Keterbatasan Peneliti Pengaruh Ekstrak Daun Iler Terhadap Frekuensi Hinggap Aedes aegypti

63

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Peneliti

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu diantaranya: 1 Penentuan rangkaian konsentrasi uji yang dipakai tidak terstandar, hanya mengikuti rekomendasi dari WHO yang kemudian disesuaikan dengan hasil uji pendahuluan yang didapat. 2 Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi dan tidak dilakukan uji fitokimia dari hasil ekstrak tersebut, sehingga komposisi kandungan metabolit sekunder yang terlarut tidak diketahui apakah semua senyawa yang terlarut memiliki bioaktivitas sebagai repellent. 3 Ekstrak daun Iler yang digunakan masih berupa ekstrak kasar yang rentan terhadap kontaminasi, dan senyawa volatil yang terkandung dalam ekstrak tersebut berisiko untuk menguap lebih cepat, sehingga kinerja dari ekstrak daun Iler berkurang ketika uji efikasi dilakukan. 4 Faktor yang berpengaruh terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler sebagai repellent yang diukur pada penelitian ini hanya faktor konsentrasi dan interval waktu uji. Sementara faktor-faktor berpengaruh lain seperti faktor lingkungan, subjek uji, serangga target tidak dilakukan. 64

6.2 Pengaruh Ekstrak Daun Iler Terhadap Frekuensi Hinggap Aedes aegypti

Hasil pengamatan terhadap frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji sebagai akibat dari aplikasi 5 variasi konsentrasi ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth didapatkan starting point efikasi jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada jam ke-0 yang berbeda. Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa pada kelompok kontrol 0 berupa aquades, didapatkan rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji sebesar 82,9. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada efek penolakan yang diberikan karena masih cukup banyak didapatkannya jumlah Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji. Pengaruh ekstrak daun Iler dalam menolak Aedes aegypti untuk hinggap pada lengan subjek uji mulai terlihat pada konsentrasi 20, dimana rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap mengalami penurunan, yaitu mencapai 60,7 tabel 5.2. Efek penolakan ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth terhadap Aedes aegypti terus mengalami peningkatan searah dengan peningkatan konsentrasi ekstrak yang digunakan. Hal tersebut terlihat dari rata-rata jumlah Aedes aegypti yang hinggap dikelompok perlakuan ekstrak daun Iler pada konsentrasi 40, 60, dan 100, yaitu masing-masing sebesar 55,4, 49,7, dan 40,7 tabel 5.3 hingga 5.5. Adanya perbedaan starting point efikasi dibeberapa replikasi kelompok perlakuan tabel 5.2 hingga 5.5 diindikasikan terjadi karena adanya perbedaan komposisi senyawa metabolit sekunder volatil yang terkandung dalam masing- masing konsentrasi ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth. 65 Hal tersebut didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Ridwan 2010 dan Shinta 2010 yang menyatakan bahwa pada konsentrasi tertinggi ekstrak yang digunakan pada uji efikasi cenderung memiliki proporsi senyawa aktif repellent yang lebih besar dibanding dengan konsentrasi ekstrak yang lebih rendah. Dengan begitu, besarnya konsentrasi ekstrak mempengaruhi besarnya nilai daya proteksi dari ekstrak daun Iler terhadap Aedes aegypti. Ketidakstabilan suhu dan kelembaban ruangan uji untuk setiap peningkatan periode waktu uji, seperti yang diamati terjadi di setiap awal pengujian, juga diperkirakan mempengaruhi variasi frekuensi hinggap Aedes aegypti pada lengan subjek uji. Hal tersebut terjadi karena suhu dan kelembaban berkaitan dengan proses metabolisme dan keadaan oviparitas yang menjadi penentu keaktifan nyamuk dalam mendeteksi host untuk menggigit atau mengkonsumsi darah Reiter, 2001; Depkes RI, 2007. 6.3 Pengaruh Variasi Konsentrasi dan Interval Waktu Pengujian Terhadap Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Berpotensi atau tidaknya suatu sediaan tanaman dalam memberikan perlindungan terhadap nyamuk direpresentasikan dengan besarnya persentase daya proteksi yang diberikan selama beberapa interval waktu tertentu . Hasil pengkoreksian daya proteksi ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth terhadap Aedes aegypti menggunakan rumus abbot didapatkan adanya perbedaan daya proteksi yang terjadi 66 pada interval pengujian jam ke-0 hingga ke-6, seperti yang ditunjukkan dari hasil analisis Anova dan Kruskal-Wallis p 0,05 lampiran 3. Meskipun didapatkan perbedaan daya proteksi ekstrak daun Iler di tujuh interval waktu uji, namun diketahui bahwa perbedaan terbesar terlihat pada interval pengujian jam ke-0 p = 0,005 dan jam ke-1 p = 0,005. Senyawa metabolit sekunder volatil yang terkandung dalam ekstrak daun Iler bekerja dalam fase uap, dan umumnya efektif bekerja sebagai repellent segera setelah pengaplikasian Kalita, 2013. Dengan begitu, uap atau molekul bau yang dihasilkan oleh variasi konsentrasi ekstrak daun Iler dengan proporsi yang berbeda itulah yang menyebabkan perbedaan daya proteksi yang cukup besar pada kedua periode waktu uji tersebut. Analisa probit terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler juga dilakukan untuk mengetahui konsentrasi ekstrak yang mampu memberikan efek penolakan repellent optimum sebesar 50 jumlah Aedes aegypti yang dilihat dari nilai EC 50 . Berdasarkan analisis regresi terhadap probit yang didapat, diketahui adanya hubungan antara log 10 konsentrasi ekstrak daun Iler dengan probit p = 0,02, dimana nilai EC 50 yang didapat sebesar 100 antilog 2. Nilai EC 50 yang relatif besar tersebut menandakan cenderung rendahnya aktivitas repellent ekstrak daun Iler karena kecilnya proporsi kandungan senyawa metabolit sekunder yang bertanggung jawab terhadap aktivitas repellent dalam ekstrak tersebut. Rendah atau tingginya proporsi kandung metabolit sekunder tanaman yang bekerja sebgai repellent salah satunya dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan, 67 serta metode ekstraksi yang diaplikasikan Ridwan 2010. Efek tersebut terlihat pada tabel 5.2 hingga 5.5, dimana daya kerja ekstrak daun Iler dalam memberikan perlindungan terhadap Aedes aegypti berlangsung singkat, yang ditandai dengan efficacy failure yang cenderung terjadi segera setelah pemaparan pada jam ke-0 pada semua kelompok perlakuan. Spesifikasi mekanisme kerja senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam ekstrak tanaman sebagai repellent hingga saat ini masih dalam proses studi, namun secara umum kinerjanya dikaitkan dengan indera penciuman nyamuk. Sifat dari senyawa metabolit tanaman yang mudah menguap di lingkungan bebas, dimanfaatkan sebagai chemical messengers bagi serangga dan hewan lainya sebagai sinyal dalam durasi singkat yang memberikan peringatan pada feromon serangga Kalita, 2013. Bau khas dari metabolit sekunder ekstrak daun Iler akan masuk secara ekstraseluler dan kemudian ditangkap oleh kemoreseptor pada sensilla yang terletak di antenna nyamuk. Molekul bau tersebut selanjutnya akan berikatan dengan OBPs odorant-binding proteins, dan kemudian akan dibawa oleh OBPs melewati cairan lymph getah bening di sensilla menuju ORNs olfactory receptor neurons Paluch, 2009. Selain membawa molekul bau, OBPs juga berfungsi melarutkan molekul bau tersebut serta menyeleksi molekul bau untuk diterima pada ORs olfactory receptors tertentu Austin, 2011. Molekul bau selanjutnya berinteraksi dengan G-protein-coupled receptors ekstraseluler pada ORs yang terletak di dendrit ORNs spesifik; dimana secara bergantian G-protein-coupled receptors intraseluler aktif dan menyebabkan 68 perubahan konformasi G-protein Paluch, 2009. Hal tersebut menyebabkan terjadinya depolarisasi saraf yang akan memicu terjadinya transmisi implus elektrik ke lobus antena nyamuk untuk memunculkan respon penolakan atau memblok indera penciuman nyamuk yang akhirnya bertindak sebagai pengahalang kinerja nyamuk untuk mengenali mangsanya Paluch, 2009; Kalita, 2013. Jacquin-Joly dan Merlin 2004 dalam Austin 2011 menyatakan bahwa molekul bau yang berikatan dengan OBPs tidak selamanya beredar dalam pembuluh limfe nyamuk karena akan didegradasi oleh enzim yang dikenal dengan ODEs odor- degrading enzymes, dengan kecepatan degradasi tergantung dari molekul yang berikatan dengan OBP tersebut. ODEs berfungsi sebagai regulator, terutama jika molekul bau yang berikatan dengan OBPs berlebihan Austin, 2011. Diketahui dari hasil uji korelasi Pearson bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar senyawa metabolit sekunder dengan bioaktivitas repellent yang erat kaitannya dengan besar konsentrasi ekstrak r = 0,501, dan lamanya interval waktu pengujian r = - 0,780 terhadap daya proteksi ekstrak daun Iler. Sementara itu, didapatkan koefisien determinasi R square sebesar 85,9 yang menjelaskan cukup besarnya pengaruh yang diberikan oleh konsentrasi ekstrak dan interval waktu pengujian terhadap daya proteksi atau potensi ekstrak daun Iler sebagai plant-based repellent terhadap Aedes aegypti. Senyawa metabolit sekunder golongan monoterpen seperti eugenol, kamfor dan timol yang diketahui terkandung dalam daun Iler merupakan komponen umum dalam tumbuhan yang menimbulkan efek repellent terhadap nyamuk Kalita, 2013. 69 Sebagian dari senyawa monoterpen tersebut diketahui bersifat sitotoksik terhadap jaringan hewan, menyebabkan penurunan jumlah mitokondria dan badan golgi; menyebabkan terganggunya sistem pernafasan dan permeabilitas membran sel Kalita, 2013. Efek sitotoksik dari senyawa monoterpen tersebut terbukti dengan ditemukannya sejumlah Aedes aegypti yang mati saat uji efikasi berlangsung. Mortalitas Aedes aegypti mulai terjadi pada kelompok perlakuan ekstrak daun Iler dengan konsentrasi 40, konsentrasi 60, dan konsentrasi 100 setelah kontak antara ekstrak tersebut dengan Aedes aegypti berlangsung selama periode 1 jam pengujian. Eugenol merupakan senyawa yang mudah larut dalam pelarut organik, dan memiliki aroma yang menyegarkan dan pedas. Diketahui bahwa kandungan eugenol pada konsentrasi 10 yang dimanfaatkan sebagai insektisida dapat menyebabkan gangguan pada non-target untuk menghasilkan keturunan Austin, 2011. Bariyah 2010 dalam Austin 2011 menyatakan bahwa selain memiliki aktivitas sebagai antiseptik, eugenol juga memiliki aktivitas repellent terhadap gangguan nyamuk, meskipun mekanisme kerja dari senyawa tersebut belum diketahui secara pasti. Tinjauan yang dilakukan oleh Rattan 2010 dalam Gosh 2012 terkait efek kerja senyawa timol diketahui dapat menyebabkan gangguan fisiologis pada serangga. Gangguan fisiologis tersebut berupa terjadinya penghambatan kerja enzim asetilkolinestrase, penghambatan reseptor GABA Gamma-Aminobutyric Acid terkait pembukaan saluran ion klorida ke dalam sel, pemblokan reseptor octopamine, 70 serta gangguan pada proses molekuler seperti morfogenesis, serta perubahan perilaku dan memori pada syaraf cholinergic nyamuk. Penelitian yang dilakukan oleh Rasikari 2007 terhadap daun Iler dan beberapa spesies dari genus Plectranthus lainnya, didapatkan kuantitas kandungan metabolit polar berupa rosmarinic acid dan turunan abietane yang signifikan. Senyawa metabolit tersebut dilaporkan memiliki efek non-toksik hingga sangat toksis terhadap T. urticae Rasikari, 2007. Senyawa Rosmarinic acid diketahui memiliki aktivitas repellent terhadap serangga Shiga, 2008, sedangkan turunan abietane diketahui memiliki aktivitas antibakteri dan insect anti-feedant Wellsow, 2005. 6.4 Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Potensi Daun Iler Sebagai Plant- based Repellent Terhadap Aedes aegypti Berdasarkan nilai koefisien determinasi R square yang didapat dari uji regresi, diketahui bahwa sebesar 14,1 nilai potensi atau daya proteksi ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth sebagai repellent dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain konsentrasi ekstrak uji dan interval waktu pengujian. Menurut Suwasono 2006, faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor ekstraksi, jenis dan jumlah serangga target, serta karakteristik fisik individu atau subjek uji. Faktor-faktor lingkungan yang turut mempengaruhi potensi atau nilai daya proteksi ekstrak daun Iler adalah temperatur dan kelembaban sebelum dan saat pengujian berlangsung Rasikari, 2007. Achmadi 2011 menyatakan bahwa dengan meningkatnya suhu dan kelembaban di lingkungan sekitar, menyebabkan lebih 71 mudahnya nyamuk untuk mendekati host. Kelembaban dan suhu juga berkaitan erat dengan kecepatan laju penguapan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak daun Iler yang bekerja sebagai repellent Rasikari, 2007. Faktor jumlah serangga yang digunakan dalam uji efikasi juga turut mempengaruhi potensi ekstrak sebagai repellent. Hal tersebut terjadi karena berkaitan dengan kemampuan serangga tersebut untuk memberikan respon terhadap senyawa kimia yang diterimanya Rasikari, 2007. Pemilihan jenis serangga juga berpengaruh terhadap potensi suatu repellent, salah satunya adalah karena pernyataan Schoonhoven 1977 dalam Rasikari 2007 yaitu menjelaskan bahwa selain dilengkapi dengan olfactory receptors di antena, ada beberapa jenis nyamuk yang ditemukan memiliki gustatory receptors GRs atau kemoreseptor kontak yang terletak di bagian mulut labella nyamuk yang bekerja sebagai feeding deterrence. Dengan begitu, meskipun terdapat enzim penghambat ODEs pada olfaktori Aedes aegypti yang menghentikan sinyal bau dari metabolit sekunder ekstrak, menyebabkan mulai ditemukannya kembali Aedes aegypti yang hinggap pada lengan subjek uji; namun dengan adanya senyawa metabolit sekunder bervolatil rendah yang terkandung dalam ekstrak daun Iler, yang kemudian akan berinteraksi dengan gustatory receptors GRs atau kemoreseptor kontak nyamuk, maka respon nyamuk berupa gigitan pun berkurang karena aktivitas senyawa volatil rendah tadi yang bekerja sebagai repellent kontak feeding deterrence Dickens et al, 2013. Faktor lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap efektifitas suatu repellent adalah karakteristik host atau subjek uji. Telah diketahui bahwa setiap orang memiliki 72 daya tarik yang berbeda terhadap nyamuk karena adanya variasi suhu, kelembaban tubuh, dan lemak di lapisan kulit Carrol, 2007. Hal tersebut tentunya juga akan mempengaruhi efektifitas kerja repellent dalam melindungi host dari deteksi sistem olfaktori nyamuk, mengingat tidak semua ORNs maupun ORs nyamuk yang sensitif terhadap senyawa yang bekerja sebagai repellent yang sama. Karakteristik host atau subjek uji yang juga berpengaruh terhadap daya proteksi repellent adalah kandungan mikroba pada kulit, kemampuan absorpsi kulit, dan produksi keringat Stajkovic Dan Milutinovic, 2013. Kandungan mikroorganisme pada kulit manusia berkaitan dengan intensitas bau, serta komposisi kimia yang dilepaskan oleh manusia dalam molekul bau yang nantinya akan dideteksi oleh nyamuk sebagai sensor untuk mendekati host-nya Verhulst, 2010; Achmadi, 2011. Menurut Shelley et al 1953 dalam Verhulst 2010, pada dasarnya keringat manusia tidak berbau, namun dengan adanya inkubasi dari bakteri pada kulit-lah yang menyebabkan keringat menimbulkan bau yang khas dan bertindak sebagai kairomon atau atraktan bagi nyamuk. Kandungan mikroorganisme tersebut berbeda pada setiap individu, sehingga reaksi nyamuk juga bervariasi terhadap individu yang berbeda. Reaksi berupa mendekat atau menjauh dari host yang diberikan oleh nyamuk lebih banyak disebabkan oleh senyawa volatil yang berasal dari aktivitas bakteri dalam kulit host tersebut. Hal tersebut diperkuat oleh de Jong dan Knol 1995 dalam Verhulst 2010, dimana ketika membasuh kaki dengan sabun anti-bakteri terbukti secara signifikan mengurangi daerah gigitan An. gambiae betina pada subjek uji. 73 Selain itu, variasi kinerja repellent yang terjadi antar individu juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan absorpsi kulit individu tersebut terhadap komponen aktif repellent yang digunakan Carrol, 2007. Terdapat lapisan penghalang yang secara natural terdapat dalam kulit yang menghalangi terjadinya absorpsi suatu senyawa. Namun, Williams 1991 dalam Uzor 2011 menyatakan bahwa senyawa golongan terpen seperti carvone, cineol, geraniol, timol, eugenol, rosmarinic acid, karvakol, dan kamfor memiliki kemampuan penetrasi ke dalam kulit yang cukup baik dengan tingkat iritan dan toksisitas sistemik yang rendah, seperti yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika FDA. Oleh karena itu, jika senyawa timol, eugenol, camphor, karvakol, dan rosmarinic acid yang terkandung dalam ekstrak daun Iler yang diaplikasi pada lengan uji menguap lebih cepat daripada diabsorp oleh kulit, maka proteksi yang diberikan oleh ekstrak tersebut sebagai repellent akan optimal Stajkovic dan Milutinovic, 2013. Namun, jika senyawa tersebut diserap terlebih dulu oleh kulit, maka konsentrasi molekul bau yang dihasilkan dari senyawa tersebut akan berkurang, menyebabkan daya proteksi yang diberikan oleh ekstrak daun Iler terhadap nyamuk pun kurang optimal Stajkovic dan Milutinovic, 2013. Penurunan daya proteksi ekstrak daun Iler terjadi karena menurut Todd et al 1992 dalam Qiu dan van Loon 2010 respon ORNs nyamuk terhadap molekul bau bergantung pada konsentrasi molekul bau tersebut. Lebih lanjut Hallem et al 2004 dalam Qiu dan van Loon 2010 menjelaskan bahwa ORs nyamuk lebih banyak teraktivasi jika kontak dengan molekul bau dengan konsentrasi yang tinggi. 74 Rendahnya konsentrasi molekul bau ekstrak daun Iler yang bersifat sebagai alomon repellent terhadap nyamuk sebagai akibat dari adanya absorpsi ekstrak oleh kulit memiliki kemungkinan untuk mengalami netralisasi. Hal tersebut menurut Verhulst 2010 dapat terjadi karena adanya senyawa kairomon atraktan bagi nyamuk dengan konsentrasi molekul bau yang lebih besar yang dihasilkan oleh bakteri pada kulit subjek uji yang menghalangi efek repellent dari ekstrak daun Iler. Penggunaan alkohol atau etanol sebagai pengencer dalam pembuatan konsentrasi uji ekstrak daun iler dalam format spray ternyata juga turut mempengaruhi efektifitas ekstrak tersebut sebagai repellent. Penelitian yang dilakukan oleh Pates 2002 dalam Qiu dan van Loon 2010 menunjukkan bahwa mencuci kulit dengan etanol merupakan salah satu atraktan nyamuk yang sangat kuat Pates 2002. Selain itu, Shirai et al 2002 dalam Bernier et al 2006 melaporkan bahwa frekuensi hinggap Aedes albopictus meningkat setelah konsumsi minuman yang mengandung etanol. Alkohol juga diketahui dapat memperbesar ukuran pori-pori manusia Rinzler, 2013, menyebabkan lebih mudahnya absorpsi suatu senyawa ke dalam kulit. Hal tersebut selanjutnya berimbas kepada kadar konsentrasi molekul bau dari ekstrak daun Iler yang dilepaskan. Pori-pori yang membesar juga mendorong terjadinya produksi keringat dalam jumlah yang besar dibanding dengan keadaan normal Rinzler, 2013. Terjadinya kontak antara repellent dengan keringat akan mengurangi durasi proteksi, karena konsentrasi dari repellent yang diaplikasi akan berkurang Carrol, 2007. 75 6.5 Potensi Daun Iler Sebagai Plant-based Repellent Terhadap Aedes aegypti Dalam Penerapan Integrated Mosquito Management Mengacu pada standar efektifitas repellent yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia, dimana suatu repellent dikategorikan efektif jika daya proteksi yang diberikan mencapai lebih dari 90 selama tujuh interval waktu uji 6 jam pemakaian; maka ekstrak daun Iler Coleus scutellarioides Linn. Benth belum termasuk ke dalam sediaan atau produk repellent yang berpotensi untuk digunakan atau dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan daya proteksi tertinggi dari ekstrak daun Iler berdasarkan uji efikasi hanya mencapai 50,53 pada konsentrasi 100 selama 6 jam. Pada beberapa penelitian uji efikasi ekstrak tanaman sebagai plant-based repellent terhadap nyamuk juga menunjukkan hal serupa, yaitu masih belum ditemukannya ekstrak tanaman yang telah memenuhi standar efektifitas yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia. Pada penelitian Shinta 2010 terhadap bunga Kenanga, daun Babadotan, daun Nilam, daun Rosemary, didapatkan daya proteksi ekstrak botani tersebut terhadap Aedes aegypti berturut-turut sebesar 97,4; 97,2; 97,6; dan 96,2 selama 3 jam. Penelitian lain yang dilakukan oleh Korneliani 2011 terhadap kulit Jeruk keprok dan Jeruk nipis didapatkan daya proteksi yang diberikan terhadap Aedes aegypti mencapai 55,33 dan 57,64 selama 6 jam. Begitu juga dalam tinjauan yang dilakukan oleh Maia dan Moore 2011, dimana ekstrak daun Mimba hanya memberikan proteksi sebesar 76 selama 2 jam. 76 Meskipun sulit untuk mendapatkan daya proteksi optimal dari ekstrak botani seperti yang ditetapkan oleh Komisi Pestisida Indonesia, namun terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk untuk meningkatkan daya proteksi atau memperlama durasi waktu kerja dari ekstrak tersebut sebagai repellent. Menurut Trongtokit et al 2005 dan Maji et al 2007 dalam Kalita 2013, salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi volatilitas atau penguapan senyawa metabolit sekunder dengan bioaktivitas repellent yang terkandung dalam suatu ekstrak tanaman dan kemampuan kulit manusia untuk mengabsorpsi senyawa tersebut adalah dengan mengembangkannya menjadi suatu formulasi atau menambahkan fixative additives seperti vanillin. Fixative merupakan perekat yang berfungsi mempertahankan struktur cairan kimia dan sebagai penetral karena terdapat pH yang berfungsi mengurangi efek iritasi pada kulit Kalita, 2013. Dengan penambahan perekat tersebut, maka senyawa aktif dalam ekstrak daun Iler akan dapat bertahan pada kulit dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga derajat efektifitas dan nilai ekonomis dari ekstrak tanaman tersebut sebagai plant-based repellent akan semakin meningkat Kalita, 2013. Belum didapatkannya plant-based repellent yang memenuhi standar Komisi Pestisida Indonesia tahun 2012 disebabkan karena pada dasarnya acuan atau standar efektifitas sediaan repellent tersebut ditujukan untuk repellent sintetis berbahan DEET, yang memang diketahui memberikan perlindungan paling baik dengan durasi 77 yang lebih lama 6-8 jam terhadap beberapa spesies serangga karena memiliki struktur komponen kimia yang tidak mudah rusak Korneliani, 2012. Oleh sebab itu, perlu adanya perumusan sebuah standar baru yang ditujukan untuk repellent dengan bahan aktif berupa metabolit sekunder tanaman. Tjajani 2008 dalam Korneliani 2011 menyatakan terdapat perbedaan standar yang ditetapkan di Indonesia dengan standar yang di tetapkan di Kanada terkait efektifitas penggunaan suatu repellent, dimana sediaan repellent dapat didaftarkan jika zat atau sediaan bahan tersebut memberikan daya proteksi mencapai lebih dari 95 selama minimal 30 menit. Meskipun telah diketahui memiliki efek kerja yang cenderung lebih singkat dibanding DEET, pengujian terhadap banyak jenis tanaman sebagai sumber botani penolak serangga hingga kini masih terus dilakukan Korneliani, 2012, mengingat telah dilaporkannya efek toksik ringan hingga berat pada manusia seperti iritasi pada membran mucus setelah penggunaan senyawa DEET dalam repellent Taylor, 2009. Ditambah dengan adanya penelitian yang menunjukkan adanya resistensi yang terjadi pada Aedes aegypti karena pemakaian repellent sintetik berbahan aktif DEET Stanczyk, 2011 Pemanfaatan senyawa metabolit sekunder dari ekstrak daun Iler atau botani lainnya sebagai plant-based repellent merupakan salah satu upaya alternatif yang dapat dilakukan dalam pengendalian nyamuk. Dengan begitu, tujuan berupa minimalisasi kontak antara manusia dengan nyamuk sebagai vektor penyakit pun dapat t.erlaksana. Upaya alternatif tersebut terus ditekankan pelaksanaannya sebagai 78 bagian integral dari Integrated Mosquito Management IMM Gosh, 2012, dimana dalam pelaksanaan strategi pengendalian vektor tersebut sangat diperhatikan azas keamanan, efektifitas, dan rasionalitas PerMenKes No. 374 tahun 2012. Terdapat beberapa pendekatan dalam pelaksanaan IMM, dan dari sekian banyak pendekatan tersebut penggunaan Mosquitocide memiliki tingkat keberhasilan pengendalian yang paling besar Gosh, 2012. Salah satu Mosquitocide yang dianggap efektif sekaligus efisien untuk diterapkan adalah berupa aplikasi personal protection seperti repellent. Repellent telah diakui oleh WHO sebagai alat yang berguna dalam upaya pencegahan penyakit sebagai pelengkap dari metode pengendalian vektor dengan pendekatan Mosquitocide Maia dan Moore, 2011. Peranan penting repellent kemungkinan akan terus meningkat sebagai salah satu upaya pengendalian spesies nyamuk, dan pemanfaatan senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang berlimpah ruah di alam dapat memainkan peranan luas dalam penerapan teknologi repellent yang berkelanjutan dan ramah lingkungan green and sustainable technology Khater, 2012; Kalita, 2013. Potensi tersebut tentunya didukung dengan adanya fakta bahwa di abad 21 ini, penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk mosquito borne diseases banyak diderita oleh populasi manusia di seluruh dunia Kalita, 2013. 79

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN