untuk ditempuh adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan meletakkan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem peraturan-
perundang-undangan dalam kerangka sistem hukum nasional, yang mencakup unsur- unsur materi hukum, struktur hukum beserta kelembagaan dan budaya hukum.
D. Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Melakukan Harmonisasi
Terhadap Implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Khusus Terkait
Pembentukan BPMIGAS Di Pemerintahan Aceh.
Seperti yang dikemukan diatas bahwa pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan membuahkan konsepsi suatu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain
peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis dan tidak saling bertentangan atau tumpah tindih Overlapping . Hal ini merupakan konsekuensi dari
adanya hierarki peraturan perundang-undangan. Upaya pengharmonisasian terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi khusus terkait pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh harus dilakukan,
dimana sesuai dengan Pasal 160 ayat 5 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa : “ Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2
dan ayat 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Artinya Pembentukan BPMIGAS di
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Aceh akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut saat ini sedang dibahas oleh kementerian terkait. Hal
tersebut sama halnya dengan pembentukan BPMIGAS yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan perintah UU No. 22 Tahun 2001 dan diatur di dalam PP No. 42
Tahun 2002. Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa :
“ Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dari rumusan
pengertian ini diperoleh penjelasan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia itu dibentuk dan ditetapkan oleh
Presiden dan Peraturan pemerintah itu dibentuk dalam rangka melaksanakan atau menjalankan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang.
Namun ada beberapa para ahli yang memberikan penjelasan mengenai Peraturan Pemerintah, dimana menurut M. Solly Lubis bahwa : “ Pembentukan
Peraturan Pemerintah oleh Presiden dalam rangka menjalankan Undang-Undang merupakan salah satu contoh dari apa yang disebutnya sebagai delegatie van
wetgevende bevoegdheid atau penyerahan kekuasaan perundang-undangan.
119
Namun Bagir Manan mengemukakan bahwa :
120
Suatu peraturan yang berfungsi melaksanakan ketentuan Undang-Undang perlu dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah apabila :
119
Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Dasar-Dasar Teknik Penyusunannya
, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2008 , hlm. 137.
120
Ibid, hlm. 137-138.
Universitas Sumatera Utara
1. Peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana.
Hanya Peraturan Pemerintah satu-satunya peraturan pelaksanaan yang dimungkinkan memuat ancaman pidana. Mengenai pemuatan ancaman pidana
dalam Peraturan Pemerintah ini terdapat berbagai pendapat. Disatu pihak ada pendapat yang menyatakan pada dasarnya Peraturan Pemerintah tidak dapat
memuat ancaman pidana. Pemuatan ancaman pidana semata-mata didasarkan pada kuasa Undang-Undang yang dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah
tersebut. Apabila Peraturan Pemerintah tersebut hendak memuat ancaman pidana, maka harus dilihat apakah dalam Undang-Undang dimuat ketentuan
yang memperbolehkan memuat ancaman pidana. Kalau tidak ada ketentuan yang memperbolehkan, maka Peraturan pemerintah yang bersangkutan tidak
boleh memuat anacaman pidana.
2. Walaupun Undang-Undang yang perlu dilaksanakan atau dijalankan itu tidak
menyebut dengan tegas, akan tetapi apabila materi muatan Undang-Undang yang perlu dilaksanakan itu mengandung hal-hal yang menyangkut hak dan
kewajiban rakyat banyak atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak-hak asasi atau salah satu hak yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945,
maka pembentukan Peraturan Pemerintah diperlukan. Berdasarkan uraian diatas, kiranya dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya
Peraturan Pemerintah itu memiliki fungsi untuk menyelenggarakan ketentuan dalam Undang-Undang, baik secara tegas-tegas maupun secara tidak tegas-tegas
menyebutnya. Oleh karena itu materi muatan dalam Peraturan Pemerintah pada hakikatnya merupakan keseluruhan materi Undang-Undang yang dilimpanhkan
kepadanaya. Dengan kata lain materi muatan Peraturan Pemerintah adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pembentukan Peraturan Pemerintah, yaitu sebagai berikut :
121
1. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-
Undang yang menjadi induknya.
121
Ibid, hlm. 139
Universitas Sumatera Utara
2. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-
Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana. 3.
Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan.
4. Untuk menjalankan, menjabarkan ataupun merinci ketentuan Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas.
5. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisi peraturan atau gabungan
peraturan dan penetapaan ; Peraturan Pemerintah berisi penetapan semata-mata Oleh karena itu, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
harmonisasi terhadap implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi khusus terkait
dengan pembentukan BPMIGAS Pemerintahan Aceh adalah sebagai berikut : 1.
Kesejahteraan rakyat prioritas utama. Hubungan antara masyarakat rakyat dengan hukum merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Ini sesuai dengan ungkapan ubi societas ibi ius dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dapat ditegaskan bahwa hukum memiliki fungsi
untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya, sehingga melalui pengaturan itu bisa terwujud satu masyarakat yang sejahtera sesuai dengan
yang diamanatkan dari tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan bahwa untuk mewujudkan
negara kesejahteraan telah diamanatkan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
a. Negara berkewajiban memberikan perlindungan kepada segenap warga
negara Indonesia dan seluruh wilayah teritorial indonesia. b.
Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum. c.
Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah sebagai pihak yang memiliki
tanggung jawab terhadap keadaan warga negaranya termasuk dalam kesejahteraan yang kemudian dikenal dengan konsep welfare state. Ciri utama dari konsep negara
ini adalah adanya kewajiban negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan konsekuensinya negara secara aktif dalam kehidupan ekonomi sosial masyarakat.
Artinya negara berhak bahkan wajib untuk ikut campur dalam kehidupan masyarakat sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum
Oleh karena itu dalam melakukan harmonisai implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi terkait dengan pembentukan BPMIGAS , maka hal yang pertama yang harus diperhatikan adalah kesejahteraan rakyat seluruh indonesia. Artinya jangan
hanya melihat kesejahteraan daerah tertentu saja tetapi harus melihat secara keseluruhan sesuai dengan amanat Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
2. Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu point e disebutkan sebagai berikut :
Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara
Universitas Sumatera Utara
damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut sangat jelas bahwa UU No. 11 Tahun 2006 tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya Peraturan
Pemerintah yang mengatur pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tetap dalam semangat negara
kesatuan republik indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Van Vollenhoven bahwa mempersepsikan hukum sebagai kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang tarik-
menarik dan dorong mendorong satu sama lain. Oleh karena itu, dalam kenyataannya dapat saja hukum dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan lain hanya sekadar untuk
melegitimasi dan mempertahankan kekuasaannya baik itu yang bersifat ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya.
122
Namun demikian, persepsi hukum dari Van Vollenhoven tersebut akan sangat bernilai dalam pembangunan hukum nasional pada masa yang akan datang apabila
atas dasar semboyan “ Bhinneka Tunggal Ika “ dan sila “ Persatuan “ yang lebih mengutamakan kolektivisme yang bersifat pluralis dan atas dasar asas musyawarah,
gotong royong dan kekeluargaan. Persepsi Van Vollenhoven tersebut ditafsirkan secara analogi sehingga menghasilkan tafsir baru yang mempersepsikan hukum
sebagai sinergi antara berbagai kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat.
123
Tafsir demikian akan dapat mengakomodir sikap saling menerima dan memberi dalam rangka menemukan harmonisasi berbagai kekuatan-kekuatan yang
122
Satjipto Rahardjo,op.cit. hlm. 171.
123
Ibid, hlm. 172
Universitas Sumatera Utara
ada dalam mayarakat dalam rangka pembentukan hukum yang tentunya akan memberi jalan untuk terbentuknya hukum nasional yang produktif dan efektif.
124
Oleh karena itu terkait dengan pembentukan BPMIGAS Pemerintahan Aceh maka yang harus dilihat bahwa hal tersebut merupakan bagian dari negara Indonesia
yang Bhineka Tunggal Ika artinya masyarakat indonesia yang sangat pluralisme harus saling menunjang dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga
jangan sampai sesuatu yang diberikan khusus kepada Pemerintah Aceh menjadi negara kita terpecah belah tetapi yang harus dibangun adalah semangat NKRI untuk
kesejahteraan rakyat indonesia 3.
Tidak menyebabkan iklim investasi lebih buruk. Dalam era globalisasi perdagangan khususnya di bidang pertambangan
minyak dan gas bumi saat ini yang ditandai dengan megacompetition, maka investor semakin leluasa dalam berinvestasi. Untuk itu penerima modal harus menyiapkan
berbagai sarana dalam menarik investor dan salah satunya adalah mempersiapkan perangkat peraturan perundang-undangan yang mampu menciptakan iklim investasi
yang kondusif.Menurut A.F. Elly Erawati bahwa keberhasilan penciptaan iklim investasi yang kondusif sangat tergantung pada tiga faktor yaitu :
125
1. Faktor institusional dan kebijakan. Langkah pertama yang dilakukan oleh
seorang jika ingin menanamkan modal di suatu negara khusunya negara berkembang, mempelajari secara rinci tentang negara tersebut antara lain :
stabilitas politiknya, kebijakan ekonomi terutama terhadap investor asing.
124
Ibid.hlm.172
125
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung : Nuansa Aulia, Cetakan II 2010, hlm. 62.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor infrastuktur. Dalam hal ini yang diperhatikan adalah tersedianya
fasilitas fisik. Termasuk disini adalah jaringan transportasi, listrik, telekomunikasi, air bersih.
3. Faktor hukum dan perundang-undangan. Dalam hal ini dapat dilihat dalam
aspek nasional artinya ketentuan hukum yang substantif dapat mempengaruhi minat investor dalam negeri dan asing dalam menanamkan modalnya. Untuk
menarik minat investor asing maka kaidah-kaidah hukum internasional pun dapat mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya .
Selain aspek substansi hukum dan perundang-undangan tersebut, aspek pelaksanaan dan penegakannya juga merupakan salah satu faktor yang
menjadi pertimbangan investor asing. Maksudnya pelaksanaan dan penegakan hukum yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah serta dapat
diperkirakan sebelumnya oleh investor merupakan penarik juga yang amat penting bagi investor asing.
Oleh karena itu tampaknya harus diubah dalam cara mengelola investasi yang
semula pasif menjadi arah yang proaktif. Dengan kata lain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan investor perlu
menyamakan persepsi bahwa kehadiran investor sangat penting dalam menggerakkan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dan Pemerintah Aceh pada
khususnya. Artinya kehadiran investor tidaklah semata-mata demi kepentingan Pemerintah dan pengusaha tetapi juga masyarakat. Untuk itu perlu disiapkan peta
investasi yang memuat peluang apa saja yang ada bagi calon invenstor, ketentuan investasi yang komprehensif sehingga dapat dijadikan pegangan bagi para calon
investor dalam negeri dan asing jika ia ingin menanamkan modalnya di bidang pertambangan minyak dan dan gas bumi di Daerah Aceh dan adanya kepastian
hukum. Dengan demikian pembentukan BPMIGAS Pemerintah Aceh sesuai dengan
perintah UU No. 11 Tahun 2006 akan diatur lebih lanjut didalam Peraturan
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut yang merupakan implementasi dari UU No. 11 Tahun 2006 diharapkan tidak membuat iklim invenstasi
menjadi lebih buruk, tetapi bagaimana agar dapat menciptakan iklim investasi menjadi lebih baik dari yang ada sekarang ini. Artinya pembentukan BPMIGAS
Pemerintah Aceh harus mampu lebih baik dalam menciptakan iklim investasi industri minyak dan gas bumi yang kondusif dibandingkan dengan pembentukan BPMIGAS
yang ada sekarang ini yang dibentuk oleh UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Jo. Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa keberhasilan penciptaan iklim
investasi yang kondusif sangat tergantung pada salah satu faktor yaitu faktor hukum dan perundang-undangan. Artinya Peraturan Pemerintah yang mengatur pembentukan
BPMIGAS Pemerintahan Aceh dan merupakan implementasi dari UU No. 11 Tahun 2006 harus mampu menjadi perangkat hukum yang jelas dalam menciptakan iklim
investasi yang kondusif. Artinya Peraturan Pemerintah tersebut dengan PP No. 42 Tahun 2002 tidak saling berbenturan. Selain itu Peraturan Perundang-undangan
tersebut harus mencerminkan nilai-nilai keadilan fairnes dan dapat diprediksi Predictable
126
. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk :
127
“ Faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability, predictability dan fairness.
Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas stability adalah potensi hukum
126
Ibid.hlm. 15
127
Ibid.hlm 15
Universitas Sumatera Utara
untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan predictability akibat
dari suatu langkah-langkah yang diambul khusunya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan
ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan fairnes seperti : perlakukan yang sama dan standar pola tingkah laku
Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. “
4. Hal-hal kontraktual yang sudah ada harus dihormati.
Pembentukan BPMIGAS merupakan perintah dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan selanjutanya diatur dalam PP No. 42
Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian setelah terbentuknya PP No. 42 Tahun 2002 maka seluruh investor
yang akan melakukan bisnis dibidang hulu Migas di seluruh Indonesia melakukan kontrak kerjasama dengan BPMIGAS.
Namun dilain pihak sesuai dengan Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006, bahwa akan dibentuk BPMIGAS di Pemerintahan Aceh. Artinya seluruh Investor yang akan
melakukan investasinya di daerah Aceh setelah adanya UU No. 11 Tahun 2006 dan keluarnya Peraturan Pemerintah yang membentuk BPMIGAS Pemerintahan Aceh
yang saat ini Rancangan Peraturan Pemerintahnya masih dibahas oleh kementrian terkait, maka melakukan kontrak Kerjsama dengan BPMIGAS Pemerintahan Aceh.
Berkaitan dengan harmonisasi dari implementasi UU No. 11 Tahun 2006 dan apabila BPMIGAS Pemerintahan Aceh terbentuk, maka harus menghargai kontrak
yang telah ada dan dibuat oleh BPMIGAS sekarang ini. Hal tersebut penting dilakukan karena akan terciptanya kepastian hukum bagi investor migas seperti
Universitas Sumatera Utara
PT. Pertamina EP yang telah melakukan kontrak kerjasama dengan BPMIGAS , dimana kontrak kerjasama tersebut akan berakhir Tahun 2035. Hal tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Mohammad Ikhsan bahwa :
128
Iklim investasi terdiri dari tiga komponen utama . Pertama kebijkan pemerintah yang mempengaruhi biaya cost seperti pajak, beban regulasi dan pungli,
investasi perusahaan dan investasi di pasar tenaga kerja. Kedua, Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro-ekonomi, stabilitas
dan prediktibilitas kebijakan, hak property, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan. Ketiga adalah hambatan untuk kompetisi yang terdiri
dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari kegiatan bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur dengan baik serta tersedianya
efektif hukum persaingan.
Arti pentingnya kepastian hukum juga dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo yang menjelaskan bahwa :
129
“ Masyarakat mengaharapkan adanya kepastian hukum , karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum berfungsi menciptakan
kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul
keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak
adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu serinng terasa kejam apabila dilaksanakan
secara ketat. “
5. Pelayanan lebih baik.
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara eksterm dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
manusia. Masyarakat setiap waktu akan selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan itu seringkali tidak sesuai dengan apa
128
Ibid.hlm.14
129
Ibid.hlm.20
Universitas Sumatera Utara
yang diharapkannya. Karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih menampilkan ciri-ciri yakni berbelit-belit, lambat, mahal dan melelahkan.
Kecendrungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang melayani bukan yang dilayani. Oleh karenanya pada dasarnya dibutuhkan
suatu perubahan dalam bidang pelayanan publik dengan mengembalikan dan mendudukkan pelayanan dan yang dilayani pada pengertian yang sesungguhnya.
Pelayanan yang seharusnya ditujukan pada masyarakat umum kadang dibalik menjadi pelayanan masyarakat terhadap negara , meskipun negara berdiri sesungguhnya
adalah untuk kepentingan masyarakat yang mendirikannya. Artinya birokrat sesungguhnya haruslah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan pihak
investor. Secara teoritis, tujuan dari pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan
masyarakat. Untuk mencapai kepuasan ini dituntut kualitas prima yang tercermin dari hal-hal sebagai berikut :
130
a. Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses
oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai serta mudah dimengerti ;
b. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
130
Juniarso Ridwan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik
Bandung : Nuansa, 2009,hlm.20
Universitas Sumatera Utara
c. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan
pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas ;
d. Partisipasif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;
e. Kesamaan hak, yaitu pelayaan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari
aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dll f.
Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka yang dimaksud dengan pelayanan yang lebih baik adalah pelayanan seperti yang disebutkan dalam poin a sampai f. Untuk itu
jangan sampai dengan pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh, justru investor di bidang industri minyak dan gas bumi mendapatkan pelayanan yang buruk.
Namun yang harus dilakukan adalah sebaliknya adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik dari yang diberikan oleh BPMIGAS sekarang ini yang dibentuk
berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 6.
Terwujudnya keadilan untuk masyarakat aceh. Ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan yaitu ; keadilan tertuju pada
orang lain, keadilan harus ditegakkan dan keadilan menuntu persamaan
131
. Dari tiga ciri khas tersebut maka yang berkaitan dengan terwujudnya keadilan untuk
131
K. Bertens,op.cit.hlm87
Universitas Sumatera Utara
masyarakat aceh adalah keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Jadi keadilan ini tidak diharapkan saja atau diajurkan saja melainkan kedialan yang mengikat kita,
sehingga kita mempunyai kewajiban untuk menegakkan keadilan. Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan
kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dewasa ini perjuangan untuk memperkecil kesenjangan sosial ekonomi semakin mendesak untuk
dikedepankan. Untuk itu Pembentukan BPMIGAS Pemerintahan Aceh tersebut harus mampu demi terwudunya keadilan untuk masyarakat aceh yang dapat dirasakan
langsung oleh masyarakat aceh misalnya tersedianya lapangan kerja bagi masyarakat aceh sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran .
Dengan demikian dalam mengharmonisasikan Implementasi UU No. 11 Tahun 2006 terkait dengan pembentukan BPMIGAS Pemerintah Aceh, maka salah
satu yang harus dilihat adalah terwujudnya keadilan masyarakat aceh. Hal ini sesuai dengan pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 poin d yang isinya adalah :
“Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-
prinsip kepemerintahan yang baik.”
Universitas Sumatera Utara
BAB IV IMPLIKASI UU No. 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH