Potensi Kepunahan Lokal Spesies Kayu

59 bijinya sangat cepat menurun, dalam waktu 2-3 minggu laju perkecambahannya hampir 0 atau tidak dapat berkecambah Soerianegara Lemmens 1994. Beberapa penduduk lokal juga mengatakan bahwa anakan yang tumbuh di hutan tidak pernah berhasil hidup apabila dipindahkan ke lahan mereka Baiki, petani di Lubuk Beringin, komunikasi pribadi. Karakteristik pertumbuhannya yang unik menyebabkan spesies tersebut tidak mampu beregenarasi sehingga memiliki potensi mengalami kepunahan. Bahkan A. costata sudah termasuk dalam status kritis menurut IUCN Red List of Treathened Species 2007. Shorea acuminata Shorea merupakan genus penghasil kayu yang secara ekonomi dianggap paling penting di Asia. Shorea merupakan spesies yang dipencarkan oleh angin. Pada kondisi angin normal dan hutan rapat, biji Shorea dapat terpencar pada jarak 30 m. Hingga saat ini, meranti merah masih dikembangbiakkan dengan biji. Namun demikian, biji meranti cepat menurun viabilitasnya Soerianegara Lemmens 1994. Penurunan viabilitas biji, keterbatasan penyebaran dan persyaratan tumbuh lain seperti keberadaan mikorisa menjadi kendala dalam regenerasi Shorea acuminata. Oleh karena itu, spesies ini sekarang dalam status kritis menurut IUCN Red List. Lithocarpus sp. Beberapa spesies Lithocarpus termasuk kayu bernilai ekonomi dan dapat merupakan komoditi ekspor, tetapi kemampuan regenerasinya rendah. Viabilitas bijinya sangat rendah, perkecambahan bijinya memerlukan waktu 1-9 bulan. Lithocarpus juga merupakan spesies yang tidak tahan terhadap kebakaran Lemmens et al. 1995. Karakteristik spesies tersebut menyebabkan populasi saat ini di Desa Lubuk Beringin sangat rendah dan hanya ditemukan pada tingkat pohon berdiameter lebih dari 30 cm. Proses tebas-bakar yang dilakukan ketika membuka lahan, baik untuk kebun karet maupun hanya dibiarkan tumbuh menjadi hutan sekunder menyebabkan Lithocarpus sp. tidak dapat bertahan hidup. Pemencaran biji Lithocarpus sp. terjadi dengan bantuan mamalia selain kelelawar Webb Peart 2001. Hasil pengamatan yang menemukan bahwa spesies Lithocarpus sp. ini hanya ditemukan pada agroforest karet kompleks 60 60 tahun. Sesuai dengan penelitian terdahulu Maryanto et al. 2000 keanekaragaman spesies mamalia pada agroforest karet kompleks adalah paling tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer, hutan bekas tebangan dan perkebunan karet. Secara global, beberapa spesies Lithocarpus endemik Indonesia masuk dalam kategori terancam punah, antara lain Lithocarpus crassinervius dan Lithocarpus industus dalam status rawan serta Lithocarpus kostermansii dalam status terancam punah IUCN Red List of Treathened Species 2007. Santiria conferta Santiria conferta merupakan salah satu spesies dari Famili Burseraceae yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan, tetapi spesies ini tidak dibudidayakan dalam perkebunan komersial karena viabilitas bijinya yang segar sangat rendah Lemmens et al. 1995. Biji dari spesies Santiria umumnya dipencarkan oleh burung dan kelelawar Webb Peart 2001. Tingginya keanekaragaman spesies burung Jepma Djarwadi 2000 dan kelelawar Prasetyo 2007 pada agroforest karet kompleks memungkinkan spesies ini dapat ditemukan.

5.5. Aspek ekonomi agroforest karet

Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroforest karet 60 tahun yang dikelola dengan intensitas rendah memiliki peranan yang cukup penting dalam aspek ekologi karena memiliki keanekaragaman dan similaritas spesies pohon mendekati hutan alam, sehingga dapat berfungsi sebagai areal konservasi. Namun, keuntungan dari aspek ekologi yang disediakan oleh agroforest karet 60 tahun tersebut harus diikuti dengan keuntungan secara ekonomi agar masyarakat tetap mempertahankan kebun karetnya. Kajian mengenai aspek ekonomi dari agroforest karet sedang dilakukan oleh Budidarsono et al. in progress. Hasil sementara kajian menujukkan bahwa agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun dan sistem sisipan tahun memerlukan input yang sangat rendah karena tidak dilakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih rendah. Bila dibandingkan dengan sistem monokultur, modal kerja per hektar pada 61 agroforest karet hanya Rp. 45.000,- per hektar, sedangkan pada monokultur mencapai Rp. 265.000,- per hektar. Besarnya ’input’ pada karet monokultur seiring dengan besarnya ’output’ berupa lateks. Rata-rata hasil karet untuk monokultur adalah 1.492 kghatahun, sedangkan pada agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun adalah 439 kghatahun dan pada agroforest karet sistem sisipan adalah 401 kghatahun. Meskipun hasil karet yang diperoleh dari sistem agroforest lebih rendah, namun hasil lain berupa kayu untuk bangunan dan buah- buahan seperti durian, jengkol, petai, duku dapat dipanen setiap musim secara berkelanjutan, baik untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri maupun dijual. Agroforest karet dengan sistem sisipan memiliki hasil buah-buahan dan kayu lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem rotasi 40 tahun.

Dokumen yang terkait

Praktek Nikah Tahlil (Studi Pada Desa Suka Jaya Kecamatan Muko-Muko Bathin Vii, Kabupaten Bungo, Jambi)

2 41 74

Agroforestri ilengi suatu kajian pelestarian dan pemanfaatan jenis pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo)

0 4 137

Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi

0 24 195

Peran Agroforest Karet dalam Pelestarian Spesies Pohon : Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

0 9 196

Studi Faktor Ekspansi Biomassa dan Massa Karbon Pohon Karet di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku Provinsi Jambi

0 3 40

Studi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet (Hevea Brasiliensis Muell Arg) Di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku, Provinsi Jambi

0 2 25

MODEL PENGELOLAAN HUTAN ADAT BERKELANJUTAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI DESA LUBUK BERINGIN KECAMATAN BATHIN III ULU KABUPATEN BUNGO (SEBAGAI SUMBER BELAJAR PADA MATERI PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM PADA BIDANG STUDI GEOGRAFI DI KELAS XI IPS SMA).

0 0 1

Analisis Lubuk Larangan Sebagai Wisata Ekologi Berbasis Kearifan Lokal Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kebupaten Bungo,Jambi. (Sebagai Pendukung Substansi Materi Pengelolaan Sumber Daya Alam pada Bidang Studi Geografi di Kelas XI SMA).

0 0 3

LPSE Provinsi Jambi BUNGO. BUNGO

0 1 2

PRODUKSI RUANG WISATA DALAM PERSPEKTIF RITME GEOGRAFI DI DESA LUBUK BERINGIN KECAMATAN BATHIN III ULU KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI sebagai bahan ajar materiembelajaran kurikulum muatan lokal Lubuk Larangan dan Hutan Desa di Kabupaten Bungo - UNS Institu

0 1 16