keduanya tidak dapat dilakukan tayammum. Sedang bersuci dari najis juga ada tiga macam, membersihkan diri, menyapu dan memercikkan air.
6
2. Jenis-jenis Thaharah
Berdasarkan dalil qathi yang telah disepakati bahwa thaharah itu wajib menurut
syara’. Salah satu dalilnya adalah perintah wudhu dan mandi jinabah sebagaimana tercantum dalam QS. al-Maidah
5: 6 berikut ini:
۩م݆ا هܑئ
۵ :
٦ Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah”. QS. al-Maidah5 : 6
Thaharah yang wajib itu adalah wudhu, mandi janabah, mandi haid, mandi nifas, bersuci dengan air, tayamum sebagai penggantinya bersuci dengan tanah
manakala tidak ada air atau seseorang berhalangan menggunakannya, atau menghilangkan najis.
Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudhu atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk
bertayamum, sebagaimana ganti dari wudhu atau mandi. Kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Para fuqaha sepakat tentang
6
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu. Penerjemah Masdar Hilmy Jilid 1, Bandung: CV. Pustaka Media Utama, 2004, h. 5
kebolehan bersuci dengan air yang suci atau air mutlak, yaitu air yang hanya disebut “air” tanpa embel-embel sifat, seperti air musta’mal atau embel-embel nisbah, seperti
air mawar. Adapun air sebagai sarana thahârah terdapat beberapa macam
7
: a.
Air Mutlak, ialah air suci lagi mensucikan. Air mutlak ini terdapat beberapa definisi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa air mutlak ialah air yang
dalam penyebutannya lepas dari segala ikatan apapun yang sifatnya tetap.
8
Kemudian menurut definisi yang lain, bahwa air mutlak ialah air yang tetap menurut keadaan aslinya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air
hujan, salju, air embun, air mata air, air sumur, air sungai dan air laut. b.
Air Musyammas, yaitu air yang terkena langsung panas matahari. Air tersebut adalah suci, karena ia tidak terkena najis dan mensucikan, yakni dapat
menghilangkan hadas dan najis karena ia masih tetap disebut air mutlak. Namun terdapat perbedaan di
kalangan ulama’ dalam menggunakan air yang panas karena matahari dapat menimbulkan penyakit belang. Air seperti ini
dihukumi makruh. c.
Air Musta’mal, yaitu air suci namun tidak menyucikan. Ia adalah air yang sudah dipakai untuk mengangkat hadats atau bentuk ibadah lainnya seperti
7
A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 20
8
Al-Iman Taqiyuddin Abubakar Alhusaini, Kifayatul Akhyar, Jilid 1, Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1997, h, 11
memperbarui wudhu. Air yang jenis ini makruh dipakai untuk mengangkat hadats akan tetapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis.
9
d. Air Mutanajis. Air ini terdapat dua keadaan yaitu: pertama bila najis itu
mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini para ul
ama’ sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci. Kedua bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara ketiga
sifatnya tadi tidak berubah. Hukum air seperti ini suci dan menyucikan.
10
Di samping empat air yang disebut di atas, para ulama sepakat tentang kebolehan bersuci dengan daun dan batu ketika beristinja yaitu ketika luarnya, baik
air kencing maupun faces
11
, selagi najisnya wajar. Demikian halnya mereka juga sepakat atas disyaratkannya bersuci dengan tanah sebagai thaharah hukmiyah dan
atas sucinya khamar menjadi cuka.
3. Cara menghilangkan najis