41
lingkungannya, anak yang mudah dan sering nangis, anak yang mengganggu, dan anak yang berisik.
2. Faktor orangtua
Banyakorang tua yang menyalahkan anaknya dan menjadikambing hitam bila menerima kegagalan baik dalam kehidupanrumahtangga, pekerjaan, usaha,
sehingga ada istilah anak pembawa sial. 3.
Situasi keluarga Keluarga sebagai institusi utama dalam perlindungan anak ternyata belum
sepenuhnya mampu menjalankan peranannya dengan baik. Kasus perceraian, disharmoni keluarga, keluarga miskin, perilaku ayah atau ibu yang salah,
pernikahan siri, sampai kepada upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak dalam berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya
hak-hak anak dalam keluarga.Hubungan dalam keluarga yang tidak harmonis,Banyak anak,baby sitter atau pembantu untuk mengurus anak
diperlukan bantuan dari mereka dan apabila ada permasalahan dengan mereka maka anak menjadi korbannya,keluarga terisolasi,Sosial -ekonomi -politik:
miskin, padat lingkungan, pengangguran. Masalah interaksi dengan lingkungan juga termasuk dalam permasalahan yang dapat memicu terjadinya kekerasan.
4. Faktor budaya
Kepercayaan atau adat tentang pola asuh anak, Hak orangtua atas anak, pergeseran budaya, media massa merupakan salah satu dari beberapa faktor yang
dapat terjadinya kekerasan.
42
5. Umum
Biasanya faktor lain yang dapat dijumpai dilihat dari Struktur masyarakat yang masih kental dengan budaya patriarki,Pandangan masyarakat tentang
kedudukan anak anak merupakan aset keluarga,Preferensi anak laki-laki mengutamakan anak laki-laki, sehingga terjadi diskriminasi antara anak laki-laki
dan anak perempuan; dan anak perempuan sering menjadi korban kekerasan,Persepsi masyarakat tentang kekerasan.
D. Dampak yang ditimbulkan Akibat Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak pada masalah kesehatan di kemudian hari, juga berkaitan dengan trauma yang
berkepanjangan, bahkan hingga dewasa. anak yang mendapat kekerasan akan mengalami mimpi-mimpi buruk yang tidak pernah hilang dari benak anak yang
menjadi korban, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Bisa juga setelah
menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya semasa kecilnya.
64
Dampak kekerasan yang terjadi terhadap anak secara fisik, psikis, dan seksual dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik dapat mengakibatkan luka memar, patah tulang, pingsan, luka
ringan dan luka berat sehingga dapat mengalami kematian.
64
“Dampak Buruk Kekerasan Seksual Terhadap Anak,” artikel diakses pada 22 Agustus 2014 dari http:www.republika.co.idberitagaya-hidupparenting130116mgpam4-ini-dampak-
buruk-kekerasan-seksual-terhadap-anak.
43
2. Kekerasan Psikis dapat mengakibatkan kecemasan yang berlebihan, rasa takut,
tidak percaya diri, trauma, emosi dan depresi yang mendalam. 3.
Kekerasan Seksual dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan, kerusakan pada organ reproduksi, hilangnya virginitas, serta mengalami
gangguan jiwa hingga dapat melakukan bunuh diri. Menurut Pinky Saptandari, dampak kekerasan pada anak dalam
masyarakat dapat dilihat sebagai berikut:
65
1. Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke
generasi. 2.
Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orang tua mempunyai hak untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk melakukan kekerasan.
3. Kualitas hidup semua masyarakat merosot, sebab anak yang dianiaya tak
mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari penjelasan diatas, apapun bentuk kekerasan yang dialami oleh
anak, adanya saling keterkaitan dari satu dampak dengan dampak yang lainnya. Seperti halnya seorang anak yang mengalami kekerasan fisik sudah pasti akan
mengalami kekerasan psikis dan seorang yang mengalami kekerasan seksual akan berdampak pada fisik dan psikis anak tersebut.
Kekerasan terhadap anak adalah perilaku tindak penganiayaan terhadap anak-anak. Bentuk kekerasan terhadap anak diklasifikasikan kekerasan secara
fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. Suatu permasalahan anak-anak di Indonesia semakin hari semakin
65
Bagong Suyanto, Masalah sosial anak Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 102-103.
44
memprihatinkan. Segala bentuk penderitaan yang dialami oleh anak-anak Indonesia telah menunjukkan bahwa hak hidup anak sebagai integrasi dari suatu
hak asasi manusia telah dibiarkan terancam tanpa penanganan dan solusi. Dengan adanya suatu bentuk-bentuk kekerasan yang telah dijelaskan
diatas, maka masyarakat dan pemerintah harus lebih memperhatikan bagaimana menangani masalah kekerasan anak yang ada di Indonesia agar tidak ada lagi
terjadi kekerasan terhadap anak. Sebab pada dasarnya anak adalah titipan dan Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dan seperti yang tertuang dalam ketentuan
konvensi hak-hak anak KHA maupun ketentuan umum Undang-Undang Perlindungan Anak N0. 23 Tahun 2002 menetapkan bahwa anak adalah seseorang
yang berusia dibawah 18 Tahun termasuk anak dalam kandungan, maka dari itu setiap orangtua, masyarakat, pemerintah dan Negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi anak agar terhindar dari segala bentuk kekerasan dan penganiayaan.
45
BAB IV PERAN NEGARA DALAM UPAYA MENGATASI TINDAK KEKERASAN
TERHADAP ANAK DI INDONESIA
Peneliti menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. peneliti juga menjelaskan dan
mencantumkan beberapa perumusan undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi tindak kekerasan terhadap anak. serta peneliti akan
menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan perlindungan hak-hak anak.
Anak merupakan aset utama bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan secara menyeluruh. kondisi kehidupan anak diseluruh dunia pada saat ini ternyata
tidak menjadi lebih baik. Ancaman terhadap anak pada saat ini baik ancaman fisik, mental maupun sosial lebih serius.
Negara telah mengupayakan untuk mengatasi tindak kekerasan terhadap anak secara sederhana dapat dilihat dari terbentuknya Undang-undang No 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Indonesia adalah salah satu negara yang telah ikut merafitikasi Konvensi hak Anak KHA
66
yang telah ditetapkan oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, pemerintah telah membentuk ini lembaga Komisi Perlindungan Anak.
66
Distia Aviandari, dkk., Analisis Situasi Hak Anak untuk Isu-isu Tertentu Yogyakarta: Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia, 2010, h. 56.
46
Indonesia yang bersifat independen dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 74.
67
A. Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI
1. Sejarah Terbentuknya KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI,
68
dibentuk berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22 September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada
tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003
tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan mengangkat Anggota KPAI seperti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersebut. Berdasarkan penjelasan pasal 75, ayat 1,2,3 dan 4 dari Undang-Undang No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari satu orang ketua, dua orang
wakil ketua, satu orang sekretaris, dan lima orang anggota, dimana keanggotaan KPAI terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap
perlindungan anak. Adapun keanggotaan KPAI diangkat dan diberhentikan oleh
67
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 74
68
“Profil Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” artikel diakses pada 15 September 2014 dari www.kpai.go.id