Relasi Makna MAKNA DAN TEORI-TEORI TENTANG PEMAKAIAN KATA

terlihat bahwa maksud kata mata bergeser. Makna inilah yang disebut makna gramatikal. Dalam gramatika bahasa Jepang, ’joshi’ dan ’jodoshi’ tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Sedangkan verba dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut. Contoh pada kata isogashii dan taberu bermakna leksikal ’sibuk’ dan ’makan’. Sedangka partikel ’de’ secara leksikal tidak jelas maknanya, tetapi baru jelas kalau digunaka dalam kalimat, misalnya ’byooki de gakko o yasumimashita’ karena sakit tidak masuk sekolah.

2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya Chaer, 2003:297. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna sinonim, kebalikan makna antonim, kegandaan makna polisemi dan ambiguitas, ketercakupan makna hiponimi, kelainan makna homonimi, kelebihan makna redundansi, dan sebagainya.

2.3.1. Sinonim

Universitas Sumatera Utara Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satuan ujaran dengan satuan ujaran lainya. Chaer,2003:297 Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan’. Maka arti harfiah dari sinonim berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Pada definisi di atas ada dikatakan ”maknanya kurang lebih sama” Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak Ullman 1972:141. Ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun tidak persis sama.

2.3.2. Antonim

Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan atau kontras antara satu dengan yang lainnya Chaer,2003:299 Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ’nama’, dan anti yang artinya ’melawan’. Maka secara harfiah antonim berarti ’nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik didefinisikan sebagai: ungkapan biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Universitas Sumatera Utara Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Verhaar menyatakan ”...yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.

2.3.3. Homonim

Homonim adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya kebetulan sama,maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan Chaer,2003:302. Kata homonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onama yang artinya ’nama’ dan homo yang artinya sama. Secara harfiah homonim dapat diartikan sebagai ”nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, didefinisikan homonim sebagai ungkapan berupa kata, frase, atau kalimat tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup, dapat’. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonim ini. Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonim itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata asal yang berarti ’pangkal, permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Universitas Sumatera Utara Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur me+kukur=mengukur; sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur me+ukur=mengukur. Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

2.3.4. Hiponim

Hiponim adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain Chaer,2003:305 Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma bararti ’nama’ dan hypo berarti ’di bawah’. Jadi, secara harfiah berarti ’nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar 1981:137 menyatakan hiponim adalah ungkapan biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga berupa frase atau kalimat yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri, mujair, cakalang, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Jadi kata tongkol berhiponim terhadap kata ikan; tetapi kata ikan tidak berhiponim terhadap kata tongkol, sebab makna ikan meliputi seluruh jenis ikan. Dalam hal ini relasi antara ikan dengan tongkol atau jenis ikan lainnya disebut hipernim. Jadi, kalau tongkol berhiponim terhadap ikan, maka ikan berhipernim terhadap tongkol.

2.3.5. Polisemi

Polisemi diartikan sebagai satuan bahasa terutama kata, bisa juga frase yang memiliki makna lebih dari satu Chaer,2003:301 Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna 1 bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; 2 bagian dari suatu yang terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api; 3 bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; 4 pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah dan kepala kantor; 5 jiwa atau orang seperti dalam kalimat, setiap kepala menerima bantuan Rp 50.000; dan 6 akal budi seperti dalam kalimat, badannya besar tetapi kepalanya kosong. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata kepala setidaknya mengacu kepada enam buah konsepmakna. Padahal menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Umpamanya Universitas Sumatera Utara makna leksikal kata kepala di atas adalah ’bagian tubuh manusia atau hewan dari leher ke atas’. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referennya lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya mempunyai banyak unsur atau komponen makna. Kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: • Terletak di sebelah atas atau depan • Merupakan bagian yang penting tanpa kepala manusia tidak bisa hidup, tetapi tanpa kaki atau lengan masih bisa hidup • Berbentuk bulat

2.3.6. Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti Chaer,2003:308. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar dari kata, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai 1 buku sejarah itu baru terbit, atau 2 buku itu berisi sejarah zaman baru. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat saja, tidak dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

2.3.7. Redundansi

Redundansi diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’ Chaer,2003:310. Universitas Sumatera Utara Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan, dan yang sebenarnya tidak perlu. Secara semantik masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat Bola ditendang Si Udin berbeda maknanya dengan kalimat Bola ditendang Oleh Si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua akan lebih menonjolkan makna pelaku agentif daripada kalimat pertama yang tanpa kata oleh. Sesungguhnya pernyataan yang mengatakan pemakaian kata oleh pada kalimat kedua adalah sesuatu yang redundans, karena makna kalimat itu tidak berbeda dengan kalimat yang pertama, adalah pernyataan yang mengelirukan atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran utterance-internal sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran utterence-external. Jadi yang sama antara kalimat pertama dan kalimat kedua di atas bukan maknanya melainkan informasinya.

2.4 Asal Usul Etimologi Kata dan Makna