Karakteristik Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009.

(1)

KARAKTERISTIK LANSIA PENDERITA FRAKTUR RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT HAJI MEDAN

TAHUN 2005-2009

SKRIPSI

Oleh:

NIM. 061000102 DIAN MAYA SARI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KARAKTERISTIK LANSIA PENDERITA FRAKTUR RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT HAJI MEDAN

TAHUN 2005-2009 SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

NIM. 061000102 DIAN MAYA SARI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judu l:

KARAKTERISTIK LANSIA PENDERITA FRAKTUR RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT HAJI MEDAN

TAHUN 2005-2009

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

NIM. 061000102 DIAN MAYA SARI

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 9 Juni 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH)

NIP. 194904171979021001 NIP. 196404041992031005 (Drs. Jemadi, M.Kes.) Penguji II Penguji III

(Prof. dr. Nerseri Barus, MPH)

NIP. 194508171973022001 NIP. 195908181985032002 (drh. Rasmaliah, M.Kes.) Medan, Juni 2010

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan

NIP. 195310181982032001 (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si.)


(4)

ABSTRAK

Fraktur merupakan salah satu sindrom geriatrik. Tahun 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) memperkirakan 150 juta penduduk berusia >50 tahun di seluruh dunia berisiko mengalami fraktur. Terdapat 110 lansia penderita fraktur rawat inap di RS Haji Medan tahun 2005-2009.

Untuk mengetahui karakteristik lansia penderita fraktur di RS Haji Medan tahun 2005-2009 dilakukan penelitian deskriptif, desain case series. Populasi dan sampel berjumlah 110 data penderita (total sampling).

Trend kunjungan penderita berdasarkan data tahun 2005-2009 menunjukkan peningkatan dengan persamaan garis Y=17,2+1,6X. Proporsi penderita terbanyak umur 55-60 tahun (32,7%), perempuan (57,3%), Jawa (31,8%), Islam (99,1%), pendidikan rendah (50,0%), tidak bekerja (32,8%), kawin (70,9%), dari kota Medan (50,9%), Askes (61,8%), karena peristiwa trauma (70,9%), pada panggul (30,9%), operasi single fraktur (60,0%), lama rawatan rata-rata 11 hari, pulang sembuh/PBJ (81,8%).

Tidak ada perbedaan bermakna antara umur (p=0,259) dan jenis kelamin (p=0,438) berdasarkan letak fraktur, status perkawinan berdasarkan sebab fraktur (p=0,214), tindakan medik berdasarkan sumber biaya (p=0,244) dan letak fraktur (p=0,465), lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya (p=0,144), dan sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,235).

Proporsi lansia penderita fraktur pada rangka aksial secara bermakna lebih tinggi karena patologik (64,3% VS 35,7%; p=0,000) sedangkan pada rangka apendikular karena peristiwa trauma (81,8% VS 18,2%; p=0,000). Proporsi sebab

fraktur pada lansia laki-laki secara bermakna lebih tinggi karena peristiwa trauma (48,7% VS 28,1%; p=0,047) sedangkan pada lansia perempuan karena patologik (71,9% VS 51,3%; p=0,047). Lama rawatan rata-rata yang dioperasi secara bermakna lebih lama dibanding dengan tanpa operasi (14 hari VS 6 hari; t=7,111; p=0,000). Lama rawatan rata-rata yang pulang sembuh/PBJ secara bermakna lebih lama dibanding dengan yang PAPS (13 hari VS 5 hari; t=4,746; p=0,000).

Pihak rumah sakit diharapakan mengurangi pasien yang PAPS, khususnya lansia penderita fraktur; melengkapi pencatatan pada bagian rekam medis seperti jenis fraktur dan riwayat penyakit sebelumnya.


(5)

ABSTRACT

Fracture is one of the geriatric syndrome. By 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) estimates that 150 million people aged >50 years in the world at risk of fractures. There are 110 elderly patients with fracture inpatient at RS Haji Medan in 2005-2009.

To find out the characteristics of fractures in elderly patients at RS Haji Medan in 2005-2009 conducted a descriptive study, case series design. Population and sample are 110 patients data (total sampling).

Trend visits patients based on data of 2005-2009 shows an increase with the line equation Y=17,2+1,6X. Highest proportion of patients aged 55-60 years (32,7%), women (57,3%), Jawa (31,8%), Islam (99,1%), low education (50,5%), not working (32,8%), married (70,9%), from the city of Medan (50,9%), Askes (61,8%), due to traumatic events (70,9%), pelvic (30,9% ), the surgery of single fracture (60,0%), duration of treatment average 11 days, recover/outpatient (81,8%).

The proportion of elderly patients with fractures in axial bone was significantly higher caused by pathological (64,3% VS 35,7%; p=0,000) while in apendikular bone caused by trauma events (81,8% VS 18,2%; p=0,000).

There was no significant difference between age (p=0,259) and sexes (p=0,438) based on fracture location, marital status based on the cause of fractures (p=0,214), the medical action based on the cost sources (p=0,244) and fracture location (p=0,465), duration of treatment average based on the cost sources (p=0,144), and cost sources based on the circumstances when go home (p=0,235).

The proportion of fractures cause in elderly men was significantly higher caused by trauma events (48,7% VS 28,1%; p=0,047) while in elderly women caused by pathological (71,9% VS 51,3%; p=0,047). Duration of treatment average surgery was significantly longer than without surgery (14 days VS 6 days; t=7,111; p=0,000). Duration of treatment average recover/outpatient was significantly longer than returning at their own requests (13 days VS 5 days; t=4,746; p=0,000).

The hospital is expected to reduce the patients with returning at their own requests, especially for elderly patients with fractures; complete listing on the medical records, such as the type of fracture and a history of previous illness.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dian Maya Sari Siregar

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/19 Maret 1988

Agama : Islam

Status perkawinan : Belum Menikah Jumlah saudara : 5 (lima) bersaudara

Alamat rumah : Jalan Tegal Sari Dusun VI/Anggrek LautDendang Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang - 20371

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1994-2000 : SD Swasta Tamansiswa Medan

2. 2000-2003 : SLTP Negeri 12 Medan

3. 2003-2006 : SMA Negeri 3 Medan

4. 2006-2010 : Fakultas Kesehatan Masyarakat


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Karakteristik Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat unutk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utar

2. Bapak Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH. selaku ketua Departemen Epidemiologi dan Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan pengarahan, masukan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan pengarahan, masukan, dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Prof. dr. Nerseri Barus, MPH. selaku Dosen Pembanding I yang telah

memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

5. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes. selaku Dosen Pembanding II yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Jumirah, Apt., M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Direktur RS Haji Medan yang telah memberi izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di rumah sakit tersebut, serta pegawai Diklit dan Rekam Medis yang turut membantu dalam pengumpulan data.


(8)

9. Orangtua tercinta Ayahanda H. Mukhtar Siregar S.H. dan Ibunda Dra. Hj. Asnawiah yang telah membesarkan dengan penuh pengorbanan, hati yang ikhlas, serta selalu memberikan doa, semangat, dukungan moril dan materi bagi penulis dalam meyelesaikan seluruh jenjang pendidikan.

10. Keluarga tercinta, Abangda Zainuddin Siregar SP., Yan Indra Siregar S.Pd., M.Pd., Irwansyah Siregar S.Pd., M.Pd. serta Kakanda Sari Purnamawaty Siregar S.Pd., Endang Triwahyuni SP., Ila Yusnita S.Pd., dan Mawar Nuri S.Pd. atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.

11. Muhammad Farid dan sahabat-sahabat terkasih (Wahyuni, Dessy, Khandila, Tesy, Fitry, dan Berkat) atas persahabatan, kesetiaan, bantuan, doa, dan dukungan penuh yang telah diberikan. Semoga kita selalu bersama dalam suka dan duka.

12. Teman-teman FKM-USU angkatan 2006, khusunya Departemen Epidemiologi, atas doa, semangat, dan kebersamaan selama ini.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, Juni 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Lansia ... 7

2.1.1. Pengertian Lansia ... 7

2.1.2. Lansia di Indonesia ... 8

2.2. Sistem Rangka Manusia ... 9

2.2.1. Fungsi Tulang ... 10

2.2.2. Komposisi Jaringan Tulang ... 11

2.2.3. Pembentukan dan Reabsorbsi Tulang ... 12

2.2.4. Kepadatan (Densitas Tulang) ... 13

2.3. Pengertian Fraktur ... 14

2.4. Klasifikasi Fraktur ... 14

2.4.1. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Garis Patahan ... 14

2.4.2. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Hubungan Antara Tulang dengan Udara Luar ... 15

2.5. Epidemiologi Fraktur ... 16

2.5.1. Distribusi Fraktur ... 16

2.5.2. Determinan Fraktur ... 19

2.6. Komplikasi Fraktur ... 24

2.7. Proses Penyembuhan Fraktur ... 24

2.8. Pencegahan Fraktur... 25

2.8.1. Pencegahan Primordial ... 25

2.8.2. Pencegahan Primer ... 26

2.8.3. Pencegahan Sekunder ... 28


(10)

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 30

3.1. Kerangka Konsep ... 30

3.2. Definisi Operasional ... 30

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 35

4.1. Jenis Penelitian ... 35

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 35

4.2.2. Waktu Penelitian ... 35

4.3. Populasi dan Sampel ... 35

4.3.1. Populasi ... 35

4.3.2. Sampel ... 36

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

4.5. Teknik Analisis Data ... 36

BAB 5 HASIL... 37

5.1. Distribusi Lansia Penderita Fraktur Berdasarkan Tahun ... 37

5.2. Deskriptif... 38

5.2.1. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi ... 38

5.2.2. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sebab Fraktur ... 40

5.2.3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Fraktur ... 41

5.2.4. Distribusi Proporsi Berdasarkan Tindakan Medik ... 41

5.2.5. Lama Rawatan Rata-rata ... 42

5.2.6. Distribusi Proporsi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 42

5.3. Analisa Statistik ... 43

5.3.1. Umur Berdasarkan Letak Fraktur... 43

5.3.2. Jenis Kelamin Berdasarkan Letak Fraktur ... 43

5.3.3. Sebab Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur ... 44

5.3.4. Jenis Kelamin Berdasarkan Sebab Fraktur ... 45

5.3.5. Status Perkawinan Berdasarkan Sebab Fraktur ... 46

5.3.6. Tindakan Medik Berdasarkan Sumber Biaya ... 46

5.3.7. Tindakan Medik Berdasarkan Letak Fraktur ... 47

5.3.8. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Sumber Biaya ... 47

5.3.9. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Tindakan Medik ... 48

5.3.10. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 49

5.3.11. Sumber Biaya Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 49

BAB 6 PEMBAHASAN ... 51

6.1. Trend Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Data Tahun 2005-2009 ... 51

6.2. Deskriptif... 52


(11)

6.2.3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Letak Fraktur ... 64

6.2.4. Distribusi Proporsi Berdasarkan Tindakan Medik ... 65

6.2.5. Lama Rawatan Rata-rata ... 66

6.2.6. Distribusi Proporsi Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 68

6.3. Analisa Statistik ... 69

6.3.1. Umur Berdasarkan Letak Fraktur... 69

6.3.2. Jenis Kelamin Berdasarkan Letak Fraktur ... 70

6.3.3. Sebab Fraktur Berdasarkan Letak Fraktur ... 71

6.3.4. Jenis Kelamin Berdasarkan Sebab Fraktur ... 73

6.3.5. Status Perkawinan Berdasarkan Sebab Fraktur ... 74

6.3.6. Tindakan Medik Berdasarkan Sumber Biaya ... 75

6.3.7. Tindakan Medik Berdasarkan Letak Fraktur ... 76

6.3.8. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Sumber Biaya ... 77

6.3.9. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Tindakan Medik ... 78

6.3.10. Lama Rawatan Rata-rata Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 79

6.3.11. Sumber Biaya Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang ... 80

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

7.1. Kesimpulan... 82

7.2. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Tahun di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 37 Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Sosiodemografi (Umur Berdasarkan Jenis Kelamin)

di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 ... 38 Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Sosiodemografi (Suku, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Status Perkawinan, Daerah Asal, dan Sumber Biaya) di

Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 ... 39 Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 40 Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 41 Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Tindakan Medis di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 41 Tabel 5.7. Lama Rawatan Rata-rata Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di

Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009 ... 42 Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 42 Tabel 5.9. Distribusi Proporsi Umur Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 43 Tabel 5.10. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Lansia Penderita Fraktur Rawat


(13)

Tabel 5.11. Distribusi Proporsi Sebab Fraktur Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 44 Tabel 5.12. Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 45 Tabel 5.13. Distribusi Proporsi Status Perkawinan Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 45 Tabel 5.14. Distribusi Proporsi Tindakan Medik yang Dilakukan terhadap

Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya

di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2006 -2009 ... 46 Tabel 5.15. Distribusi Proporsi Tindakan Medik yang Dilakukan terhadap

Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Letak Fraktur

di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2006 -2009 ... 47 Tabel 5.16. Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Sumber Biaya di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 47 Tabel 5.17. Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Tindakan Medik di Rumah Sakit Haji Medan

Tahun 2005-2009 ... 48 Tabel 5.18. Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 49 Tabel 5.19. Distribusi Proporsi Sumber Biaya Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 6.1. Grafik Garis Trend Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap di

Rumah Haji Medan Berdasarkan Data Tahun 2005-2009 ... 51 Gambar 6.2. Diagram Bar Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah

Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 ... 53 Gambar 6.3. Diagram Bar Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Suku di Rumah Sakit Haji Medan

tahun 2005-2009 ... 55 Gambar 6.4. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Agama di Rumah Sakit Haji Medan

tahun 2005-2009 ... 56 Gambar 6.5. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 57 Gambar 6.6. Diagram Bar Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 58 Gambar 6.7. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Status Perkawinan di Rumah Sakit

Haji Medan tahun 2005-2009 ... 59 Gambar 6.8. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Daerah Asal di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 60 Gambar 6.9. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya (Biaya Sendiri dan Bukan Biaya Sendiri) di Rumah Sakit Haji Medan tahun

2005-2009 ... 61 Gambar 6.10. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya (Biaya Sendiri, Askes, Jamsostek, dan Jamkesmas) Biaya di Rumah Sakit Haji Medan


(15)

Gambar 6.11. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 63 Gambar 6.12. Diagram Bar Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 64 Gambar 6.13. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Tindakan Medik di Rumah Sakit Haji

Medan tahun 2005-2009 ... 65 Gambar 6.14. Diagram Pie Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah

Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 ... 68 Gambar 6.15. Diagram Bar Umur Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap

Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan Tahun

2005-2009 ... 69 Gambar 6.16. Diagram Bar Jenis Kelamin Lansia Penderita Fraktur Rawat

Inap Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan

Tahun 2005-2009 ... 70 Gambar 6.17. Diagram Bar Sebab Fraktur Lansia Penderita Fraktur Rawat

Inap Berdasarkan Letak Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan

Tahun 2005-2009 ... 71 Gambar 6.18. Diagram Bar Jenis Kelamin Lansia Penderita Fraktur Rawat

Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan

Tahun 2005-2009 ... 73 Gambar 6.19. Diagram Bar Status Perkawinan Lansia Penderita Fraktur

Rawat Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji

Medan Tahun 2005-2009 ... 74 Gambar 6.20. Diagram Bar Tindakan Medik yang Dilakukan terhadap Lansia

Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di

Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2006 -2009 ... 75 Gambar 6.21. Diagram Bar Tindakan Medik yang Dilakukan terhadap Lansia

Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Letak Fraktur di


(16)

Gambar 6.22. Diagram Bar Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Sumber Biaya di Rumah

Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009 ... 77 Gambar 6.23. Diagram Bar Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita

Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Tindakan Medik di Rumah

Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009 ... 78 Gambar 6.24. Diagram Bar Lama Rawatan Rata-Rata Lansia Penderita

Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di

Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009 ... 79 Gambar 6.25. Diagram Bar Sumber Biaya Lansia Penderita Fraktur Rawat

Inap Berdasarkan Keadaan Sewaktu Pulang di Rumah Sakit


(17)

ABSTRAK

Fraktur merupakan salah satu sindrom geriatrik. Tahun 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) memperkirakan 150 juta penduduk berusia >50 tahun di seluruh dunia berisiko mengalami fraktur. Terdapat 110 lansia penderita fraktur rawat inap di RS Haji Medan tahun 2005-2009.

Untuk mengetahui karakteristik lansia penderita fraktur di RS Haji Medan tahun 2005-2009 dilakukan penelitian deskriptif, desain case series. Populasi dan sampel berjumlah 110 data penderita (total sampling).

Trend kunjungan penderita berdasarkan data tahun 2005-2009 menunjukkan peningkatan dengan persamaan garis Y=17,2+1,6X. Proporsi penderita terbanyak umur 55-60 tahun (32,7%), perempuan (57,3%), Jawa (31,8%), Islam (99,1%), pendidikan rendah (50,0%), tidak bekerja (32,8%), kawin (70,9%), dari kota Medan (50,9%), Askes (61,8%), karena peristiwa trauma (70,9%), pada panggul (30,9%), operasi single fraktur (60,0%), lama rawatan rata-rata 11 hari, pulang sembuh/PBJ (81,8%).

Tidak ada perbedaan bermakna antara umur (p=0,259) dan jenis kelamin (p=0,438) berdasarkan letak fraktur, status perkawinan berdasarkan sebab fraktur (p=0,214), tindakan medik berdasarkan sumber biaya (p=0,244) dan letak fraktur (p=0,465), lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya (p=0,144), dan sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang (p=0,235).

Proporsi lansia penderita fraktur pada rangka aksial secara bermakna lebih tinggi karena patologik (64,3% VS 35,7%; p=0,000) sedangkan pada rangka apendikular karena peristiwa trauma (81,8% VS 18,2%; p=0,000). Proporsi sebab

fraktur pada lansia laki-laki secara bermakna lebih tinggi karena peristiwa trauma (48,7% VS 28,1%; p=0,047) sedangkan pada lansia perempuan karena patologik (71,9% VS 51,3%; p=0,047). Lama rawatan rata-rata yang dioperasi secara bermakna lebih lama dibanding dengan tanpa operasi (14 hari VS 6 hari; t=7,111; p=0,000). Lama rawatan rata-rata yang pulang sembuh/PBJ secara bermakna lebih lama dibanding dengan yang PAPS (13 hari VS 5 hari; t=4,746; p=0,000).

Pihak rumah sakit diharapakan mengurangi pasien yang PAPS, khususnya lansia penderita fraktur; melengkapi pencatatan pada bagian rekam medis seperti jenis fraktur dan riwayat penyakit sebelumnya.


(18)

ABSTRACT

Fracture is one of the geriatric syndrome. By 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) estimates that 150 million people aged >50 years in the world at risk of fractures. There are 110 elderly patients with fracture inpatient at RS Haji Medan in 2005-2009.

To find out the characteristics of fractures in elderly patients at RS Haji Medan in 2005-2009 conducted a descriptive study, case series design. Population and sample are 110 patients data (total sampling).

Trend visits patients based on data of 2005-2009 shows an increase with the line equation Y=17,2+1,6X. Highest proportion of patients aged 55-60 years (32,7%), women (57,3%), Jawa (31,8%), Islam (99,1%), low education (50,5%), not working (32,8%), married (70,9%), from the city of Medan (50,9%), Askes (61,8%), due to traumatic events (70,9%), pelvic (30,9% ), the surgery of single fracture (60,0%), duration of treatment average 11 days, recover/outpatient (81,8%).

The proportion of elderly patients with fractures in axial bone was significantly higher caused by pathological (64,3% VS 35,7%; p=0,000) while in apendikular bone caused by trauma events (81,8% VS 18,2%; p=0,000).

There was no significant difference between age (p=0,259) and sexes (p=0,438) based on fracture location, marital status based on the cause of fractures (p=0,214), the medical action based on the cost sources (p=0,244) and fracture location (p=0,465), duration of treatment average based on the cost sources (p=0,144), and cost sources based on the circumstances when go home (p=0,235).

The proportion of fractures cause in elderly men was significantly higher caused by trauma events (48,7% VS 28,1%; p=0,047) while in elderly women caused by pathological (71,9% VS 51,3%; p=0,047). Duration of treatment average surgery was significantly longer than without surgery (14 days VS 6 days; t=7,111; p=0,000). Duration of treatment average recover/outpatient was significantly longer than returning at their own requests (13 days VS 5 days; t=4,746; p=0,000).

The hospital is expected to reduce the patients with returning at their own requests, especially for elderly patients with fractures; complete listing on the medical records, such as the type of fracture and a history of previous illness.


(19)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya serta pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Selama ini epidemiologi banyak berkecimpung menangani masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyakit menular. Namun kemudian, epidemiologi dituntut untuk memberikan perhatian kepada penyakit tidak menular (PTM). Pentingnya pengetahuan tentang PTM dilatarbelakangi oleh kecenderungan semakin meningkatnya prevalensi PTM dalam masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Perubahan pola struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak memberi andil terhadap perubahan sosial ekonomi dan gaya hidup yang pada gilirannya dapat memicu peningkatan PTM dan kecelakaan. Perubahan pola dari penyakit menular ke penyakit tidak menular ini lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi.

1

Salah satu ciri kependudukan abad ke-21 adalah meningkatnya populasi penduduk lanjut usia (lansia) dengan sangat cepat. Pada tahun 2005 penduduk lansia (usia 60 tahun ke atas) di seluruh dunia sekitar 458 juta jiwa. Jumlah ini diperkirakan


(20)

akan meningkat hampir 2 kali lipat pada tahun 2025 yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau 9,7% dari total penduduk dunia.3 Secara individu proses penuaan

menimbulkan berbagai masalah. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan penduduk lansia adalah masalah kesehatan. Penurunan fungsi organ menyebabkan lansia rawan terhadap gangguan keseahatan.

Patah tulang (fraktur) merupakan salah satu dari sindrom geriatrik. Seiring dengan bertambahnya usia, terdapat peningkatan hilangnya massa tulang secara linear. Tingkat hilangnya massa tulang ini sekitar 0,5 - 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pria lebih dari 80 tahun.

4

5

Seorang wanita selama kehidupannya akan kehilangan 40 – 50 % jumlah tulang secara keseluruhan. Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 – 30 %.

Pada tahun 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) memperkirakan sekitar 150 juta penduduk berusia di atas 50 tahun di seluruh dunia terdeteksi menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur yang dapat melumpuhkan dan menurunkan kualitas hidup. Sepertiga diantaranya harus terus berbaring di tempat tidur, sepertiga lainnya harus dibantu untuk dapat berdiri dan berjalan. Hanya sepertiga yang dapat sembuh dan beraktivitas dengan optimal.

6

Gangguan keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering mengakibatkan seorang lansia mudah jatuh. Berdasarkan hasil survei Ruben, dkk (1999) di masyarakat Amerika Serikat, sekitar 30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang. Sebesar 5% dari penderita jatuh ini mengalami fraktur dan memerlukan perawatan di rumah


(21)

World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2050 sebanyak 50% kasus patah tulang panggul di seluruh dunia akan terjadi di Asia. Pada tahun 2004 IOF melaporkan, di Malaysia, Age Sex Specific Morbidity Rate (ASSMR) patah tulang panggul pada lansia pria dan wanita usia diatas 50 tahun masing-masing adalah 88 dan 218 per 100.000 populasi; di Thailand, ASSMR patah tulang panggul pada lansia pria dan wanita usia diatas 50 tahun masing-masing adalah 114 dan 289 per 100.000 populasi; di Hongkong, kejadian patah tulang panggul meningkat 200% dalam kurun waktu 20 tahun dan sekitar 10 lansia mengalami patah tulang panggul setiap harinya; di Singapura, dalam 3 dekade, ASSMR patah tulang panggul pada wanita usia diatas 50 tahun meningkat 5 kali lipat yakni dari 75 menjadi 405 per 100.000 populasi, sedangkan pada pria usia diatas 50 tahun meningkat dari 103 menjadi 152 per 100.000 populasi.

Berdasarkan hasil Analisis Data Risiko Osteoporosis oleh Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan Fonterra Brands Indonesia tahun 2006 menyatakan, 2 dari 5 orang di Indonesia memiliki risiko osteoporosis. Angka ini lebih tinggi dari prevalensi dunia, yakni 1 dari 3 orang berisiko menderita osteoporosis. Hal ini juga didukung oleh

9

Indonesian White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) tahun 2007, osteoporosis pada wanita di atas 50 tahun mencapai 32,3% sementara pada pria di atas 50 tahun mencapai 28,8%.

Data Departemen Kesehatan menyebutkan, usia harapan hidup di Indonesia meningkat dari 64,71 tahun (1995-2000) menjadi 67,68 tahun (2000-2005). Pada tahun 2005, populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun mencapai 18,4 juta orang, 19,7% diantaranya menderita fraktur. Jika membandingkan perkiraan biaya yang


(22)

harus dikeluarkan untuk operasi patah tulang (Rp 10 juta - Rp 50 juta), tentu beban yang ditimbulkan akibat kejadian fraktur pada lansia menjadi sangat besar.

Penelitian Juita Sinambela (2004) di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan mencatat, pada tahun 2002 kejadian fraktur pada lansia berumur lebih dari 50 tahun sebesar 30% dari seluruh kasus fraktur yang ada (49 kasus).

7

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Haji Medan, dari tahun 2005-2009 terdapat 110 orang lansia (usia ≥ 55 tahun) penderita fraktur yang rawat inap di rumah sakit tersebut. Rincian tiap tahun yaitu pada tahun 2005 sebanyak 14 orang, tahun 2006 sebanyak 24 orang, tahun 2007 sebanyak 33 orang, tahun 2008 sebanyak 10 orang, dan tahun 2009 sebanyak 29 orang.

11

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik lansia penderita fraktur rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009.

1.2. Perumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik lansia penderita fraktur yang rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik lansia penderita fraktur yang rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009.


(23)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui trend lansia penderita fraktur rawat inap berdasarkan data tahun 2005-2009.

b. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, daerah asal, dan sumber biaya).

c. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan penyebab terjadinya fraktur.

d. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan jenis fraktur.

e. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan letak fraktur.

f. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan tindakan medik yang dilakukan.

g. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata lansia penderita fraktur.

h. Untuk mengetahui distribusi proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

i. Untuk mengetahui proporsi umur lansia berdasarkan letak fraktur.

j. Untuk mengetahui proporsi jenis kelamin lansia berdasarkan letak fraktur. k. Untuk mengetahui proporsi penyebab fraktur berdasarkan letak fraktur. l. Untuk mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan penyebab fraktur. m. Untuk mengetahui proporsi status perkawinan berdasarkan penyebab fraktur. n. Untuk mengetahui proporsi tindakan medik berdasarkan sumber biaya.


(24)

o. Untuk mengetahui proporsi tindakan medik yang dilakukan berdasarkan letak fraktur.

p. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan sumber biaya. q. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan tindakan medik.

r. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan keadaan sewaktu pulang. s. Untuk mengetahui proporsi sumber biaya berdasarkan keadaan sewaktu pulang.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Haji Medan tentang karakteristik lansia penderita fraktur yang rawat inap tahun 2005-2009 sehingga dapat berguna dalam menyediakan fasilitas pengobatan yang lebih baik bagi penderita.

1.4.2. Sebagai sumber informasi atau referensi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian tentang fraktur khususnya pada lansia.

1.4.3. Sebagai sarana untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan penerapan ilmu bagi penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lansia

2.1.1. Pengertian Lansia

Lansia (lanjut usia) adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade. Lebih rinci, penduduk lansia dapat dilihat dari aspek biologi, ekonomi, sosial, dan batasan umur, yaitu:

12, 13

a. Aspek Biologi: Lansia merupakan penduduk yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit.

b. Aspek Ekonomi: Lansia dianggap sebagai warga yang tidak produktif lagi dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda. Bagi penduduk lansia yang masih memiliki pekerjaan, produktivitasnya sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan usia produktif. Namun, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok umur lansia ini tidak memiliki kualitas dan produktivitas.

c. Aspek Sosial: Di negara Barat, penduduk lansia memiliki strata sosial di bawah kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia, seperti Indonesia, penduduk lansia memiliki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat usia muda.


(26)

d. Aspek Umur: Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur adalah yang paling memungkinkan untuk mendefinisikan penduduk lansia. Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut menjadi kelompok usia lanjut dini yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun); kelompok usia lanjut yaitu kelompok dalam masa senium (65-70 tahun); dan kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi (> 70 tahun).

Proses penuaan adalah proses alami, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena secara fisiologik akan terjadi kemunduran berbagai organ tubuh.14 Beberapa ahli mengatakan bahwa proses menua adalah penimbunan semua perubahan yang menyertai bertambahnya usia. Penuaan dapat menyebabkan berbagai kemunduran fungsional, yang akhirnya dapat memicu timbulnya penyakit.

2.1.2. Lansia di Indonesia

15

Peningkatan jumlah lansia terjadi baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Gejala menuanya struktur penduduk (ageing population) juga terjadi di Indonesia. Jika pada tahun 1990 jumlah lansia hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari 6,3% menjadi 11,4% dari total populasi.


(27)

Tabel 2.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971-2020) Tahun Penduduk Lansia (Usia ≥ 60 tahun)

Jumlah (ribuan) Persentase (%)

1971 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 5.306 7.998 9.440 11.277 13.600 15.882 18.283 17.303 24.446 29.021 4,5 5,4 5,8 6,3 6,9 7,6 8,2 7,4 10,0 11,4

Sumber: BPS, Sensus Penduduk; dan LD-FEUI, Projeksi Penduduk Indonesia 1990-2020

Proses penuaan akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit yang terkait, termasuk gangguan mobilitas dan alat gerak. Dengan demikian, golongan lansia ini akan memberikan masalah kesehatan khusus yang memerlukan bantuan pelayanan kesehatan tersendiri. Dengan usia lanjut dan sisa kehidupan yang ada, kehidupan lansia terisi dengan 40% masalah kesehatan.

2.2. Sistem Rangka Manusia

Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang) yang membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, rangka kemudian digolongkan menjadi rangka aksial, rangka apendikular, dan persendian antar tulang.

16

a. Rangka Aksial, terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang pada tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala dan leher. Rangka aksial terdiri dari kolumna vertebrata (tulang belakang), tengkorak, dan kerangka toraks (rangka


(28)

iga). Kolumna vertebrata terdiri dari 26 vertebrata. Tengkorak diseimbangkan pada kolumna vertebrata yang terdiri dari tulang kranial yang berfungsi menutupi dan melindungi otak dan organ-organ panca indera, tulang wajah yang memberikan bentuk pada muka dan berisi gigi, 6 tulang auditori (telinga) yang terlibat dalam transmisi suara, dan tulang hioid yang menyangga lidah dan laring serta membantu dalam proses menelan. Kerangka toraks meliputi tulang-tulang iga dan sternum yang membungkus dan melindungi organ-organ toraks.

b. Rangka Apendikular, terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan, tungkai, dan tulang pektoral serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat melekatnya lengan dan tungkai pada rangka aksial.

c. Persendian adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.

2.2.1. Fungsi Tulang

Tulang mempunyai berbagai peranan bagi tubuh antara lain :

16

a. Memberikan topangan dan bentuk pada tubuh.

b. Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah persendian dan berfungsi sebagai pengugkit. Jika otot-otot (yang tertanam pada tulang) berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit menghasilkan gerakan. c. Sistem rangka melindu ngi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh.

d. Pembentukan sel darah. Sumsum tulang merah yang ditemukan pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebrata, tulang pipih pada kranium, dan pada bagian ujung tulang panjang, merupakan tempat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit darah.


(29)

e. Tempat penyimpanan mineral. Kalsium dan fosfor disimpan dalam tulang agar bisa ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh, zat tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima.

2.2.2. Komposisi Jaringan Tulang

a. Tulang tediri dari matriks ekstraselular. Sel-sel tersebut adalah osteosit, osteoblas, dan osteoklas.

16, 17

b. Matriks tulang tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam pada substansi dasar dan garam-garam anorganik tulang seperti fosfor dan kalsium. Substansi dasar tulang terdiri dari sejenis proteoglikan yang tersusun terutama dari kondroitin sulfat dan sejumlah asam hialuronat yang bersenyawa dengan protein. Garam-garam tulang berada dalam bentuk kristal kalsium fosfat yang disebut hidroksiapatit. Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatit bertanggung jawab atas daya regang dan daya tekan tulang yang besar.

c. Tulang cancellus (berongga) dan tulang kompak. Tulang cancellus tersusun dari batang-batang halus dan ireguler yang bercabang serta saling tumpang tindih untuk membentuk jaring-jaring spikula dengan rongga yang mengandung sumsum. Tulang kompak adalah jaringan yang tersusun rapat, terutama ditemukan sebagai lapisan di atas tulang cancellus. Jumlah tulang kompak dan cancellus relatif bervariasi bergantung pada jenis tulang dan bagian yang berbeda dari tulang yang sama.


(30)

2.2.3. Pembentukan dan Reabsorbsi Tulang 6

Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan reasorbsi tulang adalah osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang yang dikelilingi oleh matriks yang telah mengalami kalsifikasi. Sel-sel osteosit mengirimkan tonjolan-tonjolannya ke dalam kanalikuli yang bercabang-cabang diseluruh tulang. Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan mereasorbsi tulang yang sebelumnya terbentuk.

Osteoklas dianggap berasal dari sistem sel hemopoitik melalui monosit. Mereka memfagositosis tulang dan mencernakannya dalam sitoplasmanya. Osteoblas sebaliknya, berasal dari sel osteoprogenitor yang berasal dari mesenkim. Osteoblas membentuk matriks tulang dan bila mereka dikelilingi tulang baru, menjadi osteosit. Osteosit akan tetap berhubungan satu dengan lainnya dan dengan osteoblas melalui tonjolan-tonjolan sitoplasma yang panjang yang berjalan melalui saluran-saluran pada tulang. Osteoblas, osteoklas dan osteosit semuanya dipengaruhi oleh hormon-hormon yang mengatur struktur tulang.

Osteoklas, seperti telah dijelaskan diatas, adalah “giant cell” yang berinti banyak, dengan ukuran diameter 20 – 100 mikron. Ditemukan pada permukaan tulang yang menimbulkan proses erosi atau reasorbsi, dimana osteoklas ini akan membentuk lubang-lubang disebut lakuna. Satu sel osteoklas dapat menghancurkan 100 – 150 sel osteoblas dari sejumlah tulang. Sedangkan osteoblas merupakan derivat dari sel


(31)

mesenkim, ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami proses pertumbuhan dan perubahan (remodeling).

2.2.4. Kepadatan (Densitas Tulang)

Kepadatan tulang erat hubungannya dengan kekuatan tulang dan perubahan-perubahan tulang yang terjadi selama kehidupan. Kepadatan tulang meningkat selama periode pertumbuhan. Pada wanita usia 35 – 40 tahun dengan menstruasi yang teratur, kepadatan tulang tidak meningkat atau menurun. Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 – 35 tahun untuk tulang-tulang trabekular (antara lain tulang belakang) dan pada usia 35 – 40 tahun untuk tulang-tulang kortikal. Setelah pematangan tulang selesai, kehilangan tulang dimulai dan berlangsung terus sampai usia 85 – 90 tahun.

6

Pada periode menopause, kepadatan tulang trabekular akan menurun yaitu pada tulang belakang sebesar 1 – 8 % pertahun dan pada leher tulang paha terjadi penurunan tulang kortikal sebesar 0,5 - 5 % pertahun. Seorang wanita selama kehidupannya akan kehilangan 40 – 50 % jumlah tulang secara keseluruhan. Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 – 30 %.

Banyaknya kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan pertambahan usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam darah karena penurunan fungsi dan terhentinya fungsi ovarium. Pada wanita postmenopause jumlah kehilangan tulang trabekular melebihi tulang kortikal.


(32)

2.3. Pengertian Fraktur

Fraktur berarti suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang (diskontinuitas tulang) oleh tenaga yang melebihi kekuatan tulang.18 Fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis.19 Fraktur merupakan keluhan terbanyak diantara penyakit orthopedi.20

2.4. Klasifikasi Fraktur

2.4.1. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Garis Patahan 21, 22, 23

Berdasarkan garis patahan pada tulang, fraktur terbagi atas :

a. Fraktur Dahan Hijau (Greenstick); pada tipe ini, tulang bengkok atau melengkung (seperti ranting hijau yang dipatahkan). Fraktur ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang tulangnya lebih elastis dari tulang orang dewasa. b. Fraktur Fissura; pada tipe ini, tulang yang mengalami fraktur tidak disertai

perubahan letak tulang yang berarti. Biasanya tulang akan tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.

c. Fraktur Impresi; pada tipe ini, fraktur akan menimbulkan lekukan pada tulang. d. Fraktur Kompresi; yaitu fraktur yang terjadi akibat kekuatan besar pada tulang

pendek atau epifisis tulang pipa.

e. Fraktur Kominutif; pada tipe ini, fraktur yang terjadi lebih dari dua fragmen. Biasanya disebabkan oleh cedera hebat.


(33)

f. Fraktur Impaksi; pada tipe ini, fragmen-fragmen tulang terdorong masuk ke arah dalam tulang satu sama lain sehingga tidak dapat terjadi gerakan di antara fragmen-fragmen tersebut.

g. Fraktur Patologis; yaitu fraktur yang disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor atau osteoporosis tulang. Dengan trauma yang ringan saja tulang akan menglami fraktur.

2.4.2. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Hubungan Antara Tulang dengan Udara Luar

Fraktur dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan udara luar, yakni:

a. Fraktur Tertutup (Close Fracture/Simple Fracture); yaitu jika patahan tulang tidak berhubungan dengan udara luar, kulit tidak rusak, dan tidak ada luka yang terjadi di sekitar tempat fraktur.

b. Fraktur Terbuka (Open Fracture/Compound Fracture); yaitu jika patahan tulang berhubungan dengan udara luar, kulit bagian luar rusak atau robek. Luka bisa disebabkan karena tulang yang menembus (merobek) dari dalam atau akibat trauma yang langsung mengenainya dari luar. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang, dapat dilihat pada tabel berikut :


(34)

Tabel 2.2. Derajat Fraktur Terbuka

Derajat Luka Fraktur

I Laserasi < 2 cm

Sederhana, dislokasi fragmen minimal II

Laserasi > 2 cm, kontusi otot di

sekitarnya Dislokasi fragmen jelas

III

Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan di sekitarnya

Kominutif, fragmen tulang ada yang hilang

2.5. Epidemiologi Fraktur 2.5.1. Distribusi Fraktur a. Orang (Person)

Pada tahun 2007, International Osteoporosis Foundation (IOF) memperkirakan sekitar 150 juta penduduk berusia di atas 50 tahun di seluruh dunia terdeteksi menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur.7 Satu dari tiga wanita di dunia berisiko mengalami osteoporosis, sedangkan pada pria hanya satu kasus dari 50 orang pria. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya masa menopause pada wanita yang dapat mempengaruhi penurunan massa tulang.

Di Amerika Serikat, secara etnik dikatakan bahwa golongan kulit putih lebih sering mengalami patah tulang daripada golongan kulit hitam.

24

6

Di antara wanita kulit putih yang hidup hingga usia 80 tahun, hampir 50% memiliki kemungkinan akan mengalami patah tulang osteoporosis pada tulang punggung, panggul, dan lengan bawah.26 Di Amerika Serikat, insiden patah tulang lebih tinggi pada orang kulit putih dan lebih rendah untuk kelompok-kelompok etnis lainnya. Pada perempuan kulit


(35)

putih, risiko patah tulang panggul adalah 1 dari 6 wanita sedangkan risiko diagnosis kanker payudara adalah 1 dari 9 wanita.

b. Tempat (Place)

25

Menurut data IOF tahun 2009, diperkirakan bahwa di Eropa, 611.000 wanita dan 179.000 pria akan menderita patah tulang panggul setiap tahun; Di Inggris, diperkirakan 1 dari 2 wanita dan 1 dari 5 pria akan mengalami patah tulang setelah usia 50 tahun; Di Denmark, diperkirakan prevalensi osteoporosis pada orang berusia 50 tahun atau lebih adalah sekitar 41% pada wanita dan 18% pada pria.

25

The National Osteoporosis Foundation di Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2010, sekitar 12 juta orang di atas usia 50 tahun diperkirakan mengalami osteoporosis dan 40 juta lainnya memiliki massa tulang yang rendah. Pada tahun 2020, diperkirakan meningkat menjadi 14 juta kasus osteoporosis dan lebih dari 47 juta kasus massa tulang yang rendah.

Dalam sebuah studi terhadap 5 negara di Amerika Latin (Argentina, Brazil, Kolombia, Meksiko, dan Puerto Riko) tahun 2009, prevalensi patah tulang belakang pada wanita di atas usia 50 tahun adalah sekitar 15% dan meningkat menjadi 28% pada wanita yang berusia lebih dari 80 tahun.

Menurut data IOF tahun 2009, Iran menyumbang 0,85% dari beban global patah tulang panggul dan 12,4% dari beban patah tulang panggul di Timur Tengah. Di Arab Saudi, dengan jumlah penduduk usia 50 tahun atau lebih sebesar 1.461.401 jiwa, sekitar 8.768 (0,6%) diantaranya menderita patah tulang femoralis.


(36)

c. Waktu (Time)

Menurut Kanis, seorang tokoh WHO dalam bidang osteoporosis, jumlah patah tulang osteoporotik meningkat dengan cepat. Pada tahun 1990, di seluruh dunia terjadi 1,7 juta kasus patah tulang panggul. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup.

Untuk tahun 2000, terdapat sekitar 9 juta kasus baru patah tulang karena osteoporosis di dunia. Sekitar 1,6 juta berada di panggul, 1,7 juta berada di lengan bawah, dan 1,4 juta orang mengalami patah tulang belakang.

24

Pada tahun 2007, IOF memperkirakan sekitar 150 juta penduduk berusia di atas 50 tahun di seluruh dunia terdeteksi menderita osteoporosis dan berisiko mengalami fraktur yang dapat melumpuhkan dan menurunkan kualitas hidup.

25

Menurut data yang diperoleh dari IOF, pada tahun 2000, di Eropa, terdapat sekitar 4 juta kasus patah tulang baru, dengan 8 fraktur setiap menit atau 1 fraktur setiap 8 detik. Jumlah patah tulang osteoporosis diperkirakan sekitar 3,79 juta. Pada tahun 2010, di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 12 juta orang berusia di atas 50 tahun akan mengalami osteoporosis dan 40 juta lainnya memiliki massa tulang yang rendah. WHO memperkirakan, pada tahun 2050 sekitar 50% kasus patah tulang panggul di seluruh dunia akan terjadi di Asia.

7

Data Departemen Kesehatan menyebutkan, pada tahun 2005, populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia mencapai 18,4 juta orang. Dari jumlah itu, 19,7% diantaranya menderita fraktur.

25


(37)

2.5.2. Determinan Fraktur a. Host

a.1. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras

Seiring dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilangnya massa tulang secara linear. Kehilangan massa tulang ini lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilangnya massa tulang ini sekitar 0,5 - 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria lebih dari 80 tahun.

Kehilangan massa tulang pada wanita lebih besar dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena pada masa menopause wanita mengalami kehilangan massa tulang yang lebih besar dibanding pria pada usia yang sama. Dengan demikian, menopause merupakan suatu risiko terjadinya fraktur.

5

24

Banyaknya kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan pertambahan usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam darah karena penurunan fungsi ovarium.6

Satu dari tiga wanita di dunia berisiko mengalami osteoporosis, sedangkan pada pria hanya satu kasus dari lebih 50 orang pria.24 Menurut data IOF tahun 2009, di Inggris, diperkirakan 1 dari 2 wanita dan 1 dari 5 pria akan mengalami patah tulang setelah usia 50 tahun.

Umumnya, ras campuran Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih khususnya keturunan dari Eropa Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada diantara keduanya. Kita tidak mengetahui mengapa ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, tapi kita tahu mereka memiliki rangka tulang yang besar.

25


(38)

Kemungkinan jarak tempat tinggal dari garis khatulistiwa berkaitan dengan risiko patah tulang. Misalnya, wanita kulit putih yang memiliki warna kulit terang dan tinggal jauh dari garis khtulistiwa di negara-negara seperti Swedia atau Norwegia memiliki risiko patah tulang yang tinggi. Sebaliknya, wanita Afrika yang berkulit gelap memiliki risiko patah tulang yang cukup rendah.

Sebuah survei yang dilakukan oleh The United States National Health and Nutrition Survey (NHANES) tahun 2000 menunjukkan, prevalens osteoporosis pada wanita Amerika non-Hispanik (kulit putih) adalah 27% (50-59 tahun), 32% (60-69 tahun), dan 41% (≥ 70 tahun). Penelitian sebelumnya yang dialakukan Rochester pada tahun dan tempat yang sama menunjukkan prevalens yang lebih rendah pada wanita kulit hitam, yakni 14,8% (umur 50-59 tahun), 21,6% (umur 60-69 tahun), 38,5% (70-79 tahun), dan 70 % (≥ 80 tahun).

26

a.2. Faktor Gaya Hidup (Life Style)

27

a.2.1. Merokok: Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen. Wanita yang merokok dapat mengalami menopause dini (5 tahun lebih awal) daripada yang bukan perokok.26 Penelitian Scane et al (1999) di Amerika dengan desain Case Control memperlihatkan pria yang mengalami patah tulang belakang memiliki kebiasaan merokok 2,8 kali lebih besar dibanding pria yang tidak mengalami patah tulang belakang (Odds Ratio [OR]: 2,8; 95% CI: 1,2-6,7).

a.2.2. Mengkonsumsi Alkohol: Konsumsi alkohol yang berlebihan selama bertahun-tahun mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Pada wanita pasca


(39)

demikian juga dengan tulang yang patah. Alkohol dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang melalui nutrisi yang buruk karena peminum berat biasanya tidak mengkonsumsi makanan yang sehat dan mendapatkan hampir seluruh kalori dari alkohol.26 Konsumsi lebih dari 4 unit alkohol/hari dapat melipatgandakan risiko patah tulang panggul.25 Alkohol yang berlebihan juga meningkatkan risiko jatuh yang bisa mengakibatkan patah tulang.

a.2.3. Aktivitas Fisik: Latihan beban ringan akan menekan rangka tulang yang menyebabkan tulang berkontraksi sehingga merangsang pembentukan tulang. Sebaliknya, ketidakaktifan karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Wanita berusia lanjut yang berdiri kurang dari 5 jam sehari memiliki risisko patah tulang panggul hampir 2 kali lebih besar dari wanita yang lebih aktif.

26

a.2.4. Pemasukan Kalsium dan Vitamin D: pemasukan kalsium dan vitamin D yang rendah mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Menurut Recommended Dailiy Allowance (RDA), jumlah kalsium yang dibutuhkan untuk memelihara atau melindungi massa tulang setelah menopause bertambah dari 800 menjadi 1000-1500 mg/hari. Sebuah penelitian yang dilakukan pada penghuni panti wreda yang berusia 80 tahunan mendapati bahwa suplemen vitamin 500 mg/hari ditambah 800 IU (International Unit) vitamin D setiap hari mengurangi risiko patah tulang panggul dan patah tulang lainnya dalam sepertiga dari periode perawatan selama 18 bulan.

26


(40)

a.3. Faktor Genetika (Sejarah Keluarga)

Faktor genetika juga memilki kontribusi terhadap massa tulang dan dapat membuat rentan atau melindungi kita dari risiko patah tulang. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki massa tulang yang lebih rendah dari normal usia mereka (3-7% lebih rendah).

Sejarah patah tulang karena osteoporosis dalam keluarga sangat penting dalam menentukan risiko seseorang mengalami patah tulang. Dalam sebuah studi epidemiologi di Amerika dengan desain Kohort menunjukkan pasien dengan ayah yang memiliki sejarah osteoporosis berisiko mengalami patah tulang 2,16 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan ayah yang tidak memiliki sejarah osteoporosis (Relative Risk [RR]: 2,16; 95% CI: 1,38-3,37).

26

b. Agent

27

Fraktur dapat terjadi akibat:

21, 29

b.1. Peristiwa Trauma

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba atau berlebihan. Kekuatan tersebut dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena. Bila terkena kekuatan tak langsung, dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu.

b.2. Patologik, yang terdiri dari kelelahan atau tekanan dan kelemahan abnormal pada tulang. Pada kelelahan atau tekanan, retak dapat terjadi pada tulang seperti


(41)

paling sering ditemukan pada tibia, fibula, atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh. Sementara itu, pada kelemahan abnormal tulang, fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang tersebut lemah. Beberapa penyebab penting dari fraktur patologis ini adalah penyakit metabolisme tulang seperti osteoporosis dan osteomalasia; penyakit Paget (tulang sangat rapuh); dan kista atau displasia-displasia.

c. Environment

Kecelakaan merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus jatuh lansia). Sekitar 70% kasus jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga, dengan kejadian jatuh pada saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak sesuatu.

5

Kejadian murni kecelakaan misalnya terpeleset atau tersandung. Gabungan antara lingkungan yang jelek dengan kelainan-kelainan akibat proses menua misalnya karena mata kurang awas, benda-benda yang ada di rumah tertabrak kemudian jatuh. Faktor-faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kejadian kecelakaan pada lansia antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau berada di bawah; WC yang rendah/jongkok; tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang; lantai yang tidak datar atau menurun; karpet yang tidak direkatkan dengan baik, keset yang tebal/menekuk pinggirnya dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser; lantai yang licin atau basah; penerangan yang tidak baik (kurang atau menyilaukan); alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya.


(42)

2.6. Komplikasi Fraktur

Komplikasi Fraktur dapat dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan komplikasi lambat/kemudian. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya. Komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian patah tulang. Komplikasi lambat/kemudian terjadi lama setelah patah tulang.

22

Penyulit segera dan setempat merupakan kerusakan yang langsung disebabkan oleh trauma di samping patah tulang dan dislokasi. Penyulit dini dapat berupa nekrosis dan gangguan penyembuhan. Sementara itu, penyulit lambat/kemudian merupakan komplikasi dini dari fraktur atau dislokasi tetapi efek-efek klinik dan radiologi tidak terlihat sampai beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan kemudian.

2.7. Proses Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang. Secara umum proses penyembuhan fraktur ini dibagi menjadi beberapa tahapan, yakni sebagai berikut :

22

a. Hematom segera setelah cedera

Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. Fase ini disebut fase hematoma.


(43)

b. Pembentukan kalus

Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patahan tulang disebut kalus fibrosa.

c. Penyatuan tulang

Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Pada foto Roentgen proses ini terlihat sebagai bayangan radiopak tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. Fase ini merupakan fase penyatuan klinis.

d. Konsolidasi dan proses swapugar

Selanjutnya terjadi penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur diri secara lamellar seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa.

2.8. Pencegahan Fraktur 2.8.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial bertujuan untuk mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang besifat positif agar dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor risiko dapat berkembang dan memberikan efek patologis.30


(44)

Upaya yang dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan primordial terhadap fraktur antara lain:

a. Hilangkan kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol. Merokok dapat menyebabkan kepadatan tulang menjadi lebih rendah sehingga lebih berisiko terhadap patah tulang dan risiko ini meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko patah tulang belakang dan panggul pada pria dan wanita meningkat dengan asupan alkohol berat, terutama pada asupan jangka panjang.

b. Konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D. Berbagai penelitian telah membuktikan adanya penambahan densitas tulang pada pemberian kalsium. Sementara itu, vitamin D berperan dalam menyediakan cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses mineralisasi tulang.

25

c. Berolahraga untuk menguatkan otot sekaligus menguatkan tulang (misalnya jalan dan jogging). Pidato Menkes RI dalam peringatan Hari Osteoporosis Nasional tahun 2009 menyebutkan, cara praktis mencegah osteoporosis dini adalah melakukan aktifitas fisik dengan berolah raga secara baik, benar, terukur, teratur (BBTT) paling tidak 30 menit, 3 kali seminggu.

24

2.8.2. Pencegahan Primer

10

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau tidak sakit.

Untuk mengurangi risiko patah tulang pada lansia dapat dilakukan dengan:

31

a. Hindari risiko jatuh bagi lansia. Jangan melakukan aktivitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh. Keadaan lingkungan


(45)

Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang sulit dilihat. Peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergeser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lansia. Lantai kamar mandi harus bersih dan tidak licin, sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, dan pintu harus mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding.

b. Lakukan pemeriksaan massa tulang. Pemeriksaan massa tulang sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi penurunan massa tulang seseorang sehingga meminimalkan risiko fraktur, mencegah terjadinya fraktur di masa yang akan datang dan dapat memonitor terapi untuk menjaga massa tulang. Bone Densitometri merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur massa tulang terutama bagi mereka yang rentan terhadap fraktur. Bone Densitometri ditetapkan oleh WHO sebagai golden standard dalam pemeriksaan massa tulang.

5

c. Terapi Estrogen. Pemberian estrogen dapat mencegah kehilangan tulang pada wanita post menopause. Secara epidemiologik, estrogen dapat menurunkan risiko terjadi fraktur tulang belakang sampai 90% serta fraktur pergelangan tangan dan paha sampai 50%. Beberapa prinsip pemberian estrogen yang dianjurkan adalah: Mulailah selalu dengan estrogen lemah (estradiol) dengan dosis rendah; dilakukan secara siklik; usahakan selalu dikombinasikan dengan progesteron; diberikan pengawasan ketat selama pemberian; apabila terjadi perdarahan, perlu dilakukan dilatasi dan kuretase; lakukan kerjasama dengan bagian Penyakit


(46)

Dalam apabila sebelum dan selama masa terapi ditemukan keluhan nyeri dada, hipertensi kronik, hiperlipidemia, dan diabetes mellitus.

d. Masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat bagi lansia.

6

2.8.3. Pencegahan Sekunder

6

Pencegahan sekunder ditujukan pada lansia yang telah mengalami fraktur. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat.

Pengobatan patah tulang pada lansia hingga kini masih jauh dari memuaskan. Masalah ini disebabkan terutama oleh karena pasien adalah lansia, dimana kecepatan remodeling atau pembaharuan tulang sudah menurun. Upaya untuk menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan pembentukan tulang akan memerlukan waktu lama sampai perbaikan secara klinik dicapai. Pengobatan yang lama ini juga berpengaruh pada ketaatan pasien dalam berobat.

31

Dengan demikian, dalam penatalaksanaan fraktur pada lansia, selain usaha pengobatan untuk memperbaiki kelainan yang terjadi juga diperlukan tindakan pencegahan.

33

Penatalaksanaan kasus-kasus fraktur pada lansia terdiri dari:

33

a. Tindakan terhadap fraktur: Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu sebab tidak boleh dioperasi dan hanya dilakukan tindakan konvensional. Untuk itu diperlukan kerjasama dengan bagian ortopedi.

5

b. Tindakan terhadap jatuh: Mengapa penderita mengalami jatuh, apa penyebabnya, dan bagaimana agar tidak terjadi jatuh berulang.


(47)

c. Tindakan terhadap kerapuhan tulang: Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang telah terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur.

d. Keperawatan dan rehabilitasi untuk mencegah komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio) dan upaya agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi.

2.8.4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ini ditujukan untuk mengurangi ketidakmampuan penderita dan mengadakan rehabilitasi. Pencegahan ini terus diupayakan selama penderita belum meninggal dunia. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ yang cacat serta mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.31 Perawatan rehabilitatif pada pasien mencakup terapi fisik yang terdiri dari berbagai macam latihan.

Selain keterbatasan fisik, setelah mengalami fraktur penderita juga dapat mengalami gangguan psikologis, mempengaruhi mood, mengurangi rasa percaya diri, dan mengalami depresi. Untuk itu, rehabilitasi penderita sebaiknya dibantu dengan pemberian dukungan semangat baik dari terapis, kerabat, maupun orang-orang sekitar penderita.

34


(48)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep

Karakteristik Lansia Penderita Fraktur 1. Sosiodemografi

Umur

Jenis Kelamin Suku

Agama Pendidikan Pekerjaan

Status Perkawinan Daerah Asal Sumber Biaya 2. Sebab Fraktur 3. Letak Fraktur 4. Tindakan Medik

5. Lama Rawatan Rata-rata 6. Keadaan Sewaktu Pulang

3.2. Defenisi Operasional

3.2.1. Lansia penderita fraktur adalah lansia yang dinyatakan menderita fraktur berdasarkan diagnosa dokter Rumah Sakit Haji Medan yang dicatat pada kartu status.

3.2.2. Sosiodemografi lansia penderita fraktur, dibedakan atas :

a. Umur adalah usia lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status yang kemudian dikatagorikan dengan menggunakan rumus Sturges: 1. 55-60 tahun

2. 61-66 tahun 3. 67-72 tahun


(49)

5. 79-84 tahun 6. 85-90 tahun 7. 91-96 tahun

Untuk analisa statistik, umur dikatagorikan menjadi: 1. 55-64 tahun

2. 65-70 tahun 3. > 70 tahun

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Laki-laki 2. Perempuan

c. Suku adalah ras atau etnik lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Jawa 2. Batak 3. Minang 4. Aceh 5. Melayu 6. Lain-lain

d. Agama adalah kepercayaan yang dianut oleh lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Islam

2. Kristen Protestan

e. Pendidikan adalah pendidikan terakhir lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Pendidikan rendah (Tidak sekolah/SD/SLTP) 2. Pendidikan menengah (SLTA)


(50)

f. Pekerjaan adalah aktifitas utama lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Tidak Bekerja

2. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil 3. Pegawai Negeri Sipil

4. Pegawai Swasta 5. Wiraswasta 6. Lain-lain

g. Status perkawinan adalah predikat yang dimiliki lansia penderita fraktur berdasarkan pernikahan sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Tidak Kawin 2. Kawin 3. Janda 4. Duda

h. Daerah asal adalah tempat tinggal lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Kota Medan 2. Luar Kota Medan

i. Sumber biaya adalah biaya yang digunakan oleh lansia penderita fraktur untuk membiayai perawatan selama dirawat inap di rumah sakit sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Biaya sendiri 2. Askes

3. Jamsostek 4. Jamkesmas

Untuk analisa statistik, sumber biaya dikatagorikan menjadi : 1. Biaya sendiri


(51)

3.2.3. Sebab Fraktur adalah hal-hal yang menyebabkan terjadinya fraktur pada lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Peristiwa Trauma 2. Patologik

3.2.4. Letak Fraktur adalah tempat terjadinya fraktur pada tubuh lansia penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Panggul

2. Tulang Belakang 3. Ekstremitas Atas 4. Ekstremitas Bawah 5. Lain-lain

6. Multiple Fraktur

Untuk analisa statistik, letak fraktur dikatagorikan menjadi : 1. Rangka Aksial (Tulang belakang, tulang iga, dan temporal)

2. Rangka Apendikular (Panggul, ekstremitas atas, dan ekstremitas bawah) 3.2.5. Tindakan Medis adalah usaha medis yang dilakukakan terhadap lansia

penderita fraktur sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori : 1. Operasi Single Fraktur

2. Tanpa Operasi

3. Operasi Multiple Fraktur

Untuk analisa statistik, tindakan medik dikatagorikan menjadi : 1. Opearsi

2. Tanpa Operasi

3.2.6. Lama rawatan rata-rata adalah jumlah rata-rata hari perawatan lansia penderita fraktur dari hari pertama masuk rumah sakit sampai hari terakhir perawatan sesuai yang tercatat dalam kartu status.


(52)

3.2.7. Keadaan sewaktu pulang adalah kondisi lansia penderita fraktur sewaktu keluar dari rumah sakit sesuai yang tercatat dalam kartu status dengan katagori :

1. Pulang Sembuh/Pulang Berobat Jalan (PBJ) 2. Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS)


(53)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain case series.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Haji Medan. Pemilihan lokasi ini dilakukan atas pertimbangan bahwa Rumah Sakit Haji Medan memiliki data lansia penderita fraktur yang dibutuhkan dan belum pernah dilakukan penelitian tentang karakteristik lansia penderita fraktur rawat inap tahun 2005-2009 di rumah sakit ini.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2010.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua data lansia berumur ≥ 55 tahun yang mengalami fraktur rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009, yakni sebanyak 110 orang.


(54)

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah semua data lansia berumur ≥ 55 tahun yang mengalami fraktur rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009. Besar sampel yang dibutuhkan sama dengan populasi (total sampling).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari kartu status penderita fraktur di bagian rekam medik Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan variabel yang diteliti.

4.5. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution). Data univariat dianalisa secara deskriptif dan data bivariat dianalisa dengan menggunakan uji Chi square dan uji T-test. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk narasi, tabel, diagram bar, diagram pie, dan diagram garis.


(55)

BAB 5

HASIL PENELITIAN 5.1.Distribusi Lansia Penderita Fraktur Berdasarkan Tahun

Proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan rincian tahun yang rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Tahun di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009

Tahun f %

2005 2006 2007 2008 2009

14 24 33 10 29

12,7 21,8 30,0 9,1 26,4

Jumlah 110 100,0

Berdasarkan tabel 5.1. dapat diketahui bahwa proporsi lansia penderita fraktur rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan tertinggi pada tahun 2007 (30,0%) dan terendah tahun 2008 (9,1%).

Frekuensi kasus dari tahun 2005-2009 meningkat sebanyak 29-14 = 15 kasus, dengan simple ratio peningkatan 29/14 = 2,1 kali, dan persentase peningkatan (29-14) / 29 x 100% = 51,7%.

Trend lansia penderita fraktur rawat inap di Rumah Sakit Haji Medan dengan metode kuadrat terkecil (Least Square) berdasarkan data tahun 2005-2009 berada pada persamaan garis Y = 17,2 + 1,6X.


(56)

5.2. Deskriptif

5.2.1. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi

Sosiodemografi lansia penderita fraktur di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 terdiri dari umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, daerah asal, dan sumber biaya.

Proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan sosiodemografi di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009

Umur (tahun)

Jenis Kelamin

Jumlah Laki-laki Perempuan

f % f % f %

55-60 61-66 67-72 73-78 79-84 85-90 91-96 15 13 11 5 2 0 1 13,6 11,8 10,0 4,6 1,8 0,0 0,9 21 15 8 12 4 2 1 19,1 13,7 7,3 10,9 3,6 1,8 0,9 36 28 19 17 6 2 2 32,7 25,5 17,3 15,5 5,4 1,8 1,8

Jumlah 47 42,7 63 57,3 110 100,0

Berdasarkan tabel 5.2. dapat diketahui bahwa umur lansia penderita fraktur termuda 55 tahun dan tertua 96 tahun. Proporsi tertinggi pada kelompok umur 55-60 tahun sebesar 32,7% (laki-laki 13,6% dan perempuan 19,1%) dan terendah 85-90 tahun sebesar 1,8% (laki-laki 0,0% dan perempuan 1,8%) dan 91-96 tahun sebesar 1,8% (laki-laki 0,9% dan perempuan 0,9%). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 42,7% dan perempuan 57,3%.


(57)

Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Suku, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Status Perkawinan, Daerah Asal, dan Sumber Biaya di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009

Sosiodemografi f %

Suku Jawa Batak Minang Aceh Melayu Lain-lain 35 29 14 16 14 2 31,8 26,4 12,7 14,6 12,7 1,8

Jumlah 110 100,0

Agama Islam Kristen Protestan 109 1 99,1 0,9

Jumlah 110 100,0

Pendidikan Pendidikan rendah Pendidikan menengah Pendidikan tinggi 55 38 17 50,0 34,5 15,5

Jumlah 110 100,0

Pekerjaan Tidak Bekerja

Pensiunan Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Swasta Wiraswasta Lain-lain 36 23 18 4 25 4 32,8 20,9 16,4 3,6 22,7 3,6

Jumlah 110 100,0

Status Perkawinan Tidak Kawin Kawin Janda Duda 1 78 19 12 0,9 70,9 17,3 10,9

Jumlah 110 100,0

Daerah Asal Kota Medan Luar Kota Medan

56 54

50,9 49,1

Jumlah 110 100,0

Sumber Biaya Biaya Sendiri Askes Jamsostek Jamkesmas 32 68 4 6 29,1 61,8 3,6 5,5


(58)

Berdasarkan tabel 5.3. dapat diketahui bahwa proporsi suku tertinggi adalah Jawa (31,8%) dan terendah adalah suku-suku lain yaitu Alas dan Banjar (1,8%). Proporsi agama yang tertinggi adalah Islam (99,1%).

Proporsi tingkat pendidikan tertinggi adalah pendidikan rendah (Tidak sekolah/SD/SLTP) (50,0%) dan terendah adalah pendidikan tinggi (Akademi/PT) (15,5%). Proporsi pekerjaan tertinggi adalah tidak bekerja (32,8%) dan terendah adalah pegawai swasta serta pekerjaan lain masing-masing 3,6%.

Proporsi status perkawinan tertinggi adalah kawin (70,9%) dan terendah adalah tidak kawin (0,9%). Proporsi daerah asal tertinggi dari kota Medan (50,9%). Proporsi sumber biaya tertinggi adalah Askes (61,8%) dan terendah adalah Jamsostek (3,6%).

5.2.2. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sebab Fraktur

Proporsi lansia penderita fraktur berdasarkan sebab fraktur di Rumah Sakit Haji Medan tahun 2005-2009 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Lansia Penderita Fraktur Rawat Inap Berdasarkan Sebab Fraktur di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2005-2009

Sebab Fraktur f %

Peristiwa Trauma Patologik

78 32

70,9 29,1

Jumlah 110 100,0

Berdasarkan tabel 5.4. dapat diketahui bahwa proporsi sebab fraktur tertinggi adalah karena peristiwa trauma (70,9%).


(1)

Se bab Fra ktur * S tatus pe rkaw ina n la nsia pe nde rita fraktur Crosstabulation

1 58 10 9 78

1,3% 74,4% 12,8% 11,5% 100,0%

100,0% 74,4% 52,6% 75,0% 70,9%

,9% 52,7% 9,1% 8,2% 70,9%

0 20 9 3 32

,0% 62,5% 28,1% 9,4% 100,0%

,0% 25,6% 47,4% 25,0% 29,1%

,0% 18,2% 8,2% 2,7% 29,1%

1 78 19 12 110

,9% 70,9% 17,3% 10,9% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%

,9% 70,9% 17,3% 10,9% 100,0%

Count

% within S ebab Fraktur % within S tatus perkawinan lansia penderita fraktur % of Total Count

% within S ebab Fraktur % within S tatus perkawinan lansia penderita fraktur % of Total Count

% within S ebab Fraktur % within S tatus perkawinan lansia penderita fraktur % of Total Peristiwa Trauma

Patologik Sebab

Fraktur

Total

Tidak k awin Kawin Janda Duda St atus perk awinan lans ia penderita fraktur

Total

Chi-Square Te sts

4,035a 3 ,258

4,063 3 ,255

,715 1 ,398

110 Pearson Chi-S quare

Lik elihood Ratio Linear-by-Linear As soc iation N of V alid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

3 c ells (37,5%) have ex pec ted c ount les s than 5. The minimum expected count is ,29.

a.


(2)

Sumber Biaya * Tinda kan Me dik Crosstabula tion

18 14 32

56,3% 43,8% 100,0%

25,4% 35,9% 29,1%

16,4% 12,7% 29,1%

53 25 78

67,9% 32,1% 100,0%

74,6% 64,1% 70,9%

48,2% 22,7% 70,9%

71 39 110

64,5% 35,5% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

64,5% 35,5% 100,0%

Count

% within S umber B iaya % within Tindak an Medik % of Total

Count

% within S umber B iaya % within Tindak an Medik % of Total

Count

% within S umber B iaya % within Tindak an Medik % of Total

Biaya sendiri

Bukan biay a sendiri Sumber

Biaya

Total

Operas i

Tanpa Operas i Tindak an Medik

Total

Chi-Square Tests

1,357b 1 ,244

,894 1 ,344

1,335 1 ,248

,277 ,172

1,345 1 ,246

110 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,35.


(3)

Tindakan Medik * Letak Fraktur

Crosstab

16 12 28

57,1% 42,9% 100,0%

24,2% 30,8% 26,7%

15,2% 11,4% 26,7%

50 27 77

64,9% 35,1% 100,0%

75,8% 69,2% 73,3%

47,6% 25,7% 73,3%

66 39 105

62,9% 37,1% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

62,9% 37,1% 100,0%

Count

% within Letak Frak tur % within Tindak an Medik % of Total

Count

% within Letak Frak tur % within Tindak an Medik % of Total

Count

% within Letak Frak tur % within Tindak an Medik % of Total

Rangk a Ak sial

Rangk a Apendikular Letak Frak tur

Total

Operas i

Tanpa Operas i Tindak an Medik

Total

Chi-Square Tests

,534b 1 ,465

,252 1 ,615

,528 1 ,467

,499 ,306

,529 1 ,467

105 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,40.

b.


(4)

Keadaan Sewaktu Pulang * Sumber Biaya Crosstabulation

24 66 90

26,7% 73,3% 100,0%

75,0% 84,6% 81,8%

21,8% 60,0% 81,8%

8 12 20

40,0% 60,0% 100,0%

25,0% 15,4% 18,2%

7,3% 10,9% 18,2%

32 78 110

29,1% 70,9% 100,0%

100,0% 100,0% 100,0%

29,1% 70,9% 100,0%

Count

% within Keadaan Sewaktu Pulang % within Sumber Biaya % of Total

Count

% within Keadaan Sewaktu Pulang % within Sumber Biaya % of Total

Count

% within Keadaan Sewaktu Pulang % within Sumber Biaya % of Total

Pulang Sembuh/PBJ

PAPS Keadaan Sewaktu

Pulang

Total

Biaya s endiri

Bukan biaya sendiri Sumber Biaya

Total

Chi-Square Tests

1,410b 1 ,235

,838 1 ,360

1,347 1 ,246

,279 ,179

1,397 1 ,237

110 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fis her's Exact Test Linear-by-Linear As sociation N of Valid Cases

Value df

As ymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,82.


(5)

T-Test

T-Test

Group Statistics

32 9,78 6,857 1,212

78 11,92 6,941 ,786

Sumber Biaya Biaya s endiri Bukan biaya sendiri Lama Rawatan

Rata-rata (hari)

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

,561 ,456 -1,475 108 ,143 -2,142 1,452 -5,020 ,736

-1,483 58,388 ,144 -2,142 1,445 -5,033 ,749

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Lama Rawatan

Rata-rata (hari)

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means

Group Statistics

71 14,20 6,544 ,777

39 6,03 3,950 ,633

Tindakan Medik Operas i Tanpa Operasi Lama Rawatan

Rata-rata (hari)

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

7,528 ,007 7,111 108 ,000 8,172 1,149 5,894 10,449

8,159 106,964 ,000 8,172 1,002 6,186 10,157

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Lama Rawatan

Rata-rata (hari)

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(6)

T-Test

Group Statistics

90 12,66 6,571 ,693

20 5,20 5,227 1,169

Keadaan Sewaktu Pulang Pulang Sembuh/PBJ PAPS

Lama Rawatan Rata-rata (hari)

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

1,689 ,197 4,746 108 ,000 7,456 1,571 4,342 10,569

5,487 33,794 ,000 7,456 1,359 4,694 10,217

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed Lama Rawatan

Rata-rata (hari)

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means