Taraf Sinkronisasi Antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

7. Menunjuk penjual minyak dan atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Dari ketujuh tugas diatas maka tugas penandatangan Kontrak Production Sharing Kontrak Kerjasama merupakan tugas yang paling penting karena dengan adanya penandatangan kontrak itu akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.

C. Taraf Sinkronisasi Antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS Minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara dan tujuan penguasaan oleh negara adalah agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah dipermukaan namun tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang lembaga ini berwenang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Universitas Sumatera Utara Ketentuan hukum yang mengatur tentang Badan Pelaksana adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 23, Pasal 22 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedudukan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik negara dan badan hukum milik negara mempunyai status sebagai subyek hukum perdata serta merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional. Berkaitan dengan badan hukum milik negara, maka berdasarkan rumusan Pasal 1653 KUH Perdata terdapat tiga jenis badan hukum ditinjau dari sudut pembentukannya yang terdiri atas : 84 1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah. 2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah. 3. Badan hukum dengan konstruksi keperdataan. Rumusan Pasal 1653 KUH Perdata tersebut tidak secara tegas dan jelas bentuk yuridis landasan hukum pendirian badan hukum yang khususnya dilakukan oleh pemerintah seperti BPMIGAS yang ada sekarang ini. Untuk itu rumusan Pasal 1653 KUH Perdata mengenai landasan hukum pendirian badan hukum, khususnya untuk badan hukum yang diadakan oleh pemerintah tersebut jelas menunjukkan sistem terbuka dalam arti badan hukum yang didirikan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan pemerintah, seperti pembentukan BPMIGAS yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 Jo. PP No. 42 Tahun 84 Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Cetakan 2, 2010, hlm 128. Universitas Sumatera Utara 2002. 85 Dengan demikian pemerintah bebas memilih jenis landasan hukum yang akan dijadikan dasar hukum mendirikan suatu badan hukum yang tentu didasarkan pada pertimbangan subyektif yang sesuai dengan kebutuhan yang dianggap cukup alasan untuk memilih jenis peraturan perundang-undangan tertentu. Antara badan hukum milik negara BHMN dengan badan usaha milik negara BUMN terdapat perbedan yang signifikan ditinjau dari tujuan dan sifat usaha atau kegiatannya. Tujuan BUMN adalah mencari laba dan bersifat komersial, sedangkan tujuan BHMN adalah idiil dan bersifat nirlaba. Persamaannyaantara BUMN dan BHMN adalah terletak pada modal badan hukum tersebut yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan . Selanjutnya dari sudut doktrin kedua badan hukum tersebut telah memenuhi persyaratan materiil seperti kekayaannya yang terpisah dari kekayaan anggota organ badan hukum, tujuan tertentu, mempunyai kepentingan tertentu, maupun organisasi yang teratur. 86 Namun dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana di dalam Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa : 1 Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut diwilayah kewenangan Aceh. 2 Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. 3 Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan 85 Ibid.hlm.129 86 Ibid.hlm 130 Universitas Sumatera Utara jika seluruh isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan Pemerintah Aceh. 4 Sebelum melakukan pembicaraan dengan pemerintah mengenai kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat 3, Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1,ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari rumusan pasal tersebut, maka pemerintah dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat membentuk suatu Badan Pelaksana yang mengatur untuk pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi seperti Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ada beberapan tahapan yang dapat dilakukan dalam proses sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS , yaitu sebagai berikut : 1. Tahap inventarisasi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut : a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangn yang terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS , khususnya yang berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. b. Mengevaluasi peraturan perundanga-undangan yang telah diinventarisasi dalam rangka mendapatkan peraturan yang paling relevan dengan dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS . 2. Tahap Analisa Substansi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara a. Memastikan kedudukan peraturan perundang-undangan yang akan disingkronisasikan yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS . b. Memastikan strutur Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas Pemerintahan Aceh apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. c. Mengkaji Rancangan Peraturan Pemerintah Pemerintah tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas Pemerintahan Aceh berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. d. Memahami jenjang dokumen perencanaan terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS . e. Mengkaji kemungkinan kaitan dengan dokumen-dokumen yang sudah ada. f. Mensinkronkan peristilahan dan definisi. g. Menelaah peristilahan dan definisi yang sudah dibuat oleh peraturan perundang-undangan yang lain. 3. Tahap hasil analisa, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut: a. Pasal-pasal yang terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS yang mencakup aspek kewenangan, tugas dan tanggung jawab, pengawasan dan pengendalian. Universitas Sumatera Utara b. Keterkaitan anatar pasal-pasal yang telah diidentifikasi dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS . c. Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan peraturan perundang- undangan mengenai Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS . 4. Tahap pelaksaan sinkronisasi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut: a. Merumuskan dan mensingkronkan substansi rancangan Peraturan Perundang- undangan b. Merinci substansi teknis rancangan peraturan perudang-undangan yang disusun. Selain itu untuk menganalisis taraf sinkronisasi peraturan dipergunakan asas perundang-undangan, dimana menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat beberapa asas perundang-undangan yaitu : 87 1. Undang-Undang tidak berlaku surut ; 2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ; 3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum lex spesialis derogat lex generali ; 4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu lex posteriore derogat lex priori 5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. 87 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung : Alumni, 1979 , hlm. 15. Universitas Sumatera Utara 6. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaruan atau pelestarian asas welvaarstaat . Asas yang kelima perundang-undangan yaitu undang-undang tidak dapat diganggu gugat, maka berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 hal ini sudah tidak berlaku lagi dimana menurut Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang isinya menjelaskan bahwa: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihaan tentang hasil pemilihan umum “. 88 Isi Pasal 24C UUD 1945 tersebut sangat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menurut Pasal 24A UUD 1945 melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 89 Meski fungsi pengujian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya sama-sama merupakan judicial review tapi secara teknis pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi biasa disebut constitutional review, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan 88 Pasal 24C UUD 1945 merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001. 89 Pasal 24A UUD 1945 merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001. Universitas Sumatera Utara perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review , akan tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial. 90 Dari asas perundangan tersebut juga, maka pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS di Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi adanya Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan asas perundangan, dimana digunakan asas hukum yakni Lex Posteriori derogat legi lex Priori PeraturanUndang-Undang baru mengesampingkan PeraturanUndang- Undang yang lama . Dari asas perundangan tersebut maka Undang- Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan Undang-Undang yang baru dan mengatur mengenai BPMIGAS Pemerintahan Aceh mengesampingkan Undang- Undang yang lama yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Artinya pembentukan BPMIGAS yang ada sekarang ini merupakan amanah UU No. 22 Tahun 2001 sedangkan pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh merupakan amanah UU No. 11 Tahun 2006, sehingga pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh mengesampingkan ketentuan UU No. 22 Tahun 2001. Menurut Pasal 160 ayat 5 UU No. 11 Tahun 206 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS di Pemerintahan Aceh selanjutnya akan ditur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum dan Humas Sekda 90 Moh. Mahfud MD.op.cit .hlm. 64 Universitas Sumatera Utara Pemerintahan Aceh bahwa Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS Pemerintahan Aceh saat ini sudah di bahas di kementrian terkait yaitu : Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum HAM, Kementerian BUMN. 91 Menurut hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim bahwa pembahasan terakhir Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut dibahas antara Pemerintah Pusat melalui Kementrian terkait bersama Pemerintahan Aceh yang diwakili oleh timnya yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur No. 5421102010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Migas Aceh tanggal 29 Maret 2010 adalah pada tanggal 14 Juli 2010. 92 Namun hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Ridwan Nyakbaik sebagai salah satu anggota tim advokasi Migas yang juga merupakan staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina Persero dijelaskan bahwa rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan aceh sudah sangat berlarut-larutdan terkesan Pemerintah Pusat tidak konsisten terhadap apa yang terdapat di dalam pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Beliau mengatakan apabila Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak cepat 91 Hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum Hukum Sekda Pemerintahan Aceh pada tanggal 21 Juli 2010 di ruang Kepala Biro Hukum Humas Sekda Pemerintahan Aceh Kantor Gubernur Pemerintahan Aceh. Pembahasan dengan kementrian terkait ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden. 92 Hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum Hukum Sekda Pemerintahan Aceh pada tanggal 21 Juli 2010 di ruang Kepala Biro Hukum Humas Sekda Pemerintahan Aceh Kantor Gubernur Pemerintahan Aceh Universitas Sumatera Utara disahkan maka akan membuat tidak adanya kepastian hukum, sehingga investor migas banyak yang ragu-ragu untuk menanamkan inventasinya di Pemeritahan Aceh. 93 Terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS Pemerintahan Aceh, maka ada beberapa hal substansi yang dapat dikemukan apabila dikaitkan dengan taraf sinkronisasi secara horisontal, yaitu antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 2 ayat 1 dan 2, dimana didalam ayat 1 disebutkan bahwa sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan ayat 2 menyebutkan bahwa penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari isi Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut sangat jelas bahwa rancangan tersebut sudah sangat sinkron secara horisontal dengan Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1 Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. 93 Hasil wawancara dengan Bapak Ridwan Nyakbaik sebagai salah satu anggota tim advokasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan gubernur No. 5421102010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Migas Aceh dan beliau saat ini juga sebagai staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina Persero. Wawancara dilakukan pada tanggal 8 Juli 2010 di ruangan staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina Persero Gedung PT. Pertamina Persero Lt. 23 Jl. Medan Merdeka Timur, Jakarta Universitas Sumatera Utara 2 Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Apabila dikaitkan dengan teori berjenjang Stufen Theory dari Hans Kelsen, dimana melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebh tinggi maka semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar. Norma dasar yang dimaksud adalah Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Hal ini juga ditegaskan lagi di dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan dimana secara hierarki UUD 1945 merupakan norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida. 2. Pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilaksanakan oleh Menteri melalui penetapan kebijakan usaha hulu minyak dan gas bumi. Isi pasal rancangan Peraturan Pemerintah tersebut sudah sangat sesuai apabila dilaksanakan oleh Menteri karena di dalam Pasal 12 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga menyebutkan demikian, dilain pihak atas dasar filosofis Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Sehingga apabila Pemerintah Aceh menginginkan dilibatkan Gubernur, maka hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Universitas Sumatera Utara 3. Pasal 89 huruf e yang menyebutkan bahwa Perjanjian Kontrak Kerjasama bagi hasil sebagaimana dimaksud pada huruf c yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa Perjanjian Kontrak Kerjasama. Isi pasal tersebut sudah sangat sesuai dengan asas perundang-undangan, dimana Undang-Undang tidak berlaku surut dan juga dalam hal ini Pemerintah Aceh menjunjung tinggi asas kepastian hukum dimana didalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi : “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang “. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dari Rancangan Peraturan Pemerintah terkait dengan pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas BPMIGAS Pemerintahan Aceh yang merupakan amanah dari Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan secara substansi sudah singkron secara vertikal dan horisontal dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Selain itu harus dimaklumi bahwa hal yang mendasari diundangkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh khususnya yang terkait dengan Pasal 160 adalah bahwa masyarakat Aceh ingin menuntut keadilan dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi. Apabila dikaitkan dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyebutkan bahwa keadilan yang dituntut oleh masyarakat aceh termasuk kategori keadilan distributif, dimana berdasarkan keadilan ini negara secara konkret berarti Universitas Sumatera Utara pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para angggota masyarakat. 94 Dalam bahasan indonesia bisa dipakai nama keadilan membagi. Sehingga diantara hal-hal yang dibagi oleh Negara kepada warga ada hal-hal yang enak untuk di dapat dan ada hal-hal yang justru tidak enak kalau kena. 95 Untuk itu dapat dimaklumi juga bahwa pembentukan BPMIGAS Pemerintahan Aceh akan meinmbulkan kecemburuan sosial terhadap daerah-daerah lainnya yang juga ingin membentuknya. Namun Pemerintah dalam hal ini mempunyai alasan tersendiri dan hal tersebut dapat dilihat didalam pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh didalam point d dan e disebutkan antara lain sebagai berikut : 96 d Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip- prinsip kepemerintahan yang baik. e Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila diperhatikan isi poin e pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut diatas, maka sangat jelas bahwa diundangkannya UU No. 11 tahun 2006 ini merupakan semangat dari UUD 1945 sebagai pengawal integrasi dan demokrasi serta mengikat bangsa dalam satu ikatan integrasi yang kuat. 94 K. Bertens,Op.cit.Hlm. 27 95 Ibid.hlm. 27 96 Pertimbangan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Universitas Sumatera Utara Hal tersebut secara spesifik dapat dilihat dari UUD 1945 yaitu antara lain : 97 1. Pasal 1 ayat 1 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pilihan politik ini dimaksudkan agar bangsa indonesia selalu terikat dalam persatuan dan kesatuan integrasi . Memang secara teoritis persatuan integrasi itu tidak harus disusun dalam bentuk negara kesatuan, sebab integrasi itu dapat tumbuh kuat baik di dalam negara kesatuan maupun di dalam negara federal. Bahkan dalam kenyataannya integrasi tumbuh lebih kuat di negara federal seperti Amerika serikat. Sementara di beberapa negara kesatuan justru diganggu oleh gerakan separatis seperti Indonesia, Malaysia. Akan tetapi pandangan dari pilihan politik kita menengaskan bahwa persatuan dan kesatuan integrasi itu harus dibangun dalam bentuk negara kesatuan. Sebagai isi konstitusi hal ini harus diterima dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Ada beberapa pasal lain di dalam UUD 1945 yang memagari agar bentuk negara kesatuan ini dipertahankan dengan sungguh-sungguh yaitu Pasal 18, Pasal 37 ayat 5, dll. 2. Pasal 1 ayat 2 yang menegaskan bahwa “ kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, ini menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi agar semua aspirasi masyarakat dapat dikontestasikan untuk dijadikan keputusan bersama. Dengan demikian jika Pasal 1 ayat 1 lebih menekankan pada pentingnya “ integrasi “, maka Pasal 1 ayat 2 ini lebih menekankan pada pentingnya demokrasi sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa saling berbenturan. 3. Pasal 1 ayat 3 menegaskan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang berarti bahwa setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasar hukum nomokrasi. Demokrasi tidak dapat dilaksanakan semau-maunya. Misalnya hanya didasarkan pada kemenangan jumlah pendukung. Demokrasi harus berjalan diatas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundang-undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki ; demokrasi tanpa ketaatan pada kaidah penuntun hukum dapat mengancam integrasi. 97 Moh. Mahfud MD, Op.cit. hlm. 40 Universitas Sumatera Utara

BAB III MENGHARMONISASIKAN IMPLENTASI UU NO. 11 TAHUN 2006