR berdasarkan variabel

Karakteristik Rerata Nilai

GFR(mL/menit/1,73m2)

SD p Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Umur 60-65 Tahun <60 Tahun Suku Batak Karo Jawa Mandaling Aceh Pendidikan SD SLTP SLTA Akademi PT Pekerjaan PNS Pensiunan IRT Wiraswasta Petani 84,6 67,5 78,3 76,6 82,2 76,8 76,3 65,0 79,3 70,4 65,3 81,0 81,7 82,3 77,4 72,0 73,3 92,7 86,3 19,8 17,2 23,6 18,4 26,4 15,9 21,4 14,8 16,3 15,4 29,9 15,1 27,3 17,3 16,3 21,1 10,0 27,5 42,0 0,011* 0,811* 0,732** 0,456** 0,550**

*Uji t-independent **Uji ANOVA

1.4. Distribusi Penilaian Fungsi Kognitif Berdasarkan Variabel 1.4.1. Distribusi Rerata Skor MMSE Berdasarkan Variabel

Berdasarkan jenis kelamin, rerata skor MMSE dan SD adalah 27,05 ± 1,60pada laki-laki dan 25,47 ± 2,29 pada wanita. Hasil analisa dengan menggunakan uji T Independent menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan rerata skor MMSE berdasarkan jenis kelamin (p=0,022). Pada studi-studi lain tidak dijumpai perbedaan skor MMSE berdasarkan jenis kelamin. Di studi ini dijumpai bisa disebabkan oleh jumlah sampel yang sedikit dan kebetulan sampel dengan pendidikan yang lebih rendah adalah wanita. Berdasarkan umur, rerata skor MMSE dan SD adalah 26,50 ±


(65)

2,17 padakelompok usia 60-65 tahun dan 26,29 ± 2,03 pada kelompok usia <60 tahun. Dengan mengunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari rerata skor MMSE berdasarkan kelompok umur (p=0,768).

Berdasarkan suku, rerata skor MMSE yang tertinggi dijumpai pada suku Karo yaitu 27,20 ± 1,55 dan terendah pada suku Jawa dan Aceh yaitu 25,00 ± 2,38 dan 25,00±1,73.. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan rerata skor MMSE berdasarkan suku (p=0,153). Berdasarkan tingkat pendidikan, rerata skor MMSE yang tertinggi dijumpai pada subjek tamatan Sarjana yaitu 28,00 ± 0,70 dan terendah pada tamatan SD yaitu 23,60 ± 1,67. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata skor MMSE berdasarkan tingkat pendidikan (p=0,001). Berdasarkan pekerjaan, rerata skor MMSE yang tertinggi dijumpai pada PNS yaitu 27,23 ± 1,36dan terendah pada Petani yaitu 24,00 ± 2,00. Hasil analisa dengan menggunakan uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata skor MMSE berdasarkan pekerjaan (p = 0,109).


(1)

Diketahui/ disetujui:

(Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K))

dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Pada pendahuluan tidak ada penelitian mengenai hubungan GFR dengan fungsi kognitif, yang ada hanya antara CKD dengan fungsi kognitif?

2. Tujuan khusus 3.1.2 dan 3.1.3 belum terjawab, dan apa maksudnya distribusi kejadianMCI/demensia pada tujuan khusus tersebut?

Jawaban :

1. Pada pendahuluan memang tidak ada dibuat secara langsung hubungan GFR dengan gangguan fungsi kognitif. Namun CKD sendiri telah mewakili GFR karena CKD diklasifikasikan bersasarkan nilai GFR.

2. Tujuan khusus tersebut telah dilakukan koreksi pada “ralat”.

Diketahui/disetujui:

(dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K))

dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Hubungan GFR dengan fungsi kognitif pada pasien DM. Bagaimana kita bisa tahu bahwa gangguan fungsi kognitif ini karena DM nya atau karena

penurunan GFR nya?

 Masukan dari Prof Hasan Sjahrir: harus dibedakan nilai MMSE yang GFR normal dengan MMSE yang GFR nya menurun. Jika nilai MMSE sama berarti GFR tidak berperan.


(2)

 Masukan dari dr. Kharul Surbakti, Sp.S: datanya ada di lampiran 6 tinggal diperjelas.

Jawaban :

1. Telah dibuat poin satu tambahan pada bagian bab hasil peneltian dan pembahasan yang menghubungakan antara GFR menurut tingakatannya berdasarkan klasifikasi CKD dengan gangguan fungsi kognitif. Hasilnya terdapat hubungan yang signifikan antara CKD stage I, stage II dan stage III (stage IV dan V tidak dijumpai di antar subjek) dengan nilai MMSE.

Diketahui/disetujui:

(dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K))

dr. Kiking Ritarwan, Sp.S(K), MKT

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Pada daftar isi, daftar singkatan dan daftar tabel tidak ada? 2. Lampiran seharusnya tidak pakai halaman.

3. Pada halaman 2, jelaskan tentang efek dari hiperisulinemia perifer dan produk-produk glikosilasi?

4. Ada huruf-huruf yang kurang pada kata-kata DM dan kognitif. 5. Hal 40-41 tabel seharusnya tidak boleh terpecah.

Jawaban :

1. Telah ditambahkan daftar singkatan dan daftar tabel pada daftar isi. 2. Telah dilakukan koreksi pada bagian lampiran mengenai halamannya.

3. Telah ditambahkan efek hiperinsulinemia perifer dan produk-produk glikosilasi beserta gambar untuk memperjelas pada bagian tersebut.

4. Telah dilakukan koreksi terhadap kata-kata yang salah ketik tau kurang huruf nya.

5. Tabel pada halaman tersebut telah dibuat pada satu halaman sehingga tidak terpecah lagi.


(3)

Diketahui/disetujui:

(dr. Kiking Ritarwan, SpS(K), MKT)

dr. Khirul P. Surbakti, Sp.S

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Bagaimana patofisiologi penuruanan GFR dengan gangguan fungsi kognitif? 2. Pada kesimpulan nomer 2 dan 8, merupakan kesimpulan yang digeneralisasi.

Harap lebih diperjelas!(dibuat batasan yang jelas) Jawaban :

1. Patofisiologi penurunan GFR dengan fungsi kognitif telah dijelakan pada kerangka konsepsional bahwa penurununan GFR memperangaruhi fungsi kognitif melalui: anemia, uremia dan inflamasi. Juga telah ditambahkan satu sub bab pada tinjauan pustaka.

2. Pada kesimpulan nomer 8 sebenarnya tidak digeneralisasi karena mencantumkan “subjek penelitian” pada poin tersebut. Sedangkan pada kesimpulan nomer 2 telah ditambahkan kata “subjek penelitian” untuk membatasi cakupan hasil kesimpulan pelitian tersebut.

Diketahui/ disetujui:

(dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S)

dr. Puji Pinta Sinurat, Sp.S

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Pada halaman 33, berapa cut off point dari GFR? Kapan dikatan GFR menurun?

2. Kesimpulan pembahasannya terlalu singkat. Pada poin 2, tidak terdapat perbedaan bermakna dst. Apa makna dari angka tersebut?


(4)

3. Pada poin 4 apa arti dari angka tersebut? Misal, apakah jika GFR meningkat makan fungsi kognitif menurun?

Jawaban :

1. Telah ditambahkan pada batasan operasional setelah GFR tentang pembagian nilai GFR menjadi CKD stage I sampai CKD stage V.

2. Telah diperbaiki kalimat pada kesimpulan poin 2 menjadi “Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata nilai GFR berdasarkan umur, suku, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan yang bermakna dari rerata nilai GFR. Dimana rerata nilai GFR pria lebih tinggi dari rerata nilai GFR wanita.

3. Pada poin 4 hanya mendeskripsikan hasil dari penelitian tersebut berupa rerata nilai MMSE dari semua subjek penelitian dan rangkuman interpretasi dari nilai MMSE dari tiap-tiap subjek. Sedang hubungan antar nialai GFR dengan nilai MMSE dijelakan dalamkesimpulan poin 7 berupa suatu korelasi yang positif. Artinya semakin tinggi nilai GFR maka nilai MMSE juga semakin tinggi.

Diketahui/disetujui:

(dr. Puji Pinta Sinurat, Sp.S)

dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Halaman 4, singkatan GFR belum ada kepanjangannya sebelumnya. 2. Halaman 7. Ingatan akan kata berkurang tapi vocabulary tidak terganggu,

bisa dijelaskan tentang hal ini?

3. Hal 46. Tujuan pemeriksaan profil lipid serum?

4. Hal 49. Jumlah total masih 34 sedang sampel minimal 35? Jawaban :


(5)

2. Telah dicari tidak literatur sumbernya tidak ketemu, kemungkinan maksudnya adalah: proses mengingat kata yang terganggu tapi memori tentang kata masih tetap tersimpan.

3. Telah dilakukan koreksi terhadap kalimat tersebut, profil lipid serum itu sebenarnya tidak ada.

4. Telah dilakukan koreksi, yang sebernarnya adalah 7 subjek dengan MCI dan 28 subjek dengan normal’

Diketahui/disetujui:

(dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S)

dr. Alfansuri Kadri, Sp.S

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Kerangka teori, tidak ada tanda panah yang menghubungkan GFR dengan funsi kognitif?

2. Pembahasan terlalu sederhana, terutama hubungan GFR dengan fungsi kognitif. Tidak ada juga penjelasan yang membandingkan dengan penelitian selanjutnya.

Jawaban :

1. Pada kerangka teori telah ditambahkan garis yang menghubungkan GFR dengna fungsi kognitif.

2. Telah ditambahkan pada bagian pembahasan tentang hubungan GFR dengan fungsi kognitif. Juga telah ditambahkan perbadingan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya.

Diketahui/disetujui:


(6)

   

dr. Dina Lystianingrum, Sp.S, MSi. Med

Pertanyaan/Saran/ masukkan:

1. Pada Abstract, kalimat past tense harus diperbaiki. Bagian result: used CDR harusnya use CDR, there was subjects harusnya there were subjects?

2. Halaman 35. Kriteria inklusi 3 dan 4 tidak jelas. Tidak seperti halaman 35, pasien masuk atau kriteria inklusi dulu?

3. Di kerangka teori CKD kok tidak ada dicantumkan?

4. Iklusi poin 3. Jika pasiennya sudah tegak DM makaga usah lagi ditulis poin 3. Jawaban :

1. Telah dilakukan perbaikan dalam abstact dalam hal tata bahasa inggrisnya. 2. Kriteria inklusi nomer 4 tidak tidak berubah. Sedang kriteria inklusi 3 di ubah

menjadi “pasien yang ditegakkan menderita DM berdasarkan klinis dan

laboratoriuam (sesuai konsesus Perkeni 2006) atau pasien yang telah mendapat terapi obat anti diabetik oral dan atau insulin”.

3. Halaman 35 kerangka teori tidak dirubah, pasien yang termasuk DM baik lama maupun baru masuk dulu baru dilakukan pemilahan melalui kriteria inklusi dan eksklusi.

4. Pada kerangka teori telah ditambahkan “CKD” pada “PENURUNAN GFR’

Diketahui/disetujui

(dr. Dina Lystianingrum, Sp.S, MSi. Med.)