Kerangka teori. Kerangka Teori dan Konsepsi

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam rangka menganalisis eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi.

1. Kerangka teori.

Untuk menjaga eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam hal mengatasi atau menghukum pelaku tindak pidana korupsi tidak terlepas dari dotrin Montesquieu tentang ajaran pembagian kekuasaan distribution of power yang salah satu ajarannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman harus diselenggarakan secara independen, yang meliputi: kemandirian personal personal judicial indepence, kemandirian substansial substantif judicial independence dan kemandirian internal serta kemandirian kelembagaan institusional judicial independence yang berarti: 18 a. Kemandirian substantif adalah kemandirian di dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. b. Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya di dalam memutus suatu perkara yang sedang diperiksa. c. Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun. 18 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 120. Universitas Sumatera Utara d. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri. Hal tersebut diatas adalah selain untuk menjaga eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi juga berkaitan erat dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, khususnya penegakan hukum dalam hal melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Berbicara tentang penegakan hukum tidak terlepas dari unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam rangka penegakan hukum tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai sistem dalam penegakan hukum dan merupakan bahagian dari legal system. Sebagaimana diketahui bahwa sistem adalah sebagai suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain. 19 Sementara itu, Lawrence M. Friedman mengemukakan: 20 Sistem hukum legal system tidak saja merupakan rangkaian larangan atau perintah, akan tetapi lebih dari itu sebagai serangkaian aturan yang bisa menunjang, meningkatkan, mengatur, dan menyuguhkan cara untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kita akan berbicara tentang 3 tiga komponen penting dalam sistem hukum legal system yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture. Ketiga hal ini adalah komponen pembentuk sesbuah sistem hukum legal system yang dikehendaki oleh sebuah masyarakat. Lebih lanjut lagi menurut Lawrence M. Friedman, untuk menggambarkan kinerja kutipan komponen tersebut diatas dapat kita bayangkan apabila komponen 19 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum nasional, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 56. 20 Lawrence M. Friedman, sebagaimana dikutip dalam majalah Jurnal Keadilan, Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara struktur hukum legal structure diibaratkan sebagai sebuah mesin, maka substansi hukumnya legal substance adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum legal culture adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan, menetapkan bagaimana mesin itu digunakan. Bagi Friedman yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri, yaitu sebagai kontrol sosial ibarat polisi, penyelesaian sengketa dispute settlement, skema distribusi barang dan jasa goods distributing scheme, dan pemeliharaan sosial social maintenance. 21 Berdasarkan hal tersebut diatas, maka untuk melakukan penegakan hukum pada umumnya, ada beberapa unsur atau komponen yang harus dipenuhi secara keseluruhan, yang meliputi: 22 a. Materi hukumsubstansi hukum, meliputi: 1. Hukum tertulisperaturan perundang-undangan. 2. Yurisprudensi tetap. 3. Kebiasaan. 4. Perjanjian-perjanjian internasional Dalam hal ini adalah segala materi hukum yang berkenaan dengan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi. Dipihak lain, materi hukum baru akan tercipta melalui proses kegiatan: 1. Perencanaan hukum. 2. Pembentukan hukum. 3. Penelitian hukum 4. Pengembangan dan informasi hukum. 5. Penyelenggaraan dokumentasi hukum. 6. Pengembangan ilmu hukum. 7. Pembinaan pendidikan hukum. 8. Anotasi keputusan-keputusan hakim. 9. Analisis dan evaluasi hukum. 21 Ibid, hlm. 2. 22 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1996, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara b. Aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana terdapat dalam Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System. Norvel Morris sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa: Sistem Peradilan Pidana adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. 23 Di Indonesia, tahapan dalam peradilan pidana dijalankan oleh subsistem yaitu: 1. Hakim pemeriksa disidang pengadilan. 2. Polisi penyidikan. 3. Jaksa penuntutan. 4. Advokat bantuan hukum, dan 5. Lembaga Pemasyarakatan pemasyarakatan. Kelima komponen ini bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “Integrated Criminal Justice”. 24 c. Budaya hukum. Budaya hukum merupakan kunci pokok dari terselenggaranya penerapan dan penegakan hukum dalam suatu negara, sebab budaya hukum adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh satusekelompok orang, berarti semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat yang ada dalam suatu negara maka semakin mudah tercapai penegakan hukum dinegara tersebut, karena sebaik apapun peraturan hukum yang ada, tidak akan pernah dapat ditegakkan apabila yang menjadi subyek hukum tersebut tidak memiliki budaya hukum Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh moral seseorang sangat menentukan didalam sikap, tindakan, dan putusan. Pelaku korupsi berarti telah bersikap, bertindak dan memutuskan segalanya karena moralnya yang tidak baik, tercela, dan tidak terpuji. 25 23 Mardjono Reksodiptro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan karangan buku kedua, Jakarta; Lembaga Kriminologi UI, hlm. 140 24 Ibid, hlm. 85 25 S. Anwary, Analisis Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Jakarta: AMRA, 2003, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara d. Sarana dan prasarana hukum. Sarana dan prasarana hukum adalah untuk mendukung kelancaran dan kelangsungan berperannya sistem hukum secara lebih baik, diantaranya adalah: segala sarana dan prasarana badan-badan peradilan, sarana dan prasarana biro-biro hukum, sarana dan prasarana bagi penelitian, pengembangan dan pendidikan hukum. Berdasarkan beberapa unsur atau komponen penegakan hukum pada umumnya sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis berpendapat bahwa keseluruhan unsur atau komponen tersebut juga harus ada atau terpenuhi dalam hal melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, sebab berbicara tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sama halnya dengan berbicara tentang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum dibidang tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi alasan dikatakan bahwa seluruh unsur atau komponen tersebut harus terpenuhi adalah berdasarkan pengertian dari sitem dalam penegakan hukum itu sendiri, yaitu sistem merupakan suatu organ yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain. Sejumlah unsur atau komponen yang dimaksud disini adalah: materisubstansi hukum, aparat penegak hukum, budaya hukum, sarana dan prasarana hukum. Selanjutnya adalah teori yang berkaitan dengan kedudukan Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang bernaung pada pengadilan tindak pidana korupsi yang berada pada kekuasaan kehakiman yang bersifat independen Universitas Sumatera Utara Menurut A. Mukti Arto Lembaga Kekuasaan Kehakiman mempunyai peran penting bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional, yaitu: 26 a. Menurut teori konstitusi. Pembentukan lembaga-lembaga negara sebagai institusi penyelenggara negara harus ada pembatasan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Lembaga negara seperti lembaga Kekuasaan Kehakiman bertugas untuk mengawasi jalannya hukum dan pemerintahan agar tidak menyimpang dari konstitusi. b. Menurut teori negara hukum. Keberadaan lembaga Kekuasaan kehakiman merupakan ciri utama dan elemen dasar dari negara hukum. Di dalam negara hukum modern harus ada kekuasaan kehakiman untuk menjalankan penegakan keadilan. c. Menurut teori demokrasi. Indonesia merupakan negara hukum yang setiap melaksanakan kegiatan dan kebijakan didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku. Kehidupan yang demokratis selalu berada dalam negara hukum. Dan didalam negara hukum harus ada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak demokrasi pengadilan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum demi melindungi kepentingan rakyat dari kesewenangwenangan pemerintah. Berdasarkan hal demikian, maka tugas seorang hakim adalah menafsirkan hukum dan prinsip-prinsip dasar dan asumsi-asumsi yang melandasai hukum yang bersangkutan. Karena itu hakim harus independen tetapi tidak berarti ia bertindak sewenwang-wenang. Orang yang dipilih menjadi pejabat Pengadilan harus mempunyai integritas, keahlian, dan latar belakang pelatihan dan persyaratan yang sesuai dibidang hukum. Proses seleksi harus tidak membeda- bedakan orang menurut ras, suku bangsa, jenis kelamin, agama, aliran politik, dan pendapat, latar belakang Negara atau sosial, hak milik, kelahiran atau status. 26 A.Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redifinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 19 Universitas Sumatera Utara Namun, tidak menganggap membeda-bedakan bila disyaratkan bahwa calon pejabat Pengadilan harus warga masyarakat yang bersangkutan. Calon hakim diangkat dan mendapatkan kenaikan pangkat penting sekali bagi Independensinya. Hakim tidak diangkat berdasarkan pertimbangan politik, tetapi semata-mata atas dasar keahlian dan netralits politik. Proses pengangkatan pejabat Pengadilan melibatkan Legislatif, Eksekutif, dan Perdilan itu sendiri. 27 Selanjutnya dalam menjatuhkan pidana, maka Hakim harus berorientasi pada tujuan pemidanaan yang tidak terlepas dari faktor pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana korupsi dan faktor penanggulangan setelah terjadinya tindak pidana korupsi. Adapun yang menjadi tujuan pemidanaan dapat dilihat dari aspek filosofis penjatuhan pidana itu sendiri. Dalam hukum pidana setidaknya ada 3 tiga teori tentang pemidanaan tersebut, dan teori-teori tersebut lahir didasarkan pada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana. Ketiga teori dimaksud adalah sebagai berikut: a. Teori absolut atau pembalasan vergeldings theorien. Teori absolut atau teori retributif atau dikenal dengan teori pembalasan vergerldingstheori tujuan pemidanaan didasarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally justified pembalasan secara moral karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatan yang 27 Jeremy Pope, op.cit, hlm. 128-129. Universitas Sumatera Utara dilakukannya. 28 Menurut teori diatas, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan. Menurut teori ini, bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Artinya teori absolut memandang, pidana dimaksudkan untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang. 29 Dari uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut dengan teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan. 30 b. Teori relatif atau tujuan doel theorien. Menurut teori ini, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah prevensi agar kejahatan itu tidak terulang lagi. 28 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy, Pustaka Bangsa Press, 2008, hlm. 68. 29 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hlm. 21. 30 Ibid. Universitas Sumatera Utara Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana itu dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat. Oleh karena itu teori yang kedua ini disebut dengan teori tujuan. 31 Adapun wujud pidana menurut teori ini berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki, menakutkan dan membinasakan. Kemudian hakikat pidana itu sendiri dibedakan kepada prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum general bertujuan agar masyarakat pada umumnya menjadi takut, sehingga mereka tidak melakukan tindak pidana yang sama pada masa yang akan datang. 32 Sedangkan prevensi khusus special seperti yang dianut oleh Van Hamel Belanda dan Von Liszt Jerman adalah bertujuan untuk mencegah niat buruk pelaku kejahatan, juga agar sipelaku tidak mengulangi kejahatannya. Secara lebih terperinci Van Hamel mengemukakan bahwa prevensi khusus suatu pidana dalam teori relatif itu adalah: 1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya. 2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 4. Tujuan satu-satunya suatu pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum. 33 31 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm. 34. 32 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Pratnya, 1993, hlm. 34. 33 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia, 1984, hlm. 23. Universitas Sumatera Utara Sementara itu, E. Utrecht menyebutkan bahwa: Teori relatif atau tujuan menitikberatkan pada tujuan hukum. Ancaman hukuman dan hukuman perlu supaya manusia tidak berdosa ne peccetur, supaya manusia tidak melanggar. Menurut teori ini maka tujuan hukuman ialah menakutkan manusia melakukan pelanggaran, yaitu pada ancaman hukuman ada pengaruh menakutkan orang melakukan pelanggaran, dan juga untuk memperbaiki dan mendidik manusia ia oleh masyarakat dapat diterima lagi sebagai anggota yang baik. 34 c. Teori gabungan veriniging theorien Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. 35 Dalam teori gabungan veriniging theorien dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan vergeldings theorien maupun teori relatif atau tujuan doel theorien dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak.. 36 Adapun keberatan teori gabungan veriniging theorien terhadap teori absolut atau pembalasan vergeldings theorien adalah: 37 34 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, Jakarta: 1966, hlm. 366. 35 Mahmud Mulyadi, dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2010, hlm. 98. 36 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 64. 37 Ibid, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara 1. Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan- batasannya atau sulit untuk menentukan beratnya hukuman. 2. Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan. 3. Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4. Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi kepuasan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana diadakan untuk kepentingan masyarakat. Sedangkan keberatan teori gabungan veriniging theorien terhadap teori relatif atau tujuan doel theorien adalah: 1. Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan, yaitu: baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. 2. Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan, apabila ternyata bahwa kejahatannya ringan. 3. Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat. 38 Dengan demikian, teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Teori gabungan antara pembalasan dan prevensi ini kemudian bervariasi menjadi 3 tiga bentuk, yaitu: 1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan. Akan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. Variasi yang pertama ini dianut oleh Pompe. Pompe mengatakan sebagaimana dikutip Andi hamzah, ”bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang lanjutnya, pidana dapat 38 Ibid. Universitas Sumatera Utara dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap tidak dapat dipungkiri bahwa pidana berarti suatu pembalasan”. 39 Grotius sebagai penganut teori ini kemudian mengembangkan teori gabungan tersebut dengan menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, akan tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana menurutnya adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 40 2. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Teori ini dianut oleh Thomas Aquino yang mengatakan bahwa kesejahteraan umum menjadi dasar hukum diciptakannya sebuah Undang-Undang. Ia juga berpendapat bahwa tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela oleh pelaku, karena itu ia pantas dijatuhi pidana sesuai dengan perbuatannya. Masih menurut Aquino, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Sebab tujuan pidana adalah untuk melindungi kesejahteraan masyarakat. Senada dengan pendapat Aquino tersebut diatas, Vos berpendapat bahwa suatu pidana adalah dimaksudkan sebagai prevensi umum, bukan semata-mata 39 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 36. 40 Ibid, hlm. 23. Universitas Sumatera Utara ditujukan kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara, maka ia tidak terlalu takut lagi karena sudah berpengalaman. 41 3. Teori gabungan yang menganggap pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat harus dititikberatkan sama. Beranjak dari ketiga teori pidana tersebut diatas, maka dapatlah diketahui mengapa pemidanaan itu diberlakukan. Untuk menemukan jawabannya, maka harus dikembalikan kepada persoalan apa sebenarnya tujuan diciptakannya hukum itu. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan diciptakannya hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban, keamanan dan keadilan ditengah-tengah masyarakat. 42 Untuk mewujudkan tujuan itu pulalah, pemerintah selalu mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan korupsi yang mencoba mengganggu ketentraman masyarakat tersebut. Tindakan tegas yang diambil pemerintah dalam rangka melindungi, mengayomi masyarakatnya adalah dengan menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan korupsi tersebut. Memang diakui, bahwa dalam teori relatif sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya tujuan pemidanaan itu adalah untuk memperbaiki si terpidana. Akan tetapi, pada sisi lain teori relatif itu juga menganut paham bahwa salah satu wujud pemidanaan itu adalah untuk membinasakan terpidana. Hal ini kemudian diuraikan lebih jauh oleh Van Hamel yang berpendapat bahwa 41 Ibid, hlm. 37. 42 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung: Remaja Karya, 1985, hlm. 96. Universitas Sumatera Utara setidaknya ada 4 empat prevensi khusus suatu pidana, satu diantaranya adalah pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. Sedangkan yang kedua adalah pidana harus mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 43 Karena itu para ahli hukum pidana Indonesia berpendapat bahwa pidana tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum yang bersifat kemasyarakatan yang dibahayakan oleh kejahatan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dan dengan dijatuhkannya pidana terhadap pelaku kejahatan korupsi tersebut, maka ketentraman masyarakat umumpun akan terwujud, sebab hal itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, sehingga penjahat potensial lainnya akan takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Disamping itu, suatu pendirian dalam mepertahankan tata tertib hukum dengan menjatuhkan pidana terhadap seseorang karena tingkah lakunya yang dianggap membahayakan ada ditangan pemerintah. Karena itu, penjatuhan pidana menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa keadilannya. 44 Sementara itu, Hamzah dan Sumangelipu dengan mengutip pendapat HG. Rambonnet, mengemukakan bahwa: Adalah tugas pemerintah untuk mempertahankan ketertiban hukum. Seperti yang kita lihat, untuk mempertahankan ketertiban hukum itu diwujudkan melalui pemidanaan. Berdasarkan hal ini, maka pemerintah mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan, karena hak pemerintah untuk memidana itu adalah akibat yang logis dari haknya 43 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 35. 44 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 61. Universitas Sumatera Utara untuk membalas dengan pidana. Karena kejahatan itu menyebabkan terganggunya ketertiban hukum tersebut dalam suatu bahagian tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak mengikutsertakan penjahat itu dalam pergaulan masyarakat. Hal itu dapat direalisasikan dengan merampas kemerdekaannya dipenjara, mengambil harta bendanya dan sebagainya. 45 Apabila kejahatan tersebut tidak hanya menggangu ketertiban pada suatu hal tertentu, tetapi meluas, misalnya pengkhianatan terhadap negara, maka menurut Rambonnet tujuan pidana mati itu telah terjawab dengan melenyapkan penjahat itu dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum. Dan menurutnya, satu-satunya cara untuk mengucilkan penjahat itu dari pergaulan masyarakat adalah dengan menjatuhkan pidana mati terhadapnya. 46 Prodjodikoro mengungkapkan bahwa penjatuhan pidana itu masih diperlukan sebagai alat pencegahan prevention bagi orang-orang agar tidak melakukan kejahatan. Kemudian pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Seorang ahli hukum Belanda, Van Hattum, menurutnya, penjatuhan pidana merupakan sebuah pidana yang mutlak diperlukan sebagai tindakan dalam keadaan khusus pada taraf kemajuan zaman sekarang. 47 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hakikat penjatuhan pidana itu adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum itu sendiri yaitu menciptakan ketenteraman dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat. Hal ini tidak akan terwujud bila dimana-mana terjadi kejahatan yang mengakibatkan terganggunya 45 Andi hamzah, op.cit, hlm. 27. 46 Ibid. 47 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 165. Universitas Sumatera Utara ketertiban masyarakat luas, terganggunya hak-hak mendasar hak hidup, dan jatuhnya kewibawaan negara dalam arti banyak upaya menggulingkan pemerintahan yang sah. Ketentraman dan kedamaian ditengah-tengah masyarakat itu merupakan dambaan semua pihak, baik pemerintah sebagai lembaga yang menetapkan hukum, maupun masyarakat yang melaksanakannya. Dengan dijatuhkannya pidana terhadap terpidana yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki lagi, maka terhindarlah masyarakat dari gangguan kejahatannya. Pada sisi lain, dengan dieksekusinya terpidana, maka hal itu sekaligus sebagai penjeraan atau pencegahan dari orang lain, sehingga mereka tidak melakukan kejahatan yang sama. Dengan demikian terwujudlah ketentraman dan kedamaian masyarakat sebagaimana dikemukakan diatas. 48

2. Kerangka konsepsi.