A. Latar Belakang Masalah

xxv

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat dewasa ini mengakibatkan tingkat konsumsi yang cukup tinggi di kalangan masyarakat Indonesia. Perkembangan tersebut memunculkan adanya produk-produk terbaru untuk tiap-tiap kebutuhan konsumen sehingga memungkinkan seseorang konsumen untuk memilih satu dari sekian banyak produk sejenis yang ditawarkan oleh berbagai konsumen. Wibowo dalam Ginting Sianturi, 2005 mengatakan bahwa hal tersebut membuat para produsen berusaha menampilkan produk- produk mereka sebaik dan se-inovatif mungkin untuk menarik minat konsumen untuk tetap membeli produk mereka. Sebagai contoh, seorang konsumen yang ingin membeli sebuah telepon genggam ponsel untuk kebutuhan komunikasinya, dapat memilih satu dari sekian banyak jenis ponsel dari berbagai merek dan dari berbagai kelas pasar dimana ponsel tersebut dimaksudkan, mulai dari low-end kelas bawah hingga ke high-end kelas atas, mulai dari ponsel yang beroperasi melalui jaringan berteknologi GSM hingga jaringan berteknologi CDMA. Pada tahun 2004 yang lalu, Nokia, salah satu produsen ponsel terkemuka di dunia, telah mengelurkan sebanyak 24 tipe ponsel GSM dan 10 tipe ponsel CDMA. Hal yang sama juga dilakukan oleh Sony Ericsson, dimana produsen ini pada akhir tahun 2004 mengeluarkan produk ponselnya terbaru yakni J200, dan Universitas Sumatera Utara xxvi pada awal 2005 mengeluarkan ponselnya yang diberi nama T290, yang semakin menambah daftar jenis-jenis ponsel perusahaan mereka sebelumnya. Sony Ericson sendiri, masih pada tahun yang sama, membagi lini produknya yang terdiri dari P untuk ponsel bertipe smartphone, S untuk swivel ponsel dengan engsel berputar, T dan J untuk entry level dan K untuk ponsel kelas menengah. http:studiohandphone.comnews_detail.php?id=4072sub=all . Masih di Tahun 2004, catatan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia ATSI menunjukkan bahwa penjualan ponsel di Indonesia telah mencapai lebih dari 30 juta unit http:studiohandphone.comnews_detail.php?id=4099sub=all . Banyaknya pilihan yang dihadapi oleh seorang konsumen dalam membeli suatu produk akan berdampak pada rasa bingung atau ragu yang akan dialaminya ketika memutuskan untuk membeli produk tersebut. Sumarwan dalam Ginting Sianturi, 2005 mengemukakan bahwa walaupun dijejali oleh banyaknya pilihan produk, keputusan akhir dalam membeli produk tersebut akan tetap ditentukan oleh konsumen tersebut. Banyaknya produk sejenis yang ditawarkan oleh berbagai produsen secara tidak langsung akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan membeli yang dilakukan oleh konsumen. Sebelum membeli suatu barang atau produk, seorang konsumen tentunya akan membuat keputusan mengenai produk apa yang sesuai dengan kebutuhannya. Engel dkk. 1995, menjelaskan beberapa tipe pengambilan keputusan, yakni: 1 pengambilan keputusan diperluas extended problem solving, dimana pada tipe ini konsumen terbuka luas terhadap berbagai sumber Universitas Sumatera Utara xxvii informasi untuk menentukan pilihan alternatif yang terbaik baginya. Apabila hasil yang diharapkan sesuai dengan yang terjadi maka keputusan membeli diwujudkan dalam bentuk rekomendasi kepada orang lain serta keinginannya untuk membeli kembali produk yang sama di kemudian hari; 2 pengambilan keputusan antara midrange problem solving. Pada tipe keputusan ini, pencarian informasi juga dilakukan oleh konsumen namun intensitasnya tidak sebesar pada tipe pengambilan keputusan diperluas atau dengan kata lain terbatas; 3 pengambilan keputusan terbatas limited problem solving. Pada tipe ini hanya sedikit pencarian informasi yang dilakukan oleh konsumen. Engel dkk. 1995 juga mengatakan bahwa keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen akan melalui beberapa tahap, yakni: 1 tahap pengenalan kebutuhan. Pada tahap ini ada perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan keadaan yang sebenarnya yang pada akhirnya akan membangkitkan proses kebutuhan; 2 tahap pencarian informasi. Untuk mencari solusi dari permasalahan dapat diperoleh melalui pencarian internal atau dari dalam diri, dapat juga diperoleh melalui pencarian eksternal seperti mencari informasi dari orang lain, seperti teman, keluarga, kelompok dan sebagainya; 3 tahap evaluasi alternatif. Alternatif yang ada dipersempit sehingga akhirnya dari sekian banyak alternatif yang tersedia, konsumen akan memilih alternatif yang dia inginkan; 4 pembelian. Pembelian didasarkan pada alternatif yang telah dipilih; 5 konsumsi. Biasanya tindakan pembelian akan diikuti oleh tindakan mengkonsumsi atau menggunakan produk yang telah dibeli; 6 evaluasi alternatif setelah pembelian. Setelah melakukan pembelian, konsumen akan mengevaluasi Universitas Sumatera Utara xxviii apakah alternatif yang telah dipilih sesuai dengan harapan. Beberapa konsumen pada tahap ini akan mengalami keraguan atau kecemasan atas keputusan pembelian yang telah dilakukan. Keraguan seperti disebut di atas adalah salah satu bentuk dari cognitive dissonance. Festinger dalam Sweeney dkk., 2000 mengatakan bahwa cognitive dissonance adalah suatu keadaan ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi seseorang untuk mengurangi keraguan dissonance tersebut Hawkins, 1986 mengungkapkan bahwa keraguan seperti yang telah dijelaskan di atas dikenal dengan istilah postpurchase dissonance, yang terjadi pada tahap pasca pembelian postpurchase suatu produk oleh konsumen.Tahap ini, menurut Hawkins, adalah tahap yang sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencari penguatan reinforcement atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan. Ada 4 empat hal yang memungkinkan seorang konsumen mengalami postpurchase dissonance Hawkins, 1986, yakni: 1 the degree of commitment or irrevocability of the decision. Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan dissonance; 2 the importance of the decision to the consumer. Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami dissonance; 3 the difficulty of choosing among alternatives. Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance; 4 the individual’s tendency to experience anxiety. Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya dalam Universitas Sumatera Utara xxix mengalami rasa cemas. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasannya, maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance. Sweeney dkk. 2000 mengajukan 3 dimensi untuk mengukur postpurchase dissonance yang juga merupakan salah satu bentuk dari cognitive dissonance, yaitu: 1 emotional. Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan membeli; 2 wisdom of purchase. Kesadaran individu setelah pembelian dilakukan apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut; 3 concern over deal. Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan apakah mereka telah dipengaruhi terhadap keyakinan mereka sendiri terhadap produk yang dibeli oleh agen penjual sales staff. Pada tahap pasca pembelian suatu barang, seorang konsumen akan berusaha mengurangi kebingungan atau keraguan dissonance yang dialami Hawkins, 1986, dengan cara antara lain: 1 meningkatkan rasa suka terhadap merek, atau produk yang telah dia beli; 2 mengurangi rasa suka terhadap alternatif yang ditolak; 3 mengurangi tingkat kepentingan terhadap keputusan membeli. Konsumen pada tiap-tiap keenam tahap keputusan pembelian di atas akan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang akan mempengaruhi bagaimana dia berpikir dan bertindak selama berada dalam proses tersebut.. Faktor yang bersifat eksternal atau dari lingkungan antara lain seperti budaya, pengaruh kelompok, kelas sosial dan keluarga. Faktor internal atau yang berasal Universitas Sumatera Utara xxx dari dalam diri antara lain adalah: motivasi, pengetahuan, sikap dan kepribadian konsumen tersebut Engel dkk., 1995. Hawkins, Best, dan Coney dalam Nadeem, 2007 mengatakan bahwa para praktisi pemasaran, dari tahun ke tahun, menyadari betapa pentingnya untuk memuaskan para konsumen, dan mereka telah menanamkan investasi dalam usaha untuk memahami dan mengukur kepuasan konsumen tersebut dengan tujuan jangka panjang yakni mengamankan keuntungan di masa depan dan kestabilan bisnis. Para ahli pemasaran dari dahulu tertarik dalam memahami bagaimana kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku konsumsinya, karena pengetahuan akan hal tersebut akan memungkinkan mereka untuk lebih memahami konsumen-konsumennya dan untuk menentukan strategi dan target bagi konsumen tersebut agar merespon secara positif terhadap produk mereka Singh dalam http:www3.interscience.wiley.comcgi-bin abstract 51913ABSTRACT?CRETRY=1SRETRY=0 mengatakan bahwa kepribadian adalah sebuah consumer antecedent yang penting Penelitian yang dilakukan Oliver 1993, Westbrook 1987, Havlena Holbrook 1986 memperlihatkan bahwa respon emosi adalah komponen pokok dari pengalaman-pengalaman konsumsi dan hal tersebut berlaku dengan baik pada produk apa saja dalam http:www3.interscience.wiley.comcgi- binabstract51913ABSTRACT?CRETRY=1SRETRY=0 . Hasil penelitian yang sama juga diperlihatkan oleh Larsen Katelaar 1991, Mooradian dan Olver 1997 yang mengatakan bahwa konsumen dengan Universitas Sumatera Utara xxxi tipe kepribadian ekstroversion ekstrovert dihubungkan dengan emosi konsumsi consumption-based emotions yang positif dan sebaliknya konsumen dengan tipe kepribadian neuroticism neurotik dihubungkan dengan emosi konsumsi yang negatif dalam http:businessperspectives.orgfilesimIM_EN_2005_Matzler. pdf .. Emosi konsumsi positif yang dimaksudkan disini adalah bahwa konsumen melaporkan feedback yang baik terhadap suatu produk setelah menggunakan produk tersebut. Dan sebaliknya, respon emosi konsumsi yang negatif adalah konsumen melaporkan feedback yang tidak baik terhadap suatu produk setelah menggunakan suatu produk. Menurut Coe dalam http:advertising.mcdar.net8999.php . seorang konsumen dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung bereaksi lebih positif terhadap iklan suatu produk daripada seorang konsumen bertipe kepribadian introvert. Konsumen bertipe ekstrovert cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor luar seperti status sosial, hubungan sebaya, nilai sosial dari suatu produk atau jasa social value of products or services, sedangkan konsumen bertipe introvert lebih dipengaruhi faktor yang berasal dari dalam diri mereka sendiri seperti keyakinan pribadi, sikap attitude, dan mereka cenderung gugup akan membuat kesalahan sehingga akan menyalahkan diri mereka sendiri bila membuat kesalahan dan akan memastikan kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali, dan mereka juga cenderung mengalami rasa cemas. http:www.capitalideasonline.com articlesindex.php?id=1800 . Universitas Sumatera Utara xxxii Eysenck dalam Schultz Schultz, 1994 membagi tipe kepribadian menjadi 2 dua tipe yaitu 1 tipe ekstrovert, dan 2 tipe introvert. Masing- masing tipe kepribadian tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Individu dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki karakteristik antara lain: sociable, memiliki banyak teman, lebih agresif, easy-going mudah bergaul, optimis. Sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert memiliki karakteristik: pemalu, menarik diri, pendiam, berusaha menghindari orang lain. Individu yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert, dalam membeli suatu produk, akan memiliki banyak masukan informasi yang berasal dari teman- temannya yang dapat menguatkan pilihan alternatif yang telah dibuatnya. Tingkat agresivitas yang tinggi sebagai salah satu karakteristik kepribadiannya akan membuat tingkat kecemasan yang dialaminya tidak terlalu besar sehingga mengurangi rasa ragu atau cemas yang akan dialami terhadap sesuatu. Bertolak belakang dengan individu bertipe kepribadian ekstrovert, individu dengan tipe kepribadian introvert, yang cenderung pendiam, tidak memiliki banyak teman, akan mengalami kesulitan dalam mencari reinforcement penguatan akan pilihan alternatif yang telah dipilih, karena sangat bergantung pada pencarian informasi dari dalam dirinya sendiri. Rasa cemas yang cukup besar, akan berdampak pada keraguan atas suatu produk yang telah mereka beli. Dari gambaran di atas, dapat dilihat bahwa dalam kaitannya dengan proses pengambilan keputusan pembelian, seorang konsumen dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung mengambil tipe pengambilan keputusan diperluas, dikarenakan banyaknya sumber informasi eksternal yang dapat diperoleh, Universitas Sumatera Utara xxxiii sedangkan seorang dengan tipe kepribadian introvert akan cenderung memiliki tipe pengambilan keputusan terbatas. Keraguan setelah pembelian postpurchase dissonance yang dialami oleh seorang konsumen dengan tipe kepribadian ekstrovert akan lebih kecil tingkatannya dikarenakan oleh sedikitnya tingkat rasa cemas yang dimiliki oleh konsumen bertipe kepribadian ekstrovert dan banyaknya sumber penguatan reinforcement yang bisa didapat oleh konsumen tipe ini. Sedangkan konsumen bertipe kepribadian introvert akan cenderung lebih besar mengalami keraguan atau kebingungan setelah pembelian, yang dikarenakan oleh sedikitnya sumber reinforcement yang bisa ia peroleh atas keputusan membeli yang telah ia lakukan, dan juga dikarenakan tingkat rasa cemas yang tinggi yang dimiliki oleh individu bertipe kepribadian ini. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara tingkat keraguan atau kebingungan yang dialami oleh seorang konsumen yang bertipe kepribadian ekstrovert dengan yang bertipe kepribadian introvert setelah membeli suatu produk. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Perbedaan Postpurchase Dissonance Antara Konsumen Dengan Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Universitas Sumatera Utara xxxiv

I. B. Tujuan Penelitian

Dokumen yang terkait

Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

3 39 138

Perbedaan Organizational Citizenship Behavior Antara Pegawai Dengan Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert

1 45 72

PERBEDAAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA Perbedaan Antara Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert Dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

0 6 15

PERBEDAAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA Perbedaan Antara Tipe Kepribadian Ekstrovert Dan Introvert Dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

1 6 12

PERBEDAAN KREATIVITAS KARYAWAN ANTARA TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT DAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT Perbedaan Kreativitas Karyawan Antara Tipe Kepribadian Introvert dan Kepribadian Ekstrovert.

1 3 14

BAB 1 PENDAHULUAN Perbedaan Kreativitas Karyawan Antara Tipe Kepribadian Introvert dan Kepribadian Ekstrovert.

0 1 11

HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN POSTPURCHASE DISSONANCE PADA KONSUMEN PENGGUNA LOW MPV HONDA MOBILIO DI KOTA BANDUNG.

1 3 13

HUBUNGAN TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT DENGAN POSTPURCHASE DISSONANCE PADA KONSUMEN PENGGUNA LOW MPV HONDA MOBILIO DI KOTA BANDUNG - repository UPI S PSI 1001844 Title

0 0 3

BAB II LANDASAN TEORI A. Postpurchase Dissonance A.1. Pengertian Postpurchase Dissonance - Dinamika Postpurchase Dissonance Pada Wanita Dengan Tipe Kepribadian Introvert

0 0 14

DINAMIKA POSTPURCHASE DISSONANCE PADA WANITA DENGAN TIPE KEPRIBADIAN INTROVERT

0 0 14