BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berpasang-pasangan dan saling mencintai dalam ikatan perkawinan dan memperoleh
keturunan serta hidup dalam kedamaian dengan perintah Allah SWT dan petunjuk rasul. Umat islam Indonesia di harapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
sejalan dengan tumbuh berkembangnya pembangunan nasional terutama sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya
pembangunan di segala bidang. oleh karena itu, pembinaan kehidupan beragama perlu semakin ditingkatkan seiring dengan semakin meningkatnya perkembangan sains dan
teknologi yang begitu cepat.
1
Untuk mendukung pelaksanaan pembinaan kehidupan beragama khusunya bagi umat islam telah dibuat Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juncto
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang diundangkan pada tanggal 29 desember 1989 dengan lembaran Negara republic Indonesia Tahun 1989 Nomor 49. Salah satu
substansinya adalah bertujuan mempertegas kekuasaan kehakiman. Kekuasaan absolute dipertegas dengan mendefinisikan bidang-bidang hukum perdata yang menjadi
kewenangan peradilan agama, sehingga jelaslah yuridiksi kewenangan absolute bidang- bidang hukum perdata antara peradilan dengan lingkungan pengadilan agama dengan
lingkunan pengadilan umum.
2
1
Wahid Marzuki dan Rumadi, fiqh mazhab Negara kritik atas politik hukum indonesia,Yogyakarta: LKIS, 2001, cet ke-1, h. 3
2
Zainudin ali,hukum perdata islam di Indonesia,Jakarta:Sinargrafika,2006,cet ke.1.hlm 31.
Substansi tersebut telah diformulasikan pada pasal 49 yang secara tegas menggariskan bahwa garis batas wilayah hukum bidang-bidang perdata yang menjadi
wewenang pengadilan agama adalah bidang-bidang hukum seperti perkawinan munakahat, kewarisan faraidh, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqoh bagi golongan
rakyat yang beragama islam. Agama islam sendiri telah mengatur tentang masalah perceraian bagi umat islam,
apabila pergaulan suami isteri setelah diusahakan sedemikian rupa ternyata tidak dapat mencapai tujaun rumah tangga atau bahkan menimbulkan kebencian, percekcokan,
permusuhan dan bahkan sampai membahayakan keselamatan jiwa salah satu pihak, maka dengan keadilan Allah dibuka suatru jalan keluar untuk menghindari hal-hal yang tidak di
inginkan, guna memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak untuk menentukan nasibnya sendiri-sendiri dengan cara perceraian, tentu saja perceraian ini merupakan
suatu upaya terakhir, bila upaya yang lain tidak dapat berhasil mendamaikan. Berdasarkan penjelasan diatas, salah satu prinsip dalam perkawinan adalah
mempersulitnya perceraian cerai talak, karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat
perbuatan manusia.
3
Salah satu yang menjadi wewenang pengadilan agama adalah tentang perceraian. Secara tertulis masalah perceraian diatur dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam KHI
jo Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang salah satu persyaratan untuk melakukan perceraian, yaitu harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama atau
dengan kata lain perceraian tidak lah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia,
3
Hilman adikusuma,hukum perkawinan di Indonesia menurut perundangan, hukum adat. Hukum dan agama,bandung:mandar maju,1990,cet. Ke-I,hlm.60.
apabila dilakukan diluar sidang pengadilan agama cerai bawah tangan. Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan, Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
4
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sejak berlakunya undang-undang perkawinan secara efektif yaitu sejak tanggal 1 Oktober 1975 tidak dimiungkinkan terjadinya
perceraian diluar Pengadilan Agama. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
Adapun perceraian atau putusnya perkawinan antara seorang pria dengan wanita. Putus ikatan berarti salah satu dari mereka meninggal dunia, antara pria dengan wanita
sudah bercerai, dan salah seorang dari keduanya pergi ketempat jauh kemudian tidak ada kabar beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah
meninggal, berdasarkan semua itu,dapat berarti ikatan perkawinan suami dan istri sudah putus.
5
Perceraian dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan yang halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan Hadis Nabi Muhammad SAW yang
artinya : اًط ا ها ي إ احْا ضغْبا
6
“suatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talakperceraian. Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, Dan Al Hakim.
4
Kompilasi hukum islam dan peradilan dalam sitem hokum nasional,Jakarta:Logos,199cet, ke.I.
5
Mukti arto,praktek perkara perdata pada peradilan agama,Yogyakarta: pustaka pelajar,1996
6
Abi abdilah Muhamad Bin Yazid al-Qudzhaini, sunnah ibnu majah, Beirut, dar al-Fikr, tth, juz 1, h.650
Berdasarkan Hadis tersebut, menunjukan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir pintu darurat yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan tidak
dapat dipertahankan lagi keutuhanya dan kelanjutanya. Sifat alternative terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh berbagai cara dan tehnik untuk mencari kedamaian di
antara kedua belah pihak, baik melalui hakam dari belah pihak maupun langkah-langkah dan tehnik yang diajarkan oleh Al Qur‟an dan Hadis.
7
Kalau persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang Perkawinan. Namun, tata cara
perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan 36 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan teknisnya diatur dalam peraturan menteri agama No 3 Tahun 1975 Tentang
kewajiban Pegawai Pencatat Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Yang Beragama Islam.
Pasal 38 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan : Perkawinan putus karena :
1. Kematian
2. Perceraian, dan
3. Keputusan pengadilan
Pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan : 1.
Peceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan keduanya belah pihak.
7
Zainudin ali,huku perdata islam di Indonesia,Jakarta:Sinargrafika,2006,cet ke.1.hlm 31.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagaimana suami istri Tata cara perceraian di depan pengadilan diatur dalam peraturan perundang-
undangan tersendiri. Pasal 40 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :
1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan-undangan tersendiri.
8
Selain rumusan hukum dalam undang-undang perkawinan tersebut, Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab
terjadinya perceraian, tata cara, dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 14 mengenai putusnya
perkawinan yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 KHI mempertegas bunyi Pasal 39 undang-
undang perkawinan yang sesuai dengan konsern KHI, yaitu untuk orang islam : perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama setelah pengadilan
agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran
islam apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak terwujud atau terealisasi
8
Undang-undang perkawinan di Indonesia, UU No 1 tahun 1974
sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor No 3 Tahun 2006 selanjutnya disebut UUPA dan Pasal 115 KHI.
9
Tata cara perceraian bisa dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya peceraian dapat dibagi dalam dua aspek, yaitu sebagai berikut :
1. Cerai talak suami yang bermohon untuk bercerai
Apabila suami yang mengajukan permohonan kepada pengadilan agama untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujuinya itu disebut cerai talak. Hal ini
diatur dalam pasal 66 UUPA. 2.
Cerai gugat istri yang bermohon untuk bercerai Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri ke pengadilan agama, yang kemudian termohon suami menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh
karena itu, khulu‟ seperti yang telah diuraikan pada sebab putusnya peceraian perkawinan temasuk cerai gugat. Cerai gugat diatur dalam Pasal 73 UUPA.
10
Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 4 disebutkan pegawai pencatat nikah adalah pada kantor urusan agama.
11
Jadi sesuai pasal 39 ayat 1 menyebutkan “peceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
9
Hilman adikusuma,hukum perkawinan di Indonesia menurut perundangan, hukum adat. Hukum dan agama,bandung:mandar maju,1990,cet. Ke-I,hlm.60.
10
Zainudin Ali., hokum perdata islam di Indonesia, Jakarta : SINARGRAFIKA, 2006. Cet ke-1 h. 80
11
Amandemen undang-undang peradilan agama. UU RI No.3 Tahun 2006.sinar garafika
Dan dalam KHI juga disebutkan dalam pasal 129 KHI yaitu seorang suami yang akan mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Agama islam sendiri telah mengatur tentang masalah
perceraian bagi umat islam, apabila pergaulan antara suami istri setelah diusahakan sedemikian rupa ternyata tidak dapat mencapai tujuan berumah tangga atau bahkan
menimbulkan kebencian, percekcokan, permusuhan dan bahkan sampai membahayakan keselamatan jiwa salah satu pihak, maka dengan keadilan Allah dibuka suatu jalan keluar
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, guna memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak untuk menentukan nasibnya sendiri-sendiri yakni dengan cara
perceraian. Tentu saja perceraian ini merupakan suatu upaya terakhir, bila upaya yang lain tidak dapat berhasil mendamaikan.
Disinilah Nampak ada suastu ketimpangan antara hukum formal dengan hukum fiqh. Di suatu pihak menghendaki adanya suatu bentuk tertib administrasi dalam perceraian,
disisi lain perceraian pada masyarakat awam dapat terjadi tanpa putusan dari hakim, padahal sudah jelas masalah perceraian sudah diatur dalam undang-undang. Perbedaan
antara keduanya itu menimbulkan istilah perceraian di bawah tangan yang belakangan ini muncul dalam masyarakat setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Tetapi sekarang nampaknya perceraian itu sudah jarang sekali terjadi dibanding keadaan terdahulu, dikarenakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, mempersulit terjadinya perceraian.
12
12
Ibid, h 162.
Jelas bahwa setiap orang yang beragama islam baik penggugat atau tergugat dalam masalah perceraian harus dilaksanakan didepan sidang pengadilan.dan KUA hanya
bertugas. Mencatatkan pernikahan. Akan tetapi masih banyak fenomena yang terjadi di masyarakat, khusunya
masyarakat Kecamatan Ciomas Serang Banten, dimana pasangan suami istri sering melakukan perceraian tanpa melalui pengadilan agama, sehingga hak-hak istri dan anak
setelah perceraian nyaris diabaikan, seolah-olah setelah percraian itu tidak ada lagi beban yang harus ditanggung oleh suami. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dari
aparat pemerintah dan sanksi hukum yang di berlakukan. Semua ini terjadi karena tidak paham akan hukum, atau mungkin menganggap sepele
terhadap akibat pekawinan sehingga begitu mudah melakukan perceraian. Dengan munculnya fenomena perceraian di bawah tangan, atau peceraian yang tidak diajukan ke
pengadilan agama, penulis tertarik untuk melakukan kajian atau penelitian dalam rangka penulisan skripsi.
Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Fenomena Perceraian Diluar Pengadilan Agama Studi
Di Kecamatan Ciomas Serang Banten” B.
Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Maslaah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan menimbulkan interpretasi yang berbeda dari tujuan penulisan skripsi, maka penulis membatasi masalah dalam skripsi ini
pada fenomena Perceraian diluar Pengadilan Agama Di Kecamatan Ciomas. Perceraian
diluar Pengadilan Agama dibatasi pada perceraian yang dilakukan oleh masyarakat tanpa disidangkan di Pengadilan Agama.
2.
Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana cara dan prosedur masyarakat Ciomas dalam melakukan perceraian?
2. Apa sajakah factor yang menyebabkan masyarakat Ciomas melakukan perceraian di
Pengadilan Agama? 3.
Apa sajakah yang harus dilakukan untuk meminimalisir perceraian diluar Pengadilan Agama?
C. Tujuan Penelitian