Tradisi ini merupakan salah satu kelemahan pesantren meskipun dalam batas-batas tertentu dapat menumbuhkan kelebihan. Dalam perspektif
manajerial, landasan tradisi dalam mengelola suatu lembaga, termasuk Pesantren menyebabkan produk pengelolaan itu asl jadi, tidak memiliki fokus
strategi yang terarah, domonasi personal terlalu besar, dan cendrung eksklusif dalam pengembangannya. Di sisi lain Hamdan Farchan dan Syarifuddin
melaporkan “banyak pesantren yang masih melakukan sakralisasi sehingga apapun yang bersifat pembaharuan dianggap menyimpang dari tradisi
salafiyah ”.
55
Sikap yang demikian berarti menghadapkam tradisi dan modernisasi dalam posisi berbenturan. Semestinya Pesantren mampu mengintegrasikan
tradisi dan modernisasi menjadi salah satu watak khas pesantren. Bukankah slogan yang selama ini di gemborkan berusaha memadukan tradisi dengan
modernisasi, meskipun tradisi ini terkesan lbih kuat slogan tersebut berbunyi “Al muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah
memelihara hal-hal lama dan mengimplementasikan hal-hal baru yang lebih baik.
56
Ternyata slogan tersebut tidak selamanya diterapkan dalam kehidupan Pesantren. Anggapan yang memandang bahwa pembaharuan sebagai sesuatu
yang menyimpang dari tradisi salafiyah membuktikan adanya sikap yang tidak konsisten terhadap slogan yang selalul didendangkan kalangan
pesantren selama ini integrasi antara tradisi dan modernisasi hanya dipraktekan dalam kasus tertentu yang masih sangat terbatas, tetapi dalam hal
lainnya justru berusaha di pertentangkan. Anggapan tersebut mengandung konsekuensi bahwa pertimbangan-
pertimbangan rasional kurang di perhatikan oleh Pesantren. Mengolah konsep apapun tentang Pesantren ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Tidak ada
konsep yang mutlak rasional dan paling tepat jika diterapkan di pesantren, baik karena factor historis pertumbuhannya yang unik maupun ketertinggalan
55
Hamdhan Farhan dan Syarifuddin, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren,Yogyakarta:Pilar Religia,2005, hlm.68-69
56
Mujamil Qomar, …., hlm.62
dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dalam melakukan kegiatan- kegiatan teknis. Pesantren belum mampu mengolah dan melaksanakan
konsep yang disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
57
Pendidikan salafy dapat dipandang sebagai konsep pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa seluruh warisan budaya,
yaitu pengetahuan, ide-ide atau nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan dan meneruskan
semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Guru atau para pendidik tidak perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan,
konsep dan nilai-nilai baru, sebab semuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan mengajarkannya kepada anak. Teori ini lebih menekankan peranan isi
pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya. Isi pendidikan atau materi ilmu tersebut diambil dari khazanah ilmu pengetahuan, berupa
disiplin-disiplin ilmu yang telah ditemukan dan di kembangkan oleh para ahli tempo dulu. Materi ilmu pengetahuan yang diambil dari disiplin-disiplin ilmu
tersebut telah tersusun secara logis dan sistematis.
58
Tugas seorang guru dan para pengembang kurikulum adalah memilih dan menyajikan materi ilmu tersebut di sesuaikan dengan tingkat perkembangan
dan kemampuan pesarta didik. Sebelum dapat menyampaikan materi ilmu pengetahuan tersebut secara sempurna, para pendidik atau calon pendidik
terlebih dahulu harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Tugas para pendidik atau guru bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan, tetapi juga
melatih keterampilan dan menanamkan nilai. Kurikulum pendidikan ini lebih menekankan isi pendidikan, yang
diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru apalagi siswa. Guru mempunyai peranan yang
sangat besar dan dominan. Dalam pengajaran, ia menentukan isi, metode, dan evaluasi. Dialah yang aktif dan bertanggung jawab dalam segala aspek
57
Moh. Ali Aziz, Makna Manajemen dan Komunikasi bagi Pengembangan Pesantren, Yogtakarta: Pustaka Pesantren,2005, hlm.67
58
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,2010, hlm.8.
pengajaran. Siswa mempunyai peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari guru.
Oleh karena itu, pengolahan pendidikan salafiyah Pesantren acapkali tidak mengikuti kaidah-kaidah manajerial yang lazim berlaku diberbagai
lembaga, termasuk lembaga pendidiakan. Masih banyak Pesantren yang belum memiliki misi dan budaya kerja yang siap menghadapi persaingan
langsung. Karakter ini berdampak apada cara melakukan perubahan pada pesantren..
Contoh Pesantren yang menerapkan sistem pendidikan salafy atau tradisional adalah pondok pesantren Lirboyo, Kediri : Berdirinya pesantren
“Lirboyo” bermula dari kehadiran seorang kyai bernama Kyai Manab Nama asli kyai Abdul Karim dalam struktur keluarga K.H Sholeh dari Banjar
Melati yang letaknya berdekatan dengan desa Lirboyo. Berdiri pesantern ini pada tahun 1910 M. Dengan kyai Manab sebagai pendidrinya.
59
Sebagaimana lazimnya Pesantren-Pesantren salaf, Pesantren Lirboyo dalam hal metode pengajaran mengacu pada pola pendidikan lama. Yakni
dengan menggunakan sistem sorogan. Dalam metode ini yang dilakukan Santri adalah mereka membawa kitab tertentu kepada sang kyai dan
membacanya di hadapan kyai. Selanjutnya kyai mendengarkan bacaan Santri dan kalau di rasa perlu dia membenarkan apa yang dibaca Santri bila terjadi
kesalahan. Selain metode sorogan Pesantren Lirboyo juga menggunakan sistem
bandongan yakni kyai terlebih dahulu membacakan suatu kitab lengkap dengan atribut penerjemahan ala jawa. Dalam metode ini kyai membacakan
suatu kitab secara harfiah dengan symbol-simbol yang telah baku dipakai, seperti utawi, iku, apane, ing dalem, ing yento, dan lain-lain. Kemudian
setelah itu kyai melanjutkannya dengan menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. System pembelajaran bandongan ini bila di
bandingkan dengan system pengajaran yang lain terkesan sangat liberal.
59
Ahmad Munjin N, Kajian Fiqih Sosial Dalam Bahtsul Masail, tudi Kasus PP. Lirboyo KediriKediri: t.p, t.t, h.62
Artinya Santri tidak dikenakan tuntutan apapun dalam proses belajar mengajar sebagaimana layaknya sebuah proses pendidikan formal.
60
3. Pengertian Pesantren Khalaf Modern
Pesantren Khalaf atau yang disebut juga pesantren modern Yaitu pendidikan yang menerapkan sistem pengajaran klasikal madrasah,
memberikan ilmu umum dan agama, serta juga memberikan pendidikan keterampilan. pesantren yang telah melakukan pembaharuan modernisasi
dalam sistem pendidikan,kelembagaan, pemikiran dan fungsi.
Pesantren modern tidak berarti merubah dan memodernisir sistem asuhnya yang berlandaskan kepada jiwa keimanan, ketaqwaan, keikhlasan,
kesederhanaan, ukhuwah, dan kebebasan.
61
Ciri khas pesantren modern adalah adanya sistem klasikal, tahun ajaran, dengan agama serta satuan pendidikan.
Perubahan metode pembelajaran dari bentuk halaqah kepada sistem klasikal merupakan konsekuensi dari perubahan kelembagaan pendidikan
Islam yang menuntut penyesuaian metode pembelajaran. Perubahan tersebut mengakibatkan berubahnya bentuk hubungan guru dan murid yang bersifat
personal.
62
Pendidikan sekolah dengan mengadaptasi sistem klasikal, penggunaan bangku dan meja dan memasukkan pengetahuan umum sebagai bagian dari
kurikulumnya, dikategorikan sebagai pendidikan modern. Pendidikan keagamaan dengan sistem sekolah, umumnya disebut dengan istilah
madrasah. Kata madrasah dari bahasa Arab yang berarti sekolah. Dalam kamus umum bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata madrasah merupakan
isim makan dari akar dorasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Dan istilah madarasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah atau
perguruan tinggi.
63
60
Ibid., hlm. 66.
61
Sholeh Rosyad, Sebuah Pembaharuan Dunia Pesantren Di Banten,Banten:LPPM La Tansa, h.249
62
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan,Jakarta:Raja Grafindo Persada,2009 h.204
63
W.J.S Poerdarminto,…. Hlm.618
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa pendidikan Islam di Indonesia sebelum tumbuhnya sistem pendidikan madrasah, dilaksanakan secara
tradisional dan non klasikal. Ada yang dilaksanakan secara di surau-surau atau di masjid-masjid, di rumah-rumah kiai atau di pondok-pondok pesantren
dengan duduk bersila, beralaskan tikar mengelilingi guru. Dan materi pelajarannya sepenuhnya bersifat keagamaan. Penggunaan istilah madrasah
nampaknya digunakan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan modernisasi pendidikan Islam dengan mengintrodusir sistem klasikal, penjenjangan,
penggunaan bangku dan meja yang terasa secara teratur dan rapih dan sekaligus
memasukkan pengetahuan
umum sebagai
bagian dari
kurikulumnya.
Hanun Asrohah di dalam bukunya menyebutkan, bahwa penggunaan istilah madrasah di Indonesia adalah untuk membedakan dengan system
tradisional dan sekaligus untuk membedakan dengan system pendidikan Belanda yang sekuler. Organisasi-organisasi pembaharuan Islam kemudian
berlomba-lomba mendidrikan madarasah sebagai sarana untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan agama.
64
Menurut Syekh Sajjad dan Syekh Ali Ashraf, sistem pendidikan Islam yang dinamis, termasuk didalamnya madarasah, memiliki dua ciri pokok.
Pertama dia mempunyai ciri-ciri dasar yang tidak berubah, yang membedakannua dengan sistem-sistem yang lain. Jika ciri-ciri dasar ini
hilang, maka hilang pula system tersebut. Kedua, ia mempunyai satu mekanisme untuk menambah ciri-ciri yang tidak mendasar, jika mekanisme
mengambil itu tidak terdapat, maka system itu tidak akan dapat menyesuikan dirinya dengan perubahan waktu dan ruang. Jika demikian, system akan
terhambat dan kemudian menghilang.
65
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk kepentingan ini, diperlukan dua kemampuan sekaligus. Pertama,
kemampuan menangkap essensi terdalam dari eksistensi pendidikan Islam yang mungkin tidak bias digantikan oleh peran lembaga-lembaga lain. Kedua,
64
Hanon Asrohah, …., hal.193
65
Syeikh Sajjad dan Syeikh Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Bandung: Risalah Press, 1993,hlm.65
kemampuan dan kejelian membaca situasi yang berkembang yang menuntut perubahan pendidikan Islam secara konstruktif, sebagai adaptif dan
antisipatif.
Bila kita renungkan secara lebih mendalam, kebutuhan terhadap dua kemampuan di atas jelas mencerminkan adanya suatu interaksi antara aspek
teoritis dan aspek empiris realita. Ketika misalnya, aspek teoritis pendidikan Islam dirumuskan dalam batas minimal, dalam arti sebagai upaya
menanamkan dan memupuk keimanan dan kesalehan, maka jelas peluang perubahan zaman sangat terbuka. Akan tetapi jika pendidikan Islam yang
secara teoritis dirumuskan kedalam batas maksimal, yang dalam pengertian tradisional sepenuhnya harus mengerjakan mata pelajarannya secara
tradisional pula bertumpu pada kajian kitab-kitab kuning atau kitab-kitab klasik, tanpa memasukkan mata pelajaran umum seperti yang diberikan di
sekolah, maka peluang perubahan dan penyesuaian diri terhadap keadaan dan perubahan zaman sangat tertutup, meskipun elemen-elemen modern itu
sendiri telah masuk kedalamnya
Dan seperti yang dijelaskan oleh H.Maksum diatas, yaitu bahwa secara evaluative pendidikan Islam dalam bentuk madrasah di Indonesia adalh
dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan Islam system pesantren, surau masjid dan lainnya. Hal tersebut
menunjukan bahwa jauh sebelum tumbuh dan berkembang jenis pendidikan madrasah, pendidikan Islam di Indonesia telah berkembang dan berlangsung
di masjid-masjid atau surau, dan di pondok-pondok pesantren. Dan karena eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong
fenomena modern yaitu dimulai sekitar awal abad ke-20 M. Maka jelas sebelum masa itu, baik dalam buku-buku sejarah pendidikan Islam di
Indonesia ataupun tradisi lisan, sejauh ini tidak pernah terdengar yang menginformasikan adanya lembaga pendidikan Islam sistem sekolah, yang
disebut madrasah pada masa awal-awal pentebaran dan perkembangan Islam
di Indonesia.
Dalam pengembangan Islam ke seluruh Nusantara, peran pesantren tak diragukan lagi bahwa berdasarkan kajian sejarah tentang perkembangan
pondok pesantren di Indonesia, lembaga ini menghasilkan tamatan atau lulusan yang sangat hidup mandiri. Para santri yang tamat dari pondok
pesantren ini kemudian kembali hidup berbaur dalam masyarakat, banyak di antara mereka yang kemudian mendirikan pondok pesantren.
66
Tetapi dengan perkembangan zaman, peranan pesantren masa kini, lebih- lebih masa dating, adalh benar-benar peranan dalam menjawab tantangan.
Peranan pesantren dalm menjawab tantanagan inilah yang membuatnya semacam berada di persimpangan jalan yaitu persimpangan antara
meneruskan peran ideal yang telah diembannya selama ini atau justru harus menempuh jalan menyesuaikan diri dengan keadaan. Yaitu keikutsertaan
sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan modern dan
teknologi, sebagai cirri utama kehidupan abad ini.
Dunia pesantren sebagai lembaga Islam tradisional telah terbuka untuk pembaharuan. Sifat terbuka adalah model penting bagi penyesuaian diri
terhadap perkembangan zaman. disebutkan bahwa organisasi pondok pesantren dewasa ini meskipun tidak seluruhnya selalu cendrung bersifat
adaptif terhadap modernisasi, terutama modernisasi di bidang pendidikan. Dan dengan diberlakukan surat keputusan bersama SKB Tiga Mentri dan
Keputusan mentri agama dengan sekolah umum, mengakibatkan perhatian masyarakat terhadap pondok pesantren sangat menurun. Para santripn
berorientasi dan lebih mementingkan ijazah, akhirnya para kiai mengembangkan pendidikan sekolah, baik sekolah umum atau sekolah agama
madrasah yang menggunakan kurikulum pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan pesantren.
67
66
Ibid., Syafi’i Noer,…., 72
67
Sukamto,Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta:Pustaka, LP3ES 1999, Cet.I, hlm.188