c. Environment
38
Penyebab terbanyak terjadinya trauma kapitis adalah kecelakaan lalu lintas. Determinan yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan lalu lintas yaitu :
c.1. Tidak tersedianya rambu-rambu lalu lintas. c.2. Panjang jalan yang tersedia tidak dapat menampung banyaknya kendaraan
sehingga kemacetan terjadi dimana-mana dan memacu terjadinya kecelakaan. c.3. Pengerjaan jalanan atau jalan yang fisiknya kurang memadai seperti berlobang-
lobang dapat memacu terjadi kecelakaan c.4. Adanya kabut, hujan, jalan licin juga membawa resiko kejadian kecelakaan lalu
lintas yang lebih besar.
2.6. Klasifikasi Trauma Kapitis
Secara klinis, trauma kapitis dibagi atas :
2.6.1. Komosio serebri Geger Otak
43
Komosio serebri adalah keadaan dimana si penderita setelah mendapat trauma kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak tidak lebih dari 10 menit.
Kemudian si penderita dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami suatu kelainan neurologis.
Gejala-gejala yang dapat dilihat adalah : a.
Penderita tidak sadar sejenak ± 10 menit b.
Wajahnya pucat c.
Kadang-kadang disertai muntah d.
Nadi agak lambat : 60-70 menit e.
Tensi normal atau sedikit menurun
Universitas Sumatera Utara
f. Suhu normal atau sedikit menurun
g. Setelah sadar kembali mungkin tampak ada amnesia retrogad
h. Tidak ada Post-Traumatic Amnesia PTA
2.6.2. Kontusio serebri memar otak
21
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil perdarahan yang terjadi diantara bagian-bagian
atau sela-sela jaringan nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.
2.6.3. Hematoma epidural
Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan epidural terjadi pada 1-3 kasus trauma kapitis. Perdarahan ini
terjadi akibar robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus venosus durameter, dan robeknya arteria diploika.
44
Gejala-gejala yang dapat dijumpai yaitu :
43
a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu terjadinya trauma
kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu dimana kesadaran penderita adalah baik.
b. Tensi yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis pupil mengecil di sisi ipsilateral dan hemiplegi di
sisi kontralateral dari garis fraktur. e.
Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema setelah 6 jam kejadian
Universitas Sumatera Utara
f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan arteri meningea
media atau salah satu cabangnya.
2.6.4. Hematoma subdural
44
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan arakhnoidea. Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada “bridging veins”.
Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 3 jenis : a. Hematoma subdural akut
Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma subdural sub-akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
c. Hematoma subdural kronik
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma. Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang
baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan arakhnoidea. Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak. Kapsula
ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh darah ini dapat pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
Universitas Sumatera Utara
Darah di dalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subdural arakhnoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar hematoma subdural ditemukan pada pasien berusia diatas 50 tahun.
Seringkali trauma kapitis yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi pada jaringan otak berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusio
serebri yang menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih tinggi. Gejala-gejala hematoma subdural akut sama dengan gejala-gejala hematoma
epidural, yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. Mungkin dapat juga dijumpai defisit neurologis lainnya. Pada perdarahan campuran keadaan umum dapat
lebih buruk dan defisit neurologisnya dijumpai lebih banyak. Defisit neurologis yang terjadi mungkin disebabkan oleh lesi parenkimnya dan bukan oleh penekanan
hematomanya. Pada hematoma subdural sub-akut gejala-gejala berkembang lebih lambat.
Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala tumor serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang dapat diabaikan atau
diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya kecil dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah nyeri kepala yang kronis dan
progresif, mungkin hemiparesis, anisokori pupil pupil tidak sama besar, kaku kuduk, apatis tidak acuh, amnesia, perubahan kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh
tidak acuh terhadap orang lain atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.
Universitas Sumatera Utara
2.6.5. Hematoma intraserebral
44
Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara umum lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadianya
herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang hebat biasanya berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.
Pada suatu hematoma intraserebral, seorang penderita yang setelah mengalami trauma kapitis akan
memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem pembengkakan pada mata serta gejala- gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat, dan artreiografi karotis dapat
memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
2.6.6. Fraktura kranii
Pada setiap penderita dengan trauma kapitis sebaiknya diperiksa secara rutin dengan foto Roentgen kepala terutama untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang
tengkorak. Penderita dengan trauma kapitis sebaiknya dipalpitasi dengan teliti untuk mengetahui ada tidaknya suatu hematoma karena dibawah hematoma mungkin
tersembunyi suatu garis fraktur. Pada fraktur impresi juga disebut fraktur depresi, bagian yang patah menonjol ke dalam rongga tengkorak.
44
Biasanya fraktur kepala berbeda dengan fraktur tulang di tulang panjang. Disini tidak diperlukan fiksasi maupun reposisi-fiksasi karena kedudukan selalu baik, kecuali
bila terjadi fraktur impresi pada kalvarium yang harus ditangani agak cepat sebelum 8 minggu karena potensial menyebabkan epilepsi pascatrauma. Juga fraktur basis kranii
memerlukan perawatan lama karena selalu bersama kontusio serebral yang berat dan kadang-kadang ada likuore otore:perdarahan pada telinga atau rinore:perdarahan di
Universitas Sumatera Utara
hidung yang apabila ditunggu 4 minggu tidak menutup secara spontan, memerlukan operasi penutupan kebocoran dura.
45
2.6.7. Post-concussion syndrome
45
Pada Post-concussion syndrome secara umum terdapat gejala-gejala psikiatrik- neurastenik-hipokhondrik seperti palpitasi, konsentrasi menurun, demensia ringan,
mudah tersinggung, gangguan seksual, berkeringat, cepat lelerusakan jaringan otak, psikologik termasuk premorbid personality dan sosio-ekonomi pekerjaan, tingkat
pendidikan, lingkungan dan keuangan. Pada umumnya sindrom pascatrauma jarang disebabkan oleh satu faktor saja. Ketiga faktor tersebut dapat berkombinasi sehingga
menimbulkan masalah yang kompleks.
2.7. Akibat Jangka Panjang Trauma Kapitis
45
2.7.1. Kerusakan Saraf Kranial a. Anosmia
Kerusakan nervus olfaktoris menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang yang total disebut anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Hiposmia pada umumnya akan
sembuh, sedangkan anosmia bilateral sulit diharapkan kesembuhannya setelah periode 2 bulan terlewati. Dalam proses penyembuhan tardapat 2 penyimpangan sensasi bau
parosmia yaitu berupa bau seperti benda terbakar atau bau-bau lain yang tidak sedap. Setelah beberapa hari, parosmia akan menghilang dan sensai bau akan kembali normal.
Bahaya anosmia adalah bagi mereka yang bekerja di tempat yang harus mengenali bau-bau tertentu. Mereka tidak dapat mencium adanya gas yang bocor atau adanya
kebakaran. Penderita tidak dapat menikmati sedapnya bau makanan, maka anosmia akan
Universitas Sumatera Utara
mengurangi kenikmatan hidup. Penderita anosmia juga akan mengalami kesulitan bila bekerja sebagai juru masak, pencampur parfum, peramu tembakau, dan pencicip teh atau
kopi. Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia
b. Gangguan Penglihatan dan Oftalmoplegi
Gangguan penglihatan bilateral sangat jarang terjadi. Kerusakan nervus optikus adalah akibat trauma di region frontal atau frontotemporal, timbul segera setelah
mengalami trauma. Biasanya disertai hematoma perdarahan disekitar mata dan proptosis pergeseran atau penonjolan mata kedepan akibat adanya perdarahan dan
edema sembab di dalam orbita lekuk mata. Gejala klinik bergantung pada lokasi trauma, umumnya berupa penurunan visus daya
lihat, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negatif, atau hemianopia bitemporal. Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya disertai
ptosis dan pupil yang midriatik. Meskipun lesi nervus okulomotoris sering berdiri sendiri, nervus troklearis dan nervus abdusens dapat pula menyertainya.
c. Hemiparesis dan Paresis fasialis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi kiri atau kanan merupakan menifestasi klinik dari kerusakan daerah pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebabnya yang berkaitan dengan trauma kapitis adalah perdarahan otak subdural, epidural, intraparenkhimal, empiema subdural, herniasi transtentorial.
Keadaan ini disebabkan oleh edema pada sarafnya sendiri atau edema jaringan di sekitarnya. Sebagian besar paresis fasialis traumatik menyertai fraktur di fosa media yang
mengenai os petrosus atau mastoid. Gejala kliniknya berupa gangguan pengecapan pada
Universitas Sumatera Utara
lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut peot atau mencong, kesemuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran