12
Ketiga penelitian di atas sejauh yang diketahui baik mengenai judul maupun permasalahan tidak ada kesamaan dengan penelitian ini karena penelitian ini lebih
memfokuskan pada pembiayaan dengan prinsip Al Istishna pada Bank Syari’ah.
Dengan demikian penelitian tentang “Akad Pembiayaan Istishna Pada PT Bank
Rakyat Indonesia Syari’ah Cabang Binjai”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu,
penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian
yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori
merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika flow of reasoning logic, terdiri dari
seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.
12
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara
hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang
12
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm.194.
Universitas Sumatera Utara
13
tersusun sistematis, logis rasional, empiris kenyataannya, juga simbolis.
13
Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah: “...pendapat,
cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.”
14
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah
seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial
bagi keseluruhan teori yang lebih umum.”
15
“Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian,
karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”.
16
Jadi kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perbankan
syari’ah, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian
ini.
17
Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan
berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu mengenai perjanjian pembiayaan istishna
pada lembaga perbankan syariah yang dalam hal ini didasarkan pada ketentuan Alqur’an dan Hadits serta ketentuan
13
HR.Otje Salman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.21.
14
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm.1055.
15
HR.Otje Salman S dan Anton F Sisanto,Op.Cit,hlm 22
16
J.Supranto, Op.Cit,, hlm.192-193.
17
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
14
Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 06DSN- MUIIV2000. Dengan demikian, kerangka teori yang dijadikan sebagai pisau analisis
dalam penelitian ini bila dikaitkan dengan pemberian pembiayaan oleh bank syariah kepada penerima pembiayaan, merupakan kebijakan perbankan sebagai konsekuensi
semakin tingginya berkembangnya lembaga perbankan syariah di Indonesia. Berkembang perbankan syariah di Indonesia adalah didasarkan pada
ketentuan syariat Islam yang mengatur berbagai sisi kehidupan masyarakat muslim termasuk di bidang perekonomian dan perbankan. Tujuan utama Syari’at diturunkan
adalah untuk kemaslahatan kebaikan dan mencegah kemafsadatan kerusakan, syari’at menetapkan ada lima kebutuhan pokok manusia yang harus dilindungi oleh
hukum, yaitu;
18
agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan, sehingga Allah SWT menjadikan
risalah Nabi
Muhammad SAW
sebagai rahmatan
lil alamiin
sebagaimana tercermin dalam surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya; “Tidaklah kami mengutus engkau, kecuali menjadi rahmat bagi seru sekalian alam”.
Dengan demikian, dapat dipahami Bank Syariah adalah “Bank yang penentuan harga produknya berdasarkan perjanjian yang berlandaskan aturan hukum
Islam antara bank dan pihak lain nasabahnya untuk menyimpan dana atau penyaluran dana pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya.
19
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.
20
Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan
suatu perbuatan
yang sengaja
dibuat oleh
dua orang
atau lebih
berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan kata lain akad adalah perikatan
18
Daud Rosyid, Indahnya Syari’at Islam, Usamah Press, Jakarta, 2003, hlm 35.
19
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.24.
20
J.C.T Simorangkir et.al., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1997, hlm.6.
Universitas Sumatera Utara
15
antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak.
21
Dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 1, Allah SWT. berfirman yang menyatakan ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”
22
Ahli pentafsir Al-Quran menjelaskan, bahwa makna aqad dalam firman Allah SWT.
tersebut diatas
adalah “Aqad
perjanjian mencakup
janji prasetia
hamba kepada Allah, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan
sesamanya.”
23
Berdasarkan firman Allah SWT. tersebut di atas, syariat Islam menetapkan, bahwa setiap manusia diminta untuk memenuhi aqadnya atau janjinya. Istilah al-
aqdu, atau yang dalam literatur Indonesia dikenal dengan istilah aqad, makna dan esensi dasarnya dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata.
”Istilah verbintenis yang dalam bahasa Belanda berarti mengadakan perjanjian.”
24
Sedangkan istilah aqad menurut Atabik Ali dan A.Zuhdi Muhdlor dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu: “...dari akar kata
`aqada, yang berarti mengikat, menyimpulkan, dan menggabungkan.”
25
Kemudian kata `aqada sebagai kata kerja berubah menjadi kata benda, dan disebut dengan lafal
al-aqdu. “al `aqdu artinya adalah persepakatan, perjanjian, atau kontrak.”
26
Selanjutnya para ahli fiqh memberikan rumusan pengertian aqad sebagai berikut ”Para ahli hukum Islam jumhur ulama memberikan defenisi akad sebagai
21
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Fiqh Muamalat, Cetakan Pertama Edisi Kedua , Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, hlm. 28.
22
Al-Quran Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Quran, Jakarta, 1971, hlm.156.
23
Ibid.
24
Yan Pramadya Puspa, Op.Cit, hlm.861.
25
Atabik Ali dan A.Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia , Multi Karya Grafika, Jogyakarta, 1998, hlm.1305.
26
Ibid. hlm.1306.
Universitas Sumatera Utara
16
pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara` yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.”
27
Pengertian akad atau perjanjian menjelskan bahwa dalam hukum perikatan Islam titik tolak yang menjadi essensi dasar terjadinya suatu perikatan adalah adanya
unsur ikrar ijab dan kabul dalam setiap transaksi. Karena apabila dua janji antara para pihak telah disepakati, kemudian dilanjutkan dengan ikrar ijab dan kabul, maka
terjadilah aqdu perikatan. Berdasarkan essensi dasar ini, maka dapat dilihat, bahwa kesepakatan kedua belah pihak yang ada dalam ijab dan kabul adalah menjadi syarat
utama sahnya suatu perjanjian. Selanjutnya akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan
atau simpulan baik ikatan yang nampak hissyy maupun tidak nampak ma’nawy. Kamus Al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau
kontrak dan perjanjian.
28
M. Hasballah Thaib mengatakan secara terminologi fiqh akad didefinisikan dengan pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul
pernyataan perimaan ikatan sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.
29
Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak
atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya.
30
Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan.
31
27
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.45-46.
28
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian Akad dalam Hukum Kontrak Syari’ah, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1. Juli 2009. Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub. al-
Qamus al-Muhit, jilid 1. Beirut : D Jayl, hlm. 327.
29
M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad Kontrak dalam Fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syari’ah, PPS, USU, Medan, 2005, hlm. 1.
30
Ibid.
31
Ibid
Universitas Sumatera Utara
17
Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
akibat-akibat hukum. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.
32
Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai
pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syara’ yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya.
33
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan
kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih melalui ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat
untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut. Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu Hukum,
terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah ”Hukum Perikatan” untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur
transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah ”Hukum Perutangan”, ”Hukum Perjanjian” ataupun ”Hukum Kontrak”. Masing-masing istilah tersebut
mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya.
34
Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang
berupa suatu peristiwa tuntut-menuntut.
35
32
Ahmad Azhar Basyir, Azas-azas Hukum Muamalah, UII Press, Yogyakarta, 2004 hlm. 34.
33
Syamsul Anwar, Kontrak dalam Islam, makalah disampaikan pada Pelatihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Di Pengadilan Agama. Kerjasama Mahkamah Agung RI Dan Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2006 hlm.7.
34
Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 1.
35
Bandingkan dengan pengertian perikatan menurut Subekti yaitu, suatu pehubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,berdasarkan atas pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, lihat Subekti Hukum
Perjanjian. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm.1.
Universitas Sumatera Utara
18
Lebih lanjut M. Hasballah Thaib mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya aqad harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak yang artinya bahwa seluruh
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan hukum syara’ dan akibat dari aqad tersebut terjadi perpindahan
kepemilikan dar suatu pihak yang yang melakukan hijab kepada pihak lain yang menyatakan qabul.
36
Hasballah Thaib merumuskan, bahwa ada 8 syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad yang dilakukan oleh para pihak. Adapun syarat – umum suatu akad
itu ialah : 1 Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum
mukallaf. 2 Obyek akad itu diakui oleh syara`.
3 Akad itu tidak dilarang oleh nash ayat atau hadis syara’. 4 Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan
akad itu. 5 Akad itu bermanfaat.
6 Pernyataan ijab tetap utuh sampai terjadinya kabul. 7 Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
8 Tujuan akad itu harus jelas diakui oleh syara`.
37
Sedangkan Gemala Dewi dkk dalam bukunya menyimpulkan, bahwa ada tiga unsur pokok yang harus ada dalam suatu aqad atau perjanjian yaitu:
38
a Pertalian ijab dan qabul. b Dibenarkan oleh syara`.
c Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. Dari pengertian dan penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam melaksanakan
aqad tersebut tidak terlepas dari adanya rukun aqad yang terdiri atas 1 Pernyataan
36
M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm.1.
37
Ibid. hlm.11-12.
38
Gemala Dewi,dkk, Op.cit. hlm.48.
Universitas Sumatera Utara
19
untuk mengikatkan diri sighat al ‘aqad, 2 Pihak-pihak yang beraqad al- muta’aqidain dan 3 Objek aqad al-ma’qud ‘alaihi.
39
Sighat al ‘aqad merupakan rukun akad yang terpenting dan paling esensial, karena melalui pernyataan inilah
diketahui suatu maksud setiap pihak melakukan akad yang diwujudkan melalui ijab kabul.
Selanjutnya apabila
dikaitkan dengan
pembiayaan yang
dijalankan oleh Bank Syariah dapat diketahui bahwa akad pembiayaan tersebut termasuk dalam
bentuk kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Sesuai dengan sifatnya berdasarkan Syariah, maka produk-
produk Bank Syariah tidak sama dengan produk-produk Bank Konvesional, walaupun beberapa produk harus diakui mengadopsi produk bank konvensional yang
dicari landasan hukumnya dalam sumber hukum Islam. Sedangkan penentuan biaya-biaya jasa bank lainnya bagi bank yang
berdasarkan prinsip syari’ah juga sesuai dengan syari’ah Islam. Sumber penentuan harga atau pelaksanaan kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah juga sesuai dengan
prinsip syariah dasar hukumnya adalah Alquran, dan Sunnah Rasul. Bank berdasarkan prinsip syari’ah bunga adalah Riba.
40
39
Ibid. hlm 2.
40
Mandala Manurung dan Prathama Rahardja, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter Kajian Kontekstual Indonesia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta,
2004, hlm 24.
Universitas Sumatera Utara
20
Mandala Manurung dan Prathama Rahardja mengemukakan bahwa terdapat tiga prinsip pokok perbankan syariah yaitu:
1. Orientasi Produktivitas Beberapa aspek yang tercakup dalam prinsip ini adalah:
a Modal dan sumber daya dikerahkan untuk produksi dan distribusi yang menghasilkan kesejahteraan.
b Tidak diperkaankan adanya modal dan sumber daya yang tidak terpakai; Dari aspek-aspek di atas dapat dikatakan bahwa lembaga keuangan syariah
sekalipun berorientasi kesejahteraan, namun tidak mempermasalahkan motivasi memperoleh laba.
2. Keadilan. Dalam rangka keadilan, maka penerapan bunga diharamkan. Sedangkan
investasi dilakukan dengan prinsip berbagi resiko. Kesucian dari kontrakakad harus terjaga, dimana transparansi dan keterbukaan antara kedua belah pihak
sangat penting untuk mengurangi resiko akibat informasi yang tidak sama dan kecurangan–kecurangan moral hazard.
3. Investasi yang halal. Tidak diperbolehkan melakukan investasi disektor-sektor yang diharamkam
seperti : minuman keras, perjudian, pelacuran, dan lain-lain juga tidak diperbolehkan investasi untuk kegiatan spekulasi.
41
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa seperti halnya pada bank Konvensional,
bank syari’ah
dalam menjalankan
operasionalnya juga
melakukan berbagai
bidang usaha
berdasarkan prinsip
syari’ah. Demikian
juga dalam
menyalurkan dana
kepada masyarakat
yang dilakukan
dalam bentuk pembiayaan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dikenal dengan
akad. Salah satu dari produk penyaluran dana pembiayaan oleh bank syrai’ah yang
diwujudkan dalam bentuk akad adalah istishna’. Istishna merupakan transaksi jual
41
Ibid, hlm. 224-225.
Universitas Sumatera Utara
21
beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang
disepakati dengan
pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.
42
Landasan Syari’ah dari akad istishna adalah Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 282 yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman jika kalian
berhutang dengan sebuah hutang dengan waktu yang telah di tentukan, maka tuliskanlah hutang tersebut …”. Sedangkan dari Hadits didasarkan pada yang artinya
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf dan salah satu
hadits lainnya yang artinya “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al- Khudri.
43
Produk pembiayaan ini diantaranya adalah pembiayaan jual- beli Istishna. Beberapa pengertian Istishna antara lain:
1. Istishna menurut Fiqh adalah jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan pembeli dan penjual Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 06DSN-MUIIV2000.
2. Istishna menurut Peraturan Bank Indonesia PBI adalah jual beli barang
dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan
42
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, GIP, Jakarta, hal 113.
43
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 06DSN-MUIIV2000 Tentang Jual Beli Istishna
Universitas Sumatera Utara
22
tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan PBI Nomor 746 pasal 1 butir 9.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa Bai’ Istishna adalah transaksi jual beli dengan pesanan, dimana pihak pembeli memesan suatu barang kepada pihak penjual
untuk dibuatkan baginya, dan mengenai pembayarannya dapat dilakukan dimuka sekaligus, bertahap sesuai dengan progress pengerjaan, atau malah dicicil dalam
jangka panjang, semua dapat diatur sesuai dengan perjanjian.
2. Konsepsi