Sumber Pengetahuan Perilaku dan kesadaran hukum

pakaian yang terkena ngompol saya campurkan saja ketika mencuci pakaian anak-anak saya. Dalam hal ini menyuci pakaian saya menggunakan mesin cuci baju. Namun, yang menjadi kendala saya adalah keterbatasan air yang membuat saya untuk berhemat”. 15 Hal yang sama dengan pernyataan di atas, diungkapkan oleh ibu Mayang umur 39 tahun latar belakang pendidikan SLTP hanya mendapatkan pendidikan agama dari sekolah. Dalam menyuci, ibu Mayang tidak memisahkan pakaian yang terkena najis dengan pakaian yang tidak terkena najis. Ibu Mayang mengungkapkan bahwa sebenarnya beliau menyadari apa yang dia lakukan itu salah, namun apa boleh buat karena keterbatasan air dapat membuat keluarga ini tidak melaksanakan perintah ajaran agama yang sesungguhnya.

2. Sumber Pengetahuan

Dari berbagai macam pendapat dalam pemaknaan thaharah maupun kegunaan thaharah tersebut dalam ibadah, dapat dilihat darimana mereka mendapatkan pengetahuan tersebut. Terdapat beberapa sumber darimana asal mula mereka mengetahui dan mempelajarinya. Berikut adalah tabel hasil penelitian penulis dapatkan tentang suatu pemahaman mengenai thaharah 15 Wawancara pribadi dengan ibu Desi umur 24 tahun latar belakang pendidikan SLTP mendapatkan pengetahuan agama dari bangku sekolah, Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 14.00 WIB Table 4.8 Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan tentang thaharah NO Alternatif Jawaban f 1 Diajarkan Orangtua 8 32 2 Pelajaran Agama di Sekolah 11 44 3 Mengikuti Pengajian 5 20 4 Buku-buku Agama 1 4 Jumlah 25 100 Sumber: Data Lapangan Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas narasumber mempelajari thaharah dari pelajaran agama di sekolah karena pelajaran agama merupakan kurikulum pendidikan yang wajib diikuti oleh semua siswa.

3. Perilaku dan kesadaran hukum

Berbicara masalah pelaksanaan thaharah, tidak terlepas dari aspek pemenuhan hukum dalam syariat islam. Pelaksanaan bersuci yang sesuai dengan penjelasan fuqaha dalam kitab fikih menjamin kesempurnaan dalam beribadah. Hukum syariat yang dijelaskan dalam kitab fiqih bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam beribadah dan bermuamalah. Sehingga tercipta suatu keharmonisan antara kenyamanan beribadah dengan kenyamanan dalam berinteraksi sosial. Kesadaran masyarakat akan hukum syariat mempunyai posisi yang sangat penting dalam menciptakan keteraturan. Hal tersebut tidak hanya berimplikasi pada lingkungannya saja, tetapi secara individual ketaatan terhadap hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat dapat menjamin keshahihan dalam beribadah. Karena jika seseorang mengabaikan aturan hukum yang berlaku dalam beribadah, maka dia berpotensi rusak atau bahkan hilang nilai pahala dari ibadah yang dilakukannya. Namun demikian, kesadaran hukum ini belum tercipta secara optimal dalam masyarakat Bukit Kemuning. Masih ada masyarakat yang mengabaikan hukum yang telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah cara membersihkan sofa yang terkena air kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Dari satu permasalahan tersebut terdapat tiga jawaban yang berbeda berdasarkan wawancara penulis dengan tiga narasumber sebagai berikut: a. Ibu Juwarita 16 : “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa dengan cara dilap saja dengan kain basah, karena dengan cara itu juga sudah cukup. Yang penting sudah tidak ada bekas kencingnya lagi ”. b. Ibu Imah 17 : “kalau anak saya kencing di sofa, saya biarkan saja yang penting sudah dilap dengan celananya tadi yang bekas kencing. Kenapa tidak saya bersihkan lagi karena serapan air kencing ke sofa sudah cepat masuk ke busa sofa tersebut. Jadi buat apa dibersihkan lagi. Lagian juga kalau mau dijemur terlalu berat diangkat sofanya ”. 16 Wawancara pribadi, dengan ibu Juwarita umur 29 tahun latar belakang pendidikan SLTP, dan mendapatkan pengetahuan agama dari orang tua. Sabtu 8 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB. 17 Wawancara pribadi dengan ibu Imah umur 37 tahun latar belakang pendidikannya SD. Minggu, 9 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB. c. Ibu Mutmainah 18 : “saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa dengan cara dialirkan air sedikit lalu dilap dengan kain basah, kalau baunya juga masih belum hilang maka sofa tersebut saya jemur ”. Dari ketiga jawaban di atas, jawaban yang sesuai dengan ketentuan fiqh adalah jawaban yang diutarakan oleh ibu Mutmainah. Apa yang telah dilakukan ibu Mutmainah dalam cara membersihkan najis sudah memenuhi standar thaharah sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa ukuran sesuatu itu dikatakan sucibersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu: warnanya sudah tidak terlihat, baunya sudah tidak tercium dan wujudnya sudah tidak Nampak lagi. Ketidaksesuaian pelaksanaan thaharah dan konsep normatif bisa disebabkan oleh faktor ketidak mengertian. Namun demikian, faktor kelalaian juga menjadi persoalan penting. Sebagaimana saja alasan yang diungkapkan oleh ibu Mayang umur 39 tahun yang latar belakang pendidikannya SMP, sebagai berikut: Sebenarnya saya tahu kalau membersihkan najis itu harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti, tetapi hal tersebut membuat rumit, yang terpenting bagi saya adalah saya sudah membersihkannya dengan cara- cara yang saya mau. Dalam ketaatan terhadap hukum syariat tentang pembahasan thaharah, masyarakat Bukit Kemuning masih banyak yang tidak melaksanakannya dengan semestinya. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan ditemukan banyak di antara mereka yang melakukan pelaksanaan thaharah tidak sesuai dengan 18 Wawancara pribadi dengan ibu Mutmainah 31 tahun latar melakang pendidikanya MA, Kamis, 30 September 2010, pukul 14.00 WIB apa yang dijelaskan dalam kitab fiqih. Terkadang mereka melakukan kekeliruan tersebut secara sadar, namun dengan alasan keterbatasan sumber daya, mereka tetap melakukan kekeliruan tersebut. Sebagaimana terlihat dalam sebuah peristiwa yang terobservasi dalam sebuah kasus ibu Mawar yang latar belakang pendidikan umum yang hanya lulus dibangku SMP, dalam membersihkan najis kencing anak bayi perempuannya yang berumur 1 tahun. Tetapi pada saat si kecil kencing ibu Mawar melepaskan celana anaknya yang terkena air kencing lalu kemudian melapkan yang sudah kotor itu kedalam air kencing, tanpa kemudian menyiram air kencing itu. Kasus yang sama terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh ibu Mawar 19 . Contoh lainnya adalah perilaku thaharah yang dilakukan keluarga bapak Waskito dan ibu Eka 20 . Melihat dari latar belakang pendidikan mereka bapak Waskito merupakan lulusan Sekolah Dasar umum dan yang tidak terbiasa mengikuti pengajian-pengajian agama di karenakan sibuknya bekerja, dan ibu Eka lulusan Aliyah yang memiliki latar belakang pendidikan agama dari pondok pesantren, dan mereka mempunyai anak bayi yang berumur 8 bulan. Mengingat keluarga bapak waskito dan istrinya merupakan pasangan muda, yang baru mempunyai anak bayi pertama kalinya. Maka pekerjaan rumah tangga dilakukan secara bergantian salah satunya adalah mencuci pakaian bayi mereka. Dalam hal ini, ketika penulis berkunjung kerumah mereka. Penulis melihat ibu Eka 19 Observasi dilakukan pada hari Jum’at, 17 September 2010, pukul 10.00 WIB. 20 Observasi dilakukan pada hari Senin, 20 september 2010, pukul 13.00 WIB. dalam membersihkan pakaian bayinya yang terkena najis dengan cara menghilangkan dulu kotoran yang menempel atau bekas kencingnya, setelah itu pakaian tersebut di rendam kemudian dicampur dengan pakaian yang lain. Fenomena yang berbeda, terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh bapak Waskito dalam mencuci pakaian bayi mereka, dalam hal ini bapak Waskito melakukannya dengan cara yang berbeda yakni dengan cara mencampurkan semua pakaian yang terkena najis maupun yang tidak ke dalam mesin cuci. Pada waktu yang bersamaan ibu Eka pun melihat apa yang dilakukan suaminya. Namun hal tersebut dibiarkan saja oleh ibu Eka. Hal ini bisa disebabkan oleh proses sosialisasi ilmu yang kurang sempurna. Pemahaman mereka yang hanya sekelumit tentang thaharah baik dari proses belajar di sekolah maupun dari proses pembelajaran orang tua, menyebabkan penanaman hukum hanya sebatas meniru dari apa yang dilihat pada saat terjadi proses sosialisasi. Pemahaman thaharah secara tidak menyeluruh menyebabkan adanya kesenjangan antara teori yang terdapat dalam literatur fiqih, dengan pelaksanaan thaharah di masyarakat. Sebenarnya masyarakat memandang thaharah itu sebagai suatu kegiatan yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi dalam pelaksanaanya, mereka masih saja melakukan kekeliruan yang terkadang dengan sadar mereka lakukan. Hal ini menunjukan bahwa proses sosialisasi hukum syariat ini hanya bersifat taklid, atau hanya mengikuti tanpa ada penjelasan bukan dari proses penurunan ilmu yang rasional. 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian dalam skripsi ini dapat penulis ambil beberapa kesimpulan, diantaranya yaitu: 1. Masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara memiliki pemahaman tentang thaharah yang sama namun, dalam hal menyikapi najis khususnya berbeda-beda. Hal ini dikarenakan umumnya mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan agama dan tingkat pendidikan yang rendah. Kedua faktor tersebut merupakan faktor utama di samping faktor lainnya yang mempengaruhi pemahaman mereka tentang thaharah. 2. Tata cara bersuci masyarakat Bukit Kemuning didasarkan pada pemahaman yang didapatkan dari meniru kebiasaan orang tua terdahulu dan dari proses belajar yang dilakukan di sekolah. Namun demikian, penulis mendapatkan adanya ketidaksesuaian antara teori dan prakteknya di masyarakat. Misalnya dalam membersihkan najis air kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Syari’at islam menetapkan bahwa cara mennyucikannya dengan menghilangkan zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan warnanya, kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu dikeringkan. Sedangkan yang terjadi masyarakat Bukit Kemuning, mereka