26
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan library research untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya. Di samping itu, juga dilakukan penelitian lapangan Field Research, dilakukan untuk memperoleh data primer,
dengan cara wawancara para responden dan informan dalam penelitian ini.
5. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perikatan dalam Islam, bank syari’ah dan pembiayaan syari’ah yang
merupakan dokumen sebagai sumber informasi secara teori. b. Wawancara
49
dengan menggunakan pedoman wawancara interview quide
50
. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan
49
Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat
pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden
interview informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara interviewer, responden interview pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
50
Ibid, hlm.
73. Menyatakan
pedoman wawancara
yang digunakan
pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi
pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
Universitas Sumatera Utara
27
dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam depth interview.
5. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
51
Pengertian di analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara
perspektif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
52
Dari hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
51
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 12.
52
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1988, hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
28
BAB II MEKANISME PERJANJIAN PEMBIAYAAN ISTISHNA MENURUT
FIQH DAN PERBANKAN SYARI’AH A. Pengetian Bank Syari’ah
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang
perkembagannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Perbankan dalam melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari
masyarakat sebagai pemilik dana, menyalurkan dana kepada masyarakat sebagai pengguna dana dan memberikan jasa.
Bank berasal dari kata Italia banca yang artinya banku Banku inilah yang dipergunakan oleh bankir Italia untuk melayani kegiatan operasionalnya kepada para
nasabah, istilah banku secara resmi dan popular menjadi Bank.
53
Rumusan Bank secara yuridis seperti yang tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Pengertian sebagaimana diatur Undang-Undang tersebut di atas menegaskan
adanya beberapa hal :
53
H.Malayu SP. Hasibuan. Dasar-dasar Perbankkan. Bumi Aksara, 2001, hlm.1
28
Universitas Sumatera Utara
29
a. Bank adalah suatu badan usaha, bukan perorangan b. Kegiatan bank menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana tersebut kepada masyakat. c. Tujuan bank adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, jadi
bukan semata-mata mencari keuntungan Sedangkan menurut Kamus Perbankan, Bank adalah Badan Usaha di bidang
keuangan yang menarik uang dan menyalurkannya ke dalam masyarakat terutama dengan memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang.
54
Namun demikian untuk lebih mempertegas tentang hal-hal yang menyangkut pengertian bank dikutip pula beberapa
pendapat para ahli untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud perbankan tersebut :
1. Pierson ahli ekonomi dari Belanda
Memberikan suatu definisi Bank is a company wiet accept credit, but didn’t give credit’ yang artinya bank adalah badan usaha yang menerima kredit, tetapi
tidak memberi kredit”
55
Teori Pierson ini menyatakan bahwa bank dalam operasionalnya hanya bersifat pasif saja,yaitu hanya menerima titipan uang saja.
2. G.M. Verrijn Stuart
Pengertian bank menurut G.M. Verrijn Stuart yang dikutip Pratama Rahardja adalah “badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-
54
S.Kertopati Dkk, Kamus Perbankkan, Lembaga Pendidikan Perbankkan Indonesia, Jakarta, 1980, hlm.54
55
H.Malayu SP Hasibuan, Op Cit. hlm.2
Universitas Sumatera Utara
30
alat pembayarannya sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain. atau dengan jalan mengeluarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.
56
Dengan demikian bank adalah badan yang menerima kredit berupa giro,deposito dan tabungan, memberikan kredit baik berjangka pendek, menengah
maupun panjang serta memberikan jasa-jasa bank lainnya berupa kiriman uang transfer, wesel, letter of credit, bank garansi, dan sebagainya. Keuntungan dari bank
semacam ini adalah dari hasil selisih bunga dan provisi komisi atas jasa yang diberikan pihak bank. Jadi bank dalam hal ini telah melakukan operasi pasif dan
aktif, yaitu mengumpulkan dana dari masyarakat yang kelebihan Surplus Spending Unit SSU dan menyalurkan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana
Defisiit Spending Unit DSU 3.
Somary Somary adalah seorang bankir yang memberikan definisi yang juga Pratama
Rahardja Bank sebagai sebuah badan yang aktif memberikan kredit kepada nasabah, baik dalam bentuk kredit berjangka pendek, berjangka menengah dan panjang“.
57
Dana yang diperlukan dalam pemberian kredit tersebut berasal dari modal yang disisihkan dari anggaran belanja negara untuk bank pemerintah dan
modal saham untuk bank swasta. Keuntungan bank semacam ini diperoleh dari selisih bunga
dari kredit yang diberikan dengan bunga kredit yang diterima kredit likuiditas pinjaman bank, obligasi dan sertifikat bank.
56
Pratama Rahardja, Uang dan Perbankkan, Rineka Cipta.Jakarta, 1990, hlm. 64
57
Ibid., hlm 67
Universitas Sumatera Utara
31
Dari uraian definisi tersebut di atas nampak bahwa bank merupakan suatu badan atau lembaga pemberi atau penyalur kredit kepada pihak yang membutuhkan
dengan dana yang berasal dari bank itu sendiri maupun dana masyarakat dengan perantara bank, sehingga dengan demikian betapa pentingnya peran bank sebagai
lembaga intermediasi
sekaligus berperan
dalam mendorong
pertumbuhan perekonomian suatu bangsa, hal ini dikarenakan bank adalah :
a. Pengumpul dana dari masyarakat yang kelebihan dana dan menyalurkan kredit
kepada masyarakat yang membutuhkan dana. b.
Tempat menabung yang efektif dan produktif bagi masyarakat c.
Pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran dengan aman praktis dan ekonomis
d. Menjamin penyelesaian perdagangan dengan menerbitkan LC.
e. Penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank garansi
Memasuki ekonomi global muncul suatu kajian issue yang membutuhkan perhatian, seperti yang dinyatakan secara gamblang oleh Naisbitt dalam Global
Paradox yaitu trend-trend dunia secara luar biasa menuju ke arah kebebasan politik dan pemerintahan sendiri pada satu pihak dan pembentukan aliansi ekonomi pada
pihak lain.
58
Dari kajian ini nampak bahwa salah satu titik sentral dari issue yang muncul adalah kepentingan ekonomi dan dimana kepentingan ekonomi secara luas pada
58
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi” Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.24.
Universitas Sumatera Utara
32
hakekatnya dapat menentukan berbagai kepentingan yang lain, termasuk didalamnya adalah kesiapan dunia perbankan menyongsong globalisasi ekonomi tersebut.
Pesatnya perkembangan ekonomi Islam yang diikuti dengan perkembangan lembaga perbankan Islam ini terlihat dari banyaknya Bank Islam memiliki
keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang paling utama adalah
yang melekat pada konsep build in concept dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai
alternatif pengganti sistem bunga yang selama ini hukumnya halal atau haram masih diragukan oleh masyarakat muslim. Namun demikian, sebagai lembaga yang
keberadaannya lebih baru daripada bank-bank konvensional, Bank Islam menghadapi permasalahan-permasalahan,
baik yang
melekat pada
aktivitas maupun
pelaksanaannya. Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai
strategis dalam
kehidupan perekonomian
suatu negara.
Lembaga tersebut
dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana lack
of funds. Dengan demikian perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan, dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua faktor perekonomian. Hukum positif yang mengatur lembaga perbankan, terus berkembang sesuai
dengan dinamika perkembangan lembaga perbankan tersebut. Hal tersebut telah dapat dirasakan dalam kehidupan kegiatan perbankan di Indonesia, peraturan-peraturan
Universitas Sumatera Utara
33
yang ditujukan untuk lembaga perbankan begitu gencar dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai bentuk terapi
untuk memulihkan kembali ekonomi nasional adalah dengan dikeluarkan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992, tentang Perbankan, yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 1998. Perubahan-perubahan pada
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dominan berkaitan dengan dua aspek, yaitu : aspek semakin
kuatnya kewenangan Bank Indonesia dan aspek akomodasinya sistem perbankan Islam dalam sistem perbankan nasional.
59
Jadi saat ini tidak hanya mengenal dual banking system, tetapi juga lebih mempertegas bahwa keberadaan bank dengan
prinsip syariah sejajar dengan bank konvesional dengan sistem bunga. Bank syariah secara harfiah dapat diartikan sebagai bank Islam atau bank
sesuai syariah atau bank yang operasional sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Untuk lebih jelas tentang pengertian bank syariah dijelaskan oleh Mudrajad Kuncoro
dan Suhardjono, yaitu “Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Alquran dan Hadis”.
60
59
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 197.
60
Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan; Teori dan Aplikasi, BPFE- Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm. 593.
Universitas Sumatera Utara
34
Bank syariah menurut Heri Sudarsono adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
61
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah menurut Pasal 1 angka 13 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah aturan perjanjian
berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana danatau pembiayaan kegiatan usaha usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
mudharabah, pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal musyarakah, prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan murabahah, atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan ijarah, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain ijarah waiqtina. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pengertian bank syariah itu
tidak jauh berbeda dengan pengertian bank pada umumnya sesuai dengan peraturan kebijakan perbankan yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk
pembiayaan dan
atau bentuk-bentuk
lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, namun di antara keduanya memiliki
perbedaan yang terletak pada prinsip operasional yang digunakan. Bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, sedangkan bank konvensional berdasarkan
61
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ekonisia – FE UII, Yogyakarta, 2003, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
35
prinsip bunga. Dengan kata lain bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah adalah sebagai mitra investor dan pedagang atau pengusaha, sedangkan pada bank
konvensional sebagai kreditur dan debitur. Ide dasar sistem perbankan Islam sebenarnya dapat dikemukakan
dengan sederhana. Operasi institusi keuangan Islam terutama berdasarkan pada prinsip PLS
porfit-and-loss-sharing-Bagi-untung-dan-rugi. Prinsip
bagi hasil
ini dalam
keuangan Islam sangat dianjurkan dan merupakan solusi yang pantas dan relevan untuk mengatasi masalah alokasi dana yang terbatas,
baik yang berupa dana pinjaman atau tabungan dengan maksud supaya pengelolaan dan pembiayaan bisnis
secara efektif dapat tercapai. Bank Islam syariah pen. tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai.
Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan
antara bank Islam syariah pen. dan para deposan di satu pihak, dan antara bank para nasabah investasi-sebagai pengelola sumber daya para deposan dalam berbagai usaha
produktif - di pihak lain.
62
Bank syariah dengan sistem bagi untung dan rugi profit and loss sharing memiliki konsep yang sangat tepat di tengah kondisi ketidakadilan yang dialami oleh
masyarakat. Konsep kebersamaan dalam menghadapi risiko dan memperoleh keuntungan, serta adanya keadilan dalam berusaha menjadi suatu potensi yang sangat
62
Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, Prospek, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001, hlm. 9-10
Universitas Sumatera Utara
36
strategis bagi perkembangan bank syariah di masa yang akan datang. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar atau mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama
Islam Muslim, tantangan ini sekaligus menjadi prospek yang cukup cerah untuk pengembangan bank syariah di masyarakat. Di samping itu, bank syariah dengan
sistem bagi basil profit and loss sharing lebih mengutamakan stabilitas di atas rentabilitas, sedangkan bank konvensional dengan sistem bunga mempunyai
kelemahan utama yaitu memiliki sifat inflatoir dan cenderung diskriminatif.
63
Diskriminatif yang dimaksudkan disini adalah adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat rakyat kecil atau ekonomi lemah, dimana pemilik modal
yang mempunyai dana besar cenderung akan memperoleh keuntungan yang berlipat dengan bunga tabungan yang ada dan tidak mau tahu atas kerugian yang dialami oleh
nasabah yang penting uang tabungan dengan bunganya dapat kembali, sementara masyarakat biasa yang menjadi nasabah peminjam uang di bank tetap harus
membayar pokok pinjaman ditambah bunga, walaupun usaha mereka mengalami kerugian akibat dari keadaan yang memaksa overmacht.
64
Bank syariah merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang berkelebihan dana dengan yang kekurangan dana
yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Bank syariah atau bank Islam, berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi
63
M. Sood at.al. Kedudukan dan Kewenangan Dewan Pengawas Syariah Dalam Struktur PT. Bank Berkaitan Dengan UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan Produk Fatwa
Dewan Syariah Nasional, Laporan Penelitian, Kerja Sama Antara Bank Indonesia Dengan Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2005, hal. 2.
64
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
37
intermediary institution, yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut dalam bentuk pembiayaan.
65
Perbankan syariah juga merespon permintaan nasabah dalam rangka memajukan perusahaan investasi atau bisnis pengusaha, selama aktivitas perusahaan
tersebut tidak dilarang oleh Islam. Pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah
dengan mitra
bisnisnya antara
lain dengan
menggunakan prinsip
mudharabah, musyarakahsyirkah dan murabahah yang bertujuan untuk kemajuan, membantu dan mengembangkan pelayanan produk-produknya berdasarkan prinsip-
prinsip Islam. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan pembiayaan dengan mitra bisnisnya menggunakan prinsip bagi hasil profit sharing.
66
Menurut Muhammad ada beberapa ciri utama bank syariah diantaranya: a. Beban biaya. Besarnya beban biaya tidak kaku dan dapat dilakukan tawar-
menawar dalam batasan-batasan yang wajar. Beban biaya hanya dikenakan sampai batas waktu yang telah disepakati bersama. Dalam suatu kontrak baru
untuk menyelesaikannya.
b. Tidak menggunakan persentase. Pembebanan kewajiban membayar dalam semua kontrak bank syariah selalu dihindarkan penggunaan persentase, karena
akan mempunyai potensi untuk melipatgandakan. c. Menciptakan
rasa kebersamaan.
Bank syariah
menciptakan suasana
kebersamaan antara pemilik modal dengan pengguna dana. Keduanya berusaha untuk menghadapi resiko secara adil, dan rasa kebersamaan ini
mampu membuat seorang pengguna dana merasa tenang sehingga dapat mengerjakan proyeknya dengan baik.
d. Tidak ada keuntungan yang pasti. Pada dasarnya yang dilarang dalam kegiatan muamalah adalah mencantumkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan pada
waktu pengikatan kontrak pembiayaan. Sedangkan yang diperkenankan dalam
65
Dawam M. Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, LSAF, Jakarta, 1999, hal. 410.
66
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, Cetakan Kedua Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 18
Universitas Sumatera Utara
38
sistem muamalah adalah kontrak yang dilakukan yang hakekatnya merupakan sistem yang didasarkan pada penyertaan dengan sistem bagi hasil.
e. Jual beli uang yang sama dilarang. Pada dasarnya kegiatan transaksi yang dilarang dalam operasionalisasi bank syariah adalah seolah-olah melakukan
jual beli atau sewa-menyewa uang dari bentuk mata uang yang sama dengan memperoleh keuntungan darinya.
f. Jaminan kebendaan terhadap utang. Pada bank konvensional bahwa jaminan kebendaan terhadap utang dari peminjam merupakan hal yang sangat
menentukan dalam persetujuan pemberian pinjaman. Sebaliknya,
dalam bank syariah pemberian pembiayaan dalam bentuk talangan dana untuk pembelian barangaktivabarang modal tersebut, maka pada dasarnya tidak
mengutamakan jaminan kebendaan dari pengguna dana. Sebab barang yang ditalangi pembeliannya oleh bank masih menjadi milik bank sepenuhnya
selama utang peminjam belum lunas.
67
Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan
pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan bank syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu ada
pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram. Dalam beberapa hal bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama
dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP,
proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal, struktur
organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
68
67
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta 2002, hlm. 99.
68
M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktek, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2001, hlm 29.
Universitas Sumatera Utara
39
Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional pada sistem yang dianut. Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional
karena sistem keuangan dan perbankan syariah adalah subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Prinsip utama yang dianut oleh bank
syariah antara lain larangan bunga dalam berbagai transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut
syariah, dan menumbuhkembangkan zakat. Dalam menjalankan eksistensinya bank syariah memiliki struktur yang sama
dengan bank konvensional dalam hal komisaris dan direksi, namun unsur utama yang membedakannya adalah keberadaan Dewan Pengawas Syariah yang bertugas
mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
69
Dewan Pengawas Syariah berada pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan
Pengawas Syariah dan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham RUPS, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut mendapat rekomendasi dari
Dewan Syariah Nasional. Dewan Syariah Nasional merupakan badan otonom Majelis Ulama Indonesia yang secara eks-officio diketuai oleh Ketua Majelis Ulama
Indonesia.
70
69
Gemala Dewi dkk Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. hlm.103.
70
Heri Sudarsono, Op.Cit., hal.34.
Universitas Sumatera Utara
40
Sebagai lembaga bisnis, bank syariah, seperti bank-bank lainnya harus memiliki daya tarik ekonomi. Namun pertimbangan ekonomi bukan merupakan
pertimbangan dasar, ada hal lain yang lebih penting, yaitu moral. Karena itu produk- produk yang diberikan Bank Syariah tidak pernah lepas dari aturan syariah. Selalu
ada pertimbangan yang bersifat ukhrawi, yaitu pertimbangan halal dan haram.
B. Produk Bank Syari’ah
Pada dasarnya bank syariah sebagai intermediasi tidak jauh berbeda dengan bank konvensional, yaitu tidak terlepas dari menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Adiwarman A. Karim sebagai berikut: Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah dapat dibagi
menjadi tiga bagian dasar, yaitu: a. Produk penyaluran dana financing;
b. Produk penghimpunan dana funding; dan c. Produk jasa service.
71
Kemudian Adiwarman A. Karim menyebutkan “Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang
diterapkan dalam pengimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan mudharabah”.
72
Ketiga bentuk dana pihak ketiga tersebut lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:
a. Giro
Giro yang pada bank syariah disebut giro wadiah umumnya tetap sama dengan giro bank konvensional, dimana bank tidak membayar apapun kepada
pemegangnya, bahkan tidak mengenakan biaya layanan service charge. Dana giro
71
Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 107
72
Ibid., hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
41
ini boleh dipakai bank syariah dalam operasi bagi hasil profit sharing. Pembayaran kembali nilai nominal giro dijamin sepenuhnya oleh bank dan dilihat sebagai
pinjaman depositor kepada bank. Mustafa Abdullah al-Hamsyari menyebutkan “Dalam fiqh muamalah, wadiah
dibagi menjadi dua macam: wadiah yad al-amanah dan wadiah yad al-dhamanah”.
73
Akad wadiah yad al-amanah adalah akad titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan dalam hal ini bank tidak wajib mengganti jika terjadi kerusakan.
Biasanya, akad ini diterapkan bank pada titipan murni, seperti safe deposit box. Dalam hal ini, bank hanya bertanggung jawab atas kondisi barang uang yang
dititipkan. Adapun wadiah yad al-dhamanah adalah titipan yang dilakukan dengan kondisi penerima titipan bertanggung jawab atas nilai bukan fisik dari uang yang
dititipkan. Bank syariah menggunakan akad wadiah yad al-dhamanah untuk rekening giro.
b. Tabungan
Tabungan di bank konvensional berbeda dari giro di mana ada beberapa restriksi seperti berapa dan kapan dapat ditarik. Tabungan biasanya memperoleh hasil
pasti fixed return. Pada bank bebas bunga, tabungan juga mempunyai sifat yang sama, kecuali bahwa penabung tidak memperoleh hasil yang pasti. Menurut para
ulama, penabung boleh menerima hasil yang berfluktuasi sesuai dengan hasil yang diperoleh bank, dan setuju untuk berbagi risiko dengan bank.
73
M. Syafi’I Antonio, Op.Cit., hlm. 155.
Universitas Sumatera Utara
42
Menurut Hasan Abdullah al-Amin, “bank syariah menerapkan dua akad dalam tabungan, yaitu wadiah dan mudharabah”.
74
Tabungan yang menerapkan akad wadiah mengikuti prinsip-prinsip wadiah yad al-dhamanah. Artinya tabungan ini
tidak mendapatkan keuntungan karena ia titipan dan dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan buku tabungan atau media lain seperti ATM. Akan tetapi bank
tidak dilarang jika ingin memberikan semacam bonushadiah. Tabungan yang menerapkan akad mudarabah mengikuti prinsip-prinsip akad
mudarabah. Keuntungan dari dana yang digunakan harus dibagi antara shahib al- maal dalam hal ini nasabah dan mudarib dalam hal ini bank. Adanya tenggang
waktu antara dana yang diberikan dan pembagian keuntungan, karena untuk melakukan investasi dengan memutarkan dana itu diperlukan waktu yang cukup.
c. Deposito
Deposito pada bank konvensional menerima jaminan pembayaran kembali atas simpanan pokok dan hasil bunga yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada bank
dengan sistem bebas bunga, deposito diganti dengan simpanan yang memperoleh bagian dari labarugi bank. Oleh karena itu, bank syariah menyebutnya rekening
investasi atau simpanan investasi. Rekening-rekening itu dapat mempunyai tanggal jatuh tempo yang berbeda-beda.
Menurut Mahmud Mohammad Babily bahwa “Bank syariah menerapkan akad mudharabah untuk deposito”.
75
Seperti dalam tabungan, dalam hal ini nasabah
74
Ibid., hlm. 156.
75
Ibid., hlm. 156.
Universitas Sumatera Utara
43
deposan bertindak sebagai shahib al-maal dan bank selaku mudarib. Penerapan mudarabah terhadap deposito dikarenakan kesesuaian yang terdapat diantara
keduanya. Seperti mensyaratkan adanya tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar dana itu bisa diputarkan.
Sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01DSN-MUIIV2000 Tanggal 01 April 2000 giro yang dibenarkan secara syariah adalah giro yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadiah. Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan giro wadiah yakni merupakan dana titipan nasabah yang bisa diambil kapan saja on
call dan tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ‘athaya yang bersifat sukarela dari bank syariah bonus. Sesuai Fatwa Dewan
Syariah Nasional No.02DSN-MUIIV2000 tanggal 01 April 2000 tabungan yang dibenarkan secara syariah adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudarabah dan
wadiah. Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan tabungan mudarabah, yakni merupakan dana nasabah yang diinvetasikan kepada bank syariah
dengan mendapatkan imbal hasil sesuai nisbah yang disepakati pada saat akad pembukaan
rekening. Sesuai
Fatwa Dewan
Syariah Nasional
No.03DSN- MUIIV2000 tanggal 01 April 2000 deposito yang dibenarkan secara syariah adalah
deposito yang berdasarkan prinsip mudarabah. Dalam prakteknya bank syariah di Indonesia menerapkan deposito mudarabah yakni merupakan dana nasabah yang
diinvestasikan kepada bank syariah dengan mendapatkan imbal hasil sesuai nisbah yang disepakati pada saat akad pembukaan rekening.
Universitas Sumatera Utara
44
Penjabarannya sesuai Peraturan Bank Indonesia No. 746PBI2005 adalah dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan
prinsip wadiah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana titipan; b. Dana titipan disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah
nominal; c. Dana titipan dapat diambil setiap saat;
d. Tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah;
e. Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah. Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro berdasarkan
mudarabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a. Nasabah bertindak sebagai pemilik dana shahib a1-maal dan bank bertindak
sebagai pengelola dana mudarib. b. Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dan mengembangkannya, ternasuk di dalamnya melakukan akad mudarabah dengan pihak lain.
c. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya.
Universitas Sumatera Utara
45
d. Nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan
rekening. e. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening; f. Pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap
akhir bulan laporan. g. Bank
menutup biaya
operasional giro
dengan menggunakan
nisbah keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi
nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
76
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan prinsip mudarabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:
a. Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana;
b. Dana disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal; c. Pembagian keuntungan dan pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah; d. Pada akad tabungan berdasarkan mudarabah, nasabah wajib menginvestasikan
minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening.
76
Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
46
e. Nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan; f. Bank sebagai mudarib menutup biaya operasional tabungan atau deposito
dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; g. Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa
persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan h. Bank tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam perundang-
undangan yang berlaku.
77
Menurut Dahlan Siamat, “Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat 4 empat kelompok prinsip operasional syariah, yaitu prinsip jual
beli bai’, sewa beli ijarah wa iqtina, bagi hasil syirkah dan pembiayaan lainnya”.
78
Hal yang sama juga dikemukakan Adiwarman A. Karim, sebagai berikut: Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi ke dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
a. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli b. Pembiayaan dengan prinsip sewa
c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil d. Pembiayaan dengan akad pelengkap.
79
Guna memperjelas mengenai masing-masing produk pembiayaan pada bank syari’ah berikut dijelaskan satu persatu masing-masing pembiayaan dimaksud.
a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli ba`i
77
Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
78
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 192.
79
Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
47
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan
menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, adalah:
1 Pembiayaan Murabahah, adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank
bertindak sebagai
penjual, sementara
nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok
ditambah keuntungan
marjin. Kedua
belah pihak
harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual
dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
80
2 Pembiayaan Salam, adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh
sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Dalam transaksi ini kuantitas, kualitas,
harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank
akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri
80
Dahlan Siamat, Op.Cit., hlm. 192.
Universitas Sumatera Utara
48
secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
81
3 Pembiayaan Istishna’. Produk istishna’ menyerupai produk salam, tapi dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali
termin pembayaran. Skim Istishna` dalam Bank Syariah umumnya diaplikasikan
pada pembiayaan
manufaktur dan
konstruksi. Dalam
pelaksanaannya istishna’ dapat dilakukan melalui dua macam cara, yaitu pihak produsen ditentukan oleh bank, atau pihak produsen ditentukan
oleh nasabah. Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan di muka dalam akad, berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak.
82
b. Pembiayaan dengan prinsip sewa Ijarah.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada obyek
transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat menjual barang yang
disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan. Harga
sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
83
81
Ibid., hlm193
82
Ibid., hlm. 194.
83
Ibid., hlm. 195.
Universitas Sumatera Utara
49
c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil Syirkah. Produk pembiayaan syariah
yang didasarkan atas prinsip bagi hasil sebagai berikut: 1 Pembiayaan Musyarakah. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan
para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak
atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Secara spesifik
bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan trading asset, kewiraswastaan entrepeneurship, kepandaian
skill, kepemilikan property, peralatan equipment, atau intangible asset seperti hak paten atau goodwill, kepercayaan atau reputasi credit
worthiness dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
84
2 Pembiayaan Mudarabah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal shahib al-maal mempercayakan sejumlah modal
kepada pengelola mudarib dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam paduan kontribusi 100 modal kas
dari shahib al-maal dan keahlian dari mudarib. Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al-maal dalam manajemen proyek.
Sebagai orang
kepercayaan, mudarib
harus bertindak
hati-hati dan
84
Ibid., hlm. 196.
Universitas Sumatera Utara
50
bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahib al-maal, diharapkan untuk mengelola modal
dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal. Dalam mudarabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah, modal
berasal dari dua pihak atau lebih.
85
d. Pembiayaan dengan akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, tetapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan. Dalam akad pelengkap ini bank diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Akad pelengkap ini terdiri dari:
1 Rahn gadai. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang
yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: milik nasabah sendiri, jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, dapat dikuasai namun
tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
86
2 Hawalah alih hutang-piutang. Tujuan fasilitas hawalah adalah untuk membantu pemasok mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank
mendapat ganti
biaya atas
jasa pemindahan
85
Ibid., hlm. 197.
86
Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 106.
Universitas Sumatera Utara
51
piutang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan kebenaran
transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berhutang.
87
3 Qard, adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam empat hal, adalah:
a Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman
talangan untuk
memenuhi syarat
penyetoran biaya
perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
b Sebagai pinjaman tunai cash advanced dari produk kartu kredit syariah, di mana nasabah diberi keleluasan untuk menarik uang tunai milik bank
melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
c Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan
skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil. d Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, di mana bank menyediakan
fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan
melalui pemotongan gajinya.
88
4 Wakalah perwakilan. Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
87
Ibid., hlm. 105.
88
Ibid., hlm. 106
Universitas Sumatera Utara
52
pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan LC, inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus
cakap hukum. Khusus untuk pembukaan LC, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian LC settlement LC dapat dilakukan dengan
pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudarabah, atau musyarakah.
89
5 Kafalah garansi bank, dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah
untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadiah. Untuk jasa-jasa
ini, bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
90
Selain berbagai produk di atas, bank syariah menjalankan fungsinya sebagai penghubung antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan
dana, bank syariah dapat pula melakukan berbagai pelayanan kepada nasabah. Jasa perbankan itu antara lain:
a. Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara uang dengan uang. Pengertian pertukaran uang yang dimaksud disini adalah pertukaran valuta asing,
dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau mata uang lainnya.
91
b. Ijarah
89
Dahlan Siamat, Op.Cit., hlm. 192.
90
Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 107.
91
Gemala Dewi, Op.Cit., hal.96.
Universitas Sumatera Utara
53
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan safe deposit box dan jasa tata letak laksana administrasi dokumen custodian. Bank
mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
92
C. Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Fiqh
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-
kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang transfer of property. Tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu
penyerahan barang seperti murabahah, salam dan istishna’. Dalam fiqh muamalah, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-
beli, termasuk
jenis-jenis jual
beli yang
dilarang oleh
Islam. Macam atau jenis jual-beli itu antara lain:
1. Bai’ al mutlaqah, yaitu prtukaran antara barang atau jasa dengan uang. Berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-
produk lemabga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli. 2. Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang
dengan barang barter. Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan
92
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syariah, Ekonisia, Yogyakarta, 2005, hal.101.
Universitas Sumatera Utara
54
sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat mengahsilkan valuta asing devisa. Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang
yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3. Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dólar, dol;ar dengan yen dan
sebagainya. Mata uang asing yang dalam bentuk uang giral telegrafic transfer atau mail transfer.
4. Bai’ al murahabah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual- beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan,
termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil. 5. Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak
mmeberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya. 6. Bai’ al muwadha’ah, yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan
dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan discount. Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-
barang atau aktiva tetap yang ila bukunya sudah sangat rendah. 7. Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang sebesar
harga atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang
Universitas Sumatera Utara
55
disepakati. Bai’ as salam biasanya dialakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
8. Bai’ al istishna’ hampir sama dengan Bai’ as salam, yaitu kontrak jual-beli melalui pemesanan pembuatan barang, di mana harga atas barang tersebut
dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan
diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagi prinsip
model pembiayaan Syariah adalah pembaiyaan berdasarkan prinsip bai’al murahabah, bai’ as salam dan bai’ istisna’. Produk istishna menyerupai produk salam, namun
dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali termin pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan.
Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06DSN-MUIIV2000 yang dimaksud dengan istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan pembeli, mushtashni’ dan penjual pembuat, shani’.
93
Pengertian sejalan juga terdapat dalam Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang menyatakan
istishna’ sebagai transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran
93
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06DSN-MUIIV2000 tentang Istishna’
Universitas Sumatera Utara
56
sesuai dengan kesepakatan. Persyaratan tertentu dimaksud adalah sesuai dengan objek barang yang dipesan seperti apabila yang dipesan rumah atau toko tentunya
berbeda dengan apabila yang dipesan adalah kenderaan bermotor.
94
Pada dasarnya, pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi murabahah muajjal. Perbedaannya, jual beli murabahah barangnya
diserahkan di muka, sedangkan pembayarannya dilakukan secara cicilan, sedangkan pada jual beli istishna’ barang diserahkan di belakang, walaupun pembayarannya
sama-sama dilaksanakan secara cicilan. Perbedaan antara kedua akad tersebut terletak pada waktu penyerahan barang.
95
Adapun perbedaan istishna’dengan salam adalah dalam hal pembayaran. Pada akad istishna’ pembayaran dilakukan secara cicilan, sedangkan pada akad salam
pembayaran dilakukan secara tunai.
Dasar Hukum Istishna’
1. Hadis Nabi:
”Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” HR.Tirmizi dari ’Amr bin ’Auf.
”Tidak boleh membahayakan diri sediri maupun orang lain.” HR.Ibnu Majah, daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri.
96
2. Kaidah Fiqh:
94
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
95
Adiwarman A. Karim, Op.Cit, hlm.126.
96
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06DSN-MUIIV2000 tentang Istishna’
Universitas Sumatera Utara
57
”Pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
97
3. Pendapat Ulama
Menurut Mazhab Hanafi, Istishna’ hukumnya boleh jawaz karena
hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak ulama yang mengingkarinya.
98
Ketentuan tentang Istishna’
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06DSN-MUIIV2000 tenang jual beli istishna’ telah menetapkan ketentuan tentang istishna’ sebagai berikut:
Ketentuan tentang pembayaran: 1.
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Ketentuan tentang barang: 1.
Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. 2.
Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. 3.
Penyerahannya dilakukan kemudian. 4.
Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. 5.
Pembeli Mustashni’ tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
97
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06DSN-MUIIV2000 tentang Istishna’
98
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 06DSN-MUIIV2000 tentang Istishna’
Universitas Sumatera Utara
58
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan
kesepakatan. 7.
Dalam hal terdapat cacat atau barang tdak sesuai denan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar hak memilih untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Ketentuan Lain: 1.
Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula
pada jual beli istishna’ 3.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui badan arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa mekanisme pembiayaan istishna menurut fiqh didasarkan pada landasan syari’ah. Hal ini disebabkan karena istishna’
merupakan jenis khusus dari salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna’. Ketentuan Istishna’ diatur dengan
Fatwa Dewan
Syariah Nasional
No.06DSN-MUIIV2000. Mazhab
Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan antara lain :
1. Masyarakat telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan
Universitas Sumatera Utara
59
2. Dalam syariah
dimungkinkan adanya
penyimpangan terhadap
qiyas berdasarkan ijma’ ulama
3. Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat 4. Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak
bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
99
Menurut fiqh muamalah mekanisme pembiayaan istishna ini menjadikan
istishna’ sebagai kasus ijma atau konsensus secara umum. Operasional Istishna’ dalam penyelenggaraannya memiliki syarat utama sama dengan pembiayaan salam
yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan konstruksi
Sebagai Contoh Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak
Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu
dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko
tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.
100
Melalui fasilitas istishna’ bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak biasanya sebesar biaya produksi ditambah
keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.
99
M. Denny
Jandiar, Jual
Beli Murabahah,
Salam, Istishna’
dan Sharf,
http:www.badilag.net, Diakses 2011
100
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai
tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi
tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya,
apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain. Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank.
Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih
bersamaan dengan proses pemberian fasilitas istishna tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut.
Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu
menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna paralel atau istishna wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna
wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli istishna dengan harga jual murabahah atau dari hasil sewa ijarah. Adapun Rukun Rukun istishna’
menurut fiqh, adalah a Mustashni’ Pembeli, b Shani’ Penjual, c Mashnu’ Barang, d Tsaman Harga, dan e Shighat Ijab Kabul.
Universitas Sumatera Utara
61
Sedangkan Syarat Istishna’ menurut fiqh adalah : a Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai
kekuasaan untuk melakukan jual beli b Ridhakerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.
c Shani’ menyatakan kesanggupan untuk membuat barang d Apabila bahan baku berasal dari mushtasni’, maka akad ini bukan lagi
Istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah e Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini juga
bukan lagi Istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah f Mashnu’ barang yang dipesan mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis,
ukuran tipe, mutu dan jumlahnya. g Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ najis,
haramtidak jelas atau menimbulkan kemudharatan menimbulkan maksiat h Ketentuan umum istishna’:
i Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan
tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani,
maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah. Dalam sebuah kontrak istishna’, dapat saja saja pembeli mengizinkan pembuat
barang menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Kontrak
Universitas Sumatera Utara
62
baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel yaitu sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dengan LKS, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah,
LKS memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
101
D. Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Perbankan Syari’ah
Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa Produk pembiayaan Istishna diantaranya adalah pembiayaan jual beli Istishna. Istishna menurut
Fiqh adalah jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
pembeli dan penjual Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 06DSN- MUIIV2000. Sedangkan Istishna menurut Peraturan Bank Indonesia PBI
adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan, pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan PBI Nomor 746 pasal 1 butir 9. Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia
mendefinisikan Istishna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual-beli suatu
barang yang baru akan dibuat oleh pembuat barang.
102
Dalam konsep Istishna, merupakan transaksi jual beli antara nasabah dan bank, dan dalam pelaksanaan
adanya angsuran dari pihak nasabah ke bank. Permasalahannya, apakah pihak nasabah karakter nasabah dapat memenuhi kewajibannya kepada bank syariah jika
101
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.022DSN-MUIII2002 tentang Jual Beli Istishna’ Paralel
102
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 67
Universitas Sumatera Utara
63
tidak punya jaminan. Sebaliknya apakah pihak bank dapat membuat janji tambahan sebagai jaminan pelunasan atas angsuran. Hal ini dapat dilihat pada diagram berikut
ini.
Diagram. 1
Mekanisme Pembiayaan Istishna Menurut Perbankan Syari’ah Berdasarkan diagram di atas dapat dijelaskan bahwa
Istishna’ merupakan salah satu produk pembiayaan pada bank syariah.
Istishna’ akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antara pemesan pembeli, mustashni’ dan penjual pembuat, shani’. Sedangkan Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad Istishna’ antara pemesan
pembeli, mustashni’ dengan penjual pembuat, shani’, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada mustashni’, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’..
Bank-bank Islam mengambil Istishna’ untuk memberikan pembiayaan angsuran kepada nasabahnya untuk membeli barang walaupun klien tersebut mungkin tidak
Universitas Sumatera Utara
64
memiliki cukup uang untuk mendapatkan atau membeli barang tersebut, dan penyerahan barangnya di akhir periode pembiayaan.
Adapun maksud dan tujuan pembiayaan dilakukannya mekanisme Pembiayaan Istishna pada Bank BRI Syari’ah seperti pembiayaan istishna
pada umumnya, adalah : 1 Untuk membiayai kebutuhan investasi maupun modal kerja untuk
pengadaan barang baik sektor pertanian, perdagangan, maupun industri.
2 Untuk pembelian dengan pesanan barang konsumsi misalnya rumah tinggal indent.
103
Ketentuan Pembiayaan Istishna menurut Perbankan Syari’ah seperti halnya menurut fiqh yang menentukan bahwa :
1 Pembiayaan istishna
menggunakan fatwa
DSN no
06DSN- MUIIV2000 tentang jual beli istishna dan no 22 DSN-MUIII2002
tentang istishna pararel. 2 Istishna merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan yang disepakati antara pemesan
pembelimustashni dengan
penjual pembuat
barang Shani’.
103
Hasil Wawancara dengan Bapak Toras Pulungan Kepala Cabang Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
65
3 Istishna pararel merupakan suatu bentuk akad istishna antara pemesan pembelimustashni dengan penjual pembuatshani’ kemudian untuk
memenuhi kewajibannya kepada mustashni, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’.
4 Pembiayaan Istishna pada Bank BRI Syai’ah merupakan pembiayaan produktif maupun konsumtif untuk memenuhi kebutuhan barang
produksi atau
barang konsumtif
yang dilakukan
dengan cara
pemesanan secara syari’ah sesuai dengan kemampuan masing-masing nasabah dengan akad istishna.
104
Selanjutnya apabila dilihat dari karakteristiknya, maka dapat dijelaskan bahwa Pembiayaan Istishna pada Bank BRI Syari’ah, memiliki karakteristik
sebagaiberikut. a Pembeli bank menguasai produsen untuk menyediakan barang
pesanan sesuai spesifkasi sesuai dengan yang disyaratkan nasabah dan bank menjualnya dengan harga yang disepakati.
b Harga barang tidak berubah selam jangka waktu akad. c Barang pesanan harus memenuhi kriteria:
- Memerlukan proses pembuatan setelah akad selesai
104
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
66
- Sesuai dengan spesifikasi pemesan costumized bukan produk masal
- Harus diketahui karakteristiknya secara umum, meliputi jenis, spesifikasi, teknis, kualitas, dan kuantitas.
d Akad istishna pertama antara pemesan dengan bank harus terpisah dengan akad kedua yaitu antara bank dengan penjual, sehingga antara
pemesan dengan penjual harus merupakan pihak yang berbeda. e Akad dala istishna pararel terdiri dari:
1. Akad bank dengan nasabah akad pembiayaan. 2. Akad
bank dengan
produsen suplier
berupa bukti
pemesananPKScall name dapat pula deberi wakalah kepada nasabah untuk berakad istishna dengan produsen.
f Pada dasarnya akad istishna tidak dapat dibatalakan kecuali kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya, dan akad dibatalkan demi
hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
g Nasabah pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual Bank atas jumlah yang telah dibayarkan dan penyerahan
barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
Universitas Sumatera Utara
67
h Penjual bank mempunyai hak untuk memperoleh jaminan atas harga yang disepakati dan akan dibayar tepat waktu, pemindahan hak akan
dilakukan saat penyerahan sebesar jumlah yang disepakati. i Pembeli nasabah tidak boleh menjual barang atau menukarnya
sebelum menerimanya. j Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima
barang dengan kualitas lebih tinggi kecuali terdapat kesepakatan. k Bank tidak diharuskan memberi potongan harga discount apabila
nasabah menerima barang dengan kualitas rendah kecuali terdapat kesepakatan.
l Pendapatan istishna adalah total harga yang disepakati dala akad termasuk margin keuntungan. Margin adalah selisih penjualan dengan
harga pokok istishna.
105
mPendapatan istishna diakui dengan menggunakan metode prosentase penyelesaian.
Bank syariah memiliki berbagai macam produk, baik untuk penghimpunan dana, penyaluran dana maupun produk jasa. Salah satu dari produk penyaluran dana
tersebut adalah istishna’. Produk pembiayaan ini diperuntukkan terhadap kebutuhan akan jasa konstruksi. Pelaksanaan pembiayaan ini menggunakan sistim jual-beli yang
105
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
68
lebih sesuai dengan prinsip syariah Islam. Hanya saja barang yang diperjualbelikan dalam produk pembiayaan ini bukanlah barang yang ready stock sehingga terlebih
dahulu harus dilakukan pemesanan terhadap pembuatan barang tersebut. Hal inilah yang pada dasarnya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariah Islam karena
jual-beli terhadap barang yang tidak ada wujudnya pada dasarnya tidak
diperbolehkan menurut ketentuan syariah Islam kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
69
BAB III PENERAPAN AKAD PEMBIAYAAN ISTISHNA PADA
BANK BRI SYARI’AH CABANG BINJAI
A. Gambaran Umum Bank BRI Syari’ah Binjai
Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah merupakan bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia BRI yang menjalankan fungsi sebagai bank dengan prinsip
syari’ah. Dilihat dari sejarahnya Bank Rakyat Indonesia BRI adalah salah satu bank milik pemerintah yang terbesar di Indonesia. Pada awalnya Bank Rakyat Indonesia
BRI didirikan di Purwokerto. Jawa Tengah oleh Raden Aria Wirjaatmadja dengan nama Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren atau Bank Bantuan
dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia pribumi. Berdiri tanggal 16 Desember 1895, yang kemudian dijadikan sebagai hari kelahiran BRI.
Pada periode setelah kemerdekaan RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1946 Pasal 1 disebutkan bahwa BRI adalah sebagai Bank Pemerintah pertama di
Republik Indonesia. Dalam masa perang mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1948, kegiatan
BRI sempat terhenti untuk sementara waktu dan baru mulai aktif kembali setelah perjanjian Renville pada tahun 1949 dengan berubah nama menjadi Bank Rakyat
Indonesia Serikat. Pada waktu itu melalui PERPU No. 41 tahun 1960 dibentuklah Bank Koperasi Tani-dan Nelayan BKTN yang merupakan peleburan dari BRI, Bank
Tani Nelayan dan Nederlandsche Maatschappij NHM. Kemudian berdasarkan Penetapan Presiden Penpres No. 9 tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank
69
Universitas Sumatera Utara
70
Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan.
106
Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres No. 17 tahun 1965 tentang pembentukan bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan
baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan eks BKTN diintegrasikan dengan nama Bank Negara Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan
NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit II bidang Ekspor Impor Exim. Berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Undang-undang
Pokok Perbankan dan Undang-undang No. 13 tahun 1968 tentang Undang-undang Bank Sentral, yang intinya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral dan Bank Negara Indonesia Unit II Bidang Rular dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua Bank yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank
Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.
PT. BRI Persero Tbk mendirikan BRI Syariah khusus untuk nasabah yang ingin menjalankan syariat Islam dalam bermuamalah termasuk Bank BRI Syariah
Kantor Cabang Pembantu KCP Binjai yang saat ini beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 57 Kota Binjai Sumatera Utara. Bank BRI Syariah Kantor Cabang
Pembantu KCP Binjai seperti bank-bank syariah lainnya, melayani nasabah dalam masalah pembiayaan dan investasi yang menjamin keamanan dana nasabah tanpa
melupakan prinsip syariah. Untuk itu BRI Syariah dikenal sebagai bank yang amanah dan terpercaya.
106
Bulentin Bank Rakyat Indonesia, 2009.
Universitas Sumatera Utara
71
Dalam melaksanakan kegiatan perusahaan, Bank BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu KCP Binjai mempunyai struktur organisasi dalam menghadapi persoalan
ekstern dan intern perusahaan. Dengan adanya struktur organisasi ini dapat memberikan ketegasan dalam hal batas wewenang dan tanggung jawab kepada
masing-masing pejabat atau orang yang ditugaskan ini, maka mereka akan dapat menunaikan tugasnya dengan baik.
107
Struktur organisasi PT. Bank BRI Syariah KCP Binjai adalah sebagai berikut: 1.
Pimpinan Cabang Pembantu BRI UUS yang berwenang memimpin atau mengelola BRI Unit Usaha Syariah kantor cabang pembantu.
2. Account Officer sebagai Account Officer adalah petugas BRI Syariah yang
bertugas menganalisa laporan keuangan dan semua kegiatan dan transaksi dan Adminitrasi Dana Pembiayaan ADP
3. Teller adalah petugas BRI Syariah yang berwenang mengelola kas dan berfungsi
sebagai kasir yang juga mempunyai wewenang fiat bayar. 4.
UPN Unit Pelayanan Nasabah yang merupakan petugas BRI Syariah yang
berfungsi sebagai deskman ini mempunyai wewenang melayani transaksi dan aplikasi serta melaksanakan posting transaksi atau pembukuan
Dalam operasionalnya Bank BRI Syariah menyediakan berbagai produk pembiayaan dan simpanan telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah.
107
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
72
Kegiatan usaha yang terdapat pada PT. BRI Syariah KCP Binjai adalah sebagai berikut:
108
1. Produk pembiayaan syariah, seperti Murabahah jual-beli barang jadi, Istishna
jual-belipesan membuat barang, Ijarah sewa leasing, Musyarakah bagi
hasil dan Qardh pinjaman kebajikan 2.
Produk simpanan syariah, seperti Giro Wadiah, Tabungan Britama Syariah dengan prinsip
Wadi’ah, Tabungan
Zakat, Tabungan Haji,
Deposito Mudharabah dan
3. Jasa perbankan seperti Wakalah transfer, kliring
109
Berdasarkan jenis produk bank syariah yang dijalankan oleh
PT. BRI Syariah
KCP Binjai
terlihan salah
satu produk
pembiayaannya adalah
perjanjian atau pembiayaan istishna jual-belipesan membuat barang yang menjadi objek pembahasan penelitian ini.
B. Pengertian Akad dan Pengaturannya
Dalam oprasional Bank Syari’ah aqad merupakan suatu hal yang sangat esessial, oleh karena itu setiap pelaku dalam industri perbankan syariah, termasuk
pengelola bankpemilik danapengguna dana, serta otoritas pengawas harus memiliki
108
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
109
Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011
Universitas Sumatera Utara
73
kesamaan cara pandang terhadap Akad-Akad produk penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah.
110
Akad yang berasal dari kata al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut bahasa mengandung arti al-Rabtb. al-Rabtb yang berarti, ikatan, mengikat.
111
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh al’Amm, bahwa yang
dimaksud al-Rabtb yang dikutib oleh Ghufron A. Mas’adi yakni ; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga
keduanya bersambung
dan menjadi
seperti seutas
tali yang
satu.”
112
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu wa al syaddu yakni ikatan yang bersifat indrawi hissi seperti mengikat sesuatu dengan tali
atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti ikatan dalam jual beli.
113
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad menurut bahasa intinya sama yakni akad secara
bahasa adalah pertalian antara dua ujung sesuatu. Guna
terbentuknya akad,
maka diperlukan
unsur pembentuk
akad, hanya
saja, di
kalangan fuqaha
terdapat perbedaan
pandangan berkenaan
dengan unsur pembentuk tersebut rukun dan syarat akad. Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
110
Point menimbang huruf b, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 746Pbi2005 Tentang Akad
Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah
111
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, Mutiara, Jakarta, 1964, hlm. 112
112
Mustafa al-Zarqa’, al-Madkal al-Fiqh al-‘amm, Darul Fikri, 1967 – 1968, Beirut, hlm. 291. Dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75
113
Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, ‘Aqad al-Muqawalah, Maktabah al-Mulk, Riyad, 2004, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
74
1. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad
2. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
3. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui
pernyataan ijab dan qabul.
114
Kata “akad” berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan atau secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat.
115
Akad dikatakan ikatan al-rabath maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan
dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
116
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1 bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi beliau mengutip
pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
117
Menurut fiqh
Islam, kata
“akad” berarti
perikatan, perjanjian
dan permufakatan ittifaq. Dalam kaitan ini peranan Ijab pernyataan melakukan ikatan
dan Qabul
pernyataan menerima
ikatan sangat
berpengaruh pada
objek
114
Afdawaiza, Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, hal 182, dalam Wahbah Az-Zuhaili. 1989. A l-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr. IV. 92.
115
H.M. Azhari, Jenis-Jenis Akad Dalam Perbankan Syari’ah tabarru dan tijari, http:www.pa-tanahgrogot.net Diakses April 2011.
116
Ibid.
117
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2005, hlm 43.
Universitas Sumatera Utara
75
perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
118
Menurut Musthafa Az-Zarka yang dikutip H.M.Azhari bahwa suatu akad
merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama
berkeinginan mengikatkan
dirinya. Kehendak
tersebut sifatnya
tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
119
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus
ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan
tujuan akad harus jelas dan diakui syara’. Kemudian Hasbalah Thaib mengatakan bahwa suatu perjanjian menurut
jumhur ulama dikatakan dengan akad, dan secara terminilogi akad didefinisikan dengan pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan
penerima sesuai dengan kehendak syaria’at yang mempengaruhi pada objek perikatan.
120
Lebih lanjut pengertian akad menurut istilah yakni terdapat definisi banyak beragam diantaranya ;
118
H.M. Azhari, Op.Cit., http:www.pa-tanahgrogot.net Diakses April 2010.
119
Ibid.
120
M. Hasballah Thaib, Op.Cit., hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
76
1 Ibnu ‘Abidin dalam Kitabnya Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutib oleh Nasrun Haroen. Definisi akad yakni : Pertalian ijab pernyataan
melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.
121
2 Definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Al Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuh yang dikutib oleh Rachmat Syafei. Artinya “Ikatan
antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.”.
122
3 Definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam karya ilmiahnya ‘Aqad al-Maqawalah yang maksudnya “Pertalian ijab dan qabul
sesuai dengan kehendak syariat pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.
123
4 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah ; perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan
kedua belah pihak.
124
Berdasarkan definisi di atas jelaslah bahwa definisi-definisi akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad tersebut meliputi subyek atau pihak-pihak, obyek
121
Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, dikutib oleh Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm 97.
122
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, dikutib oleh Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal. 43.
123
‘Abd. Ar-Rahman Bin ‘Aid, ‘Aqad., hlm. 26
124
T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
77
dan ijab qabul. Dengan kata, lain akad merupakan perbuatan ijab qabul yang menyatakan para pihak melakukan persesuaian kehendak sesuai dengan syari’at dan
berpengaruh pada objek perikatan. Adapun yang menjadi dasar-dasar akad diantaranya :
a. Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 yang artinya hai orang-
orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
125
Ketentuan dalam ayat di atas menghendaki agar setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik
berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau
mengharamkan barang halal. Dan kalimat tersebut adalah merupakan asas ‘Uqud.
126
b. Dalam kaidah fiqh dikemukakan pula bahwa “hukum asal dalam transaksi adalah
keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”. Keridhaan yang dimaksud adalah keridhaan dalam transaksi adalah
merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak.
127
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
adalah sebagai berikut :
125
Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahan, CV Toha Putra, Semarang, 1989, hlm. 156
126
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1993, Juz. VI. hlm. 81
127
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
78
a. asas kebebasan berkontrak b. asas perjanjian itu mengikat
c. asas konsensualisme d. asas ibadah
e. asas keadilan dan keseimbangan prestasi. f. asas kejujuran amanah.
128
Asas kebebasan
berkontrak didasarkan
firman Allah
dalam Surat
Maidah ayat 1 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhi aqad-aqad itu ………. “.
129
Kebebasan berkontrak pada ayat ini disebutkan dengankata “akad- akad” atau dalam teks aslinya adalah al-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan
keumuman artinya orang boleh membuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum
Islam ada batas-batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. Sesuai firman Allah Surat An Nisaa’ ayat 29 yang artinya, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu ………………“.
130
Asas perjanjian
itu mengikat
dalam Al
Qur’an memerintahkan
memenuhi perjanjian seperti pada surat Al ‘Israa ayat 34 yang artinya, “ …dan penuhilah janji : sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya”.
131
128
Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah”, Makalah disampaikan dalam rangka Stadium General Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, diselenggarakan
F.H. UMY, Yogyakarta tanggal 14 Maret 2006.
129
Departemen Agama RI., Op.Cit., hlm. 156
130
Ibid., hlm. 122
131
Ibid., hlm. 429
Universitas Sumatera Utara
79
Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama. Asas ibadah merupakan
asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “hukum asal dalam
semua bentuk
muamalah adalah
boleh dilakukan
kecuali ada
dalil yang
mengharamkannya”.
132
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan
antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima. Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya
nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah. Menurut Abdul Manan asas-asas akad adalah sebagai berikut : a. kebebasan, b. persamaan dan
kesetaraan, c. keadilan, d. kerelaan, e. tertulis. Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi dkk, menambah dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran.
133
C. Rukun dan Syarat Akad sebagai Unsur Pembentuk Akad
Di dalam pembahasan ini hanya mengenai Rukun dan Syarat Akad sebagai unsur dalam membentuk akad. Di dalam Fiqh muamalah untuk terbentuknya akad
yang sah dan mengikat harus dipenuhi rukun akad dan syarat akad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut.
132
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih. Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 130
133
Abdul Manan, “Hukum Kontrak “Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah”. Dalam Varia Peradilan. No. 247. Th. Ke. XXI. hlm. 33. Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 30.
Universitas Sumatera Utara
80
1 .
Rukun-rukun Akad
Unsur-unsur akad sama maksudnya dengan rukun-rukun akad. Rukun dimaksudkan unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud
karena adanya
unsur-unsur tersebut
yang menjadi
bagian-bagian yang
membentuknya. Terbentuknya akad karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang
membentuk akad ada empat yakni : a. para pihak yang membuat akad,
b. pernyataan kehendak dari para pihak, c. obyek akad,
d. tujuan akad.
134
Tujuan akad tersebut adalah tambahan ahli-ahli hukum Islam modern yang merupakan hasil ijtihad ahli-ahli hukum kontemporer dengan melakukan penelitian
induktif dengan disyaratkan tidak bertentangan dengan syarak.
135
2. Syarat-syarat akad