BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa menurut WHO adalah usia 12-24 tahun dan belum menikah. Pada masa
remaja, pertumbuhan dan perkembangan terjadi dengan cepat, baik secara anatomis tubuhnya maupun psikis. Kebiasaan yang salah sejak masa remaja akan sulit dirubah
saat dewasa sepeerti pola makan yang tidak sehat, tidur yang tidak baik dan kurang olahraga Roizen, 2012.
Masa remaja merupakan masa transisi antara pengaruh orang tua dan teman sebaya akan menentukan pola makan pada masa dewasa nantinya Young et al,
2004. Remaja mempunyai kebiasaan makan diantara waktu makan berupa jajanan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Makanan mereka umumnya kaya energi yang
berasal dari karbohidrat dan lemak Soetardjo, 2011.
2.2 Pola Makan
Pola makan atau kebiasaan makan adalah cara-cara individu atau kelompok individu dalam memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan yang tersedia
yang didasarkan oleh faktor-faktor sosial dan budaya dimana seseorang hidup Macclany dan Macbeth, 2004. Pola makan adalah berbagai informasi yang memberi
gambaran mengenai jumlah, dan jenis bahan makanan yang dimakan serta susunan makanan dan frekuensi makan Hong, 1985.
Pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai pola makan yang tidak berlebihan porsinya dan terdiri dari jenis
– jenis makanan yang sehat dan beragam. Keberagaman
Universitas Sumatera Utara
jenis makanan yang dikonsumsi bermanfaat untuk mendapatkan kesempurnaan nutrisi
– nutrisi penting bagi tubuh Sutanto, 2013.
2.2.1 Pola Makan Remaja
Pola makan atau kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan
berusia lanjut. Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan pertambahan berat badan. Overweight dan obesitas yang muncul pada usia remaja
cenderung berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan salah satu faktor resiko penyakit degeneratif seperti penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, dan berbagai gangguan kulit. Pola makan yang tidak baik akan berpengaruh terhadap
status gizi remaja terutama status gizi lebih. Mengonsumsi makanan dari restoran makanan cepat saji, terutama yang
menyediakan menu Western Style, semakin sering ditemukan di masyarakat kota- kota besar khususnya para remaja. Selain jumlah restoran-restoran tersebut semakin
banyak di berbagai penjuru kota, menu makanan cepat saji umumnya cepat dalam penyajian Khomsan, 2003
Penelitian Medawati dan Podojoyo 2005 membuktikan kejadian obesitas pada remaja tidak saja dipengaruhi oleh energi, lemak dan karbohidrat saja, tetapi
juga dipengaruhi oleh frekuensi makan di rumah. Frekuensi makan di rumah yang berlebihan juga menyebabkan terjadinya status gizi lebih.
Menurut penelitian Johanes 2013 pola makan berhubungan dengan kejadian overweight tidak hanya dari segi jumlah makanan yang dimakan, melainkan juga
Universitas Sumatera Utara
komposisi makanan dan kualitas diet. Kebiasaan makan remaja sekarang ini telah berubah, yaitu dengan rendahnya konsumsi buah-buahan, sayuran berwarna hijau,
dan meningkatnya konsumsi snacks dan minuman ringan, serta melewatkan sarapan. Penelitian Hudha 2006 tentang hubungan antara pola makan dan aktivitas
fisik terhadap status gizi lebih, menunjukkan bahwa gizi lebih disebabkan karena pola makan yang tergolong kategori baik dan aktivitas fisik yang tergolong aktivitas fisik
ringan sehingga energi yang dikeluarkan tidak sesuai dengan asupan pangan. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama dapat mengakibatkan terjadinya
penumpukan lemak di bawah kulit yang akhirnya terjadi gizi lebih.
2.2.2 Pola Makan yang Kurang Tepat
Pola makan yang kurang tepat juga menjadi faktor yang dapat menimbulkan status gizi lebih. Menurut Purwati 2001 ada beberapa faktor yaitu:
a. Makan berlebihan
Mempunyai nafsu makan merupakan kebiasaan yang buruk, baik dilakukan dirumah, restoran, pertemuan-pertemuan, maupun pesta. Apabila sudah kenyang,
jangan sekali-kali menambah porsi makanan meskipun yang tersedia sangat lezat dan merupakan makanan favorit. Makan berlebihan meningkatkan terjadinya status gizi
lebih. Dalam penelitian Hadi 2004, menyatakan bahwa asupan energi bagi obesitas
lebih tinggi dibandingkan dengan yang non obesitas. Yang menarik ialah bahwa yang obesitas 2-3 kali lebih sering mengkonsumsi fast food. Seseorang yang asupan
energinya tinggi ≥ 2200 kkalhari dan mempunyai waktu menonton TV ≥ 3 jamhari mempunyai risiko menderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang
Universitas Sumatera Utara
yang asupan energi 2200 kkalhari dan waktu menonton TV 3 jamhari. Studi ini menunjukkan adanya interaksi antara gaya hidup sedentarian perilaku hidup kurang
gerak dan diet tinggi kalori.
b. Menghindari Makan Pagi
Makan pagi akan memberikan energi pada saat beraktivitas di siang hari. Sayangnya, karena berbagai alasan seperti tergesa-gesa, ingin kurus dan lain
sebagainya, kegiatan makan pagi banyak ditinggalkan orang. Keadaan ini tentu akan merugikan tubuh karena setelah kurang lebih 12 jam, yakni jarak antara makan
malam dan makan pagi, perut dibiarkan dalam keadaan kosong. Banyak orang yang mengompensasikan makan pagi dengan makan siang yang berlebih atau
mengkonsumsi makanan kecil yang tinggi kalori dan tinggi lemak dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan kondisi ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam
tubuh lebih banyak jika dibandingkan kalau melakukan makan pagi. Penelitian yang dilakukan oleh University of Minnesota selama lima tahun
terhadap 2000 remaja didapatkan fakta bahwa remaja yang melewatkan sarapan pagi mengalami kenaikan berat badan 2,3 kilogram dibandingkan remaja yang menikmati
sarapan. Menurut ketua penelitian Mark Pereira, remaja yang melewatkan sarapan , saat siang akan makan berlebihan dan cenderung tidak aktif setelahnya. Kekenyangan
akan membuat remaja malas beraktivitas Cesilia, 2008.
c. Salah Memilih dan Mengolah Makanan