khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dipaparkan diatas dapat dimasukkandikategorikan kedalam aparat penegak hukum yang akan diuraikan
sebagai berikut:
A. Jenis-Jenis Putusan Pidana Pada Umumnya.
Terhadap pengertian putusan dapat ditemukan perumusannya baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaKUHAP maupun dari pandangan
doktrin. Berdasarkan KUHAP, diberikan batasan tentang putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
60
Sedangkan menurut pandangan doktrin, pengertian putusan pengadilan diberikan batasan sebagai berikut:
61
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun
lisan. Demikian dimuat dalam buku ”Peristilahan Hukum Dalam Praktik” yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI. 1985 halaman 221. Rumusan diatas
terasa kurang tepat. Selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata putusan dan keputusan dicampur adukkan. Ada juga yang mengartikan
putusan vonis sebagai vonnis tetap definitief. Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli
hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah. Mengenai kata
putusan yang diterjemahkan dari vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Ada juga yang disebut: interlocutoire yang
diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire
60
Perhatikan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
61
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 318.
Universitas Sumatera Utara
yang diterjemahkan dengan pendahuluankeputusan persiapan serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.
Berdasarkan perumusan KUHAP dan pandangan doktrina sebagaimana
dipaparkan diatas, pada asasnya putusan HakimPengadilan dapat digolongkan kedalam 2 dua jenis, yaitu:
62
1. Putusan akhir.
Dalam praktik sering disingkat dengan istilah putusan saja. Putusan ini dapat terjadi apabila Majelis Hakim memeriksa terdakwa tindak pidana korupsi
yang hadir dipersidangan sampai pokok perkaranya selesai diperiksa. Disebut dengan pokok perkaranya selesai diperiksa karena Majelis Hakim sebelum
menjatuhkan putusan telah melalui proses-proses berupa: sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas dan peringatan Ketua
Majelis kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi didalam persidangan, pembacaan catatansurat dakwaan,
acara keberataneksepsi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya dan pendapat jaksapenuntut umum, penetapanputusan sela, pemeriksaan alat
bukti, tuntutan pidana requisitoir, replik-duplik, re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan ditutup serta musyawarah Majelis Hakim dan
pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan dibacakan.
62
Ibid, hlm. 319. Perhatikan juga Pasal 182 ayat 3, 8, Pasal 195, Pasal 197, Pasal 199 dan Pasal 200 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Universitas Sumatera Utara
2. Putusan yang bukan putusan akhir.
Dalam praktik, bentuk daripada putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela atau sering pula disebut dengan
istilah bahasa Belanda tussen-vonnis. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal 156 ayat 1 KUHAP, yakni dalam hal terdakwa dan atau
penasehat hukum mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksapenuntut umum. Penetapan atau putusan sela ini secara formal dapat
mengakhiri perkara apabila terdakwa dan atau penasehat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang telah diputuskan oleh Majelis
Hakim tersebut. Akan tetapi secara material perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila perlawanan atau verzet dari penuntut umum oleh pengadilan
tinggi dibenarkan sehingga pengadilan tinggi melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Kalau dijabarkan lebih lanjut mengapa putusan ini
disebut sebagai bukan keputusan akhir karena disamping dimungkinkan perkara tersebut secara material dibuka kembali karena adanya verzet atau
perlawanan yang dibenarkan, juga karena dalam hal ini materi pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses
berikutnya belum diperiksa oleh Majelis Hakim. Pengambilan putusan oleh Majelis Hakim dilakukan setelah masing-masing
Hakim Anggota Majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua
Majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat. Jika permufakatan bulat
Universitas Sumatera Utara
tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Ada kalanya para Hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyakpun tidak
dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa. Pelaksanaan proses
pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.
63
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan pemberantasan korupsi melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi, maka
bentuk putusan pengadilan tindak pidana korupsi sama halnya dengan bentuk putusan pengadilan pada umumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
64
1. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili.
Adapun bentuk-bentuk putusan pengadilan tindak pidana korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut:
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan
maka terdakwa atau penasehat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi keberatan. Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat
bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi berwenang baik
63
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 52.
64
Perhatikan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: Pemeriksaan disidang pengadilan tindak pidana korupsi didasarkan pada hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Universitas Sumatera Utara
secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut.
65
Jika Majelis Hakim berpendapat sama dengan penasehat hukum maka dapat dijatuhkan
putusan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili.
66
2. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena atas permintaan yang
diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Alasan utama untuk membatalkan surat
dakwaan demi hukum adalah apabila surat dakwaan tidak menjelaskan secara terang segala unsur konstitutif yang dirumuskan dalam Pasal pidana yang
didakwakan kepada terdakwa. Artinya adalah bahwa beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyatakan dakwaan jaksa batal
demi hukum adalah:
67
a. Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang
didakwakan. b.
Tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan.
65
Pengadilan tidak berkompetensi berwenang secara relatif maksudnya adalah berkaitan dengan wilayah hukum bagi setiap pengadilan, pengadilan tertentu hanya mempunyai kekuasaan atau
wewenang untuk mengadili suatu perkara pada suatu wilayah hukum yang menjadi kekuasaan atau wewenangnya. Sedangkan pengadilan tidak berkompetensi berwenang secara absolut maksudnya
adalah berkaitan dengan lingkungan peradilan yang terdiri dari 4 empat yaitu: lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha
negara, tegasnya apa yang menjadi wewenang peradilan umum secara mutlak hanya dapat diperiksa dan diadili oleh peradilan umum, sedangkan peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata
usaha negara secara mutlak tidak boleh memeriksa dan mengadilinya dan demikian juga sebaliknya. Perhatikan M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar
Grafika, 2001, hlm. 92.
66
Evi Hartanti, op.cit, hlm. 53. Perhatikan juga Pasal 156 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
67
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 359.
Universitas Sumatera Utara
c. Dakwaan kabur atau obscuur libel karena tidak dijelaskan bagaimana
kejahatan dilakukan.
3. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum, sebab putusan tersebut
dijatuhkan karena:
68
a. Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak
ada. b.
Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili nebis in idem.
c. Hak untuk menuntut hukuman telah hilang karena daluwarsa
verjaring.
4. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum.
Pada dasarnya, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum onslag van alle rechtsvervolging dapat terjadi apabila Majelis Hakim beranggapan
bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi sekalipun terbukti Hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
69
Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum juga dapat terjadi disebabkan oleh karena:
70
a. Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak
pidana.
68
Evi Hartanti, op.cit, hlm. 53.
69
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 324.
70
Evi Hartanti, op.cit, hlm. 54. Perhatikan Juga Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa
tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara lain: 1.
Tidak mampu bertanggungjawab. 2.
Melakukan dibawah pengaruh daya paksa overmacht. 3.
Adanya pembelaan terdakwa. 4.
Adanya ketentuan Undang-Undang. 5.
Adanya perintah jabatan.
5. Putusan bebas.
Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum vrij spraak atau acquittal. Inilah pengertian
terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa tidak dipidana. Adapun yang
menjadi alasan paling mendasar dijatuhkannya putusan bebas adalah apabila Majelis hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
71
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup bukti menurut
penilaian Hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
72
71
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 347.
72
Perhatikan Penjelasan Pasal 191 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, secara yuridis dapat disebutkan bahwa putusan bebas apabila Majelis Hakim setelah memeriksa pokok perkara dan bermusyawarah
beranggapan bahwa: a.
Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.
Pembuktian yang diperoleh dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup
terbukti itu, tidak diyakini oleh Hakim atau dengan perkataan lain bahwa ketiadaan alat bukti seperti ditentukan dalam asas minimum pembuktian
menurut Undang-Undang secara negatif negatief wettelijke bewijs theorie sebagaimana dianut oleh KUHAP.
73
b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.
Maksudnya adalah bahwa kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja.
74
Putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat Hakim tentang:
75
1. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak
terbukti, semua alat bukti yang diajukan dipersidangan baik berupa
73
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 323.
74
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam
ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung 2 dua asas, yaitu: pertama, asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian bahwa disamping
kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa. Kedua, asas batas minimum pembuktian, yang dianggap cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa harus sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah.
75
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 348.
Universitas Sumatera Utara
keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang
didakwakan. Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian Hakim semua alat bukti
yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, atau
2. Secara nyata Hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan
tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya: alat bukti yang diajukan dipersidangan hanya terdiri dari seorang saksi
saja. Dalam hal yang seperti ini, disamping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian juga bertentangan dengan asas unus testis nullus
testis atau seorang saksi bukanlah saksi, atau 3.
Putusan bebas bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Penilaian yang
demikian sesuai sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP yang mengajarkan pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.
Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan Hakim, sekalipun secara formal
kesalahan terakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup tersebut akan lumpuh apabila tidak didukung
oleh keyakinan Hakim. Dalam keadaan penilaian yang seperti ini,
Universitas Sumatera Utara
putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum.
6. Putusan pemidanaan pada terdakwa.
Putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami setiap
yang terungkap dalam persidangan. Sebagai Hakim ia berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh
terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil, maka Hakim harus memperhatikan:
76
a. Sifat tindak pidana.
b. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana.
c. Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana.
d. Pribadi terdakwa.
e. Sebab-sebab melakukan tindak pidana.
f. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan.
g. Kepentingan umum.
Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang
terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam Pasal pidana
yang didakwakan. Memang benar Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas.
Undang-Undang memberi kebebasan kepada Hakim untuk menjatuhkan
76
Evi Hartanti, op.cit, hlm. 55.
Universitas Sumatera Utara
pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pidana yang bersangkutan. Namun demikian, titik tolak Hakim menjatuhkan
putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam Pasal pidana yang didakwakan.
77
Untuk melihat status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan berbarengan dengan saat putusan diucapkan, ada berbagai status yang dapat
diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana, yaitu:
78
a. Jika terdakwa tidak ditahan.
1. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam status tidak ditahan.
Tidak semua putusan pemidanaan dibarengi dengan perintah supaya terdakwa ditahan. Sekalipun terdakwa berada dalam status tidak
ditahan, kemudian putusan yang dijatuhkan berupa putusan pemidanaan, pengadilan dapat memerintahkan dalam putusan supaya
terdakwa tidak ditahan.
79
Tidak ada kemestian bagi pengadilan untuk memerintahkan supaya terdakwa ditahan sekalipun terhadap terdakwa dijatuhi putusan
pemidanaan. Tindakan atau kebijaksanaan pengadilan yang tidak
77
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 354. Perhatikan Pasal 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 553 KPid1982 Tertanggal 17 Januari 1983, yang menegaskan
bahwa mengenai ukuran hukuman adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur oleh Undang-Undang atau kurang
memberikan pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman.
78
M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 355-357.
79
Perhatikan pasal 193 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan terdakwa supaya ditahan dalam suatu putusan pemidanaan tentu ada baik dan buruknya. Segi keburukannya adalah
seolah-olah putusan pemidanaan itu dianggap masyarakat kurang sungguh-sungguh, dari segi kebaikannya adalah mungkin Hakim
berpendapat untuk apa buru-buru memerintahkan terdakwa agar ditahan sekalipun kepadanya telah dijatuhkan putusan pemidanaan,
bukankan masih besar kemungkinan putusan itu akan dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi.
2. Pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan.
Jika terdakwa tidak ditahan pada saat putusan dijatuhkan, maka pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Berarti
pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa, sekaligus memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Dalam
hal seperti ini sebelum pengadilan memerintahkan penahanan, terlebih dahulu meneliti apakah perkara yang didakwakan memenuhi syarat
ketentuan Pasal 21 KUHAP. Tidak semua tindak pidana memenuhi syarat sah perintah penahanan sesuai dengan ketentuan Pasal 21.
perintah penahanan terhadap terdakwa baru sah dan memenuhi syarat apabila tindak pidana yang didakwakan memenuhi syarat yang
ditentukan pada Pasal 21.
80
80
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memuat tentang syarat-syarat penahanan perlunya penahanan yaitu: 1. Ada bukti penahanan
Universitas Sumatera Utara
b. Jika terdakwa berada dalam status tahanan.
1. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Alternatif pertama yang dapat dipilih pengadilan adalah memerintahkan atau menetapkan terdakwa yang ditahan supaya tetap
berada dalam tahanan. Jadi, kalau pada saat pengadilan menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa yang kebetulan sedang
ditahan, pada saat putusan dijatuhkan atau diucapkan sekaligus dibarengi dengan perintah supaya terdakwa tetap berada dalam
tahanan. 2.
Memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan. Alternatif kedua yang dapat ditempuh pengadilan adalah
mengeluarkan perintah pembebasan terdakwa dari tahanan.
81
yang cukup, 2. Adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, 3. Merusak atau menghilangkan barang bukti, 4. Mengulangi melakukan kejahatan. Perhatikan juga Andi Hamzah dan
Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP Dengan HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 50.
. Apabila pengadilan menempuh kebijaksanaan yang demikian, pada saat
penjatuhan pemidanaan terhadap terdakwa, sekaligus pengadilan membarengi putusan dengan perintah untuk membebaskan terdakwa
dari tahanan. Hal seperti ini terasa mengandung kontradiksi. Mungkin orang akan bertanya mengapa Undang-Undang memperbolehkan
pengadilan memerintahkan pembebasan terdakwa dari tahanan, padahal pengadilan sendiri menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap
81
Perhatikan Pasal 193 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Universitas Sumatera Utara
orangnya.. benar ketentuan ini seolah-olah terasa kurang sejalan. Akan tetapi terhadap hal yang demikian Undang-Undang sendiri
membatasinya, yaitu sepanjang perintah pembebasan itu mempunyai alasan yang benar-benar masuk akal. Seandainya putusan pidana yang
dijatuhkan pengadilan terhadap terdakwa sama dengan masa tahanan yang telah dijalani, atau jika putusan pidana yang dijatuhkan
pengadilan terhadap terdakwa melampaui masa tahanan yang dijalani. Akhirnya dapat disimpulakn bahwa sebelum menjatuhkan pidana, majelis
hakim sebaiknya mengevaluasi terlebih dahulu semua permasalahan jalannya sidang, dimana sebaiknya hakim memperhatikan juga hal-hal sebagai berikut:
1. Apakah akibat perbuatan terdakwa akan meresahkan umum atau tidak.
2. Apakah terdakwa memang penjahat kambuhan atau bukan, dalam
melakukan kejahatan terlalu sadis, faktor usia dan sebagainya. 3.
Sosial ekonomi terdakwa.
82
Berdasarkan bentuk-bentuk putusan sebagaimana dipaparkan diatas, maka apabila ditinjau dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan
Negeri Semarang yang terbentuk mulai Tahun 2010 dan telah memutus berbagai perkara tindak pidana korupsi dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi melalui putusan pengadilan tindak pidana korupsi, dapat dilihat bahwa keseluruhan putusan yang dijatuhkan adalah putusan pemidanaan
terhadap terdakwa.
82
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, op.cit, hlm. 270.
Universitas Sumatera Utara
B. Pemberantasan Korupsi Melalui Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.