Pendapat Para Ulama Mengenai Ji’alah

mukâfa`ah jasa dan dana kepada nasabah yang berhasil mereferensikan nasabah baru Tabungan Mudharabah. Dalam perspektif fiqih muamalah, program MGM yang dilaksanakan oleh BPRS Kota Bekasi tersebut adalah termasuk ke dalam ji’âlahju’âlah. Untuk itu dalam sub bab ini akan dianalisa strategi pemasaran MGM Tabungan Mudharabah dengan menggunakan prinsip ji’âlahju’âlah sebagai alat analisa.

1. Pendapat Para Ulama Mengenai Ji’alah

Secara etimologi, ji’âlah berasal dari bahasa Arab, yang berarti upah, hadiah, persen atau komisi. 62 Ji’âlah juga dapat berarti upah atas suatu prestasi, baik prestasi itu tercapai karena sesuatu tugas tertentu yang diberikan kepadanya, atau prestasi karena ketangkasan yang ditunjukannya dalam suatu perlombaan. 63 Adapun secara terminologi fiqih, ji’âlah berarti suatu iltizâm tanggung jawab dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa, yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. 64 62 Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th, Cet. Ke-8, h.6777 63 Helmi Karim, Fiqh Muamalah Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-3, h.45 64 “Ji’alah.” Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Vol.III. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997: h.817-820. Menurut Ibnu Rusyd, ji’alah adalah ijarah pemberian Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ji’âlah menurut rumusan-rumusan yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqih klasik lebih tertuju kepada bentuk usaha melakukan suatu aktivitas atas tawaran dari seseorang untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Dalam hal ini, orang yang melaksanakannya akan diberi imbalan bila ia berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Adapun mengenai kebolehan ji’âlah, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalam hal ini, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa ji’âlah tidak dibolehkan. Alasannya karena dalam ji’âlah terdapat unsur gharar yaitu spekulasi atau untung-untungan yang dilarang dalam Islam. Hal itu disebabkan di dalam ji’âlah terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. 65 Sementara madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa ji’âlah boleh dilakukan karena hal tersebut merupakan salah satu cara untuk memenuhi keperluan manusia, sebagaimana halnya dengan ijârah dan upahmenyewa atas suatu manfaat yang tidak diketahui secara pasti hasilnya. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid Beirut: Dar al-Fikr, 1995 Juz. Ke-2, h.190 65 Ibid. Senada dengan Imam Hanafi, Ibnu Hazm, dalam kitabnya al-Mahalli, juga tidak memperbolehkan pelaksanaan ji’alah. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Kairo: Dar al-Fikr, 1996, Cet. Ke-20, Juz. Ke-3, h.252 mudârabah. 66 Adapun yang menjadi landasan hukum bagi para ulama yang membolehkan ji’âlah, adalah sebagai berikut: a. Firman Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf 12 ayat 72: ... ز ﺎ أو ﺮ ءﺂ و ﻚ ا عاﻮ ﺪ اﻮ ﺎ ﻮ 72:12 Artinya: “...Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta dan aku menjamin terhadapnya. Ayat di atas menjelaskan praktek ji’âlah, yakni janji pemberian upah bahan makanan seberat beban unta bagi siapa saja yang dapat mengembalikan piala raja. Sementara perkataan “Dan aku menjamin terhadapnya.” Adalah termasuk dhimân dan kafâlah. 67 b. Dalam hadis yang dibawakan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, diceritakan bahwasanya para sahabat pernah menerima hadiah atau upah berupa seekor kambing dengan cara ji’âlah, karena salah seorang di antara 66 Ibid. Menurut Sayyid Sabiq, ji’âlah diperbolehkan lantaran amat diperlukan pada kondisi- kondisi tertentu. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Kairo: Dar al-Fikr, 1996, Cet. Ke-20, Juz. Ke-3, h.252 67 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. Syihabuddin Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Juz. Ke-2, Cet. Pertama, h.871 mereka berhasil mengobati seseorang yang dipatuk kalajengking dengan cara membaca surat al-Fatihah. أ ﻰ ﺪ ا ﺪ ر ي : أ ن ﺎ ﺎ أ بﺎ ر ﻮ ل ﷲا ﷲا ﻰ و آ ﺎ ﻮ ا ﻰ ﺮ . ﺮ و ا أ ءﺎ ا ﺮ ب ﺎ ﺎ ﻮ ه ﻮ ه , لﺎ ﻬ : ه ﻜ ر قا ؟ ﺈ ن ﺪ ا ﺪ أ و بﺎ . لﺎ ر ﻬ : , ﺄ ﺎ ﺮ ﺎ ﺎ ﺔ ا ﻜ بﺎ , ﺮ أ ﺮ ا , ﺄ ﻰ ﺎ , ﺄ أ ﻰ ن ﻬ ﺎ و لﺎ : أ ﻰ ذ آ ﺮ ذ ﻚ ﷲا ﻰ و . ﺄ ا ﻰ ﷲا ﻰ و ﺬ آ ﺮ ذ ﻚ , لﺎ : ر ﺎ ﻮ ل ﷲا و ﷲا ر ﺎ إ ﺎ ﺔ ا ﻜ بﺎ , و لﺎ : و ﺎ أد ر كا أ ﻬ ر ﺎ ﺔ ؟ لﺎ : ﺬ و ا ﻬ و ا ﺮ ﻮ ا ﻰ ﻬ ﻜ اور 68 Artinya: Dari Abu Said al-Khudri R.A bahwasanya beberapa orang sahabat Rasulullah SAW sedang bepergian, kemudian mereka melewati suatu perkampungan Arab. Orang-orang kampung itu kemudian bertanya kepada para sahabat nabi, “Apakah ada di antara kalian orang yang pandai me-ruqyah, karena pemimpin kampung ini digigit binatang?” lalu salah seorang sahabat menjawab, “Ya ada” kemudian ia datangi pemimpin kampung itu dan langsung dibacakan mantra kepadanya dengan membaca surat al-Fatihah. Tak lama kemudian, ternyata pemimpin kampung tersebut sembuh. Maka sebagai ungkapan rasa terima kasih, sahabat yang mengobati itu diberi upah seekor kambing. Namun sahabat tersebut tidak berani menerimanya, ia berkata, “Saya harus melaporkan dahulu hal ini kepada Rasulullah SAW” akhirnya sahabat itu datang kepada Rasulullah seraya menuturkan hal itu kepadanya, “Ya Rasulullah, demi Allah, saya hanya me-ruqyah orang tersebut dengan membaca surat al-Fatihah”, Rasulullah SAW tersenyum sambil bertanya, “Tidak tahukah kamu bahwa surat al- Fatihah itu dapat digunakan untuk me-ruqyah?” kemudian beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, terimalah upah yang mereka berikan itu, dan berilah aku satu bagian bersama kalian.” HR. Muslim. 68 Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Shahih Muslim Jazirah ar- Raudhah: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1954, Juz Ke-4, h.1727 Dari pembahasan di atas, mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa ji’âlah boleh dilakukan. Namun demikian, pelaksanaannya perlu memenuhi persyaratan ji’âlah yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut: 69 a. Orang yang menjanjikan upah jâ’il haruslah orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Yakni: baligh, berakal dan cerdas. b. Upah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas, baik bentuk maupun jumlahnya. c. Objek ji’âlah pekerjaan yang diharapkan hasilnya harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dilakukan menurut hukum syara’. d. Madzhab Maliki dan Syafi’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu ji’âlah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu. Seperti mengembalikan menemukan orang yang hilang. Sedangkan madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu. e. Madzhab Hanbali menambahkan, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu tidak terlalu berat, meski dapat dilakukan berulang kali. Seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak. Mengenai ucapan shighah dalam ji’âlah, madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa harus terdapat ucapan shighah dari pihak yang 69 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-2, h.265 menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas. Dalam hal ini, ucapan tersebut tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain. Seperti wakilnya, anaknya, atau bahkan oleh orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah. Selain itu, ji’âlah juga dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa ada ucapan qabul cukup dilakukan secara sepihak. 70

2. Analisa Pola Kerja Strategi Pemasaran MGM Tabungan Mudharabah