Metode penerjemahan fuad kauma terhadap kitab nashaihul ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani

(1)

METODE PENERJEMAHAN FUAD KAUMA

TERHADAP KITAB NASHAIHUL IBAD KARYA

SYEIKH NAWAWI AL BANTANI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh :

RIFYAL MAHMUDIN

1110024000021

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M/1436 H


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya bukan hasil karya asli atau jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

Tangerang, 05 Januari 2015

Rifyal Mahmudin

NIM: 1110024000021


(3)

METODE PENERJEMAHAN FUAD KAUMA

TERHADAP KITAB NASHAIHUL IBAD KARYA

SYEIKH NAWAWI AL BANTANI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

Oleh :

RIFYAL MAHMUDIN 1110024000021

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA. Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag.

Nip: 195512061992031003 Nip: 195507031986031002

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(4)

Skripsi berjudul Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab

Nashaihul Ibad Karya Syeikh Nawawi Al Bantani yang ditulis oleh RIFYAL

MAHMUDIN, NIM 1110024000021. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah pada tanggal 06 Januari 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada program studi Tarjamah.

Ciputat, 06 Januari 2015

Sidang Munaqasyah

TIM PENGUJI TANDA TANGAN

Dr.Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum ( )

(Ketua Sidang) Tgl.

Umi Kulsum, MA ( )

(Sekretaris Sidang) Tgl.

Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA ( )

(Pembimbing 1) Tgl.

Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag ( )

(Pembimbing 2) Tgl.

.

Dr. Akhmad Saehudin, M.Ag ( )

(Penguji 1) Tgl.

Karlina Helmanita, M.Ag ( )


(5)

i ABSTRAK

RIFYAL MAHMUDIN

Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab Nashaihul Ibad Karya

Syeikh Nawawi Al Bantani

Di zaman sekarang ini banyak sekali buku-buku agama yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kegiatan menerjemahkan mempunyai manfaat yang besar bagi pengembangan pengetahuan serta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Kitab Nashaihul Ibad merupakan kumpulan nasehat-nasehat yang bersandar dari Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang cukup dalam kajian tasawufnya yang ditulis oleh Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudian di terjemahkan oleh Fuad Kauma ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan hidup manusia menyongsong kehidupan akhirat.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana metode yang digunakan penerjemah dalam menerjemahkan buku ini. Melalui analisis diketahui bahwa hasil terjemahan yang diteliti adalah menggunakan terjemahan harfiyah (terjemahan yang setia terhadap teks sumber). Kesetiaan digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap tata bahasa teks sumber, bentuk frase, bentuk kalimat dan lain sebagainya.

Kebanyakan penerjemah memilih metode ini, dikarenakan buku yang diterjemahkan berhubungan dengan masalah keagamaan. Jika penerjemahannya dilakukan terlalu bebas, bisa terjadi penyimpangan makna, karena mungkin ada kata yang dihilangkan atau dibuang pada saat menerjemahkan. Padahal kata-kata itu, kemungkinan merupakan maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis bahasa sumber.


(6)

ii

Puji Syukur kepada Allah SWT. Yang dengan izin serta karuniaNya, sehingga penulisan skripsi sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam tercurah limpahkan kepada junjungan besar baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga zaman terang benderang, yang telah mengenalkan kebenaran kepada kita sebagai umatnya, sehingga mampu untuk mengetahui apa itu kebathilan.

Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin haturkan terima kasih kepada: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Oman Faturrahman, M. Hum selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Moch. Syarif Hidayatullah M. Hum selaku Ketua Jurusan Tarjamah, Umi Kulsum MA selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah, dan kepada seluruh dosen-dosen yang telah mendidik serta memberikan berbagai macam ilmu dan pengetahuan kepada penulis. Semoga segala ilmu yang telah diberikan dapat bermanfaat bagi umat khususnya bagi penulis sendiri.

Secara khusus penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Achmad Satori Ismail, MA dan Drs. Ahmad Syatibi, M. Ag selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya untuk membaca, mengoreksi, serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada Dr. Akhmad Saehudin M.Ag dan Karlina


(7)

iii

Helmanita, M.Ag selaku dosen penguji skripsi yang senantiasa menyempurnakan dalam penulisan skripsi ini serta kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag dan Dr. Akhmad Saehudin M.Ag selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah mendidik dan mengarahkan penulis selama menjadi mahasiswa.

Kepada orang tua tercinta, Machfudoh dan Muhaemin dua sosok yang paling berjasa selama ini. Terima kasih ibu dan bapak atas do’a dan motivasi yang tiada hentinya yang telah kalian berikan, serta kakak dan adik-adik tercinta Rofiatul Mahmudah, Rifki Fahrudin dan Rafli Zaenal Mutaqin yang selalu menghibur dan menyemangati penulis sampai penulisan skripsi ini selesai.

Kepada kawan seperjuanganku Sri Mustika Mutiara , Wahyu Hidayat, Alva Dino Syukra, terima kasih kalian sudah menemaniku di perpustakaan sampai skripsi ini benar-benar selesai walaupun selalu saja banyak godaan yang harus kita tempuh terlebih godaan segarnya sop duren.

Kepada teman – teman jurusan Tarjamah angkatan 2010 penulis haturkan terima kasih khususnya Ahmad Syafaat, Zulfikar Fadhil, Kaula Fahmi, Arif Azami, Syarif Hidayat, Uwes Al Kurni, Syafa’at Maulana, Ahmad Farhan, Holis, Halimah, Humairoh, Eva Fauziah, Nia Damayanti, Makhfiyah, Imam, Asiah, Novi, Hany, Rosyid, Agus, Lukman, Hanifah, Lily. Terima kasih banyak kawan atas segala motivasi, waktu, serta ide-ide yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kepada teman-teman Sabil 2011 penulis uacapkan terima kasih khususnya kepada Ahmad Nugraha, Ari Armadi, dan yang lainnya yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu. Terimakasih kalianlah yang memberikan siraman rohani


(8)

iv

meminjamkan buku terjemahan kitab yang penulis teliti serta selalu meluangkan waktunya untuk penulis ketika penulis membutuhkan semangat untuk sekedar minum, makan sambil berbincang.

Yang terakhir untuk Ciputatku kota nan indah penuh dengan sensasi dan kejutan. Disini lah penulis menemukan arti kehidupan yang sebenarnya. “Dan Ciputat bukan hanya masalah teritorial dan letak geografis semata. lebih dari itu, melibatkan perasaan”.

Semoga skripsi yang masih banyak kekurangan ini dapat bermanfaat untuk kita semua, khususnya bagi penulis sendiri serta orang-orang yang berkecimpung dalam dunia penerjemahan.

Tangerang, 05 Januari 2015


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………..…….………. i

PRAKATA ………..………. ii

DAFTAR ISI……….…….………... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ……….……….. viii

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah ………. 1

B Batasan dan Rumusan Masalah ……….. 6

C Tujuan Penelitian ……...………..…… 6

D Tinjauan Pustaka ………..………..…… 7

E Metodologi Penelitian ……….…….. 7

F Sistematika Penulisan ………. 9

BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Penerjemahan ………...…..…. 10

1. Definisi Penerjemahan……….……….. 10

2. Proses Penerjemahan Secara Global………..…… 12

3. Penilaian Terjemahan …………...………..………… 14

4. Unsur Linguistik dan Non Linguistik Penerjemahan ………... 17

5. Jenis Penerjemah ………...………...… 19

B. Metode Penerjemahan ………...………. 21

1. Penekanan Pada Bahasa Sumber…...……… 21


(10)

vi

BAB III GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE

TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL IBAD, BIOGRAFI SYEIKH

NAWAWI AL-BANTANI DAN BIOGRAFI FUAD KAUMA

A. Gambaran Umum dan Gambaran Metode Terjemahan Kitab

Nashaihul Ibad …………....……...…... 30

B. Biografi Syeikh Nawawi Al-Bantani…...……….. 33

1. Kelahiran dan Perkembangannya ………..………... 33

2. Riwayat Pendidikan dan Pengajarannya ………..……… 35

3. Posisi Strategis Syeikh Nawawi Bagi Dunia dan Indonesia….….... 38

4. Karya-karyanya ……… 41

C. Biografi Fuad Kauma ... 48

1. Kelahiran dan Perkembangannya... 48

2. Karya Terjemahan Fuad kauma... 49

3. Buku Karya Fuad Kauma... 50

4. Penerbit yang Pernah Menerbitkan Karyanya... 51

BAB IV ANALISIS TERHADAP TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL IBAD A. Analisis Metode Hasil Terjemahan ………...….. 52

B. Analisis Bentuk .………..………...…....…. 64

C. Analisis Makna ……….…..…... 68


(11)

vii

b. Semantik Gramatikal ………...……... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 75

B. Saran... ……….………….. 76


(12)

viii

Transliterasi yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini merujuk pada pedoman transliterasi arab-latin yang ditetapkan berdasarkan keputusan dari Kementrian Agama Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Berikut pedoman transliterasi yang digunakan tersebut.

1. Konsonan

No Huruf Arab Huruf Latin No Huruf Arab Huruf Latin

1

ا

Tak berlambang 16

ط

2

ب

B 17

ظ

3

ت

T 18

ع

4

ث

Ś 19

غ

G

5

ج

J 20

ف

F

6

ح

21

ق

Q

7

خ

kh 22

ك

K

8

د

D 23

ل

L

9

ذ

Ż 24

م

M

10

ر

R 25

ن

N

11

ز

Z 26

ـه

H

12

س

S 27

و

W

13

ش

Sy 28

ء

14

ص

29

ي

Y


(13)

ix

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab sama seperti vokal pada bahasa Indonesia. Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal (monoftong)

Vokal tunggal bahasa Arab lambangnya berupa tanda atau harokat yang transliterasinya dapat diuraikan sebagai berikut:

TANDA NAMA HURUF

LATIN NAMA

ــــ Fathah a A

ــــ Kasrah i I

ـــــ Dhammah u U

Contoh:

بـتك

:

kataba

و س

: sabbuurah

حسمم

:

mimsahah

بـه ي

: yadzhabu b. Vokal Rangkap (diftong)

Vokal rangkap bahasa Arab lambangnya berupa gabungan antara harokat dengan huruf, transliterasinya sebagai berikut:

TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA

ي ــــ Fathahdengan Ya ai a dan i

و ــــ Fathah dengan Wau au a dan u

Contoh:

فيك

: kaifa

لوه

: haula


(14)

x transliterasinya adalah sebagai berikut:

TANDA NAMA HURUF LATIN NAMA

ا ــــ Fathah dengan Alif A Ŷ

ي ــــ Kasrah dengan Ya I I

و ـــــ Dhammah dengan Wau U U

Contoh:

لـعاف

: f ’ l

لوقي

:

yaquulu

مي ك

:

kariim

4. Ta’ marbuthah

Ada dua macam transliterasi untuk ta’ marbuthah, yaitu: a. Ta’ marbuthah hidup

Ta’ marbuthah yang hidup atau yang mendapat harokat fathah, kasrah, dan dhammah, maka transliterasinya adalah (t).

b. Ta’ marbuthah mati

Ta’ marbuthah yang mati atau mendapat harokat sukun dibelakangnya, transliterasinya adalah (h).

Contoh :


(15)

xi

c. Jika pada kata terakhir dengan ta’ marbuthah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al” serta bacaan yang kedua terpisah, maka ta’ marbuthah itu ditransliterasikan menjadi (h).

Contoh:

َّجلا ضو

: raudhatul jannah

5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan bahasa Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah. Dalam transliterasi tanda syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

اّـَّ

: rabbanaa

ىِّ

:

rabbi

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem bahasa Arab dilambangkan dengan huruf “al” baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qomariyah. Penulisannya ditulis secara terpisah dari kata yang mengikutinya dan hubungkan dengan tanda (-). Contoh:

لج لا

: Al-rajulu

نئاملا

:

Al-m ’in


(16)

xii

dengan apostrof. Tetapi itu hanya berlaku bagi hamzah yang diletaknya ditengah dan diakhir kata. Apabila letaknya diawal kata, maka hamzah tidak dilambangkan. Karena dalam tulisan arab berupa alif.

Contoh:

ئيـش

: sy i’un

مأ

:

umirtu


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Oleh karena itu, kita tidak dapat melihat terjemahan sebagai sekedar upaya menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa yang lain. Jadi penerjemahan adalah suatu upaya mengungkapkan kembali pesan suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.1

Tak salah jika kegiatan penerjemahan didedikasikan dalam rangka alih ilmu pengetahuan yang termaktub dalam bahasa asing ke dalam bahasa target. Pendek kata, alih bahasa berarti alih ilmu pengetahuan. Dan ini penting bagi kemajuan, terlebih lagi dalam era globalisasi yang ditandai dengan akses informasi kian terbuka. Seiring dengan ini, rasa ingin tahu suatu bangsa akan budaya bangsa lain juga mengemuka. Penerjemahan bias menjadi kunci untuk membuka ruang komunikasi antar bangsa yang lebih luas. Sebab, bahasa asing masih menjadi a barrier to international communication „sekat bagi komunikasi antar bangsa’.2

1

Frans Sayogi, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia (Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), 2008. h. 7.

2

M. Zaka Al Farizi, M. Hum, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (bandung : PT Remaja Rosdakarya 2011) h. 5.


(18)

Dua buah tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan, yaitu patokan linguistik dan patokan politis. Secara linguistik dua buah tuturan dianggap sebagai dua buah bahasa berbeda, kalau anggota-anggota dari dua masyarakat tuturan itu tidak saling mengerti. Misalnya, seorang penduduk asli dari lereng gunung Slamet Jawa Tengah tidak akan mengerti tuturan penduduk asli yang datang dari gunung Galunggung Jawa Barat karena bahasa yang digunakan di lereng gunung slamet dan yang digunakan di lereng gunung Galunggung sangat berbeda, baik kosa katanya maupun fonologinya. Sebaliknya kalau si penduduk dari lereng gunung Slamet tadi berjumpa dengan seorang penduduk dari tepi bengawan solo, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, dia akan dengan mudah dapat berkomunikasi. Mengapa? Karena perbedaan yang terdapat di antara bahasa di lereng gunung Slamet dan di tepi Bengawan Solo itu hanya bersifat dialektis saja.

Oleh karena itu, meskipun bahasa tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti, tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena “rumitnya” menentukan suatu parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Begitu juga dengan jumlah bahasa yang ada di Indonesia.3

Transmisi pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia di era sekarang ini memang melalui berbagai transmisi. Salah satu jalur transmisi yang paling

3


(19)

3

domain sejak paruh kedua sejak abad kedua puluh adalah jalur penerjemahan buku-buku Timur Tengah berbahasa Arab. Namun demikian, fenomena penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia tidak berlangsung secara linear. Artinya ragam atau metode penerjemahan, bahasa sasaran yang digunakan, tema buku yang diterjemahkan, penerbit buku terjemahan maupun distribusi dan sasaran pembaca buku terjemahan menunjukan pergeseran dari waktu ke waktu. Pergeseran-pergeseran tersebut tentu menarik untuk dikaji secara mendalam guna mengetahui bagaimana sesungguhnya dinamika intelektualisme Islam di Indonesia yang tercermin dalam kegiatan penerjemahan buku berbahasa Arab berlangsung selama paruh kedua abad kedua puluh.4

Jika membaca buku-buku terjemahan Arab-Indonesia yang ada, interferensi struktur bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia sering kali begitu terasa. Interferensi ini sesungguhnya dapat dihindari manakala penerjemah menguasai bahasa Arab dengan baik, dan bahasa Indonesia dengan lebih baik lagi. Penguasaan bahasa Indonesia yang sangat baik bias membantu penerjemah melepaskan diri dari belenggu struktur bahasa Arab. Jika tidak, ia akan kerepotan saat mengalihkan pesan ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya bisa dipastikan terjemahan yang kurang baik. Di samping itu, penerjemah juga idealnya adalah seorang bikultural. Ia tidak saja memainkan peran sebagai pengalih bahasa, tetapi juga sebagai pengalih budaya. Jadi, dalam proses penerjemahan berlangsung transaksi dua budaya. Bahkan, aspek budaya juga sebenarnya turut membentuk perilaku penerjemahan itu sendiri.

4

Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010) h. 7.


(20)

Dalam kaitan inilah penerjemah Arab-Indonesia dituntut untuk memahami konsep-konsep kebudayaan yang terdapat dalam dua bahasa tersebut dengan baik.

Untuk menganalisis suatu terjemahan hendaknya penerjemah memiliki pengetahuan tentang model terjemahan yang umum digunakan yaitu : terjemahan kata demi kata, terjemahan terikat harfiah, dan terjemahan bebas. Masing-masing terjemahan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihannya.

Terjemahan kata demi kata yaitu suatu metode yang sering kali digambarkan sebagai terjemahan antarbaris dengan bahasa target berada langsung di bawah kata-kata bahasa sumber. Metode ini berfokus pada kata demi kata bahasa sumber, dan sangat terikat pada tataran kata.5

Terjemahan harfiah yaitu metode penerjemahan dengan mengalihkan konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi gramatika bahasa target yang memiliki padanan paling dekat. Namun demikian, unsur leksikal yang ada tetap diterjemahkan satu per satu tanpa mengindahkan konteks yang melatarinya. Jadi seperti halnya pada metode penerjemahan kata demi kata, pada metode ini pun pemadanan dilakukan masih terlepas dari konteks.6

Berbeda dengan terjemahan bebas, jenis penerjemahan bebas berupaya mereproduksi materi tertentu tanpa menggunakan cara tertentu. Dalam hal ini, penerjemah mereproduksi isi semata tanpa mengindahkan bentuk. Akibatnya,

5

M. Zaka Al Farizi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung : Remaja Rosdakarya 2011) h. 53.

6


(21)

5

metode ini menghasilkan teks target yang tidak lagi mengandung gaya atau bentuk teks sumber.7

Berdasarkan metode terjemahan di atas penulis akan mencoba untuk menganalisis salah satu hasil terjemahan buku yang berjudul Nashaihul Ibad (Nasihat-nasihat untuk para hamba) karya Syeikh Nawawi Al Bantani.

Buku Nashaihul Ibad adalah salah satu karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani atau yang biasa kita sebut Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudin yang beliau adopsi dari kitab Munabbihat ‘Alal ‘Isti’daad Li Yaumil M ’ d karya Ibnu Hajar Al Asqolani dan diterjemahkan menjadi “Nasihat-Nasihat Untuk Para Hamba”. Nama Syeikh Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama salafiyah. Ulama ini sangat terkenal karena banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Beberapa karyanya adalah sebagai berikut : Targiibul Mustaqiin, Fathus Samadil Aa’lim, Syarh Miraqil ‘Ubudiyah, Madariijus Su’uud ‘ila Iktisaail Buruud dan masih banyak lagi karangan-karangan beliau yang sudah digunakan dan bermanfaat bagi umat islam di dunia terutama di Indonesia.

Karena berbagai keistimewaan yang penulis dapat dari buku ini baik dari segi isi maupun gaya bahasa yang disampaikan oleh pengarang, maka sejalan dengan itu penulis tertarik untuk mengkaji buku ini dengan meneliti karya terjemahannya untuk mendalami secara spesifik metode terjemahan yang

7


(22)

digunakan oleh penerjemah dan untuk mengetahui apakah terjemahan ini sesuai dengan maksud teks aslinya atau tidak.

Untuk lebih lanjut dan berkembang, dalam pembahasan ini penulis mencoba menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab Nashaihul Ibad Karya Syeikh Nawawi Al Bantani.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini akan mengkaji metode penerjemahan, kelebihan dan kekurangannya. Karena kitab ini terdiri dari beberapa bab yang yang memiliki banyak sub judul maka penulis akan membatasi permasalahan analisis ini hanya berkonsentrasi pada halaman 71-136 dari bab 2.

Dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana metode penerjemahan yang digunakan oleh Fuad kauma dalam buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani?

2. Apa kekurangan dan kelebihan metode penerjemahan Fuad Kauma?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka tujuan umum yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mengetahui metode penerjemahan dan menganalisis terjemahannya dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui metode penerjemahan apa yang digunakan Fuad Kauma dalam kitab tersebut.


(23)

7

2. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pada metode penerjemahan Fuad Kauma.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah penulis meneliti dan menelaah berbagai karya-karya ilmiah baik dalam buku terjemahan, internet, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora maupun perpustakaan UIN syarif hidayatullah Jakarta. Sepengetahuan penulis ada beberapa kajian skripsi yang memiliki kesamaan subtansi dengan penelitian penulis, diantaranya adalah skripsi yang berjudul Analisis terjemahan buku Asy-“Sy f t Al-Akhirat Baina An-Naql wa Al-Aql” karya yusuf Qardhawi, Analisis model terjemahan buku ”Al-Shabr wa Al-Dzauq (Akhlak Al-Mu’min) (S b r d n B h gi ), model terjemahan Arab-Indonesia dalam novel “G dis J k rt ”, karya Najib Al-kaelani. Analisis pungtuasi dalam terjemahan buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memperoleh sumber-sumber data dari studi kepustakaan, seperti perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan sumber data lainnya seperti buku-buku penerjemahan yang terkait dengan tema skripsi yang penulis ambil.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan terjemahan deskrptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data terkait dengan masalah yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk mengungkap fakta yang ada dan menemukan data-data baru. Kemudian


(24)

penulis mendeskripsikan masalah tersebut sesuai dengan data yang ada sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan penelitian.

Dalam pencarian data, penulis membaca dan mengkaji buku-buku yang mengupas tuntas mengenai penerjemahan, kamus ekabahasa dan dwibahasa dan internet. Untuk mengetahui metode penerjemahan Fuad Kauma serta kelebihan dan kekurangan terjemahannya. Penulis melakukan analisis pada karya terjemahan Fuad Kauma, yaitu kitab Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan kajian pustaka (library research) untuk mencari informasi mengenai: definisi penerjemahan, proses penerjemahan, unsur linguistik dan non lingustik penerjemahan, penilaian terjemahan, metode serta teori-teori penerjemahan, yang tertulis dalam Bab II. Kemudian penulis juga mencari data mengenai Pengarang dan Penerjemah kitab melalui wawancara dengan alat komunikasi yaitu telepon, menganalisis metode hasil terjemahan kitab tersebut baik dalam segi bentuk ataupun maknanya untuk menjadi acuan dalam penulisan Bab III dan IV.

Adapun secara keseluruhan, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(25)

9

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini agar lebih sistematis, dan melihat persoalan dengan lebih objektif, maka penulis menyusun skripsi ini ke dalam 5 bab, yaitu:

Bab I : Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, batasan dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Kerangka Teori, meliputi gambaran umum penerjemahan, proses

penerjemahan secara global, penilaian terjemahan, unsur linguistik dan non linguistik penerjemahan, jenis penerjemah, dan metode penerjemahan.

Bab III : Gambaran Umum kitab Nashaihul Ibad, Biografi Syeikh Nawawi

Al Bantani dan Biografi Fuad Kauma meliputi gambaran umum dan gambaran metode terjemahan kitab Nashaihul Ibad, Biografi Fuad Kauma, kelahiran dan perkembangan Syeikh Nawawi Al Bantani, riwayat pendidikan dan pengajarannya, posisi strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia dan karya-karyanya.

Bab IV : Analisis terhadap terjemahan kitab Nashaihul Ibad, meliputi

analisis metode hasil terjemahan, analisis bentuk, analisis makna, (semantik leksikal dan gramatikal).

Bab V : Penutup, meliputi kesimpulan dan rekomendasi.


(26)

(27)

10 BAB II

KERANGKA TEORI

A. GAMBARAN UMUM PENERJEMAHAN

1. Definisi Penerjemahan

Meskipun menerjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menerjemahkan dengan baik adalah seni. Menerjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan yang melibatkan lebih banyak seni (bakat) dari pada upaya dan teori. Lantas apakah menerjemah itu? Menerjemah menurut bahasa adalah tafsir. Sedangkan menurut istilah menerjemah adalah memindahkan atau menyalin gagasan, ide, pikiran, pesan atau informasi lainnya dari satu bahasa (disebut bahasa sumber atau bahasa asli) ke dalam bahasa lain (disebut bahasa sasaran atau bahasa target).8 Hal ini, seperti ditegaskan oleh Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, harus dilakukan dengan cara sedekat dan sehalus mungkin baik pengertian atau makna maupun gaya yang digunakan oleh bahasa aslinya.9

Namun demikian, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan dan teori-teori tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan rasa bahasa seseorang, jika tidak dibarengi dengan latihan, praktik yang terus menerus dan berkelanjutan, dan teori (meski tanpa

8

Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemahkan Bahasa Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), h. 6.

9

Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation (Leiden: United Bible Societies, 1974), h. 12.


(28)

disadari). Jadi, keduanya, bakat dan latihan yang baik itu, sama pentingnya.

Pada hakikatnya penerjemahan itu merupakan kegiatan mereproduksi amanat atau pesan bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya. Idealnya terjemahan tidak akan dirasakan sebagai terjemahan. Namun, untuk mereproduksi amanat itu, mau tidak mau, diperlukan penyesuaian gramatis dan leksikal. Penyesuaian ini janganlah menimbulkan struktur yang tidak lazim di dalam bahasa penerima.10

Dari berbagai definisi terjemah di atas kita bisa menyimpulkan bahwa terjemah merupakan seni tentang memindahkan makna dan uslub dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dimana pembaca yang berbahasa sasaran melihat teks terjemahan dan merasakannya seperti melihat pembicara aslinya dan merasakan teks-teks aslinya.

Bila ta’rif di atas dianggap benar atau mendekati kebenaran maka kaidah-kaidah pokok yang menjadi landasan seni terjemah adalah sebagai berikut :

a. Terjemah harus mengandung gambaran yang benar tentang konsep yang terkandung dalam teks asli.

b. Harus menjaga uslub atau gaya bahasa aslinya sebaik mungkin. c. Kehalusan susunan kalimat terjemahan tidak kurang dari kehalusan

susunan-susunan kalimat dalam teks asli.

10

Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10.


(29)

12

Terjemahan selain perlu menggunakan kata-kata indah, maknanya juga harus memindahkan uslub dan jiwa pengarang teks asli. Atas dasar ini, penerjemah harus membaca teks berulang-ulang sebelum memulai menerjemahkannya, agar bias menyelami jiwa teks dan jiwa pengarangnya.11

2. Proses Penerjemahan Secara Global

Setelah teks Arab yang hendak diterjemah dapat ditentukan, maka proses kerja menerjemah pada dasarnya bisa dimulai. Secara garis besar, ada sedikitnya tiga tahapan kerja dalam proses menerjemah, yaitu :

a. Penyelaman naskah sumber

Tahap pertama dari proses menerjemah adalah memahami secara global arah dan isi buku yang hendak diterjemahkan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, melalui pembacaan judul secara cermat, dengan mengeja setiap kata yang membentuk judul tersebut. Seringkali judul sangat membantu mengantarkan penerjemah kepada gambaran global sebuah buku. Lebih-lebih, judul buku-buku berbahasa Arab umumnya cenderung bersifat direct dibandingkan kebiasaan judul buku-buku berbahasa indonesia.

Langkah berikutnya adalah memperoleh pemahaman tentang posisi buku. Sebuah buku atau karya tulis tentu berada pada posisi tertentu

11

Achmad Satori Ismail, Problematika Terjemah (Arab-Indonesia) (Jakarta : Adabia Press, 2011), h. 6.


(30)

terhadap gagasan-gagasan, pandangan, ataupun ide dari buku-buku lain. Pendek kata, suatu gagasan atau pemikiran tidak lahir dari ruang hampa. Sebuah karya bisa saja ditulis sebagai sanggahan atau menguatkan madzab pemikiran tertentu dalam bidang tertentu, yang ditulis dalam sebuah buku atau bentuk karya tulis lain.

Langkah terakhir pada tahap ini adalah membaca buku tersebut secara serius, mulai awal hingga akhir, sambil mencari makna kata-kata yang belum diketahui melalui kamus. Jangan tergesa-gesa dalam menerjemahkan setiap teks yang dibaca.

b. Penuangan pesan ke bahasa sasaran

Terjemahan ideal adalah yang tidak hanya berupaya mentransfer pesan, namun juga seluruh teks sebagai totalitas, mulai bentuk linguistik seperti susunan frase, susunan dan bentuk kalimat sampai kepada suasana batin teks. Penuangan padanan teks sumber ke dalam teks sasaran semaksimal mungkin inilah yang menjadi inti dari tahap penuangan. Penuangan tidak melulu menungkan ide, pikiran dan gagasan teks sumber. Bila dimungkinkan, penuangan harus pula menyangkut aspek-aspek lainnya.

c. Editing

Setelah tahap penuangan selesai, maka secara kasar kerja menerjemah sesungguhnya dapat dikatakan selesai. Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni mengedit kembali hasil terjemahan sebelum diserahkan kepada editor penerbit atau editor yang


(31)

14

lain. Hal ini penting mengingat hasil penerjemahan tersebut sesungguhnya adalah produk suasana psikologi kebahasaan dari penerjemah yang masih fii manzilah baina al manzilatain, atau dalam satu titik kesadaran diantara dua kesadaran, yakni antara kesadaran suasana bahasa sumber dan bahasa sasaran.12

3. Penilaian Terjemahan

Menilai kualitas terjemahan merupakan salah satu aktivitas penting dalam penerjemahan. Ada tiga alasan menilai kualitas terjemahan: (1) untuk melihat keakuratan; (2) untuk mengukur kejelasan; (3) untuk menimbang kewajaran suatu terjemahan. Keakuratan berarti sejauh mana pesan dalam Tsu disampaikan dengan benar dalam Tsa. Kejelasan berarti sejauh mana pesan yang dikomunikasikan dalam Tsa dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca Tsa. Kewajaran berarti sejauh mana pesan dikomunikasikan dalam bentuk yang lazim, sehingga pembaca Tsa merasa bahwa teks yang dibacanya adalah teks asli yang ditulis dalam Bsa. Karenanya, aspek yang dinilai adalah: (1) pesan terterjemahkan atau tidak; (2) kewajaran dan ketepatan pengalihan pesan; (3) kesesuaian hal-hal teknis dalam kerja penerjemahan dengan tata bahasa dan ejaan yang berlaku.

Sesuai dengan tujuan tersebut, ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan, seperti yang ditawarkan oleh Machali, Hoed, dan Lubis.

12

Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab


(32)

Syarif Hidayatullah mencoba menawarkan metode lain yang mungkin lebih sederhana. Menurut Syarif Hidayatullah, penilaian terhadap kualitas terjemahan selain dapat dilakukan secara langsung dengan mengamati dan membaca secara cermat, juga dapat dilakukan dengan cara memberi penilaian secara matematis. Meski penilaian terhadap hasil terjemahan itu bersifat subyektif-relatif, tetapi penilaian secara matematis perlu dilakukan, misalnya, untuk memberi penilaian kepada hasil terjemahan mahasiswa atau penerjemah pemula. Penilaian ini juga bisa diterapkan oleh penerbit untuk menilai apakah suatu hasil terjemahan layak dikonsumsi atau tidak. Pedoman penilaian yang Syarif Hidayatulllah tawarkan adalah sebagai berikut:

1. Kalimat yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 10 poin.

2. Metode yang dipilih tidak sesuai dengan peruntukan teks, berakibat pada pengurangan 9 poin.

3. Klausa yang tidak diterjemahkan, berakibat pada pengurangan skor sebanyak 8 poin.

4. Terjemahan tidak sesuai topik, berakibat pada pengurangan 7 poin. 5. Padanan budaya tidak tepat, berakibat pada pengurangan 6 poin.

6. Nama diri, peristiwa sejarah, dan kata-kata asing yang tidak tepat, berakibat pada pengurangan 5 poin.

7. Tata bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah BSa, berakibat pada pengurangan 4 poin.


(33)

16

8. Terjemahan frasa, idiom, atau makna figuratif tidak tepat, berakibat pada pengurangan 3 poin.

9. Diksi, konotasi, atau kolokasi tidak tepat, berakibat pada pengurangan 2 poin.

10.Kesalahan ejaan, penyingkatan, dan tanda baca, berakibat pada pengurangan 1 poin.

Untuk menggunakan model penilaian tersebut, penilai harus memperhatikan beberapa hal di bawah ini:

a. Penilaian pada hasil terjemahan yang telah berbentuk buku dapat dilakukan dengan cara mengambil beberapa halaman.

b. Setiap lembar halaman terjemahan diberi skor awal 100 poin.

c. Setelah itu, hitunglah skor kesalahan sesuai dengan pedoman di atas. d. Lalu, jumlahkan semua skor kesalahan dalam setiap halaman yang

dinilai.

e. Skor awal setiap halaman kemudian dikurangi skor kesalahan.

f. Skor setiap halaman dijumlahkan, lalu dibagi dengan jumlah halaman. g. Hasil skor rata-rata menjadi nilai akhir dari terjemahan yang dinilai. h. Setelah itu, nilai akhir itu dipergunakan untuk menilai apakah

terjemahan tersebut termasuk terjemahan istimewa (90-100), sangat baik (80-89), baik (70-79), sedang (60-69), (50-59), buruk (0-49).13

13

Syarif Hidayatullah, Tarjim Al- An cara mudah menerjemahkan Arab Indonesia


(34)

4. Unsur Linguistik dan Nonlinguistik dalam Penerjemahan

Untuk menajamkan kepekaan dalam menyelami Bsu dan kepiawaian mengalihkannya ke dalam BSA, seorang penerjemah seorang penerjemah harus memiliki pengetahuan terkait dengan unsur linguistik dan nonlinguistik dalam penerjemahan. Unsur linguistik berkaitan dengan aspek kebahasaan dalam penerjemahan, sementara unsur nonlinguistik berkaitan dengan aspek di luar bahasa yang diperlukan pada saat penerjemahan. Unsur linguistik dalam penerjemahan adalah sebagai berikut:

a. Makna kamus

Unsur ini terkait dengan konsep kata dan kosakata; bahasa yang merupakan kumpulan kosakata; dan memilih makna kosakata, apakah itu makna kamus (lexical meaning), makna tekstual (tekstual meaning), dan makna konotatif (connotative meaning).

b. Makna morfologis

Unsur ini terkait dengan bentuk, struktur, dan pola kata. Unsur ini dalam bahasa Arab bias dilihat pada kasus seperti bentuk fi’il tsul :tsi: (verba trikonsonantal), fi’il rub :’i: (verba kuadrikonsonantal), tashri:f lughawi: (derivasi), tashrif isthila:hi (infleksi), tambahan huruf seperti pada kasus t ’diyy h (transitif), muth :w ’ h (menerima akibat; afektif), dn musya:rakah (resiprokal); jenis ism (ism f :’il [partisipel aktif], ism m f’u;l [partisipel pasif], ism tafdhi:l [komperatif dan superlatif], dan shigah muba:laghah [penyangatan]); bentuk mufrad (singular), mutsanna: (dual), j m’ (plural); nakirah (taktakrif;


(35)

18

indefinite) dan m ’rif h (takrif; definite); jenis, makna dan harf (kata tugas).

c. Makna sintaksis

Unsur ini terkait dengan posisi ism dalam kalimat yang mempunyai posisi I’r :b. seorang penerjemah harus mampu mencermati makna bagian dari teks sumber yang menjadi mubt d ’ (subjek), khabar (predikat), m f’u:l bihi ww l (objek), m f’u:l bihi ts :ni: (komplemen), tarki:b idha:fi: (frasa nominal; aneksi), tarki:b washfi: (frasa ajektival), tauki:d (empatik), dan yang lain. Makna sintaksis juga berhubungan dengan juml h fi’liyy h (kalimat verbal) dan jumlah ismiyyah (kalimat normal).

d. Makna retoris

Unsur ini terkait dengan maja:z (metafora), alegori, idiom, i:ja:z, ithna:b, tasybi:h, kina:yah, sehingga penerjemah dapat mengalihbahasakan pesan dan ide yang tersembunyi di balik retorika penulis Tsu.

Selain itu, unsur nonlinguistik dalam penerjemahan adalah sebagai berikut:

a. Latar belakang topik dan pengetahuan yang luas

Keterangan atau pengetahuan yang sama masalahnya atau erat hubungannya dengan masalah topik yang diterjemahkan, juga harus dikuasai oleh seorang penerjemah.


(36)

b. Konteks

Penerjemah harus memiliki pengetahuan dan wawasan terkait bagian suatu kalimat (uraian) atau situasi yang dapat menambah kejelasan makna kata dalam suatu teks.

c. Konotasi

Tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata dalam Tsu, juga harus dikenali oleh seorang penerjemah.14

5. Jenis Penerjemah

Penerjemah terbagi menjadi dua. Pertama, interpreter (juru bahasa; tarjuman), baik yang konsekutif (tanpa jeda) maupun yang simultan (berjeda). Objek yang diterjemahkan interpreter adalah nonteks. Dengan kata lain, ia mengalihbahasakan secara langsung bunyi yang didengarnya dalam Bsu ke dalam bunyi Bsa. Seorang interpreter bias menekuni beberapa profesi berikut: (1) interpreter konferensi (juru bahasa acara-acara konferensi); (2) interpreter pemandu (juru bahasa tamu dari mancanegara yang ber-Bsu); (3) interpreter hukum (juru bahasa pada masalah hukum, seperti di persidangan); (4) interpreter medis (juru bahasa urusan medis); (5) interpreter tanda bahasa (juru bahasa terkait tanda bahasa, seperti konteks historis,, nuansa budaya, lirikan mata, dan gerak tubuh).

14

Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik


(37)

20

Kedua, translator (penerjemah; mutarjim). Objek yang diterjemahkan oleh seorang translator berupa teks, seperti yang sudah banyak ornag ketahui. Seorang translator bisa menekuni beberapa profesi berikut: (1) translator hukum (penerjemah urusan hukum, seperti dokumen hukum); (2) translator kesusastraan (penerjemah naskah fiksi maupun non fiksi); (3) translator lokalisasi (penerjemah untuk produk yang dipasarkan di suatu wilayah); (4) translator medis (penerjemah urusan medis, seperti nama obat-obatan).

Bila dikelompokkan berdasarkan cara kerjanya, penerjemah bisa dibagi lagi menjadi tiga: (1) penerjemah di perusahaan atau biro penerjemahan; (2) penerjemah paruh waktu; (3) penerjemah bebas. Penerjemahan perusahaan atau biro penerjemahan berarti seseornag yang hanya punya pekerjaan tetap sebagai penerjemah penuh. Penerjemah paruh waktu berarti seseorang yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, tetapi meluangkan waktu untuk menerjemahkan. Penerjemah bebas berarti penerjemah yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, namun bekerja sebagai penerjemah lepas baik di penerbit maupun di biro penerjemahan. 15

15

Moch. Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik


(38)

B. METODE PENERJEMAHAN

Dalam literatur barat, metode penerjemahan dikaji dan diklasifikasikan secara lebih rinci. Newmark, misalnya, memandang bahwa metode penerjemahan dapat ditilik dari segi penekanannya terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran.

1. Penekanan pada Bahasa Sumber

Ada empat metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber. Keempat metode tersebut ialah metode penerjemahan kata demi kata (word for word translation), metode penerjemahan literal (literal translation), metode penerjemahan setia (faithful translation), dan metode penerjemahan semantis (semantic translation).16

a. Penerjemahan kata demi kata

Penerjemahan kata demi kata ini sering kali digambarkan sebagai terjemahan antarbaris dengan bahasa target berada langsung di bawah kata-kata bahasa sumber. Metode ini berfokus pada kata demi kata bahasa sumber, dan sangat terikat pada tataran kata. Penerjemah hanya mencari padanan kata-kata dalam bahasa target yang pas dengan yang terdapat dalam bahasa sumber.susunan kata-kata pada teks sumber dipertahankan sedemikian rupa; kata-kata diterjemahkan satu per satu ke dalam makna yang paling umum tanpa mengindahkan konteks pemakaiannya. Sampai-sampai kata-kata yang memiliki nuansa

16

Peter Newmark, A Textbook of Translation (London: Prentice Hall International, 1988), h. 45.


(39)

22

budaya pun diterjemahkan secara harfiah. Metode ini digunakan untuk memahami cara operasi bahasa sumber dan untuk memecahkan kesulitan nas, sebagai tahap awal kegiatan penerjemahan. Dalam tradisi pesantren, penerjemahan demikian dikenal dengan istilah penerjemahan “jenggotan”.17

Contoh :

dan di sisiku tiga buku-buku

b. Penerjemahan harfiah

Penerjemahan harfiah dilakukan dengan mengalihkan konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi gramatika bahasa target yang memiliki padanan paling dekat. Namun demikian, unsur leksikal yang ada tetap diterjemahkan satu per satu tanpa mengindahkan konteks yang melatarinya. Jadi seperti halnya pada metode penerjemahan kata demi kata, pada metode ini pun pemadanan dilakukan masih terlepas dari konteks. Metode penerjemahan harfiah ini juga sangat patuh pada teks sumber. Persoalan konteks tak terlampau dihiraukan. Struktur bahasa sumber diperhatikan. Akibatnya gejala interferensi acap kali tak terhindarkan. Karena terlalu mengutamakan bentuk, sangat mungkin matra makna

17

M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003), h. 30.


(40)

terkesampingkan, sehingga pesan tidak sampai kepada pembaca teks terjemah. Selain itu, hasil terjemahan juga terasa kaku dan kurang natural karena penerjemahan terlalu memaksakan kaidah-kaidah tata bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Metode ini pun digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nas.18

Contoh :

Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-korban gempa bumi.

c. Metode penerjemahan setia

Dengan metode ini penerjemah berupaya setia mungkin mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber meskipun melanggar gramatika bahasa target. Dalam penerjemahan setia ini kosakata kebudayaan ditransfer, dan urutan gramatika dalam terjemahan dipertahankan sedemikian rupa. Dengan kata lain, metode ini berupaya untuk setia (faithful) sepenuhnya kepada maksud dan realisasi teks bahasa sumber penulisnya. Artinya penerjemahan setia mencoba mereproduksi makna kontekstual bahasa sumber dengan

18


(41)

24

masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Di sini kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan bahasa sumber, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan asing.

Contoh :

dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.

d. Metode penerjemahan semantis

Metode penerjemahan semantis berfokus pada pencarian padanan pada tataran kata, tetapi tetap terikat budaya bahasa sumber. Namun begitu, penerjemah berusaha mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik bahasa target. Penerjemahan semantis sangat memperhatikan nilai estetika teks bahasa sumber, kompromi makna agar selaras dengan asonansi, serta permainan dan pengulangan kata yang menggetarkan. Berbeda dengan penerjemahan setia, metode penerjemahan semantis lebih luwes dan memperkenankan intuisi penerjemah untuk berempati dengan teks sumber. 19

Contoh :

19


(42)

Saya melihat si muka dua di depan kelas

Perbedaan antara metode penerjemahan kata per kata dan metode penerjemahan setia yaitu terletak pada kata-kata yang bermuatan budaya. yaitu metode penerjemahan kata per kata ini kosakata kebudayaan tidak ditransfer, dan penerjemah hanya mencari padanan kata-kata dalam bahasa target yang pas dengan yang terdapat dalam bahasa sumber, sedangkan dalam metode penerjemahan setia kosakata kebudayaan ditransfer, dan urutan gramatika dalam terjemahan dipertahankan.

2. Penekanan pada Bahasa Sasaran

Berbeda dengan kelompok pertama, pada kelompok kedua ini metode penerjemahan lebih berorientasi pada bahasa target. Yang belakangan ini, seperti halnya yang pertama, juga terbagi ke dalam empat metode. Diantaranya adalah metode penerjemahan adaptasi (adaptation), metode penerjemahan bebas (free translation), metode penerjemahan idiomatis (idiomatic translation), dan metode penerjemahan komunikatif (communicative translation).

a. Metode penerjemahan adaptasi

Metode penerjemahan adaptasi merupakan penerjemahan teks yang paling bebas. Penerjemah berusaha mengubah dan menyelaraskan


(43)

26

budaya bahasa sumber dalam bahasa target. Metode ini terutama digunakan dalam menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap mempertahankan tema, karakter, dan alur cerita. Budaya bahasa sumber dikonversi ke dalam budaya bahasa target. Teks tersebut kemudian ditulis ulang. Oleh karena itu, hasil penerjemahan umumnya dipandang bukan sebagai suatu terjemahan. Hasil terjemahan sesungguhnya lebih merupakan penulisan kembali pesan teks bahasa sumber dalam bahasa target.

Contoh :

Ketika bulan purnama bersinar

b. Metode penerjemahan bebas

Penerjemahan bebas berupaya mereproduksi materi tertentu tanpa menggunakan cara tertentu. Dalam hal ini, penerjemah mereproduksi isi semata tanpa mengindahkan bentuk. Akibatnya, metode ini menghasilkan teks target yang tidak lagi mengandung gaya atau bentuk teks sumber. Dalam praktiknya, penerjemahan bebas tidak terikat dengan pencarian padanan pada tataran kata atau kalimat. Pencarian padanan cenderung terfokus pada teks sebagai satu kesatuan. Biasanya, metode ini merupakan parapfrase yang lebih panjang daripada bahasa aslinya. Hasil penerjemahan bebas sering kali bertele-tele, berpretensi, dan sama sekali bukan merupakan terjemahan.


(44)

Terdapat perbedaan antara metode adaptasi dan metode penerjemahan bebas. Yang terakhir ini tetap mempertahankan pesan sesuai dengan pesan yang termaktub dalam teks bahasa sumber. Selain itu pada metode adaptasi, penerjemah diperkenankan untuk membuat sejumlah modifikasi, misalnya mengubah nama pelaku dan tempat kejadian.20

Contoh :

Harta Sumber Malapetaka

c. Metode penerjemahan idiomatis

Metode penerjemahan idiomatis berusaha mereproduksi pesan bahasa sumber, tetapi cenderung mendistorsi nuansa makna. Hal ini disebabkan penerjemah lebih menyukai pemakaian aneka kolokial dan idiom-idiom yang tidak terdapat dalam bahasa sumber.

Contoh :

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian

20

Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 58.


(45)

28

d. Metode penerjemahan komunikatif

Metode penerjemahan komunikatif ini berupaya mengungkapkan makna kontekstual bahasa sumber secara tepat. Pengungkapan dilakukan dengan cara-cara tertentu sehingga isi dan bahasanya berterima dan mudah dipahami pembaca target. Hasil terjemahan diupayakan mempunyai bentuk, makna, dan fungsi yang selaras dalam bahasa target. Sebab, boleh jadi suatu kalimat terjemahan sudah benar secara sintaksis, tetapi maknanya tidak logis; bentuk dan maknanya boleh jadi sudah sesuai, tetapi secara pragmatik penggunaanya tidak pas dan tidak alamiah.21

Contoh :

Kita tumbuh dari mani, segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (awam)

Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (terpelajar)

Lebih lanjut Newmark mengomentari delapan metode penerjemahan tadi. Menurutnya, hanya dua metode yang dianggap memenuhi tujuan utama penerjemahan, yaitu penerjemahan semantis dan penerjemahan komunikatif. Secara umum, penerjemahan semantis lebih memberi penekanan pada aspek

21


(46)

linguistik bahasa sumber. Dengan demikian penerjemahan sebisa mungkin dilakukan sesuai dengan bentuk teks aslinya. Ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom yang terdapat dalam teks sumber tetap dipertahankan sesuain dengan aslinya seraya diberi keterangan. Bentuk kalimat juga dipertahankan, misalnya kalimat majemuk tetap dipertahankan sebagai kalimat majemuk dalam penerjemahannya. Metode penerjemahan semacam ini memang baik jika dilihat dari segi bentuk dan struktur kalimat karena sesuai dengan teks asli. Biasanya, metode ini digunakan untuk menerjemahkan karya sastra atau teks-teks keagamaan.22

Di lain pihak, penerjemahan komunikatif lebih menekankan pada kenyamanan pembaca teks bahasa target. Penerjemahan diupayakan untuk memberikan penjelasan yang memadai kepada pembaca dengan tujuan amanat dari penulis teks sumber dapat tersampaikan. Ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam bahasa sumber dialihkan ke dalam ungkapan-ungkapan yang ada dalam bahasa target. Bentuk kalimat pun tidak dipertahankan jika dianggap dapat menimbulkan ketaksaan informasi. Dalam metode ini makna sangat ditekankan, sehingga pembaca terjemahan dapat lebih mudah memahami maksud dan pesan si penulis teks sumber. Biasanya metode ini digunakan untuk menerjemahkan teks-teks yang bersifat informatif.

22

Peter Newmark, A Textbook of Translation (London: Prentice Hall International, 1988), h. 47.


(47)

30 BAB III

GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE TERJEMAHAN

KITAB NASHAIHUL IBAD, BIOGRAFI SYEIKH NAWAWI AL BANTANI

DAN BIOGRAFI FUAD KAUMA

A. GAMBARAN UMUM DAN GAMBARAN METODE

TERJEMAHAN KITAB NASHAIHUL IBAD

Kitab Nashaihul Ibad, karya Muhammad Nawawi bin „Umar Al-Jawi merupakan pedoman dan rujukan berperilaku sesuai tuntunan islami yang dapat membawa umat Islam ke arah kebaikan dan menjadikan umat Islam berbudi pekerti santun dan berjiwa lembut. Kandungannya begitu dalam dan hakikatnya begitu tinggi, sehingga bila dipahami secara mendalam dan dipraktekkan dengan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari, dapat mengantarkan kita pada kebersihan hati, kesucian jiwa, dan kesantunan budi pekerti, serta dapat mengingatkan kita mempersiapkan diri menghadap Sang Mahakuasa dengan membawa berbagai amal kebaikan dan budi pekerti yang baik.

Berbagai macam sikap dan perilaku yang dicontohkan dalam buku ini, yang berasal dari sabda Nabi dan aśar para sahabat serta nasihat para ulama dan ahli hikmah, nilainya sangat tinggi. Kata-kata hikmah yang terkandung di dalamnya banyak dijadikan rujukan buku-buku terkenal, seperti Jangan Bersedih, Cambuk Hati, dll. Sehingga tidak diraguan lagi kebaikan isinya.


(48)

Kitab ini membimbing kita untuk bersikap santun dan bijak, baik terhadap Allah, Rasul-Nya, maupun sesama manusia.26

Kitab ini sangat cocok untuk dibaca dan dikaji oleh masyarakat modern dewasa ini, yang sudah banyak kehilangan jati dirinya akibat rapuhnya rohani mereka yang tidak pernah diisi oleh nilai-nilai spiritual karena tersibukkan dalam pemburuan materi yang membabi buta dalam rangka memermak dan mengkonstruksi diri untuk mencari kebahagiaan semu.

Dalam kitab ini juga disinggung bahwa kebahagiaan hakiki bukan terletak pada materi, jabatan, status sosial, dan kedudukan-kedudukan yang lain, melainkan terletak pada kebersihan dan kesucian hati dalam bertwajjuh kepada Allah. Kitab ini juga sangat cocok untuk menjadi obat bagi hati mereka yang sedang mengalami benturan berbagai masalah keduniawian. Selain itu, banyak fatwa para sahabat dan para orang bijak yang menjelaskan makna kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki.27

Kegiatan menerjemahkan adalah kegiatan yang tidak saja mengharuskan para penerjemah untuk berpengetahuan luas tentang bahasa dan budaya kedua bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dan juga dengan kreatifitasnya, para penerjemah harus memilih dari sekian banyak alternatif padanan penerjemahnya. Selain itu, setiap penerjemah dituntut mempertimbangkan gaya bahasa yang akan digunakan dalam konteks penerjemahnya. Baik

26

Imam Nawawi Al Bantani,Na ฀iul ‘Ibaad. Penerjemah Fuad Kauma (Bandung : IBS, 2012), h. 6.

27

Imam Nawawi Al Bantani,Na ฀iul ‘Ibaad. Penerjemah Fuad Kauma (Bandung : IBS, 2012), h. 26.


(49)

32

tidaknya bahasa terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia khususnya dari bahasa Arab, tergantung kepada kemampuan penerjemah dalam menguasai bidang terjemahnnya, seperangkat kaidah dan pola yang ada dalam kedua bahasa tersebut.

Setiap penerjemah pasti berharap penerjemahannya dibaca oleh orang lain. Dengan demikian, pihak pembaca perlu mendapat perhatian. Penerjemah harus tahu kepada siapa terjemahannya ditujukan dan bagaimana tingkat kemampuan seseorang yang belum ahli dalam memahami teks terjemahan yang ada kaitannya dalam bidang ilmu yang mereka geluti. Apabila terjemahannya ditujukan kepada pembaca yang bukan ahli disiplin ilmu yang diterjemahkan, penerjemah perlu menyederhanakan kalimat terjemahan yang berkonstruksi rumit tanpa menghilangkan pesan yang terkandung dalam bahasa sumber. Artinya yang terpenting dalam penerjemahan adalah pesan atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang.

Banyak metode penelitian yang bisa digunakan di dalam meneliti karya terjemahan, tetapi yang jelas semua metode ini bersifat deskriftif, bisa dalam kategori kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian mengenai hasil terjemahan adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan terutama untuk menghubungkan teori penerjemahan dan praktek penerjemahhan. Kadangkala suatu konsep bisa dengan mudah dideskripsikan dalam uraian dan teori. Akan tetapi, bila sudah berada dalam tataran praktek, mungkin sekali konsep-konsep ini sulit dibedakan atau bahkan dikenali secara jelas.


(50)

Di zaman sekarang ini banyak sekali buku-buku agama yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kegiatan menerjemahkan mempunyai manfaat yang besar bagi pengembangan pengetahuan serta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Salah satunya kitab nashaihul Ibad, Kitab Nashaihul Ibad merupakan kumpulan nasehat-nasehat yang bersandar dari Rasulullah, para sahabat, dan para ulama yang cukup dalam kajian tasawufnya yang ditulis oleh Syeikh Nawawi Al Bantani yang kemudian di terjemahkan oleh Fuad Kauma ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini sangat penting untuk dijadikan sebagai acuan hidup manusia menyongsong kehidupan akhirat.

B. BIOGRAFI SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI

1. Kelahiran dan Perkembangannya

Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran Islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang. Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun kelahirannya saja yaitu pada bulan


(51)

34

Muharram (dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.28

Syeikh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab

28

http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view& id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).


(52)

(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syeikh Nawawi bukan Imam Nawawi.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.

2. Riwayat Pendidikan dan Pengajaran

Semenjak kecil Syeikh Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas. Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab


(53)

36

berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.

Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta berguru kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada saat usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren. Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu, beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di sana sampai akhir hayatnya.

Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860.


(54)

Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas (Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.

Setelah 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama 10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.29

29

http://alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani// (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).


(55)

38

3. Posisi Strategis Syeikh Nawawi bagi Dunia dan Indonesia

a. Syeikh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Khadijah di Ma’la.

b. Syeikh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu „Ulama al -Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqi” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje memberi gelar “Doktor Teologi”.

c. Pada tahun 1870, Syeikh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syeikh Nawawi di Mesir. Ini


(56)

membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syeikh Nawawi al-Bantani.

d. Paling tidak terdapat 34 karya Syeikh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.

e. Kelebihan dari Syeikh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastra Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syeikh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syeikh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa negara lain, syarah Syekh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.

f. Syeikh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi).


(57)

40

Kelebihan dari Syeikh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syeikh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.

g. Dalam konteks Indonesia, Syeikh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi „Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.

h. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syeikh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri


(58)

NU, KH. Hasyim „Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.

i. Dalam konteks penjajahan, Syeikh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syeikh Nawawi. Karena itu, wajar jika Syeikh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata”.

j. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syeikh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.30

4. Karya-Karyanya

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas

30

http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view& id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014).


(59)

42

dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan „Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ „Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid „Ulama al-Hijaz.

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan


(60)

Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan „aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.31

Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat

31

alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani/ (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014)


(61)

44

ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.

Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.

Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani antara lain adalah sebagai berikut:

a. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284 Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah.


(62)

b. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 Hijrah.

c. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872 Masehi. Cetakan pertama Mathba’ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 Hijrah.

d. Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal 1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.

e. Hidayatul Azkiya’ ila Thariqil Auliya’, mulai menulis 22 Rabiulakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi. Diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.

f. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294 Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah Miriyah al-Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.

g. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar 1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Jadidah al-„Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.

h. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.

i. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal 1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al


(1)

75 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan analisis yang mendalam terhadap terjemahan Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani penulis dapat mengambil kesimpulan. Bahwa dalam penerjemahan ini, penerjemah tidak berpegang pada salah satu metode terjemahan saja. Penulis menemukan beberapa metode terjemahan yang sering digunakan oleh penerjemah. Yaitu metode harfiyah, kata demi kata dan beberapa terjemahan bebas.

Dalam setiap ragam terjemahan pasti memiliki kelebihan dan kelemahan, baik terjemahan bentuk kata demi kata, harfiah, ataupun bebas. Berdasarkan hasil terjemahan pada buku Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al Bantani, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan.

Di antara kelebihan yang bisa dipetik antara lain dapat dinyatakan sebagai berikut :

1. Struktur dan bentuk kalimat dalam bahasa sasaran lebih mengikuti pola dan bentuk bahasa sumber kendati tidak secara utuh. Dengan demikian penerjemah bukan semat-mata sebagai penerjemah saja, bahkan sekaligus ia berlaku sebagai transformer.


(2)

76

2. Gaya terjemahannya sangat sederhana, sehingga mudah dipahami dan dimengerti.

Adapun diantara kelemahan-kelemahannya adalah sebagai berikut :

1. Karena penekanan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat bahasa sumber, maka secara tidak langsung makna dalam bahasa sasaran akan menjadi rancu kalau ditinjau dari konteks kalimat.

2. Adanya pengulangan kata sehingga terjadi pemborosan kata.

3. Kurang setia terhadap bahasa sumber, terkadang teks ada yang tidak diterjemahkan dan dalam hasil terjemahan, penerjemah banyak menggunakan kata yang ditambah-tambahkan.

B. Saran

Dalam menerjemahkan suatu teks Arab, sebaiknya penerjemah dapat menentukan metode apa yang tepat untuk diterapkan. Contohnya ketika akan menerjemahkan buku novel, metode apakah yang paling tepat, apakah metode komunikatif atau metode adaptasi atau dan lain-lain.

Jadi alangkah baiknya jika dalam pembahasan metode penerjemahan, dibahas juga teknik dan sistematika penerjemahan yang tepat bagi suatu naskah Tsu. Misalnya dalam menerjemah jurnal ilmiah suatu kampus, diterapkan dengan metode adaptasi dan komunikatif dengan tambahan informatif yang berupa kutipan, footnote, dan lainnya.

Penelitian ini belum komprehensif, karena penulis baru melakukan kajian terhadap metode penerjemahan, kekurangan dan kelamahan penerjemahan.


(3)

77

Penulis tidak membahas secara spesifik hal-hal yang terkait dengan unsur linguistik, sintaksis, morfologi dan semantik pada terjemahan buku ini. Oleh karenanya aspek-aspek linguistik yang belum dibahas dalam penelitian ini, dapat dilakukan penelitian lanjutan.


(4)

78

DAFTAR PUSTAKA

.

Al Bantani, Nawawi Imam. Na ฀iul ‘Ibaad. Bandung : IBS, 2012.

Al Farizi, Zaka M. Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011.

Al-Jarim, Ali. Al-Balaghah al-Wadhihah. Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994. Anwar, Mochamad. Ilmu as Sharf. Bandung : Sinar baru, 1986.

Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah wawasan dan metode menerjem Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka, 1988.

Hidayatullah, Syarif dan Abdullah. Pengantar Linguistik Bahasa Arab (Klasik Modern.) Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Hidayatullah, Syarif. Tarjim Al- An cara mudah menerjemahkan Arab Indonesia. Tangerang: Dikara, 2010.

Hoed, Hoedoro Benny. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya, 2006.

Ismail, Satori Achmad. Problematika Terjemah (Arab-Indonesia). Jakarta : Adabia Press, 2011.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung: kaifa PT mizan pustaka, 2009.


(5)

79

Munawwar, A.W. Kamus Al- Munawwir Arab-Indonesia

Munip, Abdul. Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia. Jakarta : Puslitbang lektur keagamaan, 2010.

Nababan, Rudolf M. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: pustaka pelajar, 2003.

Nasuhi, Hamid, dkk. Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta : CeQDA (Center of Quality Development and Assurance), 2010.

Newmark, Peter. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall International, 1988.

Nida, A Eugene dan Taber, R Charles. The Theory and Practice of Translation. Leiden: United Bible Societies, 1974.

Rahman, Kaserun AS. Buku Pintar Menerjemahkan Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2007.

Sayogi, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora, 2005.

Widyamartaya, A. Seni menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Zain, Badudu. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,2001.


(6)

80 Sumber Dari Internet :

http://alhikmahdua.net/biografi-syeikh-nawawi-al-bantani// (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014)

http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task= view&id=107 (data ini diakses pada tanggal 28 Agustus 2014)