Rukun dan Syarat Akad sebagai Unsur Pembentuk Akad

79 Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama. Asas ibadah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. 132 Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak dengan apa yang diterima. Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan menjaga amanah. Menurut Abdul Manan asas-asas akad adalah sebagai berikut : a. kebebasan, b. persamaan dan kesetaraan, c. keadilan, d. kerelaan, e. tertulis. Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi dkk, menambah dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran. 133

C. Rukun dan Syarat Akad sebagai Unsur Pembentuk Akad

Di dalam pembahasan ini hanya mengenai Rukun dan Syarat Akad sebagai unsur dalam membentuk akad. Di dalam Fiqh muamalah untuk terbentuknya akad yang sah dan mengikat harus dipenuhi rukun akad dan syarat akad. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian berikut. 132 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih. Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 130 133 Abdul Manan, “Hukum Kontrak “Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah”. Dalam Varia Peradilan. No. 247. Th. Ke. XXI. hlm. 33. Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 30. Universitas Sumatera Utara 80 1 . Rukun-rukun Akad Unsur-unsur akad sama maksudnya dengan rukun-rukun akad. Rukun dimaksudkan unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang menjadi bagian-bagian yang membentuknya. Terbentuknya akad karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat yakni : a. para pihak yang membuat akad, b. pernyataan kehendak dari para pihak, c. obyek akad, d. tujuan akad. 134 Tujuan akad tersebut adalah tambahan ahli-ahli hukum Islam modern yang merupakan hasil ijtihad ahli-ahli hukum kontemporer dengan melakukan penelitian induktif dengan disyaratkan tidak bertentangan dengan syarak. 135

2. Syarat-syarat akad

Syarat-syarat akad dibagi menjadi empat macam yakni ; a. Syarat-syarat terbentuknya akad. b. Syarat-syarat keabsahan akad. c. Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad. d. Syarat-syarat mengikatnya akad. 134 Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm. 12 135 Ibid. Universitas Sumatera Utara 81 Adapun syarat-syarat akad tersebut dapat ditelaaha lebih lanjut pada uraian berikut : a. Syarat Terbentuknya Akad Tiap-tiap rukun pembentukan akad tersebut di atas diperlukan syarat-syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Dalam arti tanpa adanya syarat-syarat akad maka rukun-rukun akad tidak dapat membentuk akad. Rukun pertama, yaitu para pihak yang membuat akad harus memenuhi dua syarat yakni : 1. Tamyiz, dan 2. Berbilang pihak. Rukun yang kedua yakni, pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat ialah 1. Adanya persesuaian ijab dan kabul dalam arti tercapainya kata sepakat dan 2. Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga yakni obyek akad, harus memenuhi tiga syarat yakni 1. Obyek itu dapat diserahkan, 2. Tertentu atau dapat ditentukan, dan 3. Obyek itu dapat ditransaksikan bernilai dan dimiliki. Rukun keempat yakni tujuan akad, syaratnya tujuan akad itu harus sesuai dengan syariah atau tidak bertentangan dengan syariah. Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad tersebut, menurut pandangan ahli-ahli hukum Islam disebut syarat terbentuknya akad. Yang jumlahnya yakni : 1. Kecakapan minimal tamyiz, 2. Berbilang pihak, 3. Persesuaian ijab dan qabul, 4. Kesatuan majelis akad, 5. Obyek akad dapat diserahkan, 6. Obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, 7. Obyek akad dapat ditransaksikan berupa Universitas Sumatera Utara 82 benda bernilai dan dimiliki, 8. Tidak bertentangan dengan syariah. 136 Rukun-rukun dan syarat-syarat yang tersebut di atas dinamakan pokok. Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad dalam arti tidak memiliki wujud yuridis syar’i atau disebut akad batil. 137 b. Syarat-syarat Keabsahan Akad Dengan dipenuhi rukun dan syarat terbetuknya akad, memang sudah mempunyai wujud yuridis syar’i namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat tersebut masih memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna. Rukun pertama, yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua syarat yaitu syarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur penyempurna, sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan syarat penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapai secara bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itu karena paksaan, maka akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari paksaan adalah syarat keabsahan akad. Rukun ketiga, yakni obyek, dengan tiga syaratnya, memerlukan unsur penyempurna syarat “dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian darar dan apabila menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai syarat “obyek 136 Ibid., hlm. 13 137 Ibid Universitas Sumatera Utara 83 harus tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitu tidak boleh mengandung garar, dan apabila mengandung garar akadnya menjadi fasid. Dan syarat obyek harus dapat ditransaksikan memerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan, yaitu bebas dari fasid dan riba. 138 Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui ada lima sebab-sebab yang menjadikan fasid suatu akad yangtelah terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yakni : 1 Paksaan, 2. Penyerahan yang menimbulkan kerugian, 3. Garar, 4. Syarat-syarat fasid, dan 5 Riba. Oleh karena itu sempurnanya rukun dan syarat terbentuknya akad, bila bebas dari kelima faktor sifat-sifat tersebut maka dinamakan syarat keabsahan akad. 139 Jadi akad yang telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang lima itu tidak terpenuhi, meskipun rukun dan syarat terbentuknya terpenuhi, maka akad tidak sah. c. Syarat berlakunya Akibat Hukum Suatu akad dinyatakan sah yakni telah terpenuhi rukun-rukunnya, syarat- syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya, namun ada kemungkinan akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat dilaksanakan. Bila kemungkinan ini terjadi disebut akad mauquf terhenti atau tergantung. 140 138 Ibid ., hlm15 139 Ibid. 140 Ibid. Universitas Sumatera Utara 84 Agar dapat dilaksanakan akibat hukumnya akad yang sudah sah itu harus ada dua syarat yang mempertautkan ketiga rukun akad yakni : 1. Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, dan 2. Adanya kewenangan para pihak atas obyek akad. Kewenangan atas tindakan hukum terpenuhi bila telah mencapai tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya. Ada kalanya tindakan hukum yang hanya memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal yaitu Tamyiz. Ada tindakan hukum yang memerlukan kecakapan bertindak hukum sempurna yaitu kedewasaan. Bagi anak mumayyis remaja usia tujuh tahun hingga menjelang dewasa untuk melakukan akad timbal balik belum cukup kewenangannya meskipun tindakannya sah. Tetapi akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan karena masih tergantung kepada izin wali karena itu akadnya disebut akad mauquf apabila walinya kemudian mengizinkan, tindakan hukumya dapat dilaksanakan akibat-akibat hukumnya, dan apabila wali tidak mengizinkan akadnya harus dibatalkan. 141 Kewenangan para pihak atas obyek akad, kewenangan atas obyek dapat terpenuhi bila para pihak mempunyai kepemilikan atas obyek yang bersangkutan, atau mendapat perwakilan dari para pemilik dan pada obyek tersebut tidak tersangkut hak orang lain. Seperti penjual yang menjual barang milik orang lain, adalah sah tindakannya, akan tetapi akibat hukum tindakan itu tidak dapat 141 Ibid. Universitas Sumatera Utara 85 dilaksanakan karena akadnya mauquf, yaitu tergantung pada izin pemilik barang. Bila tidak diizinkan akadnya harus batal. 142 Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa akad yang sah, dapat dibedakan menjadi dua macam yakni : 1Akad maukuf, yakni akad yang sah, tetapi belum dapat dilaksanakan akibat hukumnya. 2Akad Nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya. d. Syarat Mengikatnya Akad Bahwa akad yang sah dan nafiz dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat bagi para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat. Hal ini disebabkan oleh sifat akad itu sendiri atau oleh adanya hak-hak khiyar hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan perjanjian secara sepihak. Akad ini mengikat apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar. 143

D. Kedudukan Akad Dalam Fiqh Muamalah

Di dalam pembahasan ini meliputi, akad sebagai perbuatan hukum, sah dan batalnya akad, cacat dalam akad dengan uraian sebagai berikut :

1. Akad Sebagai Perbuatan Hukum

Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak, diantaranya salam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan 142 Ibid., hlm. 17 143 Ibid Universitas Sumatera Utara 86 qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. 144 “Sesuai dengan kehendak syariat” yang dimaksud disini adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak yang melakukan ijab kepada pihak lain yang menyatakan Kabul. Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Syamsul Anwar yakni, “Pertemuan ijab penawaran yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul akseptasi yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.” 145 Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu ; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad. Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan 144 Abdul Aziz Dahlan ed, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm 63, artikel “Akad”. 145 Syamsul Anwar, “Op.Cit., hlm. 7. Universitas Sumatera Utara 87 berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni : a. Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannyaatau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul. b. Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang. 146 Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. 147 Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum tasharruf adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum. 148 Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni : a. Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain- lain. 146 Ibid 147 Abdul Aziz Dahlan ed, Op.Cit., hlm. 63 148 Taufiq, Op.Cit., hlm. 100. Universitas Sumatera Utara 88 b. Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1 Berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli. 2 Berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban. Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya. Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan lisan tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi beri memberi. 149 Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.

2. Sah dan Batalnya Akad

Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak dipenuhi. Namun berhubung syarat- syarat akad itu bermacam-macam jenisnya. Maka keabsahan dan kebatalan akad, menjadi bertingkat-tingkat, hanya sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu dipenuhi. 149 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.Cit., hlm. 25. Asmuni. Op.Cit., hlm. 6 Universitas Sumatera Utara 89 Dalam Mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan dibagi menjadi lima tingkat yang sekaligus menggambarkan urutan akad dari yang paling tidak sah hingga sampai yang paling tinggi tingkat keabsahannya yakni : a. Akad batil. b. Akad fasid c. Akad maukuf d. Akad nafiz gair lazim, dan e. Akad nafiz lazim. 150 Menurut Jumhur Ulama fasid semakna dengan batil, tidak membedakan keduanya yakni sama-sama satu bingkai, sama-sama akad yang batal tidak menimbulkan konsekuensi apapun. 151 Dari akad dalam beragam tingkat kebatalan dan keabsahan tersebut di atas dibagi menjadi dua golongan pokok yakni ; 1. Akad yang tidak sah yaitu terdiri akad batal dan akad fasid, 2. Akad yang sah ada tiga tingkatan yakni akad maukuf, akad nafiz gair lazim, dan akad nafiz lazim. Dalam pembahasan berikut ini hanya empat peringkat akad yang belum mencapai tingkat akad sempurna di dalam rukun dan syaratnya, tidak termasuk akad nafiz lazim adalah sebagai berikut : a. Akad Batil. Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syarat- syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada 150 Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm. 21. 151 Asmuni, Op.Cit.,,, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara 90 akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. 152 Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad tidak terpenuhi baik satu rukun atau lebih, maka akad menjadi batal. 153 Gemala Dewi menyatakan bahwa akad batal yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syarak. 154 misalnya obyek jual beli tidak jelas. Ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang secara syarak tidak sah pokok dan sifatnya seperti akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat pembentukan akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya akad tidak terpenuhi, maka akad itu disebut batal. Hukum akad batil, dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali. b. Akad Fasid Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi menjadi fasid. 155 Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. 156 Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad fasid adalah, ”akad yang menurut syarak sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya”. 157 Sah pada pokoknya yang dimaksud adalah rukun-rukun dan syarat-syarat keabsahan akad, jadi akad 152 Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 114. 153 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 47 154 Gemala Dewi dkk., Op.Cit., hlm. 147. 155 Adiwarman A. Karim, Op.Cit., hlm. 47. 156 Gemala Dewi dkk, Op.Cit., hlm. 147 157 Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm 24 Universitas Sumatera Utara 91 fasid adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad. Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak ada wujudnya, yaitu sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, membedakan akad batil dan akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada wujudnya, tidak pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujud syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya. Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak maupun oleh Hakim. Bila sudah dilaksanakan akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna. 158 c. Akad Maukuf Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi syarat kecakapan, tetapi tidak mempunyai kekuasaan melakukan akad. 159 Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila mendapat izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan akad. Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni : 1 Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan. 158 Ibid. 159 Ibid. Universitas Sumatera Utara 92 Orang-orang tersebut yakni : a Remaja yang mumayyiz, b Orang yang sakit ingatan tetapi tidak mencapai gila, c Orang pandir yang memboroskan harta, d Orang yang mempunyai cacat kehendak karena paksaan. 2 Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena adanya hak orang lain pada obyek tersebut. Yang meliputi : a Akad fuduli pelaku tanpa kewenangan. b Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari sepertiga hartanya. c Akad orang di bawah pengapuan. d Akad penggadai yang menjual barang yang sedang digadaikannya. e Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yang sedang disewakan. 160 Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya digantungkan artinya hukumnya masih ditangguhkan hingga akad itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk memberikan pembenaran atau pembatalan tersebut. d. Akad Nafiz Gair Lazim Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh oleh masing-masing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. 161 Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat beberapa macam akad yang karena sifat aslinya terbuka untuk di fasakh secara sepihak. Seperti akad pemberian kuasa, hibah, penitipan, pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah satu pihak mempunyai hak khiyar. 160 Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm 28 161 Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 119 Universitas Sumatera Utara 93

3. Cacat Dalam Akad

Tidak setiap akad kontrak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang menghilangkan keridhaan kerelaan atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut : a. Paksaan Intimidasi Ikrah Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. 162 Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu : 1 Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya. 2 Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan terhadapnya. 3 Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat. 4 Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi dirinya. 162 Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 2006, hlm. 27. Universitas Sumatera Utara 94 Kalau salah satu dari hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh terhadap kontrak yang dilakukan. 163 Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. 164 b. Kekeliruan atau kesalahan Ghalath Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal : 1 Pada zat jenis obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga. 2 Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 165 c. Penyamaran Harga Barang Ghubn 163 Ibid. 164 Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hal. 101. Abdul Manan, Op.Cit., hlm. 44 165 Ibid Universitas Sumatera Utara 95 Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqh, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad barang dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. 166 Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni : 1 Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad. 2 Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil. d. Penipuan al-Khilabah Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh. e. Penyesatan al-Taqrir Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh. E. Penerapan Akad Pembiayaan Istishna dan Tata Cara Pengikatan Akad Pembiayaan dengan Prinsip Istishna pada Bank BRI Syari’ah Di dalam praktek penyaluran produk pembiayaan khususnya pada Bank BRI Syariah Cabang Binjai dikenal berbagai kegiatan usaha di bidang syariah salah 166 Nur Kholis, Op.Cit., hlm. 28 Universitas Sumatera Utara 96 satunya produk Bank BRI Syari’ah Cabang Binjai adalah Istishna jual beli barang pesanan bayar tangguh yang dalam praktiknya dikaitkan dengan jual beli pembiayaan Murabahah sehingga pada akad pembiayaannya dikenal dengan “Akad Pembiayaan Murabahah Al Istishna”. Hal disebabkan karena pembiayaan murabahah juga menganut prinsip jual beli dengan bayar tangguh hanya pada Istishna jual beli tersebut harus melalui pemesanan terlebih dahulu. Menurut informasi Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai diketahui bahwa sebagai salah satunya produk Bank BRI Syari’ah di Kota Binjai dalam periode 3 tiga tahun terakhir yakni dalam periode tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010 Pembiayaan dengan Prinsip Al Istishna telah diberikan kepada 137 nasabah dengan rincian 43 diantara Pembiayaan Murabahah Al Istishna dalam hal pemesanan perumahan dan rumah toko sedangkan yang lainnya pada umumnya adalah bergerak dalam sektor perdagangan dan usaha produktif lainnya. 167 Dalam hal pembiayaan dengan prinsip Al Istishna ini jangka waktu yang diperlukan dalam realisasi pembiayaan adalah sangat tergantung pada pemenuhan persyaratan oleh pihak pemohon pembiayaan karena pihakbank biasanya dalam hal penerimaan permohonan biasanya langsung melakukan analisa dan survey lapangan terhadap permohonan yang diajukan pemohonan. Apabila pemohon dapat melengkapi persyaratan yang ditentukan dalam jangka waktu 14 hari sampai 30 hari 167 Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara 97 pembiayaan dapat direalisasi. Sedangkan mengenai jangka waktu ketersediaan barang yang dipesan biasanya barang yang dipesan tersebut memang telah ada atau tersedia baik dalam bentuk bangunan perumahan, toko, maupun kenderaan bermotor. Dalam hal ini pihak bank hanya menyediakan dana saja dan walaupun Pembiayaan Al Istishna jenis pembiayaan yang bersifat pemesanan, namun dalam praktek barang yang menjadi objek perjanjian pada umumnya telah dipersiapkan mengingat kalau objek belum ada dapat merugikan para pihak yang tidak dapat menikmati objek yang diperjanjikan sedangkan masa pembiayaan telah berjalan. 168 Hal ini juga dibenarkan oleh pihak nasabah bahwa dalam hal jangka waktu realisasi pembiayaan memang tergantung pada kelengkapan persyaratan dari pihak nasabah seperti yang dialaminya yaitu dalam jangka waktu 20 hari dari saat ia mengajukan permohonan pembiayaannya telah dapat direalisasikan. Demikian pula dalam hal objek perjanjiannya, dimana ia mengambil pembiayaan untuk rumah tinggal di kawasan Binjei Selatan yang berupa rumah permanen tipe 45 yang telah siap dibangun atau bukan lagi menunggu pembangunan seperti yang dimaksud dalam prinsip Al Istishna. 169 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa, Akad Pembiayaan Al Istishna walaupun pada prinsipnya merupakan pembiayaan yang dilaksanakan atas prinsip jual-belipesan membuat barang. Namun dalam praktek juga dilaksanakan 168 Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 169 Hasil Wawancara dengan Bapak Ikramsyah, Nasabah Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 05 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara 98 terhadap objek yang memang telah ada seperti dengan objek perumahan dan kenderaan bermotor karena objek yang dijadikan barang yang dipesan memang telah ada. Jadi walaupun Akad Pembiayaan Al Istishna merupakan akad jual-belipesan membuat barang tetapi juga dilaksanakan terhadap barang yang telah jadi karena tidak mungkin menunggu pembuatan atau pembangunan. Dalam penyelenggaran operasional perbankan syariah perjanjian pembiayaan atau akad pembiayaan termasuk Akad Pembiayaan Al Istishna mempunyai arti penting bagi BRI Syariah Cabang Binjai yaitu : a. Perjanjian pembiayaan berfungsi sebagai dasar hukum bagi kedua belah pihak; b. Perjanjian pembiayaan merupakan dasar lahirnya perjanjian lainnya; c. Perjanjian pembiayaan berfungsi untuk memperjelas hak dan kewajiban kedua belah pihak; d. Perjanjian pembiayaan sebagai dasar lahirnya perjanjian asuransi. Melihat arti pentingnya akad pembiayaan tersebut maka perlu dijelaskan mengenai persyaratan dan prosedur pengikatan serta debitur serta bentuk dan isi akad pembiayaan tersebut. Dalam hal persyaratan untuk menjadi Debitur dalam Akad Pembiayaan pada BRI Syariah Cabang Binjai, Calon debitur harus memenuhi persyaratan yang diajukan pihak bank yang dalam hal ini bertindak sebagai kreditur. BRI Syariah Cabang Binjai dalam menentukan persyaratan untuk menjadi debitur tergantung dari jenis usaha dan skim pembiayaan yang dibutuhkan calon debitur. Dalam memberikan pembiayaan, kreditur mempunyai suatu persyaratan yang Universitas Sumatera Utara 99 standar atau baku, persyaratan untuk menjadi debitur biasanya disesuaikan dengan jenis usaha dan skim pembiayaan yang diberikan, karena setiap jenis pembiayaan dibedakan pula persyaratannya. Calon debitur dibedakan menjadi 2 dua, yaitu 1. Perorangan yang terdiri dari a GBT Golongan Berpenghasilan Tetap dan Para Profesional, dan b Untuk usaha misal : toko kelontong, dan lain-lain serta 2. Badan Hukum. 170 Dalam praktek bentuk dan isi akad pembiayaan antara suatu bank dengan bank yang lain berbeda, hal ini terjadi dalam rangka untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing. Hal ini juga berlaku pada Bank BRI Syariah Cabang Binjai, tetapi pada dasarnya suatu perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis. Sebelum perjanjian ditandatangani kedua belah pihak, calon debitur harus melalui beberapa tahap yang meliputi : 1. Calon debitur wajib membuat surat permohonan pemberian pembiayaan, kemudian diajukan kepada pihak bank; 2. Jika surat permohonan pembiayaan telah diterima bank, bank melakukan pemeriksaan yaitu dengan melihat apakah pembiayaan yang dimohonkan masuk dalam pasar sasaran dan KRD Kriteria Resiko yang Dapat Dilayani serta apakah telah memenuhi kelengkapan administrasi yang dibutuhkan untuk mengajukan permohonan pembiayaan seperti: untuk perorangan menyerahkan fotokopi KTPSIMPASPORIdentitas Lainnya. Jika badan usaha menyerahkan 170 Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara 100 fotokopi KTPSIMPASPORIdentitas Lainnya ditambah menyerahkan NPWP, SIUP, Akte Perusahaan dan legalitas, lainnya. Apabila surat permohonan pembiayaan yang diajukan masuk kategori di atas, maka bank akan melakukan penelitian dan analisis dengan cara melakukan kunjungan atau melihat secara langsung kegiatan usaha yang dijalankan calon debitur, kemudian bank melakukan wawancara dengan calon debitur. Calon debitur juga harus memenuhi kriteria 5C Characterpenilaian terhadap kepribadian, Capitalmodal, Capacitykemampuan, Condition of Economykondisi ekonomi, dan Collateralagunan. 3. Bila penelitian dan analisis telah dilakukan oleh pihak bank, kemudian dilakukan pemutusan pembiayaan oleh pejabat pembiayaan. Bank kemudian mengeluarkan Surat Penawaran Putusan Pembiayaan SP3 yang berisi tentang persyaratan pembiayaan yaitu meliputi jumlah pembiayaan, jangka waktu pembiayaan dan lain-lain, surat ini kemudian diajukan kepada calon debitur, apabila calon debitur menyetujui maka dibuat perjanjian sesuai dengan persyaratan pembiayaan yang telah disepakati. Dalam pemberian pembiayaan BRI Syariah Cabang Binjai melimpahkan tugas tersebut kepada : 1. Account Officer AO Pada Bank BRI Syariah Cabang Binjai ini, pejabat ini bertugas memprakarsai suatu pembiayaan. Selanjutnya membina debitur tersebut agar memenuhi kesanggupannya terutama dalam pembayaran kembali pinjamannya. Selain itu Universitas Sumatera Utara 101 AO juga merangkap sebagai bagian Support Pembiayaan, yaitu mengadakan penilaian keabsahannya, seperti kebenaran lampiran, kebenaran usaha maupun penggunaan pembiayaan, keabsahan jaminan, taksasi jaminan dan lain-lain. Setelah calon debitur menjadi debitur, maka AO akan melakukan penanggulangan kemungkinan terjadinya masalah, sehingga tindakan preventif dapat dihindari sejauh mungkin 2. Pemimpin Cabang Pejabat ini berfungsi sebagai pemutus pembiayaan yang diprakarsai oleh AO, nantinya pejabat ini akan memutuskan apakah pembiayaan tersebut disetujui atau tidak. Bentuk perjanjian dalam pembiayaan yang biasanya digunakan ada 2 dua macam, yaitu : 1. Di bawah tangan onderhandsacte Dalam praktek bentuk perjanjian ini dinamakan perjanjian standar atau baku. Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang isinya sudah dibakukan oleh atau sudah dalam bentuk tertulis dan dibuat oleh pihak yang kuat yaitu pihak kreditur pihak bank. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata, perjanjian di bawah tangan adalah setiap akte yang tidak dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabatpegawai umum. 2. Dibuat Notariil Akte Authentik Dalam hal ini kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur membuat persetujuan atau kesepakatan di hadapan Notaris. Menurut Pasal 1868 KUH Universitas Sumatera Utara 102 Perdata, Akte Authentik adalah suatu akte yang dalam bentuk sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berwenang untuk itu di tempat dimana akte dibuat. Menurut Undang-Undang suatu akte authentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte authentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akte sungguh- sungguh terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan tambahan pembuktian lagi. Dalam praktek bank khusus untu jenis Akad Al Istishna digunakan format akad yang digabung dengan jual beli murabahah karena Akad Pembiayaan Al Istishna juga menganut prinsi jual beli, namun pihak bank tidak menentukan secara khusus asurat perjanjian mana yang akan digunakan, apakah di bawah tangan atau dibuat Notariil dalam perjanjian pembiayaan, tetapi biasanya ditentukan oleh besar kecilnya jumlah pembiayaan dan besar kecinya resiko. Apabila jumlah pembiayaannya besar, maka biasanya surat perjanjiannya dibuat notariil, tetapi jika jumlah pembiayaannya kecil, maka biasanya surat perjanjiannya dibuat di bawah tangan. 171 Dalam praktek isi atau materi suatu perjanjian adalah berbeda, tetapi dalam menentukan isi perjanjian pembiayaan para pihak harus mengadakan kesepakatan yang nantinya tertuang dalam akad. Pada umumnya dasarnya isi akadnya syari’ah 171 Hasil Wawancara dengan Bapak M. Indra Kusuma Staf Bagian Adminitrasi Pembiayaan ADP Bank Rakyat Indonesia BRI Syari’ah Cabang Binjai, 03 Oktober 2011 Universitas Sumatera Utara 103 adalah sama hanya berbeda mengenai objek dan jenis akad yang dibuat. Berikut ini dijelaskan mengenai isi perjanjian, dalam hal ini diambil sampel Akad Pembiayaan Murabah Al Istishna’ dalam hal ini guna pengadaan Investasi Murabah Al Istishna’. Hasil penelaahan dari akad tersebut diketahui hal-hal yang tertera dalam akad pembiayaan tersebut diatas adalah sebagai berikut : Pada awal akad dimuat tentang judul dan tanggal dibuatnya akad serta para pihak yang terlibat dalam Akad Pembiayaan Murabah Al Istishna’, seperti pihak pimpinan bank yang mewakili bank BRI syariah dan pihak debitur. Selanjutnya dibuat alasan atau sebab dibuatnya akad tersebut yaitu dengan tujuan pemberian pembiayaan oleh kreditur bank kepada debitur nasabah. Kemudian dimuat pula klausul-klausul yang diperjanjian dalam akad tersebut antara lain. 1. Klausul mengenai pengertian. Klausul ini berisikan mengenai definisi dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam akad yang bersangkutan ini. 2. Klausul mengenai Jumlah total Pembiayaan dan Penggunaannya Klausul ini menerangkan secara jelas mengenai jumlah fasilitas pembiayaan dan penggunaan dana tersebut oleh pihak kedua. 3. Klausul mengenai Potongan HargaDiskon Universitas Sumatera Utara 104 Dalam hal ini adalah potongan harga yang diberikan pemasok barang baik sebelum atau sesudah akad 4. Klausul mengenai Penyerahan Barang Klausul ini menerangkan bahwa mengenai metode dan tatacara penyerahan barang yang dipesan oleh debitur, yang biasanya dilakukan melalui penyerahan sertifikat atau bukti kepemilikan. 5. Klausul mengenai Kepemilikan Barang Dalam klausul ini diatur mengenai pemindahan kepemilikan barang dari para pihak dan tanggung jawab terhadap berbagai kewajiban perpajakan. 6. Jangka Waktu Pembiayaan Dalam klausul ini diatur mengenai lamanya pembiayaan dan jangka waktu pelunasan oleh debitur penerima pembiayaan. 7. Pembayaran Angsuran dan Denda Tata cara pembayaran yaitu menurut angsuran tetap, yaitu jumlah angsuran pokok pembiayaan dan nisbahbagi hasilnya dibayar dalam beberapa kali tiap bulan berturut-turut dengan jumlah tertentu. Batas pembayaran angsuran maksimal sampai akhir bulan angsuran. Adapun sanksi dari keterlambatan pembayaran angsuran dikenakan denda. 8. Klausul mengenai Force Majeure Universitas Sumatera Utara 105 Klausul ini mengenai pembebasan denda untuk pihak kedua jika keterlambatan pembayaran angsuran itu disebabkan oleh kejadian di luar kekuasaan dan kemampuan para pihak. 9. Klausul mengenai Pengakuan Kewajiban Hutang Klausul ini berisikan tentang pernyataan dari pihak kedua yang mengaku secara sah dan sebenar-benarnya berhutang dan karenanya berkewajiban untuk melunasi hutang tersebut. 10. Klausul mengenai jaminan Dalam jaminan harus dijelaskan secara terperinci, mengenai jenis jaminan, dan pengikatan jaminannya. 11. Klausul mengenai Asuransi Di dalam klausul ini pihak bank mengasuransikan barang dan jaminan lainnya dan jiwa pihak kedua agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 12. Klausul mengenai Syarat-syarat yang Harus Diperhatikan Pihak Kedua Klausul ini berisikan tentang : a. Pernyataan menjamin dari pihak kedua bahwa dalam melakukan perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku di Indonesia serta tidak ada sengketa yang sedang terjadi, yang dapat berpengaruh merugikan akad pembiayaan; b. Hal-hal yang harus dilakukan pihak kedua terkait dengan pembiayaannya; Universitas Sumatera Utara 106 c. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pihak kedua terkait dengan pembiayaannya. 13. Klausul mengenai Kewajiban Lain-Lain Pihak Kedua debitur Kewajiban debitur untuk menandatangani akad pembiayaan danatau menyerahkan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan pembiayaan ini. 14. Klausul Pernyataan Klausul pernyataan ini memuat mengenai Tata cara eksekusi seluruh jaminan apabila pembiayaan tidak dilunasi pada waktu yang telah ditentukan. 15. Klausul mengenai Biaya-Biaya Biaya Tambahan Biaya tersebut meliputi : bea materai, biaya percetakan, biaya notaris, biaya Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dan biaya lainnya. 16. Klausul mengenai Penyelesaian Perselisihan Klausula ini menerangkan cara penyelesaian sengketa, bila suatu hari nanti pemberian pembiayaan ini bermasalah. 17. Klausul mengenai Pemberitahuan Domisili Klausula ini menerangkan tempat kedudukan hukum yang tetap. Penentuan domisili sebagai bentuk kepastian hukum apabila di kemudian hari pemberian pembiayaan bermasalah. 16. Klausul mengenai pemberitahuan Klausul ini menerangkan bahwa semua pemberitahuan mengenai akad ini dianggap disampaikan secara baik dan sah, bila dikirim dengan surat tercatat. Universitas Sumatera Utara 107 17. Klausul mengenai Ketentuan Tambahan a. Mengatur hak-hak terhadap kuasa debitur; b. Segala sesuatu yang belum diatur dalam perjanjian tunduk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia; c. Ketentuan pemberlakuan akad perjanjian sejak penandatanganan perjanjian pembiayaan. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa dalam produk pembiayaan istishna merupakan pembiayaan produktif maupun konsumtif untuk memenuhi kebutuhan barang produksi atau barang konsumtif yang dilakukan dengan cara pemesanan secara syari’ah sesuai dengan kemampuan masing-masing nasabah dengan akad istishna. Namun demikian, dapat pula terjadi apabila dalam pemesanan diperkirakan memerlukan waktu yang lama seperti dengan objek perumahan dan kenderaan bermotor pihak bank juga dapat menyediakan dana saja sedangkan objek perjanjian pada umumnya telah dipersiapkan baik oleh bank maupun atas permintaan nasabah. Dasar hukum produk pembiayaan istishna menggunakan Fatwa DSN No 06DSN-MUIIV2000 tentang Jual Beli Istishna dan No 22DSN-MUIII2002 tentang Istishna Pararel. T ata cara pengikatan akad pembiayaan dengan prinsip Istishna pada Bank BRI Syari’ah dilakukan melalui penandatangan akad pembiayaan, dimana pihak bank untuk dapat memperoleh keyakinan dari seorang debiturnya atas kemampuannya dalam melunasi hutangnya, kreditur dapat melakukan penelitian dan analisis yang mendalam Universitas Sumatera Utara 108 terhadap debitur tersebut, baik yang menyangkut kepribadiannya maupun segi-segi kegiatan usaha dan agunannya, juga memenuhi kriteria berkaitan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Pengikatannya Akad Pembiayaan dilakukan dengan Akta Otentik yang dibuat di hadapan notaris atau dibuat di bawah tangan dengan dilakukan pengesahan notaris, dimana hal ini tergantung dari nilai pembiayaan yang direalisasikan. Universitas Sumatera Utara 109

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PEMBIAYAAN DENGAN