Hal yang menarik pada masa pemerintahan Jepang adalah wilayah provinsi dihapus dan wilayah keresidenan menjadi pemerintahan daerah yang tertinggi. Hal ini
berarti pembagian onder-distrik yang dibuat oleh Belanda masih dipakai pada masa kekuasaan Jepang.
Secara umum pemerintahan Bala Tentara Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam 3 bagian, yaitu :
1. Daerah yang meliputi Jawa, berada di bawah kekuasaan angkatan darat yang
berkedudukan di Jakarta. 2.
Daerah yang meliputi pulau Sumatera, berada di bawah kekuasaan angkatan darat yang berkedudukan di Tebing Tinggi.
3. Daerah-daerah lainnya berada di bawah kekuasaan angkatan laut yang
berkedudukan di Makasar.
3.4 Dairi Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, maka pasal 18 UUD 1945 menghendaki dibentuknya undang-undang yang mengatur tentang
pemerintahan daerah sehingga sebelum undang-undang tersebut dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapatnya tanggal 19 Agustus 1945
menetapkan daerah Republik Indonesia untuk sementara dibagi atas 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Daerah provinsi dibagi dalam
keresidenan yang dikepalai seorang residen. Gubernur dan residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah KND. Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1945,
Universitas Sumatera Utara
maka di Dairi dibentuk KND untuk mengatur Pemerintah dalam mengisi kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut :
Ketua umum : Jonathan Ompu Tording Sitohang Ketua I : Djauli Manik
Ketua II : Noeh Hasibuan Ketua III : Raja Elias Ujung
Sekretaris I : Tengku Lahuami Sekretaris II : Gr. Gindo Muhammad Arifin
Bendahara I : Mula Batubara Bendahara II : St. Stepanus Sianturi
22
Untuk melengkapi dan menampung aspirasi rakyat Dairi dipilih anggota komisi sebanyak 35 orang yang tersebar di daerah Dairi dan di setiap kewedanan
dibentuk pula Pembantu KND. Tugas utama dari KND, yaitu mempersiapkan Dairi merupakan salah satu wilayah yang merupakan gabungan dari beberapa
daerah kerajaan yang diperintah oleh raja secara turun-temurunan dengan sistem otokrasi. Dengan dicetuskannya proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945,
maka rakyat yang dulunya tidak dibenarkan buka suara terhadap apa yang dikatakan penguasa, kini telah sadar dan berkeinginan agar segera diadakan perubahan dalam
sistem pemerintahan, yaitu digantikannya sistem otokrasi dengan sistem demokrasi.
22
Buku Kerja Pemerintah Kabupaten Dairi 2010, op.cit., hal.41.
Universitas Sumatera Utara
pemilihan Dewan Negeri, menyelesaikan pemilihan kepala kampung, dan membentuk pemerintahan dan badan perjuangan.
Agresi Militer Belanda sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan Republik Indonesia dan mengganggu ketentraman bangsa Indonesia, maka aparat
pemerintah perlu distabilkan guna mencegah provokasi dari Belanda. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tetap waspada menghadapi setiap perundingan yang
diadakan dan disetujui oleh kedua belah pihak antara Indonesia dengan Belanda
23
Berdasarkan surat Residen Tapanuli No. 1256 tanggal 12 September 1947, maka ditetapkanlah Paulus Manurung sebagai Kepala Daerah Tingkat II pertama di
Kabupaten Dairi yang berkedudukan di Sidikalang terhitung mulai 1 Oktober 1947. .
Pada tanggal 6 Juli 1947, Agreasi Militer Belanda I telah menduduki Sumatera Timur sehingga masyarakat Dairi yang ada di Sumatera Timur mengungsi
kembali ke Dairi. Demikian juga halnya dengan masyarakat asal Tapanuli yang ada di Sumatera Timur kembali ke daerahnya. Untuk melancarkan pemerintahan serta
menghadapi perang melawan Agresi Belanda, maka Residen Tapanuli Dr. Ferdinan Lumbang Tobing selaku Gubernur Militer Sumatera Timur dan Tapanuli menetapkan
Residen Tapanuli menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang, dan Kabupaten Silindung.
23
Perundingan-Perundingan itu seperti : Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 di Istana Merdeka Jakarta, Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas kapal Renville milik
Amerika, Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes Jakarta, dan Sidang Konferensi Meja Bundar KMB pada 23 Agustus 1949 di Ridderzaal Den Haag, Belanda.
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu 1 Oktober 1947 ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Dairi
24
Untuk menyusun strategi melawan Agresi Militer Belanda, maka Mayor Slamat Ginting selaku Komandan Sektor III sub Teritorium VII memanggil Gading
Barklomeus Pinem dan J. S Meliala ke Kampung Jandi Tanah Karo. Berdasarkan dengan mempunyai tiga wilayah kewedanan, yaitu :
1. Kewedanan Sidikalang, terdiri dari Kecamatan Sidikalang dipimpin oleh Camat Tahir Ujung; dan Kecamatan Sumbul dipimpin oleh Camat Mangaraja Lumban
Tobing. Sebagai wedana diangkat Jonathan Ompu Tording. 2. Kewedanan Simsim, yaitu Kecamatan Kerajaan dipimpin oleh Kisaran Massy
Maha; dan Kecamatan Salak dipimpin oleh Camat Poli Karpus Panggabean. Kewedanaan ini dipimpin Jonathan Ompu Tording.
3. Kewedanan Karo Kampung, meliputi Kecamatan Tigalingga dipimpin oleh Camat Ngapit David Tarigan; dan Kecamatan Tanah Pinem dipimpin oleh Camat
Johannes Pinem. Kewedanaan ini dipimpin oleh Gading Barklomeus Pinem. Menjelang Agresi Militer Belanda II pada 23 Desember 1948, maka hampir
seluruh wilayah Indonesia dapat dikuasai kembali oleh Belanda, demikian juga halnya di Dairi. Pada tanggal 23 Desember 1948 Belanda telah berhasil menduduki
Kota Sidikalang dan Tigalingga sehingga saat itu Kepala Daerah Tingkat II Dairi Paulus Manurung menyerah, sedangkan sebagian masyarakat serta pegawai
pemerintahan mengungsi dari Kota Sidikalang ke untuk menghindari serangan Belanda.
24
Buku Kerja Pemerintah Kabupaten Dairi 2010, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
Surat Perintah Komandan Sektor III sub Teritorium VII tanggal 11 Januari 1949 Nomor 2PM1949 diangkatlah G. B Pinem sebagai Kepala Pemerintahan Militer di
Dairi dan J. S Meliala sebagai sekretarisnya. Untuk lebih menyempurnakan Pemerintahan Militer menghadapi Agresi
Belanda, maka Dairi dimekarkan dari enam kecamatan menjadi dua belas kecamatan, diantaranya Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Sumbul, Kecamatan Parbuluan,
Kecamatan Silalahi Paropo, Kecamatan Pegagan Hilir, Kecamatan Tigalingga, Kecamatan Gunung Sitember, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Silima Pungga-
Pungga, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Kerajaan, dan Kecamatan Salak. Setelah penyerahan kedaulatan wilayah Indonesia oleh Belanda, maka
Pemerintahan Militer Dairi kembali kepemerintahan sipil dan Jonathan Ompu Tording Sitohang diangkat menjadi Kepala Pemerintahan Dairi pada tanggal 10
Desember 1949. Sejak itu pula daerah Dairi diciutkan dari 12 kecamatan menjadi 8 kecamatan dengan tujuan agar Belanda lebih mudah mengontrol Dairi.
1. Kecamatan Sidikalang ibukotanya Sidikalang, dipimpin Asisten Wedena M.
Bakkara. 2.
Kecamatan Sumbul ibukotanya Sumbul, dipimpin oleh Asisten Wedena Bonipasius Simangunsong.
3. Kecamatan Salak ibukotanya Salak, dipimpin oleh Asisten Wedena Poli
Karpus Panggabean. 4.
Kecamatan Kerajaan ibukotanya Sukaramai, dipimpin oleh Asisten Wedena Wal Mantas Habeahan.
Universitas Sumatera Utara
5. Kecamatan Silima Pungga-Pungga ibukotanya Parongil, dipimpin oleh
Asisten Wedena Alex Sitorus. 6.
Kecamatan Siempat Nempu ibukotanya Buntu Raja, dipimpin oleh Asisten Wedena Urbanus Rajagukguk.
7. Kecamatan Tigalingga ibukotanya Tigalingga, dipimpin oleh Asisten Wedena
Gayur Silaen. 8.
Kecamatan Tanah Pinem ibukotanya Kuta Buluh, dipimpin oleh Asisten Wedena Ngapid David Tarigan.
Setelah situasi dan kondisi Indonesia kembali normal dari pergolakan Agresi Militer serta dengan adanya pengakuan kedaulatan tahun 1948, maka sesuai
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya telah mulai berlaku sejak diumumkan
pada 1 April 1950 bahwa semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi Militer I dan Agresi Militer II harus kembali dilebur mengingat situasi dan kondisi yang belum
stabil, sehingga Kabupaten Dairi harus menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Utara, yang mana struktur pemerintahan Kabupaten Dairi serta pemulihan keamanan
tetap terdiri dari 8 kecamatan, kewedanan dihapus, kenegerian dan kampung berjalan sebagaimana mestinya.
Rupanya peleburan ini menimbulkan rasa tidak senang dari masyarakat Dairi karena mereka merasa bahwa Dairi memiliki kebudayaan sendiri sebagai salah satu
sub suku Batak dan memiliki letak geografis yang strategis sehingga mudah untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan hubungan lalu lintas dan ekonomi dengan Kota Medan dari pada ke Tapanuli Utara.
Akibat dari peleburan ini maka masyarakat Dairi dan tokoh masyarakat berjuang dalam satu tekad meminta kepada pemerintah pusat, melalui Provinsi
Sumatera Utara, agar keinginan menjadi Daerah Otonom Tingkat II Dairi segera disetujui dengan berdasarkan pada Undang-Undang. Aspirasi dan keinginan
masyarakat Dairi untuk memperjuangkan daerahnya sebagai kabupaten yang berotonom tetap tumbuh dan berkembang sejak tahun 1958.
Ketika timbulnya peristiwa Pemberontakan Rakyat Revolusioner Indonesia PRRI pada 1958 mengakibatkan terputusnya hubungan antara Sidikalang
ibukotanya Dairi dengan Tarutung sebagai ibukotanya Tapanuli Utara yang pada saat itu Daerah Tapanuli merupakan salah satu daerah yang terkena pemberontakan
sehingga jalannya pemerintahan menjadi lambat. Maka untuk menjaga kevakuman jalannya pemerintahan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara, Ulung Sitepu,
mengeluarkan Surat Perintah Nomor 656UPS1958 tanggal 28 Agustus 1958 dengan menetapkan daerah Dairi menjadi wilayah administratif yaitu coordinator-schaap,
yang secara langsung berurusan dengan Provinsi Sumatera Utara. Untuk mengisi coordinator-schaap di Kabupaten Dairi ditunjuk Nasib Nasution sebagai pimpinan
Pati pada Kantor Gubernur Sumatera Utara. Berkat kemauan masyarakat Dairi yang menginginkan Daerah Dairi menjadi
Otonomi Daerah Tingkat II, maka pada tahun 1958 diutuslah dua orang putra Dairi yaitu Dairi Solin dan S. P Bintang ke Jakarta untuk menyampaikan keinginan itu agar
dapat disetujui. Aspirasi dan tuntutan tersebut terus berkembang sampai tahun 1964
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk melakukan musyawarah di Sidikalang mengenai sikap tegas terhadap PRRI, menarik sebagian rakyat Dairi kepangkuan TNI yang sah, dan membentuk
Panitia Permanen Penuntut Kabupaten Dairi. Akhirnya pertimbangan persetujuan otonomi daerah diproses dengan melakukan pertemuan terhadap beberapa pejabat
daerah, seperti Dr. F. Lumban Tobing, Ketua Dewan Nasional R. Abd. Gani, Kepala Infeksi Umum Sekolah Menengah Atas Hutahuruk, dan Menteri Dalam
Negeri Sanusi Hardjadinata. Untuk mendapatkan persetujuan ini rakyat Dairi harus sabar menunggu
keputusan dari pemerintah pusat karena untuk merubah ataupun menyetujui suatu daerah menjadi kabupaten tentunya harus mempunyai landasan hukum secara yuridis
formal dengan berdasarkan pada pasal 18 UUD 1945, bahwa pembagian wilayah Negara Indonesia ditentukan atas dasar besar dan kecilnya
susunan pemerintahannya
25
25
Bappeda Sumatera Utara, Sumatera Utara Membangun, Medan: Percetakan Offset Sakti, 1976, hal.350.
. Maka atas pertimbangan di atas dan karena tuntutan rakyat Dairi telah sampai
ke pusat, maka Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata mengadakan kunjungan sekaligus meninjau daerah Dairi secara langsung. Di Sidikalang Sanusi Hardjadinata
mengadakan pertemuan dengan seluruh rakyat dan para pajabat Dairi Rambia Muda Aritonang dan P.R Talaumbanua di depan Gedung Nasional Sidikalang. Dalam
pertemuan itu Sanusi Hardjadinata memberikan harapan bahwa pemerintah merestui daerah Dairi menjadi kabupaten.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya pertimbangan persetujuan otonomi daerah Dairi diproses kembali setelah Sanusi Hardjadinata kembali ke Jakarta. Melalui Sidang DPR Republik
Indonesia dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964 Tanggal 13 Februari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah
Tingkat II Dairi yang berlaku surut sejak 1 Januari 1964
26
Dairi resmi menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi dengan ibukotanya Sidikalang. Peresmian ini dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi
Sumatera Utara Ulung Sitepu pada 2 Mei 1964 di Gedung Nasional Sidikalang. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1964 tentang wilayah
kecamatan di Kabupaten Dairi, maka Dairi pada saat pembentukannya dibagi atas 8 kecamatan
, yaitu bahwa Kabupaten Dairi menjadi daerah otonomi yang terpisah dari Tapanuli Utara serta berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
27
26
Lihat Lampiran II
27
Bappeda Sumatera Utara, loc.cit.
, yaitu Kecamatan Sidikalang ibukotanya Sidikalang, Kecamatan Sumbul ibukotanya Sumbul, Kecamatan Tigalingga ibukotanya Tigalingga, Kecamatan Tanah
Pinem ibukotanya Kutabulu, Kecamatan Salak ibukotanya Salak, Kecamatan Kerajaan ibukotanya Sukarame, Kecamatan Silima Pungga-Pungga ibukotanya
Paronggil, dan Kecamatan Siempat Nempu ibukotanya Bunturaja.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PEMERINTAHAN KABUPATEN DAIRI MASA PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN 1964-2005
4.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Dairi