Akurasi pendugaan kekayaan spesies dengan metode rarefaction Keanekaragaman spesies

36 hasil pengamatan Kartono 2006, unpublished. Berdasarkan kurva rarefaction, nilai pendugaan kekayaan spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang diamati di Desa Lubuk Beringin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95. Hasil uji t menunjukkan bahwa p0.1906 pada kekayaan spesies tingkat pancang, p0.0884 pada tingkat tiang dan p0.3868 pada tingkat pohon antara hasil pendugaan dengan hasil pengamatan seperti disajikan pada Gambar 12. 10 20 30 40 50 60 RA13S RA30S RA30F SH10F SH13S RA60S SH25F Forest K ekayaan s p es ie s p er pl o t Tipe tutupan lahan Ha ra pan-Pa ncang Aktua l-Pa nca ng Ha ra pan-Tia ng Aktua l-Tia ng Ha ra pan-Pohon Aktua l-Pohon Gambar 12. Kekayaan spesies harapan dan aktual hasil pengamatan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon pada berbagai tipe tutupan lahan

5.1.3. Keanekaragaman spesies

Keanekaragaman spesies adalah jumlah spesies yang beragam yang hidup di suatu lokasi tertentu. Indeks kuantitatif keanekaragaman spesies dikembangkan untuk menunjukkan keanekaragaman spesies pada tiga skala geografi yang berbeda. Pada skala yang paling sederhana adalah keanekaragaman yang ditemukan pada suatu komunitas atau disebut dengan keanekaragaman alpha Indrawan et al. 2007. Salah satu metoda untuk menghitung indeks keanekaragam spesies adalah dengan Indeks Shannon-Wiener. 37 Hasil pengamatan di Desa Lubuk Beringin menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pohon bervariasi antar tipe tutupan lahan dan tingkat pertumbuhan seperti disajikan pada Gambar 13. 1 2 3 4 RA13S RA30F RA30S RA60S SH10F SH13S SH25F Forest In d ek s S h anno n- W ien er Tipe tutupan lahan Pancang Tiang Pohon Gambar 13. Indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang, tiang dan pohon di berbagai tipe tutupan lahan Keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata dengan hutan primer dan hutan sekunder, tetapi berbeda nyata pada selang kepercayaan 10 dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun. Keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan primer dan hutan sekunder. Pada tingkat pancang, keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun adalah 2,99 dan 2,70 sedangkan pada agroforest karet 60 tahun mencapai 3,8 sama dengan hutan sekunder 25 tahun. Keanekaragaman pancang di hutan primer hampir sama dengan hutan sekunder 13 tahun yaitu 3,3 dan 3,2. Aktivitas penyiangan yang dilakukan pengelola kebun memiliki peran yang sangat nyata dalam penurunan keanekaragaman spesies pohon karena menyebabkan hilangnya beberapa spesies, terutama spesies yang dianggap tidak komersial. Pada tingkat tiang, agroforest karet 13 tahun dan 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki indeks keanekaragaman spesies hampir sama yaitu 0,75 dan 0,66. Agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer memiliki indeks 38 keanekaragaman lebih tinggi yaitu 1,15 meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Bila dibandingkan dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun, maka pada tipe tutupan lahan yang dikelola secara tidak intensif memilik indeks keanekaragaman spesies pohon lebih tinggi yaitu 2,63 untuk agroforest karet 60 tahun, 2,11 dan 2,44 untuk hutan sekunder 10 dan 13 tahun, 3,25 untuk hutan sekunder 25 tahun dan 2,85 untuk hutan primer. Pada hutan sekunder, indeks keanekaragaman spesies pohon tingkat tiang semakin meningkat dengan bertambahnya umur lahan. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tingkat pancang yang pada umur yang lebih rendah dapat berkembang hingga mencapai tingkat tiang setelah rentang waktu tertentu. Pada tingkat pertumbuhan pohon, indeks keanekaragaman spesies di agroforest karet 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder dan hutan primer. Bahkan, perbedaan yang sangat nyata pada selang kepercayaan 5 terjadi antara hutan primer dengan agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer. Indeks keanekaragaman spesies pada agroforest karet 30 tahun adalah 0,95 untuk lokasi di dekat hutan primer dan 0,16 untuk lokasi yang jauh dari hutan primer. Agroforest karet 60 tahun memiliki indeks keanekaragaman spesies lebih tinggi yaitu 2,43. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon di hutan sekunder dan hutan primer hampir sama yaitu 3,03 dan 3,11. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada lahan yang tidak dilekola seperti hutan primer dan hutan sekunder relatif stabil bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan yang dikelola seperti agroforest karet. Pada agroforest karet, terjadi penurunan indeks keanekaragaman spesies dari tingkat pancang ke tingkat tiang dan pohon yang sangat tajam, terutama pada agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan primer. Penurunan keanekaragaman spesies tersebut terjadi karena adanya akivitas manusia di dalam kebun, antara lain penyiangan gulma. Penyiangan yang dilakukan pada lorong sadap di agroforest karet 60 tahun, maupun peyiangan seluruh lantai kebun mengakibatkan matinya beberapa spesies tingkat pancang, sehingga menurunkan keanekaragaman pada tingkat tiang dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan. 39 Dengan demikian penyiangan memberikan dampak penurunan keanekaragaman spesies secara nyata dari tingkat pancang ke tiang. Pada tipe tutupan lahan yang tidak dikelola oleh masyarakat seperti hutan sekunder dan hutan primer tidak terjadi perbedaan antara keanekaragaman spesies pancang, tiang dan pohon, karena masyarakat tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman spesies. Lahan dibiarkan tumbuh secara alami, sehingga kematian atau hilangnya spesies lebih dipengaruhi oleh faktor alami seperti kompetisi. 5.2. Profil Pemencar Biji 5.2.1. Profil pemencar biji pada berbagai tingkat pertumbuhan Lebih dari 60 spesies pohon yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin dipencarkan oleh satwa, 64 tingkat pancang, 66 tingkat tiang dan 61 tingkat pohon. Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan tropis di Panama yang berkisar antara 72-76 Datta Rawat 2008. Pada tingkat pancang, hutan primer dan hutan sekunder 10 tahun memiliki spesies terbanyak yang dipencarkan oleh satwa, yaitu 30 dan 37 spesies. Hutan sekunder 10 tahun merupakan lokasi yang paling dekat dengan kawasan hutan lindung. Pergerakan satwa yang berperan sebagai pemencar biji dari hutan primer atau menuju hutan primer berpeluang melintasi hutan sekunder 10 tahun tersebut, sehingga biji-biji yang dibawa kemungkinan jatuh dan beregenerasi di sini. Hutan sekunder 13 tahun dan agroforest karet 30 tahun memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa terrendah yaitu 19 dan 13 simpangan baku = 7,2. Kedua lokasi tersebut berada di sekitar pemukiman yang jauh dari hutan primer sekitar 8 km dari hutan primer. Hamparan sawah dan agroforest karet muda telah memisahkan lokasi ini dari hutan primer, sehingga pergerakan satwa pemencar biji tidak dapat mencapai lokasi ini. Tidak adanya pepohonan tinggi pada agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 13 tahun yang jauh dari hutan primer kemungkinan tidak menarik satwa, terutama burung berukuran besar untuk datang ke lokasi tersebut. 40 Agroforest karet 60 tahun, agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer serta agroforest karet sederhana 13 tahun jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies pancang yang dipencarkan oleh satwa hampir sama yaitu secara berturut-turut 22, 23, 24 dan 22. Jumlah spesies tingkat pancang berdasarkan tipe pemencarannya disajikan pada Gambar 14. 10 20 30 40 50 60 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F Ju m lah s p es ie s Tipe tutupan lahan Tida a da da ta Tida k teridentifika si Hydrochory Autochory Anemochory Zoochory Gambar 14. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa jarak dari hutan dan struktur vegetasi berpengaruh terhadap potensi pemencaran biji oleh satwa. Hutan sekunder muda 10 tahun yang berbatasan dengan hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa hampir sama dengan hutan primer. Sedangkan hutan sekunder muda 13 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa relatif rendah. Hal ini merupakan indikasi adanya keterbatasan jarak jangkauan satwa pemencar biji tersebut. Kebun karet muda berumur 4 tahun dan persawahan merupakan penghalang bagi satwa pemencar biji, seperti yang terjadi pada agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan. Kebun karet muda yang baru dibuka dan hamparan persawahan menyebabkan fragmentasi habitat sehingga satwa yang membawa biji dari tempat lain tidak dapat melintasi areal tersebut, akibatnya spesies yang beregenerasi sampai tingkat pancang tergantung pada agen pemencar lainnya misalnya angin. Meskipun jaraknya dari hutan relatif jauh, agroforest karet kompleks 60 tahun memiliki spesies pancang yang disebarkan oleh satwa sama dengan hutan

Dokumen yang terkait

Praktek Nikah Tahlil (Studi Pada Desa Suka Jaya Kecamatan Muko-Muko Bathin Vii, Kabupaten Bungo, Jambi)

2 41 74

Agroforestri ilengi suatu kajian pelestarian dan pemanfaatan jenis pohon (Studi Kasus di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo)

0 4 137

Perencanaan usahatani karet dan kelapa sawit berkelanjutan di DAS batang pelepat kabupaten Bungo provinsi Jambi

0 24 195

Peran Agroforest Karet dalam Pelestarian Spesies Pohon : Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi

0 9 196

Studi Faktor Ekspansi Biomassa dan Massa Karbon Pohon Karet di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku Provinsi Jambi

0 3 40

Studi Potensi Biomassa Dan Massa Karbon Pohon Karet (Hevea Brasiliensis Muell Arg) Di Hutan Karet Rakyat Desa Bungku, Provinsi Jambi

0 2 25

MODEL PENGELOLAAN HUTAN ADAT BERKELANJUTAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DI DESA LUBUK BERINGIN KECAMATAN BATHIN III ULU KABUPATEN BUNGO (SEBAGAI SUMBER BELAJAR PADA MATERI PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM PADA BIDANG STUDI GEOGRAFI DI KELAS XI IPS SMA).

0 0 1

Analisis Lubuk Larangan Sebagai Wisata Ekologi Berbasis Kearifan Lokal Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kebupaten Bungo,Jambi. (Sebagai Pendukung Substansi Materi Pengelolaan Sumber Daya Alam pada Bidang Studi Geografi di Kelas XI SMA).

0 0 3

LPSE Provinsi Jambi BUNGO. BUNGO

0 1 2

PRODUKSI RUANG WISATA DALAM PERSPEKTIF RITME GEOGRAFI DI DESA LUBUK BERINGIN KECAMATAN BATHIN III ULU KABUPATEN BUNGO PROVINSI JAMBI sebagai bahan ajar materiembelajaran kurikulum muatan lokal Lubuk Larangan dan Hutan Desa di Kabupaten Bungo - UNS Institu

0 1 16