Analisis Rasio Ketersediaan Pangan Dan Komsumsi Pangan Dikota Medan

(1)

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN PANGAN DAN

KONSUMSI PANGAN DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH PUJI ADELINA S

080304024 AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Lembar Pengesahan Judul : ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN IPANGAN DAN KONSUMSI PANGAN DI IKOTA MEDAN

Nama : Puji Adelina S

Nim : 080304024

Departemen : Agribisnis Program Studi : Agribisnis

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA.) NIP. 195803251985021002 NIP. 197008272008122001

Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis

(Dr. Ir. Salmiah, MS) NIP. 195702171986032001

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

PUJI ADELINA S (080304024) dengan judul penelitian ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN IPANGAN DAN KONSUMSI PANGAN DI IKOTA MEDAN. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan strategis di Kota Medan, untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan strategis di Kota Medan, untuk menganalisis rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan, dan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan strategis di Kota Medan.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilih dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menggunakan teknik analisis rasio ketersediaan terhadap konsumsi pangan strategis dengan membandingkan ketersediaan pangan di Kota Medan dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan. Jenis penelitian ini merupakan studi literatur untuk mengetahui tingkat ketahanpanganan sembilan komoditas strategis di Kota Medan.

Hasil dari penelitian adalah ketersediaan energi aktual Kota Medan tahun 2010 sebesar 2.453,41 kkal/kap/hari. Angka ini lebih tinggi 12% dari angka ketersediaan energi sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan oleh pemerintah. Kondisi ini disebut sebagai surplus ketersediaan energi. Ketersediaan protein aktual sebesar 43,48 gr/kap/hari. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan protein aktual kota Medan lebih kecil 24 % dari nilai standard seharusnya. Kondisi ini disebut sebagai minus ketersediaan protein. angka konsumsi energi aktual Kota Medan tahun 2010 sebesar 2.376,71 kkal/kap/hari. Angka ini lebih tinggi 19% dari angka konsumsi energi sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan oleh pemerintah. Jumlah konsumsi energi Kota Medan sudah memenuhi angka standard gizi normal. Angka konsumsi protein aktual sebesar 41,59 gr/kap/hari. Angka ini lebih rendah 20% dari angka konsumsi protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi protein yang berasal dari kesembilan pangan strategis ini tidak mencukupi kebutuhan normal. kesembilan pangan strategis yang meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng berada pada kondisi tahan pangan namun rentan. Rasio tertinggi ada pada komoditas jagung dengan rasio pangan 1,1236 dan disusul dengan cabai merah dengan rasio pangan 1,0636. Rasio pangan terkecil ada pada komoditas gula pasir yaitu sebesar 1,0099 Kata kunci: Ketersediaan, Konsumsi, Pangan.


(4)

RIWAYAT HIDUP

PUJI ADELINA S (080304024) dilahirkan di Medan pada tanggal 8 Februari 1990 sebagai anak kedua dari 3 bersaudara, dari keluarga Bapak Luhut Siahaan dan Ibu Risma Simanjuntak.

Pendidikan yang ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) Tahun 1996-2002 di SD ASSISI Medan.

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tahun 2002-2005 di SMP Negeri 1 Medan.

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2005-2008 di SMA Negeri 1 Medan.

4. Melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB) Tahun 2008 diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

5. Bulan Juli 2012, melakukan Praktek Kerja Lapangan di Desa Pematang Sei Baru, Kecamatan Tanjung Balai, Kabupaten Asahan.

6. Bulan Agustus 2012, melaksanakan penelitian skripsi di Kota Medan Selama perkuliahan, penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi diantaranya : 1. Anggota Organisasi Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian

(IMASEP) Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

2. Anggota Seksi Kewirausahaan Organisasi Unit Kesenian Mahasiswa Fotografi Universitas Sumatera Utara.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Analisis Rasio Ketersediaan dengan Konsumsi Pangan di Kota Medan” yang merupakan syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

• Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc sebagai Ketua Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk Membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

• Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA.sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing, mengarahkan, dan membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.

• Ibu Dr. Salmiah, MS selaku Ketua Departemen Agribisnis. FP-USU dan Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc selaku Sekretaris Departemen Agribisnis, FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal kuliah di kampus.

• Seluruh Dosen Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

• Seluruh pegawai di Fakultas Pertanian khususnya pegawai Departemen Agribisnis.


(6)

• Seluruh teman- teman angkatan 2008 Agribisnis yang mendukung pembuatan skripsi ini.

Segala hormat dan terimakasih secara khusus penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis Bapak Luhut Siahaan dan Ibunda Risma Simanjuntak yang telah membesarkan, memberi semangat, memelihara dan mendidik penulis selama ini.

Penulis menyadari di dalam pembuatan skripsi masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2012


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

2.2 Landasan Teori ... 14

2.2.1 Ketersediaan Pangan ... 16

2.2.2 Konsumsi Pangan ... 18

2.3 Kerangka Pemikiran ... 22

2.4 Hipotesis Penelitian ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 25

3.2 Metode Penentuan Sampel ... 25

3.3 Jenis Dan Sumber Data ... 25

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 26

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional ... 29

3.5.1 Defenisi ... 29

3.5.2 Batasan Operasional ... 31

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Kota Medan ... 32

4.2 Kondisi Demografis Kota Medan ... 33

4.3.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk ... 33

4.3.2 Rasio Kepadatan Penduduk... 34

4.3.3 Struktur Penduduk ... 35

4.4 Kota Medan Secara Ekonomi ... 36


(8)

4.6 Ketersediaan Pangan Strategis ... 40

4.6.1 Ketersediaan Beras ... 41

4.6.2 Ketersediaan Jagung... 42

4.6.3 Ketersediaan Cabai Merah ... 43

4.6.4 Ketersediaan Daging Ayam ... 43

4.6.5 Ketersediaan Daging Sapi ... 44

4.6.6 Ketersediaan Telur Ayam ... 45

4.6.7 Ketersediaan Minyak Goreng ... 46

4.6.8 Ketersediaan Gula Pasir ... 47

4.6.9 Ketersediaan Bawang Merah ... 48

4.7 Konsumsi Pangan Strategis ... 49

4.7.1 Konsumsi Beras ... 50

4.7.2 Konsumsi Jagung ... 51

4.7.3 Konsumsi Cabai Merah ... 52

4.7.4 Konsumsi Daging Ayam ... 53

4.7.5 Konsumsi Daging Sapi ... 54

4.7.6 Konsumsi Telur Ayam ... 56

4.7.7 Konsumsi Minyak Goreng ... 57

4.7.8 Konsumsi Gula Pasir ... 58

4.7.9 Konsumsi Bawang Merah ... 59

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Ketersediaan Pangan Strategis ... 61

5.2 Konsumsi Pangan Strategis ... 70

5.3 Rasio Ketersediaan dengan Konsumsi Pangan dan Tingkat Ketahanan Pangan ... 74

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 79

6.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

PUJI ADELINA S (080304024) dengan judul penelitian ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN IPANGAN DAN KONSUMSI PANGAN DI IKOTA MEDAN. Penelitian ini dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc dan Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan strategis di Kota Medan, untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan strategis di Kota Medan, untuk menganalisis rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan, dan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan strategis di Kota Medan.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu daerah dipilih dengan mempertimbangkan waktu dan jangkauan penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menggunakan teknik analisis rasio ketersediaan terhadap konsumsi pangan strategis dengan membandingkan ketersediaan pangan di Kota Medan dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan. Jenis penelitian ini merupakan studi literatur untuk mengetahui tingkat ketahanpanganan sembilan komoditas strategis di Kota Medan.

Hasil dari penelitian adalah ketersediaan energi aktual Kota Medan tahun 2010 sebesar 2.453,41 kkal/kap/hari. Angka ini lebih tinggi 12% dari angka ketersediaan energi sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan oleh pemerintah. Kondisi ini disebut sebagai surplus ketersediaan energi. Ketersediaan protein aktual sebesar 43,48 gr/kap/hari. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan protein aktual kota Medan lebih kecil 24 % dari nilai standard seharusnya. Kondisi ini disebut sebagai minus ketersediaan protein. angka konsumsi energi aktual Kota Medan tahun 2010 sebesar 2.376,71 kkal/kap/hari. Angka ini lebih tinggi 19% dari angka konsumsi energi sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan oleh pemerintah. Jumlah konsumsi energi Kota Medan sudah memenuhi angka standard gizi normal. Angka konsumsi protein aktual sebesar 41,59 gr/kap/hari. Angka ini lebih rendah 20% dari angka konsumsi protein yang dianjurkan oleh Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi protein yang berasal dari kesembilan pangan strategis ini tidak mencukupi kebutuhan normal. kesembilan pangan strategis yang meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng berada pada kondisi tahan pangan namun rentan. Rasio tertinggi ada pada komoditas jagung dengan rasio pangan 1,1236 dan disusul dengan cabai merah dengan rasio pangan 1,0636. Rasio pangan terkecil ada pada komoditas gula pasir yaitu sebesar 1,0099 Kata kunci: Ketersediaan, Konsumsi, Pangan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saparinto dan Hidayati (2006) mendefenisikan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia. Termasuk di dalamnya adalah bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau pembuatan makanan atau minuman. Komoditi pangan yang sangat vital meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng. Kesembilan komoditi ini sering disebut dengan bahan pangan strategis di Indonesia melihat pola konsumsi Indonesia yang lazim menggunakan bahan pangan ini yang sudah menjadi budaya di masyarakatnya.

Terwujudnya ketahanan pangan merupakan hasil kerja dari suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan. Ketersediaan pangan menyangkut masalah produksi, stok, impor dan ekspor, yang harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan sebagaian bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, pangan yang tersedia bagi keluarga harus cukup volume dan jenisnya, serta stabil dari waktu kewaktu.

Dalam Waspada online (2010), produksi beras Kota Medan saat ini hanya dapat mencukupi sekitar 3% dari besar konsumsi beras Kota Medan. Jumlah


(11)

pemenuhan konsumsi beras ini mengalami penurunan seiring terus berkurangnya potensi lahan pertanian Kota Medan yang selama ini tersebar di beberapa kecamatan yakni Marelan, Labuhan, dan Medan Deli. Potensi lahan pertanian Kota Medan seluas 3.900 Ha dengan angka produktivitas lahan pertanian yang sebesar 4.569 kuintal/hektare, kemudian berkurang menjadi 2.100 hektare pada 2011. Ekstensifikasi pertanian sudah tidak mungkin di Medan melihat keterbatasan lahan yang ada. Karenanya hingga saat ini, Medan dalam pemenuhan konsumsi pangan beras masih bergantung kepada daerah lain yang selama ini menjadi sentra penyuplai beras seperti Deliserdang, Simalungun, dan Serdang Bedagai. Adapun jumlah produksi dan impor pagan strategis di Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1.1 Produksi & Impor Pangan Strategis Kota Medan Tahun 2010 (ton/tahun)

No. Komoditas Pangan Strategis Jumlah Produksi

Impor

1. Beras 9.287 297.300

2. Jagung 1.435 129.866

3. Cabai Merah 535 5.069

4. Daging Ayam (buras & ras) 354 60

5. Daging Sapi 2.412 9.453

6. Telur Ayam 968 9.276

7. Minyak Goreng 66.176 0

8. Gula Pasir 0 12.500

9. Bawang Merah 0 11.051

Sumber: BKP Medan, 2010

Dilihat dari Tabel 1.1, tidak hanya pada beras, produksi pangan strategis yang lain seperti jagung, cabai merah, daging ayam, daging sapi, dan telur ayam dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Kota Medan masih membutuhkan impor. Bahkan untuk komoditas pangan gula pasir dan bawang merah, Kota Medan hanya mengandalkan impor dari luar Kota Medan.


(12)

Ketergantungan akan pangan impor merupakan hal yang kurang aman untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu wilayah.

Cadangan pangan dalam pemenuhan ketersediaan pangan Kota Medan merupakan komponen yang sangat penting dalam penyediaan pangan, karena dapat difungsikan sebagai stabilisator impor pangan pada saat produksi atau impor tidak mencukupi. Informasi mengenai stok pangan strategis sangat penting diketahui untuk melihat situasi katahanan pangan, baik di tingkat rumah tangga, kabupaten, wilayah maupun nasional. Informasi stok beras pemerintah relatif lebih mudah diperoleh karena penyelenggaranya adalah instansi pemerintah (pada saat ini Bulog). Namun demikian, informasi mengenai stok gabah/beras di masyarakat lebih sulit diperoleh dan data stok ini tidak tersedia secara rutin. Di

sisi lain data stok ini sangat dibutuhkan dalam penentuan kebijakan sektor pertanian karena menyangkut ketersediaan pangan di suatu wilayah

(Pudjadi dan Harisno, 2007).

Menurut Suwandi (2005), dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan akan pangan juga akan semakin meningkat. Dengan kata lain terjadi peningkatan konsumsi. Sebagai contoh beras, permintaan terhadap beras meliputi konsumsi di dalam rumah; di luar rumah antara lain di rumah makan, hotel; konsumsi makanan hasil industri pengolahan; dan kebutuhan beras untuk cadangan rumah tangga. Terjadi permintaan produksi yang tinggi. Namun sayangnya, adanya peningkatan konsumsi terkadang tidak dapat diimbangi dengan adanya peningkatan produksi. Ketersediaan lahan produksi padi di Medan semakin berkurang yang mengakibatkan berkurangnya produksi beras Medan.


(13)

Total konsumsi penduduk Kota Medan dapat diketahui dengan mengalikan konsumsi pangan per orang dengan jumlah penduduk. Dilihat dari pemenuhan konsumsi pangan dari impor, angka impor yang terus meningkat untuk berbagai komoditas pangan disebabkan oleh tiga hal penting. Yang pertama, kebutuhan pangan yang semakin meningkat karena populasi yang meningkat. Yang kedua, konsumsi perkapita yang meningkat sebagai hasil dari peningkatan kesejahteraan dan pendidikan. Ketiga, produksi yang menurun atau meningkat dengan kecepatan yang lebih kecil dari pada peningkatan kebutuhan, karena kondisi yang ada terutama harga, tidak kondusif untuk peningkatan produksi dan juga alih fungsi lahan (Husodo, 2004).

Ketersediaan dan konsumsi pangan dapat menjadi masalah utama yang disebabkan oleh adanya kekurangan pemenuhan kebutuhan konsumsi semestinya dimana pada akhirnya akan berkaitan dengan standar gizi bagi masyarakat Kota Medan. Hal ini ditandai dengan banyaknya Kepala Keluarga (KK) yang tergolong dalam rumah tangga rawan pangan. Di ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan, total rumah tangga rawan pangan mencapai 79.136 KK atau 22,93% dari total rumah tangga rawan pangan Sumatera Utara. Kelurahan rawan pangan di Kota Medan sebanyak 14 kelurahan yang tersebar di 4 kecamatan. 4 Kecamatan tersebut yaitu Medan Tuntungan, Medan Labuhan, Medan Marelan, dan Medan Belawan. Untuk data selengkapnya diterangkan pada Tabel 1.2.


(14)

Tabel 1.2 Data Kelurahan Rawan Pangan Kota Medan Tahun 2009 No Kecamatan Kelurahan

Rumah Tangga (KK) Rumah Tangga Miskin (RTS) Persentase Rumah Tangga Miskin (%) 1 Medan

Tuntungan

Sidomulyo 465 194 41,72

Baru Ladang Bambu

933 340 36,44

Namo Gajah 417 161 38,61

2 Medan Labuhan

Pekan Labuhan 5.212 1.588 30,47

Nelayan Indah 1.885 732 38,83

3 Medan Marelan

Terjun 6.548 1.582 24,16

Paya Pasir 2.746 952 34,67

Labuhan Deli 4.149 1.850 44,59

4 Medan Belawan

Belawan Pulau Sicanang

2.979 1.600 53,71

Belawan Bahagia 2.662 1.540 57,85 Belawan Bahari 2.582 1.591 61,62

Belawan II 4.959 2.368 47,75

Bagan Deli 3.350 1.662 49,61

Belawan I 4.470 2.599 58,14

J U M L A H 43.357 18.759 43,67

Sumber Data : Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2009 dalam BKP, 2010

Jumlah masyarakat/rumah tangga miskin 3 (tiga) terbesar terdapat di Kecamatan Medan Belawan yaitu di Kelurahan Belawan Bahari sebanyak 1.591 jiwa (61,62 %), Kelurahan Belawan I 58,14 %, dan Kelurahan Belawan Bahagia 57,85 %. Adanya keluarga yang rawan pangan ini umumnya disebabkan oleh masalah ekonomi (pendapatan) yang tidak mendapat akses terhadap kebutuhan pangan yang layak, sehat dan aman untuk konsumsi keluarganya. Hal ini


(15)

dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan pangan, stabilitas harga pangan (food stability), dan keterjangkauan pangan (food accessability) di Kota Medan. Harga pangan di pasar relatif mahal mengakibatkan kesusahan masyarakat di sebagian golongan tertentu dalam membeli kebutuhannya. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok ini memicu banyaknya gizi buruk yang dialami oleh masyarakat miskin. Akibatnya, kemampuan masyarakat dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin rendah. Keadaan ini membuat kehidupan masyarakat berada dalam lingkaran setan dan sulit untuk keluar (Soekirman, 2000).

Dengan demikian, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Rasio Ketersediaan Pangan Dan Konsumsi Pangan di Kota Medan”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat ketersediaan pangan strategis di Kota Medan ? 2. Bagaimana tingkat konsumsi pangan strategis di Kota Medan ?

3. Bagaimana rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan ?

4. Bagaimana tingkat ketahanan pangan strategis di Kota Medan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah untuk :

1. Mengetahui tingkat ketersediaan pangan strategis di Kota Medan. 2. Mengetahui tingkat konsumsi pangan strategis di Kota Medan.


(16)

3. Menganalisis rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan.

4. Mengetahui tingkat ketahanan pangan strategis di Kota Medan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian adalah :

1. Sebagai masukan bagi pemangku kepentingan untuk memperbaiki dan meningkatkan penyediaan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan Kota Medan yang sampai saat ini mempunyai pola pangan dan pola hidup yang sangat bergantung kepada pangan impor.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Dalam Permentan No 65 Tahun 2010 mengenai Petunjuk Teknis Standard Pelayanan Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota, Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Oleh karena terpenuhinya pangan menjadi hak asasi bagi masyarakat, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dalam Pasal 7 huruf m dan Pasal 8, urusan Ketahanan Pangan merupakan urusan wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dalam pemenuhan kebutuhan hidup minimal.

Dalam penyelenggaran ketahanan pangan, peran Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 adalah melaksanakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing dan mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan, dilakukan dengan :

(a) Memberikan informasi dan pendidikan ketahanan pangan (b) Meningkatkan motivasi masyarakat

(c) Membantu kelancaran penyelenggaraan ketahanan pangan (d) Meningkatkan kemandirian ketahanan pangan.


(18)

Dalam PPRI No. 68 tahun 2002, untuk mewujudkan ketahanan pangan, maka seluruh sektor harus berperan secara aktif dan berkoordinasi secara rapi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan masyarakat untuk meningkatkan strategi demi mewujudkan ketahanan pangan nasional. Oleh karena ketahanan pangan tercermin pada ketersediaan pangan secara nyata, maka harus secara jelas dapat diketahui oleh masyarakat mengenai penyediaan pangan. Penyediaan pangan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus terus berkembang dari waktu ke waktu. Untuk mewujudkan penyediaan pangan tersebut, perlu dilakukan pengembangan sistem produksi, efisiensi sistem usaha pangan, teknologi produksi pangan, sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Menurut Nuhfil (2005), ketahanan pangan dengan prinsip kemandirian dan berkelanjutan senantiasa harus diwujudkan dari waktu ke waktu, sebagai prasyarat bagi keberlanjutan eksistensi bangsa Indonesia. Upaya mewujudkan ketahanan pangan tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor internal maupun eksternal yang terus berubah secara dinamis. Dinamika dan kompleksitas ketahanan pangan menimbulkan berbagai permasalahan dan tantangan serta potensi dan peluang yang terus berkembang yang perlu diantisipasi dan diatasi melalui kerjasama yang harmonis antar seluruh pihak terkait dalam mewujudkan ketahanan pangan.

Masalah pangan adalah keadaan kelebihan pangan, kekurangan pangan dan/atau ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Masih adanya penduduk miskin, daerah rawan pangan, produksi pangan dihasilkan tidak merata antar wilayah dan sepanjang waktu, potensi Sumberdaya


(19)

Alam yang berbeda di masing-masing daerah akan berpengaruh terhadap distribusi dan impor bahan pangan. Kondisi ini, pada akhirnya akses pangan bagi setiap individu rumah tangga akan semakin menjadi rendah apabila ketersediaan pangan setempat terbatas, pasar tidak tersedia, transportasi terbatas, pendapatan rendah, pendidikan terbatas, pengangguran tinggi, budaya setempat belum memadai. Oleh sebab itu, peranan distribusi pangan yang terjangkau dan merata sepanjang waktu kiranya akan berpengaruh terhadap peningkatan akses pangan bagi setiap rumah tangga di dalam memenuhi kecukupan pangannya (PPRI No. 68, 2002).

Komoditi pangan strategis meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng. Kesembilan komoditi ini sering disebut dengan bahan pangan strategis di Indonesia melihat pola konsumsi Indonesia yang lazim menggunakan bahan pangan ini yang sudah menjadi budaya di masyarakatnya. Dalam PPRI No. 68 Tahun 2002, untuk memenuhi penyediaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga yang terus berkembang dilakukan dengan :

a. mengembangkan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal;

b. mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; c. mengembangkan teknologi produksi pangan;

d. mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan

Semakin banyak jumlah penduduk, konsumsi pangan semakin meningkat. Menurut Husodo (2004), angka impor yang terus meningkat untuk berbagai komoditas pangan, disebabkan oleh kebutuhana pangan yang semakin meningkat


(20)

karena populasi yang meningkat dan konsumsi perkapita yang meningkat sebagai hasil dari peningkatan kesejahteraan dan pendidikan, dan produksi yang menurun atau meningkat dengan kecepatan yang lebih kecil daripada peningkatan kebutuhan, karena kondisi yang ada terutama harga, tidak kondusif untuk peningkatan produksi. Menurut Aldy (2011), jumlah impor panganyang masuk ke Kota Medan harus melalui jembatan timbang, jembatan timbang yang ada di provinsi Sumatera Utara berjumlah 13 buah yaitu jembatan timbang Gebang, jembatan timbang Sibolangit, Jembatan timbang Tanjung Morawa I dan II, jembatan timbang Dolok Merangir, jembatan timbang Simpang Dua, jembatan timbang Dolok Estate, jembatan timbang Aek Kanopan, jembatan timbang Aek Batu, jembatan timbang Simoang Runding, jembatan timbang Jembatan Merah, jembatan timbang Sabungan, dan jembatan timbang PAL XI.

Ketahanan pangan di tiap daerah termasuk Medan memiliki tiga pilar utama, yaitu ketersediaan, distribusi dan akses pangan serta konsumsi. Pilar Pertama, Kota Medan yang terdiri dari 21 kecamatan bukanlah sentra produksi pangan. Artinya impor pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal di pasok dari luar kota Medan baik kabupaten berdekatan atau luar Sumatera. Ketersediaan pangan selama ini di Medan tidak memiliki kendala yang subtantif. Sentra-sentra produksi pangan di luar kota Medan masih terus memasok pangan ke Kota Medan secara berkesinambungan dan berkelanjutan (Waspada, 2011).

Namun, demikian bukan berarti dalam jangka panjang ketersediaan pangan di Medan ini akan tetap terjamin mengingat fluktuatif iklim yang condong ekstrim (di beberapa daerah sentra produksi pangan) dianggap sebagai ancaman bagi ketahanan produktivitas. Tentu saja jalan keluar yang tepat adalah bagaimana


(21)

walikota memaksimalkan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat. Paling tidak terdapat cadangan pangan rumah tangga untuk tiga bulan konsumsi (Waspada, 2011).

Dari pilar distribusi dan akses pangan, hingga triwullan III tahun 2011 terlihat stabilitas harga dan impor pangan di Medan masih stabil atau stabilitas harga berkisar antara 0 hingga 15 persen. Artinya tidak terjadi gejolak harga yang fluktuatif ekstrim kecuali pada Hari Besar Keagamaan Negara (HBKN). Kestabilan harga dan impor ini bermuara pada distribusi dan informasi pangan yang baik. Jalur tataniaga pangan dari luar Medan tidak mendapat hambatan berarti karena infrastruktur jalan memenuhi persyaratan untuk memasok pangan dengan waktu yang tepat (Waspada, 2011).

Dari pilar konsumsi, sampai dengan triwulan III tahun 2011 kecukupan pangan bagi rumah tangga di Medan masih memenuhi harapan yang ditetapkan pemerintah. Pola pangan harapan di Medan tercapai hingga 82 persen. Artinya secara kuntitatif masyarakat Medan dapat mengakses pangan dengan harga yang terjangkau dan secara kualitatif. Masyarakat Medan memahami persoalan dengan benar pola konsumsi yang bergizi dan berimbang. Sisa persoalan adalah keracunan panganan anak sekolah. Pada persoalan ini dinas kesehatan dan dinas pendidikan sangat diharapkan bekerja lebih serius lagi mencegah panganan yang akan dikonsumsi anak sekolah (Waspada, 2011).

Dalam Harian Sumut Pos (2011), sumberdaya alam belum sepenuhnya dimanfaatkan, padahal potensi sumber daya pangan sangat banyak di tanah air. Konsumsi pangan masyarakat pada kelompok padi-padian paling mendominasi yakni mencapai 1.333,88 kkal per kapita per hari atau sebesar 66,69 persen.


(22)

Angka itu masih sangat tinggi dari anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 50 persen, sedangkan konsumsi kacang-kacangan, sayuran dan buah-buahan masih di bawah anjuran. Tingginya konsumsi beras dimasyarakat menjadi hambatan dalam menciptakan pola konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang (3B) dan aman. Padahal dalam pemenuhan kebutuhan energi tak hanya bisa diperoleh dari kelompok pangan padi-padian, namun dari umbi-umbian yang mengandung kalori sebagai sumber energi di tubuh.

Pola konsumsi masyarakat dapat tercermin dari pola konsumsi pangannya di tingkat rumah tangga yang diindikasikan dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) masyarakat. Untuk itu, penting diketahui bagaimana tingkat AKG masyarakat Kota Medan, yang menurut rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) Tahun 2004, rata–rata untuk kalori sebesar 2.000 kilo kalori/kapita/hari dan untuk protein 52 gr/kap/hari. Untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif maka setiap orang memerlukan 5 (lima) kelompok zat gizi (seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) yang cukup sesuai dengan anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) dan Angka Kecukupan Energi (AKE) guna mencegah berjangkitnya penyakit didalam keluarga, konsumsi pangan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan akhir tahun 2010 menunjukkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai skor 78,3 atau jauh diatas standarisasi skor nasional yaitu skor 75,5 dan diharapkan mencapai skor PPH Nasional yaitu skor 95 pada tahun 2015. Untuk data selengkapnya dapat dijelaskan dari Tabel 2.1 berikut.


(23)

Tabel 2.1 Gambaran Rata-Rata Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2007-2010

Sumber: BKP Sumut, 2010

Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan Tampubolon, 2004).

2.2 Landasan Teori

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang penting. Semakin maju suatu bangsa, tuntutan dan perhatian terhadap kualitas pangan yang akan dikonsumsi akan semakin besar. Tujuan mengkonsumsi makanan bukan lagi sekedar mengatasi rasa lapar tetapi semakin kompleks. Konsumen semakin sadar bahwa pangan merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan tubuh. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia setiap saat, baik

Uraian Perkembangan konsumsi perkapita perhari

Anjuran

2007 2008 2009 2010

Energi

(kkal/kap/hari)

2.069 2.074,5 2067,94 1971 2000

Protein

(gram/kap/hari)

58.5 60,12 54,35 57,13 52


(24)

kuantitas maupun kualitas, aman, bergizi dan terjangkau sesuai daya beli masyarakat. Kekurangan pangan tidak hanya dapat menimbulkan dampak sosial, ekonomi, bahkan dapat mengancam keamanan sosial (Purnawijayanti, 2001).

Menurut PPRI No. 68 Tahun 2002, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah. Ketersediaan pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman

dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri; (2) pemasokan pangan; (3) pengelolaan cadangan

pangan. Ketersediaan pangan pada tingkat wilayah adalah produksi pangan pada tingkat lokal. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana distribusi darat dan antar-pulau serta pemasaran pangan sangat penting untuk menunjang sistem distribusi yang efisien (Suryana, 2004).

Maleha (2004) berpendapat bahwa ada 2 variabel umum yang menentukan suatu daerah berada dalam kondisi memiliki ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan dan konsumsi pangan.

2.2.1 Ketersediaan Pangan

Menurut Suryana (2004), salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan pada


(25)

tingkat wilayah adalah produksi pangan pada tingkat lokal. Bruntrup (2008) menambahkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana distribusi darat dan antarpulau serta pemasaran pangan sangat penting untuk menunjang sistem distribusi yang efisien. Distribusi yang efisien menjadi prasyarat untuk menjamin agar seluruh wilayah sampai pada tingkat rumah tangga dapat terjangkau kebutuhan pangannya dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau.

Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan berikut turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang (hierarchial systems) mulai dari nasional, propinsi (regional), lokal (Kabupaten/Kota) dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur baik pada tingkat makro maupun mikro (Baliwati dan Roosita, 2004).

Dalam Permentan Nomor 65 tahun 2010, ketersediaan pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu:

(1) produksi dalam negeri (2) pemasokan pangan (impor)

(3) pengelolaan cadangan pangan (stok pangan)

Jumlah penduduk yang besar dengan keadaan kemampuan ekonomi relatif lemah, maka kemauan untuk tetap menjadi bangsa yang mandiri di bidang pangan harus terus diupayakan dari produk dalam negeri. Hal yang perlu disadari adalah


(26)

kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok juga menyangkut harkat martabat dan kelanjutan eksistensi bangsa. Sedangkan impor pangan merupakan pilihan akhir, apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri.

Kota Medan adalah salah satu Kota yang dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami konversi lahan. Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan dan penurunan pendapatan petani. Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, semakin kurang efektif karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang, 2001).

Seiring dengan semakin maraknya alih fungsi lahan untuk pembangunan, menyebabkan Kota Medan bukanlah merupakan daerah potensial untuk sentra produksi pertanian. Kini, Kota Medan telah berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, Jasa, dan Industri di Sumatera Utara. Disisi lain, kemajuan tersebut juga telah mendorong Kota Medan menjadi pasar yang strategis dan potensial bagi daerah-daerah hinterlandnya dalam memasarkan berbagai komoditas bahan pangan hasil produksi pertaniannya. Sehingga secara otomatis, Kota Medan dapat


(27)

Universitas Sumatera Utara memenuhi ketersediaan dan kebutuhan bahan pangan pokok dan strategis masyarakatnya (Laurensius, 2010).

Impor bahan pangan Sumatera Utara (Sumut) tahun 2010 didominasi komoditas beras dan kacang kedelai. Setelah itu menyusul gula pasir dan buah segar serta tepung terigu. Sedangkan pelabuhan yang dijadikan pintu gerbang masuknya komoditas tersebut dari luar negeri adalah Pelabuhan Belawan dan terminal peti kemas Belawan International Container Terminal (BICT). Menurut Humas Pelindo I Cabang Belawan M Azmi, tahun ini komoditas beras menduduki ranking pertama impor makanan Sumut melalui Pelabuhan Belawan. Setelah itu menyusul gula pasir (Wismar, 2011).

Ketergantungan akan impor tidak baik dalam suatu daerah. Misalnya, pada komoditi beras. Beras merupakan bahan pangan utama. Bila hal ini tidak ditangani secepatnya, ketergantungan pada impor akan semakin meningkat. Sementara itu pasar beras internasional sifatnya thin market. Artinya ketergantungan terhadap impor sifatnya tidak stabil dan akan menimbulkan kerawanan pangan dan pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham dkk, 2003).

2.2.2 Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi. Konsumsi pangan bertindak sebagai penyedia energi bagi tubuh, pengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan. Menurut Sedioetama (1996), konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.


(28)

• Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh.

• Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera

• Tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat

Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena berpengaruh langsung terhadap keberhasilan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hal ini ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi. Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif.

Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan teknologi pengolahan pangan sangat penting. (Anonimus, 2001).


(29)

Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis pangan, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi, lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi dikarenakan ketahanan tubuh kurang baik yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah dan Martianto, 1992).

Tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan makan. Pola makan di pedesaan belum banyak terpengaruh pola makannya dibandingkan dengan pola makan di perkotaan. Pada akhirnya kecukupan asupan makan di kota baik kualitas maupun kuantitas lebih baik daripada kecukupan asupan makan anak di desa (Khumaedi, 1994).

Pola konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda, karena masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari bahan makanan


(30)

yang dikonsumsi dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduk lebih mampu, tersedianya fasilitas kesehatan memadai, fasilitas pendidikan lebih baik, tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas penduduk pegawai dan wiraswasta, sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat kurang memenuhi syarat dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu, fasilitas kesehatan yang terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya tenaga kesehatan serta lapangan kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (Windarsih, 2008).

Mengetahui ketersediaan pangan suatu daerah dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah produksi pangan strategis domestik, stok pangan yang dikeluarkan, dan impor & ekspor pangan dari/ke Kota Medan. Perhitungan ketersediaan pangan wilayah ini sangat penting dilakukan untuk melihat melihat surplus tidaknya pangan di suatu daerah tertentu. Dengan diketahuinya ini neraca tersebut maka antisipasi untuk ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dapat dilakukan sejak dini.

Selanjutnya menganalisis tingkat konsumsi pangan Kota Medan dapat diidentifikasi dengan mengalikan konsumsi energi per kapita per hari pada masing–masing komoditi dengan jumlah penduduk Kota Medan. Konsumsi pangan ini terdiri dari konsumsi kalori dan protein. Rumus ini dipakai pada masing–masing komoditi pangan strategis yaitu beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng di Kota Medan.

Dalam penelitian terdahulu, Ryan Aldy (2011) dalam judul Pola Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan mengatakan ketersediaan cabai merah, daging sapi, daging ayam, telur dan beras memenuhi semua kebutuhan masyarakat yang ada di


(31)

Kota Medan. Ketersediaan ini didominasi dari impor luar Kota Medan. Bararti, untuk kelima jenis pangan strategis tersebut, Kota Medan termasuk dalam kategori tahan pangan.

2.3 Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup. Kota Medan memiliki jumlah penduduk yang besar sekitar 2.121.053 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan akan pangan juga akan semakin meningkat, dengan kata lain terjadi peningkatan konsumsi.

Peningkatan permintaan terhadap bahan–bahan pangan strategis tidak disertai dangan peningkatan produksi pangan di Kota Medan. Kota Medan bukanlah Kota pertanian yang mampu menghasilkan produk pangan dengan jumlah yang besar melihat keterbatasan lahan pertanian yang dimilikinya. Kota Medan mengalami perubahan yang tinggi terhadap alih fungsi lahan. Lahan yang dahulunya digunakan untuk lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, maupun pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu, pemenuhan permintaan kebutuhan pangan Kota Medan didominasi oleh impor dari luar Kota Medan. Ketergantungan akan pangan impor merupakan hal yang kurang aman untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu wilayah. Hal lain yang memberikan sumbangan ketersediaan pangan Kota Medan yaitu stok pangan dari tahun sebelumnya.

Rasio ketersediaan pangan strategis dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan kategori hasil


(32)

tidak tahan pangan (rawan pangan) jika RP < 0,8, tahan pangan tetapi kurang terjamin jika 0,8 < RP < 1,2, dan rasio pangan terjamin jika RP > 1,2 (Khotibuddin, 2011).

Gambar 1.1 Bagan Kerangka pemikiran

KONSUMSI PANGAN

(+) JUMLAH PRODUKSI PANGAN STRATEGIS KOTA

MEDAN

(+) IMPOR PANGAN STRATEGIS KE KOTA MEDAN

(-) EKSPOR PANGAN STRATEGIS DARI KOTA

MEDAN

(+) STOK PANGAN STRATEGIS KOTA MEDAN

KETERSEDIAAN PANGAN

RASIO KETERSEDIAAN & KONSUMSI PANGAN

RP < 0,8 RAWAN PANGAN

0,8 < RP < 1,2 TAHAN PANGAN (RENTAN)

RP > 1,2 TAHAN PANGAN


(33)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Ketersediaan pangan di Kota Medan mencukupi standard kecukupan 2. Konsumsi pangan di Kota Medan mencukupi standard kecukupan

3. Rasio ketersediaan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan termasukdalam kondisi tahan pangan


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Kota Medan. Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu menggunakan teknik analisis rasio ketersediaan terhadap konsumsi pangan strategis dengan membandingkan ketersediaan pangan di Kota Medan dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan. Jenis penelitian ini merupakan studi literatur untuk mengetahui tingkat ketahanpanganan sembilan komoditas strategis di Kota Medan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2012.

3.2 Metode Penentuan Sampel

Sampel yang digunakan adalah data–data yang berhubungan dengan ketersediaan pangan di Kota Medan dan konsumsi pangan strategis di Kota Medan pada tahun 2010. Adapun data yang diperlukan antara lain:

1. Ketersediaan (produksi) pangan strategis di Kota Medan tahun 2010 2. Data impor pangan strategis ke kota Medan tahun 2010

3. Data ekspor pangan strategis dari kota Medan tahun 2010 4. Data stok pangan strategis Kota Medan tahun 2010 5. Konsumsi pangan strategis per kapita per hari tahun 2010 6. Data jumlah penduduk Kota Medan tahun 2010

3.3 Jenis Dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi pemerintah. Sumber data skunder dalam penelitian ini diperoleh dari


(35)

Badan Ketahanan Pangan Kota Medan, Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, Dinas Pertanian dan Lelautan Kota Medan, Dinas Peternakan, dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan. Perolehan data sekunder juga didapatkan dari media internet, artikel surat kabar, jurnal, dan majalah.

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Untuk menyelesaikan masalah satu yaitu bagaimana mengetahui tingkat ketersediaan pangan strategis di Kota Medan, digunakan analisis deskriptif dengan cara melihat data ketersediaan pangan strategis di Kota Medan. Data tersebut bersumber dari Badan Ketahanan Pangan Kota Medan. Ketersediaan pangan didapat dengan menjumlahkan produksi pangan Kota Medan, impor, stok pangan yang dikeluarkan lalu dikurangi dengan ekspor pangan Kota Medan. Ketersediaan pangan wilayah untuk suatu komoditas tertentu dapat diformulasikan sebagai berikut :

KTSP = PROD + (IP-XP) + SP Dimana :

KTSP = ketersediaan pangan untuk dikonsumsi manusia (ton/tahun) PROD = produksi pangan domestik (ton/tahun)

(IP-XP) = net impor (IP adalah impor, XP adalah ekspor) (ton/tahun) SP = stok pangan yang dikeluarkan (ton/tahun)

Perhitungan ketersediaan pangan wilayah ini sangat penting dilakukan untuk melihat melihat surplus tidaknya pangan di suatu daerah tertentu. Dengan diketahuinya ini neraca tersebut maka antisipasi untuk ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dapat dilakukan sejak dini.


(36)

Setelah ketersediaan pangan untuk dikonsumsi manusia diketahui, dilakukan konversi angka untuk dikonsumsi manusia dalam ton per tahun ke dalam kilo kalori per kapita per hari dengan cara membagi nilai dikonsumsi manusia dalam ton per tahun dengan hasil perkalian jumlah penduduk di Kota Medan selama satu tahun (365 hari), Ketersediaan pangan wilayah untuk suatu komoditas tertentu (Kkal/kap/hari) dapat diformulasikan sebagai berikut:

KSP = ����

∑P x365hari

Dimana:

KSP = Ketersediaan pangan (Kkal/kap/hari)

KTSP = ketersediaan pangan untuk dikonsumsi manusia (ton/tahun) ∑P = Jumlah Penduduk (jiwa)

Lalu ketersediaan pangan strategis Kota Medan dalam energi dan protein dibandingkan dengan angka ketersediaan energi dan protein sesuai standart Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah ditetapkan.

Untuk menyelesaikan masalah kedua yaitu bagaimana mengetahui tingkat konsumsi pangan strategis di Kota Medan, digunakan analisis deskriptif dengan cara melihat data konsumsi pangan strategis di Kota Medan. Data tersebut bersumber dari Badan Ketahanan Pangan Kota Medan. Untuk melihat kecukupan konsumsi pangan strategis di Kota Medan, dilakukan perbandingan data antara konsumsi energi dan protein dengan angka standart konsumsi energi dan protein sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Cara ini dipakai pada masing–masing komoditi pangan strategis meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng di Kota Medan.


(37)

Untuk menyelesaikan masalah ketiga dilakukan analisis deskriptif dengan pendekatan rasio ketersediaan pangan strategis dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan. Angka ketersediaan pangan strategis didapat dari pemecahan masalah pertama. Konsumsi pangan Kota Medan didapat dari mengalikan konsumsi per kapita per hari tiap komoditi per orang dengan jumlah penduduk Kota Medan dan 365 hari, atau dengan rumus :

Kt = Ki x ∑ P x 365 hari Dimana :

Kt = Konsumsi total (Kkal)

Ki = Konsumsi pangan per orang (Kkal/kapita/hari) ∑ P = Jumlah Penduduk (jiwa)

Sehingga, rasio ketersediaan pangan strategis dengan konsumsi pangan strategis di Kota Medan dirumuskan :

Rpi =���� �� Dimana :

RPi = Rasio pangan di wilayah i

KTSP = ketersediaan pangan untuk dikonsumsi manusia (ton/tahun) Kt = Konsumsi total (Kkal/tahun)

Indikator yakni :

1. Ketersediaan pangan dan konsumsi pangan

Menurut Widyakarya (2004), ketersediaan pangan dan konsumsi pangan dikatakan adanya kesenjangan bila jumlah ketersediaan tidak memenuhi standard


(38)

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang ditetapkan oleh pemerintah. Angka Kecukupan tersebut antara lain :

Ketersediaan energi = 2200 Kkal/kap/hari Ketersediaan protein = 57 gr/kap/hari Konsumsi energi = 2000 Kkal/kap/hari Konsumsi protein = 52 gr/kap/hari 2. Ketahanan Pangan

Dikatakan ketahanan pangan bila jumlah ketersediaan pangan lebih besar 1,2 kali dibanding dengan jumlah konsumsi pangan.

• Tidak tahan pangan (rawan pangan) jika RP < 0,8

• Tahan pangan tetapi kurang terjamin jika 0,8 < RP < 1,2

• Tahan pangan terjamin jika RP > 1,2

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menegaskan dan menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian tentang istilah – istilah dalam penelitian, maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut :

3.5.1 Defenisi

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi konsumsi manusia.

2. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.


(39)

3. Ketersediaan pangan merupakan subsistem dari sistem ketahanan pangan yang berkaitan dengan aspek-aspek yang terdiri dari usaha produksi pangan, distribusi dan perdagangan termasuk penyelenggaraan cadangan, ekspor dan impor.

4. Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis.

5. Analisis rasio pangan merupakan perbandingan antara dua/kelompok data ketersediaan pangan dengan konsumsi pangan dalam satu periode tertentu dalam satu kota/daerah yang sama.

6. Rawan pangan merupakan keadaan dimana ketersediaan pangan lebih kecil 0,8 kali dibandingkan konsumsi pangan.

7. Tahan pangan kurang terjamin merupakan keadaan dimana ketersediaan pangan antara 0,8 sampai 1,2 kali dibandingkan konsumsi pangan.

8. Tahan pangan terjamin merupakan keadaan dimana ketersediaan pangan lebih besar 1,2 kali dibandingkan konsumsi pangan.

9. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah persentase jumlah suatu zat gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi yang didasarkan atas kebutuhan harian orang sehat. Umumnya kebutuhan harian ini berdasarkan pada kebutuhan kalori harian 2000 kkal.

10.Jumlah produksi pangan domestik adalah jumlah produksi yang dihasilkan dari usahatani masyarakat daerah tersebut.


(40)

12.Stok pangan merupakan cadangan pangan yang disimpan pemerintah saat terjadi kelebihan produksi yang berguna untuk penjagaan bila terjadi rawan pangan.

13.Ekspor pangan adalah penjualan pangan ke luar daerah tertentu.

14.Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan pangan dan/atau mengubah bentuk pangan

3.5.2 Batasan Operasional

1.

Penelitian dilakukan di Kota Medan dengan komoditi pangan strategis berupa beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng pada tahun 2010.

2. Waktu penelitian diadakan tahun 2012.


(41)

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut.

Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:

• Utara : Selat Malaka

• Selatan : Kabupaten Deli Serdang

• Barat : Kabupaten Deli Serdang

• Timur : Kabupaten Deli Serdang

Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Secara geografis Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.


(42)

Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini. Dengan adanya gerbang ekspor impor ini membuat Kota Medan menjadi kota perdagangan. Lahan-lahan yang seharusnya untuk pertanian diubah menjadi pasar, pemukiman, maupun perkantoran. Karena itu, pemerintah benar-benar mengharap impor bahan pangan dalam pemenuhan kebutuhan penduduknya.

4.2 Kondisi Demografis Kota Medan

Profil penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu kemajemukan yang meliputi unsur agama, suku, etnis budaya dan adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Berdasarkan sisi demografi, Kota Medan pada saat ini sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi ini menunjukkan suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah seperti perubahan pola pikir masyarakat yang cenderung meninggalkan pola pikirnya bahwa “banyak anak, banyak rezeki” dan perubahan sosial ekonominya. Sementara di sisi yang lain adanya faktor perbaikan gizi dan tingkat kepedulian masyarakat terhadap kesehatan membuat tingkat kematian simakin menurun.


(43)

4.3.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk

Menurut data BPS Kota Medan diketahui ada peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.102.105 jiwa pada tahun 2008 menjadi 2.121.053 jiwa pada tahun 2009 dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,90%. Sedangkan pada tahun 2010, jumlah penduduk Kota Medan meningkat menjadi 2.125.772 jiwa atau tumbuh sebesar 0,22%. Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 2008-2010

Tahun Jumlah

Penduduk

Laju Pertumbuhan Penduduk (%)

2008 2009 2010

2.102.105,00 2.121.053,00 2.125.772,00

0.91 0.90 0.22 Sumber : BPS Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.1, terlihat terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2009-2010 bila dibanding dengan laju pertumbuhan penduduk di tahun 2008-2009. Peningkatan jumlah penduduk merupakan deret ukur, namun tidak diikuti dangan ketersediaan makanan yang merupakan deret hitung. Untuk itu, Pemerintah Kota Medan mengharapkan impor dari luar Kota Medan dalam pemenuhan kebutuhan di Kota Medan mengingat jumlah bahan pangan yang harus tersedia semakin tinggi.

4.3.2 Rasio Kepadatan Penduduk

Keadaan jumlah penduduk yang semakin meningkat di Kota Medan juga menyebabkan peningkatan rasio kepadatan rasio kepadatan penduduk. Hal ini dikarenakan luas wilayah Kota Medan tidak mengalami perubahan (tetap). Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa rasio kepadatan penduduk Kota Medan mengalami


(44)

peningkatan dari 7.929,5 jiwa/Km² pada tahun 2008 menjadi 8.001,0 jiwa/Km² pada tahun 2009 dan menurun menjadi 7.913,0 jiwa/Km² pada tahun 2010. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Kota Medan Tahun 2008-2010

Indikator Tahun

2008 2009 2010

Luas Wilayah (Km² ) 265,10 265,10 265,10

Kepadatan Penduduk 7.929 8.001 7.913

Sumber : BPS Kota Medan, 2011

Kecenderungan semakin menyempitkan luas lahan berpeluang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan. Terjadi penurunan kepadatan penduduk dari tahun 2009 ke tahun 2010 bisa disebabkan oleh kematian maupun migrasi. Semakin padat penduduk di suatu daerah, maka semakin tinggi jumlah kebutuhan pangan di daerah tersebut. Maka semakin rendah kekuatan alam untuk memenuhi ketersediaannya di daerah tersebut. Tidak ada jalan lain kecuali impor dari luar kota untuk memenuhi kebutuhan penduduk.

4.3.3 Struktur Penduduk

Stuktur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan migrasi. Jika angka kelahiran pada suatu daerah cukup tinggi, maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong sebagai daerah penduduk usia muda. Demikian pula sebaliknya, bila angka kelahiran di suatu daerah rendah dapat dikatakan sebagai daerah penduduk usia tua. Namun, keadaan terkini di Kota Medan mulai membaik, laju angka kelahiran perlahan dapat berkurang dan laju angka kematianpun semakin turun. Hal ini dikarenakan


(45)

kepedulian masyarakat yang mulai timbul untuk menjaga kesehatan fisiknya. Penduduk Kota Medan semakin peduli dengan tingkat asupan gizi yang masuk ke tubuh mereka melalui konsumsi pangan. Keadaan struktur penduduk Kota Medan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota Medan Tahun 2010

Golongan Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ 98.437 99.961 97.514 102.566 112.860 100,935 85.609 77.344 69.238 57.718 48.163 34.548 20.373 14.573 9.596 7.491 92.857 93.532 91.828 107.423 123.092 103.459 87.265 80.795 71.727 59.997 49.244 34.282 22.555 17.556 12.384 12.688 191.294 193.493 189.342 209.989 235.952 204.394 172.874 158.139 140.965 117.715 97.407 68.830 42.928 32.129 21.980 20.179

Jumlah/total 1.036.926 1.060.684 2.097.610

Sumber : BPS Kota Medan, 2011

Penduduk dengan jumlah terbesar berada di umur 20-24 tahun dimana didominasi oleh perempuan sebesar 52,18%. Penduduk dengan jumlah terkecil berada di umur 75 tahun ke atas berjumlah 20.179. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Medan merupakan penduduk dengan usia muda.

4.4 Kota Medan Secara Ekonomi

Pada hakekatnya pembangunan ekonomi daerah adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,


(46)

memperluas lapangan kerja dan pemerataan pembagian pendapatan masyarakat. Kinerja pembangunan ekonomi daerah mempunyai peranan yang amat penting karena keberhasilan di bidang ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi pembangunan daerah di bidang lainnya. Oleh karena itu aspek ekonomi secara umum dijadikan salah satu ukuran penting untuk menilai kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Peranan atau kontribusi sektor ekonomi menunjukkan besarnya kemampuan masing-masing sektor ekonomi dalam menciptakan nilai tambah dan menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan memproduksi barang dan jasa dari masing-masing sektor ekonomi. Untuk mengetahui struktur perekonomian Kota Medan dapat dilihat dari kontribusi setiap sektor dalam pembentukan PDRB menurut lapangan usaha atas segala dasar harga berlaku.

Tabel 4.4 Struktur Perekonomian Kota Medan Tahun 2008-2010 Lapangan Usaha/Industrial

Origin 2008 2009 2010

1. Pertanian 2. Penggalian

3.Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas, dan Air Minum 5. Bangunan

6. Perdangangan, Hotel dan Restoran

7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Asuransi, Usaha

Persewaan Bangunan, Tanah dan jasa Perusahaan

9.Jasa-jasa Servis 2,82 0,00 15,96 1,75 9,55 25,92 19,08 14,63 10,29 2,79 0,00 14,95 1,71 9,54 26,85 19,63 13,85 10,67 2,67 0,00 14,97 1,70 9,78 26,92 18,95 14,27 10,72 Produk Domestik Regional

Bruto/Gross Regional Domestic Product

100,00 100,00 100,00


(47)

Berdasarkan Tabel 4.4 struktur ekonomi Kota Medan relatif tidak mengalami pergeseran selama periode 2008-2010. Untuk sektor perdagangan, perhotelan, dan restoran yang merupakan sektor yang paling besar peranannya terhadap pembentukan PDRB Kota Medan diikuti sektor pengangkutan dan telekomunikasi. Sedangkan sektor ekonomi yang berkontribusi paling rendah adalah sektor pertambangan dan penggalian, diikuti sektor listrik, gas dan air minum serta sektor pertanian. Dengan kata lain, mata pencaharian masyarakat Kota Medan didominasi oleh perdagangan, perhotelan, dan restoran. Tidak jarang lahan produktif untuk pertanian dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan, hotel-hotel, dan restoran. Karena alih fungsi lahan tersebut, produksi pangan di Kota Medan menurun. Maka tidak dapat dielakkan lagi, impor dari luar Kota Medan harus dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk.

4.5 Kota Medan Secara Sosial

Kondisi sosial antara lain pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya. Kondisi sosial merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Tingkat partisipasi pendidikan di Kota Medan cenderung menunjukkan peningkatan akses pendidikan masyarakat yang ditandai dengan tingkat kesadaran masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang semakin meningkat. Selain itu, indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kemajuan penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari jumlah murid tingkat sekolah yang dibandingkan dengan penduduk usia sekolah tahun 2010.

Peningkatan IPM Kota Medan mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat cenderung semakin membaik. Selain itu,


(48)

peningkatan ini juga meningkatkan daya beli masyarakat dan pendapatan masyarakat sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan yang ditandai dengan bertambahnya usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan meningkatnya konsumsi perkapita masyarakat Kota Medan. Kondisi sosial Kota Medan dapat di lihat pada Tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 Statistik Pembangunan Kota Medan Tahun 2007-2009

Sumber : BPS Kota Medan, 2009

Tabel 4.5 menunjukkan peningkatan dari tahun untuk seluruh kelompok usia sekolah. Dapat puladiketahui bahwa angka kelahiran total mengalami penurunan dari tahun 2007-2008, penurunan ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam program Keluarga Berencana semakin meningkat.

Indikator Satuan

Tahun

2007 2008 2009

APK (Angka Partisipasi Kasar) - SD/MI

- SMP/MTS - SMA/MA

APM (Angka Partisipasi Murni) - SD/MI

- SMP/MTS - SMA/MA

APS (Angka Partisipasi Sekolah) - 7-12

- 13-15 - 16-18 - 19- 24

Angka Kelahiran total (TFR) Angka Harapan Hidup Angka Kematian Bayi (IMR) Rata-rata Anak Lahir Hidup Rata-rata Anak Masih Hidup Angka Kesaksian Umum IPM (indeks Pembangunan Masyarakat) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Persen (%) Tahun Persen (%) Orang Orang Persen (%) Persen (%) 112,18 98,36 89,34 91,79 76,18 64,71 99,31 94,04 79,21 24,19 2,13 71,10 13,80 1,31 1,29 20,13 75,60 112,85 98,49 89,59 92,54 77,53 65,51 99,50 96,00 81,00 26,00 2,11 71,20 10,50 1,33 1,29 20,15 76,00 113,52 98,52 90,84 93,29 78,88 66,31 99,70 97,00 82,00 27,00 2,01 71,00 9,80 1,31 1,29 18,00 76,60


(49)

4.6 Ketersediaan Pangan Strategis

Ketersediaan pangan mencakup terpenuhinya pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan, perdagangan pangan dan stok pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah. Ketersediaan pangan berfungsi menjamin produksi, stok, dan impor pangan secara bersama-sama dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Distribusi yang efisien menjadi prasyarat untuk menjamin penduduk dapat menjangkau kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau.

Mengetahui ketersediaan pangan suatu daerah dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah produksi pangan strategis domestik, stok pangan yang dikeluarkan, dan impor & ekspor pangan dari/ke Kota Medan. Perhitungan ketersediaan pangan wilayah ini sangat penting dilakukan untuk melihat surplus tidaknya pangan di suatu daerah tertentu. Dengan diketahuinya jumlah ketersediaan ini, antisipasi untuk menjaga ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dapat dilakukan sejak dini. Ketersediaan energi menurut Angka Kecukupan Gizi sebesar 2200 Kkal/kap/hari dan protein sebesar 57 gr/kap/hari.

Komoditas pangan yang sangat vital meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng. Komoditas pangan ini merupakan komoditas pangan strategis dikarenakan pola konsumsi penduduk Kota Medan lazim menggunakan bahan pangan ini yang sudah menjadi budaya di masyarakatnya. Dalam pemenuhan ketersediaannya,


(50)

komoditas pangan ini umumnya bersumber dari impor pangan dari luar Kota Medan mengingat produksi pangan yang dihasilkan di Kota Medan jauh dibawah angka ketersediaan yang dianjurkan oleh pemerintah.

4.6.1 Ketersediaan Beras

Ketersediaan beras diketahui dari penjumlahan produksi beras, stok, dan nett impor yang didapat dari selisih ekspor dan impor. Produksi beras di Kota Medan sebesar 9.287 ton di tahun 2010. Untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Medan, pemerintah mengharap dari impor beras dari luar Kota Medan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6 Ketersediaan Beras di Kota Medan Tahun 2010

No. Ketersediaan Beras Jumlah (ton) Persentase

1. Produksi 9.287 3,03%

2. Stok 0 0,00%

3. Ekspor 0 0,00%

4. Impor 297.300 96,97%

J U M L A H 306.587 100,00%

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Dari Tabel 4.6 diketahui bahwa produksi beras Kota Medan hanya menyumbang 3% dari total ketersediaan Kota Medan. Tingginya jumlah penduduk di Kota Medan membuat pemerintah mengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Sumber ketersediaan beras berharap dari impor yang mencapai 96,97% dari total ketersediaan. Ekspor beras belum dapat dilakukan oleh Kota Medan dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman, pusat perbelanjaan, maupun perkantoran. Alternatif yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi ketergantungan impor beras yang sangat


(51)

tinggi yaitu dengan program diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan yaitu penggantian konsumsi beras dengan komoditas substitusinya, seperti singkong, atau umbi-umbian.

4.6.2 Ketersediaan Jagung

Ketersediaan jagung merupakan penjumlahan produksi jagung, stok, dan nett impor yang didapat dari selisih ekspor dan impor. Produksi jagung di Kota Medan tahun 2010 sebesar 1.435 ton. Sama halnya dengan beras, ketersediaan jagung didominasi dari impor. Pemerintah tidak ada pilihan lain selain mengharapkan produksi dari luar Kota Medan. Adapun rincian jumlah ketersediaan jagung dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Ketersediaan Jagung di Kota Medan Tahun 2010

No. Ketersediaan Jagung Jumlah (ton) Persentase

1. Produksi 1.435 1,10%

2. Stok 0 0,00%

3. Ekspor 0 0,00%

4. Impor 128.431 98,90%

J U M L A H 129.866 100,00%

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.7 dijelaskan bahwa tidak terdapat ekspor dan stok jagung dikarenakan sumber ketersediaan berharap dari impor jagung yang mencapai 98,90% dari total ketersediaan. Produksi jagung Kota Medan hanya menyumbang 1,1% dari total ketersediaan Kota Medan. Ketergantungan akan jagung impor merupakan hal yang kurang aman untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam suatu wilayah.


(52)

4.6.3 Ketersediaan Cabai Merah

Ketersediaan cabai merah didapat dari penjumlahan produksi cabai merah dengan stok dan impor, lalu dikurang dengan ekspor. Ketersediaan cabai merah di Kota Medan tahun 2010 sebesar 5.069 ton dengan produksi hanya 535 ton. Ketersediaan cabai merah didominasi dari impor untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Berikut ini disajikan tabel ketersediaan cabai merah di Kota Medan Tahun 2010.

Tabel 4.8 Ketersediaan Cabai Merah di Kota Medan Tahun 2010 No. Ketersediaan Cabai Merah Jumlah (ton) Persentase

1. Produksi 535 10,55%

2. Stok 0 0,00%

3. Ekspor 0 0,00%

4. Impor 4.534 89,45%

J U M L A H 5.069 100,00%

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.8 dijelaskan bahwa produksi Kota Medan untuk komoditas cabai merah menyumbang 10,55% dari total ketersediaan Kota Medan. Tidak terdapat ekspor dan stok cabai merah dikarenakan sumber ketersediaan berasal dari impor luar Kota Medan yang mencapai 89,45% dari total ketersediaan.

4.6.4 Ketersediaan Daging Ayam

Ketersediaan daging ayam didapat dari penjumlahan produksi daging ayam yang meliputi ayam buras dan ras, dengan stok dan nett impor yang didapat dari pengurangan impor dengan ekspor. Pada daging ayam buras, tidak terdapat impor dalam penyediaannya. Lain halnya dengan daging ayam ras, terdapat impor dalam pemenuhan ketersediaannya di Kota Medan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut.


(53)

Tabel 4.9 Ketersediaan Daging Ayam (ras & buras) di Kota Medan Tahun 2010

No. Ketersediaan Daging Ayam

Jumlah (ton) Persentase

Ras Buras Ras Buras

1. Produksi 157 197 72,35% 100%

2. Stok 0 0 0% 0%

3. Ekspor 0 0 0% 0%

4. Impor 60 0 27,65% 0%

J U M L A H 217 197 100% 100%

414

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.9 dijelaskan bahwa ketersediaan daging ayam buras sepenuhnya berasal dari produksi yaitu sebesar 197 ton. Tidak terdapat ekspor, impor, maupun stok daging ayam buras di Kota Medan. Sepenuhnya produksi digunakan untuk ketersediaan daging ayam penduduk. Pada komoditas daging ayam ras, sebesar 72,35% ketersediaan dipenuhi dari produksi, sisanya sebesar 27,65 % dipenuhi dari impor dari luar Kota Medan.

4.6.5 Ketersediaan Daging Sapi

Ketersediaan daging sapi merupakan penjumlahan dari produksi daging sapi, stok, dan impor lalu dikurangi dengan ekspor. Pada komoditas daging sapi, pemenuhan ketersediaan di Kota Medan di tahun 2010 didominasi oleh impor luar Kota Medan. Total ketersediaan daging sapi sebesar 11.865 ton. Tidak terdapat ekspor maupun stok dada komoditas ini. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut.


(54)

Tabel 4.10 Ketersediaan Daging Sapi di Kota Medan Tahun 2010 No. Ketersediaan Daging Sapi Jumlah (ton) Persentase

1. Produksi 2.412 20,33%

2. Stok 0 0,00%

3. Ekspor 0 0,00%

4. Impor 9.453 79,67%

J U M L A H 11.865 100,00%

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.10 dijelaskan bahwa ketergantungan akan daging sapi impor sebesar 79,67% dari total ketersediaan. Sisanya sebesar 20,33% dipenuhi dari produksi di Kota Medan. Ketergantungan impor kurang menjamin terpenuhinya kebutuhan panduduk di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan pangan impor umumnya fluktuatif dari segi kualitas maupun kuantitasnya, harga yang kurang stabil, dan distribusi yang kurang merata. Tidak ada jaminan bahwa pangan impor dapat menutupi semua kebutuhan penduduk. Oleh karena itu, impor pangan merupakan jalan terakhir yang diambil pemerintah dalam menyediakan pangan untuk penduduk.

4.6.6 Ketersediaan Telur Ayam

Ketersediaan telur ayam didapat dari penjumlahan produksi telur ayam buras maupun ras dengan stok dan impor, lalu dikurang dengan ekspor. Ketersediaan telur ayam (chicken egg) meliputi telur ayam ras dan buras. Total ketersediaan disumbang dari produksi dan impor. Stok telur ayam tidak menyumbang untuk pemenuhan ketersediaannya. Tidak terdapat ekspor telur ayam dari Kota Medan. Jumlah ketersediaan telur ayam ras dan buras di Kota Medan Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut.


(55)

Tabel 4.11 Ketersediaan Telur Ayam (ras & buras) di Kota Medan Tahun 2010

No. Ketersediaan

Telur Ayam Jumlah (ton)

Persentase

Ras Buras Ras Buras

1. Produksi 824 144 8,16% 96,00%

2. Stok 0 0 0,00% 0,00%

3. Ekspor 0 0 0,00% 0,00%

4. Impor 9.270 6 91.84% 4,00%

J U M L A H 10.094 150 100,00% 100,00%

10.244

Sumber : BKP Kota Medan, 2011

Pada Tabel 4.11 terlihat bahwa ketersediaan telur ayam ras yang berasal dari impor sangat tinggi, yaitu sebesar 91,84% dari total ketersediaaannya di Tahun 2010. Produksi domestik hanya menyumbang 8,16% dari total ketersediaan. Lain halnya dengan telur ayam buras, ketersediaannya didominasi oleh produksi domestik sebesar 96%, sisanya dipenuhi dari impor luar Kota Medan.

4.6.7 Ketersediaan Minyak Goreng

Ketersediaan minyak goreng merupakan penjumlahan produksi minyak goreng, stok, dan nett impor yang didapat dari selisih ekspor dan impor. Ketersediaan minyak goreng berasal dari kopra dan kelapa sawit. Ketersediaan ini sepenuhnya berasal dari produksi di Kota Medan. Produksi sepenuhnya dipakai tanpa mengekspor ke luar Kota Medan maupun dijadikan stok untuk ketersediaan di tahun berikutnya. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.12 berikut.


(1)

orang, di setiap waktu, memiliki akses ekonomi, sosial, dan fisik kepada bahan makanan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, dan banyaknya ragam pilihan makanan untuk hidup yang aktif dan sehat. Pada kondisi ini, ketahanan pangan akan tetap aman bila terjadi gagal panen di Kota Medan maupun daerah pemasok pangan. Kebutuhan konsumsi pangan akan dipenuhi dari stok pangan tahun sebelumnya.

Tingkat kedua, tahan pangan namun rentan yaitu ketersediaaan pangan antara 80-120% dari jumlah konsumsi pangan. Kondisi ini merupakan kondisi yang kurang aman dalam pemenuhan konsumsi penduduk karena jumlah ketersediaannya yang belum melewati batas aman. Bila terjadi masalah dari ketersediaan seperti pasokan pangan yang kurang dan produksi yang menurun akibat bencana alam, ketahanan pangan akan langsung terguncang.

Tingkat ketahanan pangan yang ketiga yaitu rawan pangan. Ketahanan pangan akan dikategorikan rawan pangan bila ketersediaan pangan lebih kecil 80% dari jumlah konsumsi. Ketahanan pangan dan kerawanan pangan sangat erat kaitannya karena kerawanan pangan merupakan penyebab penting instabilitas ketahanan pangan. Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan yang cukup, tidak adanya akses secara fisik bagi individu untuk memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan produktif individu, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harganya. Kerawanan pangan dapat pula disebabkan oleh kendala yang bersifat kronis seperti terbatasnya sumber daya dan kemampuan yang bersifat sementara seperti tertimpa musibah atau bencana alam. Penanganan


(2)

yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindarklan masyarakat tersebut dari kerawanan yang lebih parah, dengan segala dampak yang mengikutinya. Untuk melihat rasio ketersediaan pangan dengan konsumsi pangan Kota Medan Tahun 2010 dapat dilihat sebagai berikut.

5.6 Rasio Ketersediaan Pangan dengan Konsumsi Pangan dan Tingkat Ketahanan Pangan Kota Medan Tahun 2010

No. Komoditas

Total Ketersediaan (ton) Total Konsumsi Untuk Bahan Pangan (ton)

Rasio Keterangan

1 Beras 306.587 298.401 1,0274 Tahan Pangan

(Rentan)

2 Jagung 129.866 115.581 1,1236 Tahan Pangan

(Rentan) 3 Cabai Merah 5.069 4.766 1,0636 Tahan Pangan

(Rentan) 4 Daging

Ayam 414 393 1,0534

Tahan Pangan (Rentan) 5 Daging Sapi 11.865 11.272 1,0526 Tahan Pangan

(Rentan) 6 Telur Ayam 10.244 9.994 1,0250 Tahan Pangan

(Rentan) 7 Minyak

Goreng 66.176 65.150 1,0157

Tahan Pangan (Rentan) 8 Gula Pasir 12.500 12.378 1,0099 Tahan Pangan

(Rentan) 9 Bawang

Merah 11.051 10.756 1,0274

Tahan Pangan (Rentan)

TOTAL 553.772 528.691

Sumber : Data sekunder diolah

Dari Tabel 5.5, dapat diketahui bahwa kesembilan pangan strategis yang meliputi beras, jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng berada pada kondisi tahan pangan namun rentan. Hal ini dikarenakan angka rasio ketersediaan dengan konsumsi dari kesembilan pangan strategis tersebut berada pada angka 0,8 sampai 1,2. Rasio


(3)

tertinggi ada pada komoditas jagung dengan rasio pangan 1,1236 dan disusul dengan cabai merah dengan rasio pangan 1,0636. Rasio pangan terkecil ada pada komoditas gula pasir yaitu sebesar 1,0099.

Untuk mengatasi hal ini pemerintah dan masyarakat perlu membangun suatu sistem kewaspadaan, yang mampu mendeteksi secara dini adanya gejala kerawanan pangan di sekitarnya serta dapat meresponnya dengan cepat dan efektif. Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindarklan masyarakat tersebut dari kerawanan yang parah, dengan segala dampak yang mengikutinya.

Menurut Mahela (2006), ada dua pilihan luas untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat nasional yaitu swasembada pangan atau kecukupan pangan. Swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan pangan. Di lain pihak, konsep kecukupan pangan sangat berbeda dengan konsep swasembada pangan, akibat masuknya variabel perdagangan internasional. Kecukupan pangan menuntut adanya kemampuan menjaga tingkat produksi domestik ditambah dengan kemampuan untuk mengimpor pangan agar dapat memenuhi kebutuhan (kecukupan) pangan penduduk. Untuk pencapaian ketahanan pangan di Kota Medan tidak bisa diharapkan untuk swasembada pangan mengingat posisi Kota Medan sebagai

hinterland terhadap daerah sekitarnya. Kota Medan sangat bergantung dengan pasokan dari luar pangan. Pencapian ketahanan pangan diharapkan berdasarkan perdagangan. Ketergantungan akan pasokan pangan dalam penyediaan pangan merupakan hal yang kurang aman untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan


(4)

pangan dalam suatu wilayah. Namun Pemerintah harus dapat menciptakan strategi agar ketergantungan akan pasokan pangan terjamin pemenuhannya.

Pada masa yang akan datang upaya-upaya memantapkan swasembada beras dan pencapaian swasembada lainnya perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan serta terjaminnya keamanan pangan. Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa dari pakar, dapat dirumuskan strategi yang sangat penting demi terciptanya ketahanan pangan yang terjamin. Strategi tersebut yaitu penyimpanan pangan pada gudang pangan. Pemerintah Kota Medan perlu meningkatkan stok pangan pada BULOG untuk menjaga stabilitas ketersediaan pangan di Kota Medan bila terjadi instabilitas pasokan maupun impor dari luar Kota Medan. Perlunya stok pangan di gudang pangan Kota Medan bukan hanya pada komoditas beras saja, bahkan untuk pangan strategis lain seperti jagung, cabai merah, gula pasir, bawang merah, daging ayam, daging sapi dan telur ayam. Hal ini dikarenakan pola konsumsi masyarakat Kota Medan lazim menggunakan bahan pangan ini yang sudah menjadi budaya di masyarakatnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aldy, R. 2011. Pola Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan di Kota Medan.

Universitas Sumatera Utara. Medan.

BaliwatiYF, Roosita K., 2004.Sistem pangan dan gizi. Penebar Swadaya. Depok. Badan Ketahanan Pangan Kota Medan. 2010. Analisis Dan Penyusunan pola

Konsumsi Dan Supply Pangan Kota Medan.

Badan Ketahanan Pangan Kota Medan, 2010. Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Kota Medan 2011-2015

Bruntrup, M. 2008. Global Trends in Food Security. in: Rural-21. The International Journal for Rural Development. Frankfurt, Germany: DLG-Verlags GmbH

Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi. IPB. Bogor.

Hardinsyah, Tampubolon V. 2004. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat Makanan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta. Harper et al. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Penerjemah: Suhardjo. Jakarta. Harian Sumut Pos. 2011. Seimbangkan Pola Konsumsi Pangan.

http://www.hariansumutpos.com/2011/07/11321/seimbangkan-pola-konsumsi-pangan.htm

Husodo, Siswono Yudo. 2004. Membangun Kemandirian Pangan. Jakarta : Yayasan Padamu Negeri.

Ilham, dkk, 2003. Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. IPB Press. Bogor.

Khumaedi, M. 1994. Gizi Masyarakat. PT.BPK Gunung Mulia. Jakarta.

Khotibuddin, 2011. Analisis Rasio Ketersediaan Pangan dan Konsumsi, 2005-2008.UGM Press. Yogyakarta

Maleha

ejournal.umm.ac.id/index.php/.../66_umm_scientific_journal.doc

Nuhfil, AR. 2005. Ketersediaan dan Kemandirian Pangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002. Tentang Ketahanan Pangan.


(6)

Peraturan Menteri Pertanian No 65 Tahun 2010. Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Purnawijayanti, HA. 2001. Higiene, Sanitasi, dan Keselamatan Kerja Dalam Pengolahan Pangan. Yogyakarta : Kanisius

Pudjadi, T dan Harisno. 2007. Model Pengelolaan Stok dan Konsumsi Beras Berbasis DSS Pada Era Otonomi Daerah (OTDA).

http://journal.uii.ac.id/index.php/Snati/article/view/1675

Saparinto, C dan Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sediaoetama, AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Pofesi Jilid I. Dian Rakyat. Jakarta.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat . Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Suryana. 2004. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Yogyakarta: BPFE.

Pangan untuk rakyat: manajemen pemberdayaan masyarakat.

Penerbit Duta Karya Swasta. Jekarta. UI Pres. Waspada. 2011. 2011, Masyarakat Sumut Makin Melarat

Waspada. 201

Waspada

Windarsih. 2008. Perbedaan Pola Pangan Harapan Di Pedesaan dan Perkotaan Kabupaten Sukoharjo.Universitas Muhamadiah. Surakarta.

Wismar, 2011. Delapan Komoditas Impor Sumut Anjlok.