Dimensi-dimensi Religiusitas Religi dan Religiusitas .1 Pengertian Religi

yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga minginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Dalam begitu adapun agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Ancok dan Suroso, 1995, dalam Hidayat, 2008. b. Dimensi Ritualistik The Ritualistic Dimension Religious ractice the ritual dimension yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya Ancok dan Suroso, 1995, dalam Hidayat, 2008. c. Dimensi Perasaan The Feeling Dimension Religious Feeling adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso 1995 mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal pasrah diri dalam hal yang positif kepada Allah. Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat- ayat Al Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah Hidayat, 2008. d. Dimensi Intelektual The Intelectual Dimension Religious Knowledge The Intellectual Dimension atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. Paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi- tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya Ancok dan Suroso, 1995, dalam Hidayat, 2008 e. Dimensi Konsekuensial The Consequential Dimension Yaitu sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya. Dari kelima aspek religiusitas di atas, semakin tinggi penghayatan dan pelaksanaan seseorang terhadap kelima dimensi tersebut, maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Tingkat religiusitas seseorang akan tercermin dari sikap dan perilakunya sehari-hari yang mengarah kepada perilaku yang sesuai dengan tuntunan agama. The consequential dimension yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya. Ancok dan Suroso 1995 mengatakan bahwa dalam Islam, dimensi ini dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan atau perilaku yang baik sebagai amalan sholeh sebagai muslim, yaitu meliputi prilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegakkan kebenaran dan keadilan, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam prilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya.

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas

Thouless Jalaluddin, 2003 mengemukakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi seseorang dalam perilaku religiusnya, yaitu faktor sosial, faktor emosional, faktor intelektual dan faktor konflik moral. a. Faktor Sosial Menurut Thouless 1992 faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku religius dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak. Berbagai pendapat dan sikap orang-orang disekitar kita, serta berbagai tradisi yang kita terima pada masa lampau. Sejak masa kanak- kanak samapi masa tua kita menerima perilaku dari orang-orang disekitar kita dan dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikap-sikap religius kita. Selain itu, pola-pola ekspresi emosional kita pun bisa dibentuk oleh lingkungan sosial kita. b. Faktor Emosional Setiap pemeluk agama memiliki pengalaman emosional dalam kadar tertentu yang berkaitan dengan agamanya, bahkan boleh jadi lebih mendalam tanpa membedakan jenisnya dari pengalaman- pengalaman religius kebanyakan orang. Menurut Thouless 1992 ada peribadatan-peribadatan keagamaan lainnya yang juga dapat menimbulkan pengalaman-pengalaman emosional pada para pemeluknya, meskipun ini bukan merupakan tujuan utamanya. Tanpa adanya pengalaman emosional, peribadatan-peribadatan itu akan terasa agak kosong dan bersifat formal semata-mata. c. Faktor Intelektual Rasionalisasi merupakan proses verbal yang digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap kepercayaan yang dikukuhkan dengan landasan-landasan lain. Hampir tidak dapat diragukan lagi, bahwa rasionalisasi memainkan peran dalam pembentukan system kepercayaan keagamaan sebagaimana terjadi dalam sistem kepercayaan-kepercayaan lainnya, unsur-unsur emosional juga ikut. d. Konflik Moral Hukum moral bisa dianggap sebagai sistem tatanan sosial yang dikembangkan oleh suatu masyarakat dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya melalui proses pengkondisian sosial. Thouless juga berpendapat bahwa hukum moral dapat dianggap sebagai sistem kewajiban yang mengikat manusia tanpa mempermasalahkan apakah sistem itu bermanfaat atau tidak, dilihat dari sisi sosial. Konflik moral menurut Thouless dapat dianggap sebagai salah satu fakta yang menentukan sikap religius. Konflik itu merupakan konflik antara kekuatan-kekuatan yang baik dan yang jahat dalam diri individu.

2.4 Kerangka Berpikir

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa masa remaja merupakan masa transisi, dimana individu akan berubah baik secara fisik maupun psikis dari seorang anak menjadi dewasa. Pada masa ini pula, remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya seperti halnya media massa, film biru, buku-buku porno dan gambar-gambar porno. Kondisi tersebut bertambah parah dengan diputarnya film-film televisi maupun bioskop yang banyak mengumbar pornoaksi. Akibatnya, banyak remaja yang menirukan pola perilaku dalam film tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa perilaku yang mengumbar pornoaksi merupakan suatu hal yang bertentangan dengan norma-norma yang dianut oleh mayarakat dan ajaran agama. Untuk menghindari hal-hal tersebut remaja senantiasa membentengi diri dengan bekal iman dan tetap berpegah teguh pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku, agar terhindari dari pengaruh lingkungan yang negatif. Oleh karena itu, tertanamnya juga nilai-nilai agama dan jiwa-jiwa agama dalam kehidupan sehari-hari mereka diharapkan mampu menuntun semua perilakunya. Sesuai dengan konsep yang dijelaskan oleh Glock Stark 1975 mengenai Religiusitas terdapat 5 dimensi religiusitas, yaitu: 1. Dimensi Ideologi, 2. Dimensi Ritualistik, 3. Dimensi Perasaan, 4. Dimensi Intelektual, 5. Dimensi Seseorang yang memiliki keyakinan beragama akan mampu mengawasi segala tindakan, perkataan, dan perasaannya. Ketika tertarik