The Analysis Of Factors That Influence Human Development Index In West Java

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

PRIMA MASHITA PATRIOTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul

ANALISIS

FAKTOR-FAKTOR

YANG

MEMPENGARUHI

INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

adalah karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor,

September 2011

Prima Mashita Patriotika

NIM. H141070071


(3)

ABSTRACT

PRIMA M. PATRIOTIKA,The Analysis Of Factors That Influence Human

Development Index In West Java, Under Direction of DEDI B. HAKIM and

BAMBANG JUANDA.

Human Development Index (HDI) is a measure for the quality of human

development. The increas development will have an impact on improving the

quality of economic growth. The United Nations Development Programme

(UNDP) since 1990 has used the HDI to measures achievement of human

development process. Human Development Index devided in three aspects:

longevity, knowledge and decent living.

This study examines the factors that influence human development index in

West Java province and discussed the policy implications compared to the reality

that occure in this province.The study was conducted in West Java province by

using secondary data derived from BPS and Bappeda Jawa Barat from

2005-2009. This study used panel data regression model to determine the factors that

influence human development index and used descriptive analysis to discuss

policy implication.

This study showsed GDP per capita, poverty, education facilities, teacher,

health fascilities, health care, and infrastructure significantly influence the human

development index. Factors above should be priority to improve so that West Java

would achieve higher HDI.This study also found that Kabupaten Sukabumi,

Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, and Kabupaten

Purwakarta have the lowest HDI in West Java Province.

Keyword: HDI, West Java, PDRB per capita, poverty, education facilities, health

facilities, health care, infrastructure


(4)

RINGKASAN

PRIMA M. PATRIOTIKA, Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Indeks

Pembangunan Manusia di Jawa Barat. Dibimbing oleh DEDI B. HAKIM dan

BAMBANG JUANDA.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan komponen utama pembangunan

ekonomi. Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam

pertumbuhan ekonomi. Dengan pembangunan manusia yang baik, pembangunan

negara dapat tercapai dan derajat sosial bangsa akan meningkat sehingga

mendorong pembangunan manusia yang berkualitas. IPM memiliki tiga aspek

yaitu berkaitan dengan peluang hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan

hidup layak (decent living).

Peluang hidup dihitung berdasarkan angka harapan

hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah angka

melek huruf penduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur dengan

pengeluaran perkapita yang didasarkan pada

Purchasing Power Parity

(paritas

daya beli dalam rupiah).

Penelitian ini membahas faktor apa saja yang mempengaruhi indeks pembangunan

manusia di Jawa Barat dan bagaimana efektivitas kebijakan yang dibuat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam peningkatan IPM dalam selang tahun

2005-2009. Faktor yang dimasukkan dalam penelitian ini meliputi indikator

pembangunan daerah, indikator kemiskinan, indikator pendidikan, dan indikator

kesehatan. Dari indikator-indikator tersebut ditetapkan variabel-variabel

independent

yang diuji dalam mempengaruhi IPM yaitu jumlah penduduk miskin,

PDRB per kapita, rasio jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 5-14

tahun, rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP, rasio jumlah

sarana kesehatan terhadap jumlah penduduk, rasio jumlah pelayan kesehatan

terhadap penduduk, dan rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk. Dengan

menggunakan metode regresi berganda dengan model panel data yang terdiri dari

25 unit

cross section

yaitu Kabupaten/ Kota di provinsi Jawa Barat dan 5 unit

time

series

yaitu tahun 2005-2009, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa

seluruh faktor-faktor yang dianalisis berpengaruh secara signifikan terhadap

indeks pembangunan manusia di Jawa Barat.

Berdasarkan hasil regresi tersebut diketahui seluruh faktor-faktor yang dianalisis

yaitu PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana

kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur berpengaruh nyata terhadap

indeks pembangunan manusia di Jawa Barat. Selain itu, dari penelitian ini

disimpulkan Kabupaten Sukabumi, Kabupaten, Kuningan, Kabupaten Cirebon,

Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta merupakan daerah yang

memiliki IPM rendah di Provinsi Jawa Barat, dengan demikian kebijakan di

daerah-daerah ini belum efektif dijalankan. Kelima kabupaten ini perlu

menekankan kebijakan pada PDRB per kapita yang tergolong rendah dan tingkat

kemiskinan yang masih tinggi.


(5)

© HAK CIPTA MILIK IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan

suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB.

Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis

apapun tanpa izin IPB.


(6)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

PRIMA MASHITA PATRIOTIKA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi lmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

(8)

Judul Penelitian

:

Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Indeks

Pembangunan Manusia di Jawa Barat

Nama

: Prima Mashita Patriotika

NIM

: H151070071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi B Hakim, M.Ec

Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R Nunung Nuryartono, M.Si

Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc, Agr

Tanggal Ujian: 21 September 2011

Tanggal Lulus:


(9)

PRAKATA

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat

dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat dan

salam semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas segala

pedoman dan teladan kejujuran dalam menulis karya ilmiah ini.

Tesis yang berjudul

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat

, merupakan sumbangan

pemikiran penulis dalam rangka melihat potensi kependudukan yang potensial

dikembangkan di Provinsi Jawa Barat dan dalam rangka memenuhi tugas akhir

sebagai syarat dalam memenuhi gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu

Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman

Hakim, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Bambang

Juanda, Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan

bimbingan dan masukan dalam menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih

juga diberikan kepada Bapak Parulian Hutagaol, Ph.D dan Ibu Dr. Sri Mulatsih

sebagai dosen penguji, Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua

Program Studi Ilmu Ekonomi dan Ibu Lukytawati Anggraeni, PhD selaku

Sekretaris Program Studi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Asdep Dukungan

Informatika Sekretariat Negara Bapak Hasudungan Simatupang, Kabid Basis Data

Kebijakan: Bapak Hamidi Rahmat, Kasubbid Ekonomi: Ibu Irma Dwi Santi, dan

rekan-rekan kerja di Sekretariat Negara yang telah memberikan dukungan dalam

penyelesaian tesis ini. Terima Kasih yang tak terhingga juga penulis berikan

kepada keluarga Solver Abdi Muzacky, Intan Yustisiawati dan Winner Jihad

Akbar serta orang tua tercinta Alm. Abdul Jalal dan Alm. Noorcholissiyah.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga dihaturkan untuk semua pihak yang

telah membantu dalam pembuatan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu

persatu.

Penulis sangat mengharapkan penelitian ini dapat memberi sumbangan

untuk kemajuan bangsa, negara, dan umat. Dan semoga karya kecil ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, September 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Prima Mashita Patriotika lahir pada tanggal 4 Mei 1985

di Jakarta. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Abdul Jalal

dan Noorcholissiyah. Penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar di SDN 06

pagi, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 98 Jakarta. Pada tahun 2000 penulis

melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 109 Jakarta.Tahun 2007 lulus sebagai

Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Di tahun yang

sama penulis melanjutkan studinya pada Magister Sains Program Studi Ilmu

Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di

Sekretariat Negara RI sejak tahun 2008.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi

Daftar Tabel

Daftar Gambar

Daftar Lampiran

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Perumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

BAB II

TINJAUAN

PUSTAKA

DAN

KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori-teori

2.1.1

Pertumbuhan Ekonomi

2.1.2

Modal

Manusia

dalam Pembangunan dan

Pertumbuhan Ekonomi

2.1.3

Pendidikan

2.1.4

Kesehatan

2.1.5

Pendapatan per Kapita

2.1.6

Indeks Pembangunan Manusia

2.1.7

Kemiskinandan Pembangunan Manusia

2.1.8

Kebijakan Pro Poor Growth

2.1.9

Pembangunan Infrastruktur dalam Pembangunan

Manusia

2.1.10 Analisis Panel Data

2.2 Penelitian-PenelitianTerdahulu

2.3 KerangkaPemikiran

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data

3.4 Spesifikasi Panel Data

3.5 Pengujian Model dan Hipotesis

3.5.1 Uji F

3.5.2 Uji T

3.5.3 Uji Statistik R

2

3.5.4 Multikolinearitas

3.5.5 Heteroskedastisitas

3.5.6 Autokorelasi

i

iii

iv

v

1

1

6

13

13

13

15

15

15

17

21

22

23

24

27

29

30

32

40

44

46

46

46

46

47

50

50

52

52

53

53

54


(12)

BAB IV

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

4.1 Geografi

4.2 Populasi

4.3 Capaian IPM Jawa Barat Hingga Tahun 2009

4.4 Kebijakan Jawa Barat dalam Meningkatkan IPM

BAB V

FAKTOR-FAKTOR

YANG

MEMPENGARUHI

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA

BARAT

5.1 Analisis Model Regresi Panel Data

5.2 Faktor Yang Mempengaruhi

Indeks Pembangunan

Manusia

5.2.1 PDRB Per Kapita

5.2.2 Kemiskinan

5.2.3 Pendidikan

5.2.4 Kesehatan

5.2.5 Sarana Infrastruktur

5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM

di tiap Kabupaten/Kota

5.3 Kebijakan Kabupaten/Kota dengan Nilai IPM Terendah

dalam Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

56

58

59

60

63

66

66

67

67

68

71

73

75

77

85

88

88

88

89


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 IPM 33 Provinsi di Indonesia

Tabel 2.2 Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia

Tabel 2.3 Dimensi dan Indikator Kemiskinan

Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian Terdahulu

Tabel 3.1 Definisi Data dalamTabel

Tabel 3.2 Variabel dalam Penelitian

Tabel 4.1 Monografi Provinsi Jawa Barat

Tabel 4.2 PerkembanganIndeks Pembangunan Manusia IPM beserta

Komponennya di ProvinsiJawa Barat tahun 2004-2009

Tabel 5.1 Hasil Regresi Data Panel Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat

Tabel 5.2 Jumlah Penduduk Miskin dan Kota di Indonesia

Tabel 5.3 Efek Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM untuk Tiap

Kabupaten/Kota

Tabel 5.4 Pengelompokan Kabupaten/Kota berdasarkan Nilai IPM

Tabel 5.5 Karakteristik Daerah dengan IPM Terendah di Jawa Barat

5

27

25

42

47

48

57

61

66

70

77

79

85


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009

Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009

Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa tahun 2005-2009

Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009

Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun

2007-2009

Gambar 1.6 PersentaseAngka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat Tahun

2005-2009

Gambar 1.7 Rata-Rata Lama Sekolah di ProvinsiJawa Barat tahun

2005-2009

Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2005-2009

Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009

Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009

Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009

Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 2.2 Alur Konsep IPM

Gambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan Manusia

Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Barat

Gambar 4.2 Jumlah Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 4.3 LajuPertumbuhan Penduduk Jawa Barat

Gambar 4.4 Pergerakan Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat tahun

2004-2008

Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per Kapita di Jawa Barat

Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa barat tahun

2004-2009

Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa barat tahun 2004-2009

Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat tahun 2004-2009

Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat tahun

2005-2009

Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009

Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat tahun

2005-2009

Gambar 5.8 Pembagian Daerah Berdasarkan IPM

Gambar 5.9 PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Jawa Barat

Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di jawa Barat tahun

2005-2009

Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadapPenduduk SD

dan SMP Kabupaten/Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009

Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Kabupaten/

Kota di Jawa Barat tahun 2005-2009

2

3

3

6

8

9

10

10

11

12

12

20

26

30

45

58

59

60

61

68

70

72

73

74

75

77

74

80

81

82

83

84


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota Jawa Barat

Tahun 2005-2009

Lampiran 2. PDRB perkapita Provinsi Jawa Barat atas HargaKonstan 2000

menurut Kabupaten/ Kota

Lampiran 3. Rasio Jumlah Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama terhadap Jumlah Penduduk Usia Sekolah Dasar dan

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertamadi Provinsi Jawa Barat

menurut Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009

Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SD

dan SMP di Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota

Tahun 2005-2009

Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk Menurut

Kabupaten/ Kota Tahun 2005-2009

Lampiran 6. Rasio Jumlah Dokter dan Bidan terhadap Jumlah Penduduk di

Provinsi Jawa Barat menurut Kabupaten/ Kota Tahun

2005-2009

Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di Provinsi

Jawa Barat menurut Kabupaten/ kota tahun 2005-2009

Lampiran 8. Hasil Output Regresi Data Panel dengan Eviews 6.0

92

93

94

95

96

97

98

99


(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar

dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat

menjadi faktor pendorong maupun penghambat pembangunan. Peubah ini

dipandang sebagai faktor pendorong pertambahan jumlah tenaga kerja dari masa

ke masa. Selanjutnya, pertambahan penduduk dan pemberian pendidikan kepada

mereka sebelum menjadi tenaga kerja, membuat masyarakat memperoleh tenaga

ahli, terampil, terdidik, dan juga

enterpreneur

yang berpendidikan. Selain itu,

perkembangan penduduk juga merupakan perluasan pasar. Luas pasar

barang-barang dan jasa ditentukan oleh dua faktor penting, yaitu pendapatan masyarakat

dan jumlah penduduk. Dengan demikian, apabila penduduk bertambah dengan

sendirinya luas pasar akan bertambah pula. Karena perannya ini, maka

perkembangan penduduk akan merupakan pendorong bagi sektor produksi untuk

meningkatkan kegiatannya. Dan akhirnya, pertambahan penduduk dapat

menciptakan dorongan untuk mengembangkan teknologi.

Pertambahan penduduk, di sisi lain dapat juga menjadi penghambat

pembangunan. Pertambahan penduduk menghambat ketika produktivitas sangat

rendah sementara terdapat banyak pengangguran. Dengan adanya kedua keadaan

ini, pertambahan penduduk tidak akan menaikkan produktivitas secara signifikan

namun justru dapat menurunkan pendapatan perkapita. Keadaan bertambah buruk

saat jumlah penduduk sudah sangat

berlebihan. Pertambahan penduduk

menimbulkan implikasi yang tidak mendukung terhadap tingkat tabungan,

penanaman modal, pembagian pendapatan, migrasi penduduk, kemampuan

mengekspor

dan

beberapa

faktor

lain

yang

mempengaruhi

laju

pertumbuhan.Dengan demikian perlunya pengelolaan yang tepat dalam menyikapi

pertambahan penduduk. Sehingga pertambahan penduduk menjadi modal dalam

pembangunan dan bukan menjadi beban atau permasalahan yang justru merugikan

dan menghambat pembangunan.


(17)

Pengelolaan penduduk yang ekstra hati-hati harus diterapkan di Jawa Barat

dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang pesat dapat menimbulkan

social

costseperti pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Jawa Barat merupakan

salah satu provinsi terpadat di Indonesia. Letaknya yang startegis dan dekat

dengan Ibu Kota Jakarta membuat Jawa Barat memiliki jumlah penduduk yang

lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk di Pulau JawaTahun 2005-2009

Sumber: BPS (2010)

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Jawa barat

selalu lebih banyak dibandingkan dengan provinsi Jawa Tengah dan Jawa

Timur.Terdapat lebih dari 40 juta jiwa penduduk yang tinggal di Jawa

Barat.Selain itu, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat juga sangat pesat.Pada

tahun 2009, laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat mencapai 1,68 persen jauh

lebih tinggi dari pada Jawa Tengah yang hanya sebesar 0,57 persen dan Jawa

Timur sebesar 0,83 persen (Gambar 1.2).

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00

2005 2006 2007 2008 2009

Ju

m

la

h

p

e

n

d

u

d

u

k

(J

u

ta

)

Tahun

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur


(18)

Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Penduduk di Pulau Jawa Tahun 2005- 2009

Sumber: BPS (2010)

Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat juga lebih tinggi dari pada di

Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.Pada tahun 2009, kepadatan penduduk di

Provinsi Jawa Barat sebesar 1.124 orang/km

2

lebih tinggi dari kepadatan

penduduk di Provinsi Jawa Tengah (1.002 orang/km

2

) dan Provinsi Jawa Timur

(798 orang/km

2

). Keadaan ini dapat digambarkan pada Gambar 1.3 sebagai

berikut:

Gambar 1.3 Kepadatan Penduduk Pulau Jawa Tahun 2005-2009

Sumber: BPS (2010)

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

2005 2006 2007 2008 2009

La ju P e rt u m b u h a n P e n d u d u k (% ) Tahun Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

2005 2006 2007 2008 2009

R a ta -r a ta K e p a d a ta n p e n d u d u k (O ra n g /km 2 ) Tahun Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur


(19)

Paparan diatas menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki modal manusia

yang potensial untuk dikembangkan.Modal manusia ini kemudian haruslah diolah

hingga menjadi modal manusia yang berkualitas sehingga modal manusia dapat

menjadi faktor pendukung pembangunan di provinsi Jawa Barat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan indikator kualitas

pembangunan manusia melalui

Human Development Index

(HDI) atau Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) yang pencapaiannya tergantung pada derajat

kesehatan, pendidikan dan daya beli masyarakat. Indeks ini dikembangkan oleh

ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq pada tahun 1990 dan digunakan oleh

United Development Program

(UNDP) pada laporan tahunannya sejak tahun

1993.

UNDP memasukkan pembangunan manusia sebagai komponen utama

dalam pembangunan ekonomi.Pembangunan manusia (human development)

dirumuskan sebagai perluasan pilihan bagi penduduk (enlarging the choice

ofpeople), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah perluasan pilihan dan

sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Di antara berbagai

pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat,

untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya

yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Di antara pilihan lain yang tak

kalah pentingnya adalah kebebasan politik, jaminan atas hak asasi manusia dan

harga diri. Dengan demikian, pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan

peningkatan kemampuan manusia, seperti meningkatkan kesehatan dan

pendidikan. Pembangunan manusia juga mementingkan apa yang bisa dilakukan

oleh manusia dengan kemampuan yang dimilikinya, untuk menikmati kehidupan,

melakukan kegiatan produktif, atau ikut serta dalam berbagai kegiatan budaya,

dan sosial politik. Pembangunan manusia harus menyeimbangkan berbagai aspek

tersebut.

Jawa Barat masih harus meningkatkan IPM-nya dalam konsep

pembangunan manusia. Pada tahun 2009, Jawa Barat menempati urutan 15 dari 33

provinsi, dengan angka IPM 71,64. Berikut dapat dilihat Peringkat IPM tahun

2009 untuk tiap-tiap provinsi di Indonesia pada Tabel 1.1.


(20)

Tabel 1.1 IPM 33 Provinsi di Indonesia

Provinsi Tahun 2009 Provinsi Tahun 2009

IPM Ranking IPM Ranking

DKI Jakarta 77,36 1 Jawa Timur 71,06 18

Sulawesi Utara 75,68 2 Maluku 70,96 19

Riau 75,6 3 Sulawesi

Selatan 70,94 20

Yogyakarta 75,23 4 Lampung 70,93 21

Kalimantan Timur 75,11 5 Sulawesi

Tengah 70,7 22

Kepulauan Riau 74,54 6 Banten 70,06 23

Kalimantan Tengah 74,36 7 Gorontalo 69,79 24

Sumatera Utara 73,8 8 Sulawesi

Tenggara 69,52 25

Sumatera Barat 73,44 9 Kalimantan

Selatan 69,3 26

Sumatera Selatan 72,61 10 Sulawesi Barat 69,18 27 Bangka Belitung 72,55 11 Kalimantan

Barat 68,79 28

Bengkulu 72,55 12 Maluku Utara 68,63 29

Jambi 72,45 13 Irian Jaya Barat 68,58 30

Jawa Tengah 72,1 14 Nusa Tenggara

Timur 66,6 31

Jawa Barat 71,64 15 Nusa Tenggara

Barat 64,66 32

Bali 71,52 16 Papua 64,53 33

Nanggroe Aceh

Darussalam 71,31 17

Indonesia

(BPS) 71,76

Sumber: BPS (2010)

Makin tinggi nilai IPM berarti makin baik kondisi sumber daya manusia di

suatu daerah.Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa IPM Jawa Barat masih jauh tertinggal

dari IPM DKI Jakarta. Padahal sebagai Provinsi penopang ibu kota Jakarta,

kualitas sumber daya manusia di Provinsi Jawa Barat perlu diperhatikan karena

dapat menjadi potensi pembangunan daerah dan juga menopang pembangunan Ibu

Kota Jakarta. Bahkan pada jangka panjang akan memajukan pembangunan

Indonesia.

Dampak pembangunan manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam

pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dalam mengentaskan kemiskinan, nilai

pembangunan manusia tidak boleh dikesampingkan. Dengan pembangunan

manusia yang baik, pembangunan negara dapat tercapai dan derajatsosial bangsa

akan meningkat sehingga mendorong pembangunan manusia yang berkualitas.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Pentingnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang telah dipaparkan

diatas memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk yang besar di Jawa Barat

tidak bisa diabaikan. Diperlukan kebijakan pembangunan manusia yang tepat

sehingga Jawa Barat dapat memaksimalkan potensi modal manusia dalam

pembangunan era globalisasi.Pembangunan manusia dilakukan dengan berbagai

kebijakan seperti dengan membangun pendidikan yang baik agar lulusan sekolah

mempunyai kualitas yang baik. Selain itu juga dengan membangun

fasilitas-fasilitas kesehatan dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Penggunaan konsep IPMmembuat pembangunan manusia tak hanya terpusat

pada besarnya penghasilan. Namun memberikan suatu ukuran gabungan tiga

dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat

(diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca

tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi)

dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/ PPP,

penghasilan).

Indeks pembangunan manusia di Jawa Barat terus meningkat dari tahun ke

tahun, namun nilai IPM di Jawa Barat belum dapat menembus nilai 80 dimana

pada nilai tersebut, IPM dikategorikan tinggi. Pergerakan IPM Jawa Barat dapat

dilihat pada Gambar 1.4. Pada gambar tersebut terlihat bahwa IPM Provinsi Jawa

Barat konsisten meningkat, namun dengan besaran yang tidak terlalu besar. Pada

Tahun 2009 IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 71,64 naik dari tahun 2008 sebesar

0,52 poin.

Gambar 1.4 Pergerakan IPM Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009

Sumber: Bappeda Jawa Barat(2010)

69,9

70,32

70,71

71,12

71,64

69,0 69,5 70,0 70,5 71,0 71,5 72,0

2005 2006 2007 2008 2009

IP

M


(22)

Jawa Barat menetapkan target IPM mencapai 80 pada tahun 2025 dan

menetapkan visi sebagai provinsi termaju di Indonesia. Dengan target tersebut

Pemerintah Provinsi harus mendorong peningkatan kualitas di sektor pendidikan,

kesehatan, dan perekonomian. Peningkatan di salah satu sektor tersebut dapat

mendorong peningkatan IPM. Peningkatan dalam sektor tersebut meliputi akses

masyarakat terhadap pendidikan yang mudah, yakni dari segi menjangkau dan

mengenyam pendidikan. Akses terhadap kesehatan juga sangat menentukan

peningkatan IPM. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan

ketersediaan sarana kesehatan di setiap Kabupaten/kota akan mendukung

peningkatan IPM Jawa Barat. Selain itu, yang tidak bisa dilepaskan dari

peningkatan IPM adalah daya beli masyarakat. Daya beli menandakan

kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dalam

mengakses pendidikan dan kesehatan.

Perbedaan karakteristik tiap Kabupaten/Kota di Jawa Barat juga sangat

mempengaruhi pemenuhan target tersebut. Provinsi Jawa Barat merupakan

wilayah luas yang memiliki 26 kabupaten/ kota dengan angka IPM yang

berbeda-beda (Gambar 1.5). Dengan demikian diperlukan penerapankebijakan yang

berbeda untuk tiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.Namun dengan adanya

otonomi daerah yang dimulai tahun 1999, Pemerintah Provinsi hanya berperan

sebagai pengawas dan Pemerintah Kabupaten/Kota lebih memiliki kewenangan

dalam peningkatan kesejahteraan daerah masing-masing.

Gambar 1.5 memperlihatkan pergerakan nilai IPM untuk setiap

kabupaten/kota di Jawa Barat untuk selang tahun 2007-2009. Terlihat bahwa IPM

untuk daerah kota memiliki kecenderungan lebih tinggi daripada wilayah

kabupaten. Daerah-daerah yang letaknya lebih dekat dengan Ibu Kota Jakarta juga

memiliki perkembangan lebih cepat pada IPM daripada daerah-daerah yang

letaknya lebih jauh dari Ibu Kota Jakarta. Bukan hanya letak daerah saja yang

mempengaruhi perbedaan nilai IPM kabupaten/kota di Jawa Barat, faktor-faktor

lain berupa geografis daerah, karakteristis budaya, dan kearifan lokal secara

langsung maupun tidak sangat mempengaruhi IPM tiap kabupaten/kota yang

selanjutnya sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam membuat

kebijakan di daerah tersebut.


(23)

Gambar 1.5 Pergerakan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun

2007-2009

Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)

Kebijakan-kebijakan dalam rangka peningkatan IPM meliputi sektor

pendidikan, sektor kesehatan dan sektor perekonomian. Pada sektor pendidikan,

Provinsi Jawa Barat membuat misi meningkatkan kualitas dan produktivitas

sumber daya manusia. Kualitas pendidikan di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat

dari indikator pendidikan berupa angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.

60,00 65,00 70,00 75,00 80,00 Kab. Bogor

Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar

IPM

K

a

b

u

p

a

te

n

/K

o

ta

d

i

ja

w

a

B

a

ra

t

2009 2008 2007


(24)

Kedua indikator tersebut merupakan komponen penyusun IPM dalam sektor

pendidikan.

Angka melek huruf di Provinsi Jawa Barat sudah tergolong tinggi. Terlihat

dari Gambar 1.6 pada tahun 2009 angka melek huruf Provinsi Jawa Barat telah

mencapai 95,98 persen. Meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 95,53

persen. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk provinsi Jawa Barat yang buta

huruf masih ada sebesar 4,02 persen.

Gambar 1.6Persentase Angka Melek Huruf di Provinsi Jawa Barat tahun

2005-2009

Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)

Pendidikan memang merupakan hal penting dalam membangun negara.

Kesadaran inilah yang mendorong Pemerintah Pusat menetapkan Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 Bab IV pasal 6 ayat 1 mengenai

hak dan kewajiban warga negara berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun

mengikuti pendidikan dasar. Pada Pasal 11 ayat 2 dinyatakan bahwa Pemerintah

pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negaraberusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Dengan demikian, seharusnya sudah tidak ada lagi anak usia 7-15 tahun yang

tidak bersekolah.

Rata-rata lama bersekolah juga menjadi indikator pendidikan dikarenakan

rata-rata lama bersekolah dapat menjadi cerminan tingkat

drop out

murid.Gambar

1.6 memaparkan pergerakan rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat. Pada

94,6

94,91

95,32 95,53

95,98

93,5 94,0 94,5 95,0 95,5 96,0 96,5

2005 2006 2007 2008 2009

A

n

g

ka

M

e

le

k

H

u

ru

f

(P

e

rs

e

n

)


(25)

tahun 2009, rata-rata lama sekolah di Provinsi Jawa Barat mencapai 7,72 tahun.

Angka ini tergolong masih rendah karena angka maksimal rata-rata lama sekolah

yang ditetapkan oleh BPS adalah 15 tahun.

Gambar 1.7Rata-Rata Lama Sekolah di Provinsi Jawa Barat tahun 2005-2009

Sumber: Bappeda Jawa Barat (2010)

Program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah pusat,

harus mendorong pemerintah daerah menggiatkan pembangunan sarana prasarana

pendidikan yang berkualitas.Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan

merupakan kebijakan tepat untuk memperluas akses masyarakat terhadap

pendidikan. Pembangunan sekolah akan memberikan dampak positif terhadap

peningkatan angka melek huruf dan peningkatan partisipasi bersekolah.Pada tahun

2009 jumlah SD dan SMP sebanyak 29.600 sekolah meningkat dari tahun 2008

yang sebesar 28.130 sekolah (Gambar 1.8).

Gambar 1.8 Jumlah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2005-2009

Sumber: BPS (2010)

7,4

7,50 7,50 7,50

7,72 7,1 7,2 7,3 7,4 7,5 7,6 7,7 7,8

2005 2006 2007 2008 2009

R a ta -R a ta L a m a S e ko la h (T a h u n ) Tahun 22,76 22,88 27,18 28,13 29,60 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00

2005 2006 2007 2008 2009

Ju m la h s e ko la h S D d a n S M p (r ib u )


(26)

Sektor kesehatan juga menjadi fokus dalam peningkatan IPM di Jawa Barat.

Tolak ukur kondisi kesehatan di Jawa Barat salah satunya bisa dilihat dari angka

harapan hidupnya. Provinsi Jawa Barat memiliki angka harapan hidup sebesar 68

tahun pada tahun 2009. Dibandingkan dengan nilai maksimal IPM menurut

UNDP sebesar 85 tahun, usia harapan hidup di Jawa Barat masih termasuk

rendah. Namun tren meningkatnya usia harapan hidup tiap tahun di Provinsi Jawa

Barat menandakan adanya perbaikan di sektor pendidikan di provinsi ini. (Gambar

1.9)

Gambar 1.9 Angka Harapan Hidup Jawa Barat Tahun 2005-2009

Sumber: BPS, 2010

Perbaikan sektor kesehatan juga terlihat dari jumlah sarana prasarana

kesehatan yang meningkat di Jawa Barat. Pada tahun 2009, jumlah puskesmas di

Jawa Barat sebanyak 3.337 Puskesmas yang terdiri dari puskesmas umum,

puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling

(Gambar 1.10). Dengan

meningkatnya jumlah puskesmas, akses masyarakat terhadap sarana kesehatan

pun akan meningkat.

67,2

67,40

67,60

67,80

68,00

66,8 67,0 67,2 67,4 67,6 67,8 68,0 68,2

2005 2006 2007 2008 2009

A

n

g

ka

H

a

ra

p

a

n

H

id

u

p

(T

a

h

u

n

)


(27)

Gambar 1.10 Jumlah Puskesmas di Jawa Barat Tahun 2005-2009

Sumber: BPS (2010)

Sektor perekonomian juga menjadi penentu peningkatan IPM. Dalam

penghitungan IPM, komponen pengeluaran per kapita menjadi indikator.

Pendapatan per kapita mencerminkan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat

akan menentukan akses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup yang

menyangkut kualitas hidup termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Di

Jawa Barat pengeluaran per kapita masyarakat adalah Rp 628.710,- pada tahun

2009 (Gambar 1.11). Jumlah ini masih dibawah standar maksimal yang ditetapkan

oleh UNDP yakni sebesar Rp 732.720,-.

Gambar 1.11 Pengeluaran Per Kapita Jawa Barat Tahun 2005-2009

Sumber: BPS (2010)

2985 3031 3094 3230 3337 2800 2900 3000 3100 3200 3300 3400

2005 2006 2007 2008 2009

Ju m la h P u ske sm a s 619,7 621,11 623,64 626,81 628,71 614,0 616,0 618,0 620,0 622,0 624,0 626,0 628,0 630,0

2005 2006 2007 2008 2009

P e n g e lu a ra n P e r K a p it a (R ib u R p ) Tahun


(28)

Berdasarkan paparan di atas, terdapat bebarapa permasalahan yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa

Barat

2. Bagaimana implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan

realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat.

1.3 Tujuan Panelitian

Tujuan dari penelitian ini dapat dijabarkan menjadi dua poin sebagai

berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di

Jawa Barat

2. Mengkaji implikasi kebijakan peningkatan sumber daya manusia dengan

realitas yang terjadi di provinsi Jawa Barat

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan arahan

dan sebagai dasar pertimbangan antara lain:

1. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam

perumusan dan perencanaan kebijakan pembangunan daerah baik

pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia.

2. Sebagai informasi dan studi pustaka kepada masyarakat, pemerintah,

praktisi dan akademisi, khususnya tentang kajian pembangunan manusia

di Jawa Barat.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup dan penelitian meliputi beberapa hal.

Pertama, memberikan

gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia yang meliputi

tiga aspek besar dalam penghitungan indeks pembangunan manusia yakni peluang

hidup

(longevity), pengetahuan (knowladge), dan hidup layak (decent living).

Adapun peluang hidup diukur dengan pendekatan kesehatan meliputi ketersediaan

sarana kesehatan dan pelayan kesehatan. Sementara aspek pengetahuan diukur

dengan pendekatan pendidikan yaitu ketersedian sekolah dasar dan menengah di


(29)

suatu wilayah. Sedangkan untuk aspek hidup layak memakai pendekatan variabel

kemiskinan dan variabel PDRB per kapita. Selain ketiga aspek tersebut,

dimasukkan juga sarana infrastruktur yang dapat menunjang perekonomian suatu

wilayah. Dengan memasukkan sarana infrastruktur dengan pendekatan panjang

jalan, diduga akan memberikan pengeruh positif terhadap kesejahteraan

masyarakat.

Penelitian ini hanya meneliti Provinsi Jawa Barat yang meliputi 25

Kabupaten Kota. Adapun Kabupaten Bandung Barat yang baru terbentuk tahun

2007 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandungtidak menjadi objek

penelitian terkait dengan ketersedian data. Penelitian ini juga meneliti

kebijakan-kebijakan yang diterapkan Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu tahun

2005-2009 dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Barat.


(30)

II.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Teori-Teori

2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi

Simon Kuznet menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan

kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara untuk menyediakan

berbagai barang ekonomi kepada penduduknya yang ditentukan oleh adanya

kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan),

dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2003).

Sementara Robinson Tarigan menekankan pertumbuhan ekonomi dalam sisi

kewilayahan dimana pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan pertambahan

pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai

tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut.

Menurut pandangan kaum historis, diantaranya Friedrich List dan Rostow,

pertumbuhan ekonomi merupakan tahapan proses tumbuhnya perekonomian

mulai dari perekonomian bersifat tradisional yang bergerak di sektor pertanian

dimana produksi bersifat subsisten, hingga akhirnya menuju perekonomian

modern yang didominasi oleh sektor industri manufaktur. Menurut pandangan

ekonom klasik seperti Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert Malthus dan

John Stuart Mill, maupun ekonom neo klasik, Robert Solow dan Trevor Swan,

empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah

penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan

(4) tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah penduduk sangat erat kaitannya

dengan

pertumbuhan

ekonomi

dimana

penduduk

sebagai

penggerak

perekonomian. Semakin banyak jumlah penduduk suatu daerah tidak berarti

pembangunan di daerah tersebut menjadi lebih baik. Jumlah penduduk yang

berlebihan justru akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi suatu

wilayah. Jumlah stok barang modal menjadi faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang

selanjutnya akan diperjualbelikan. Sementaraluas tanah dan kekayaan merupakan

pendukung kegiatan-kegiatan perekonomian. Tingkat teknologi tidak bisa


(31)

dilepaskan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dikarenakan teknologi dapat

menentukan efektivitas dan efisiensi kegiatan ekonomi.

Keempat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tersebut dapat

menentukan perkembangan kegiatan perekonomian. Menurut Kuncoro, 2003

suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila

tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa

sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menitik beratkan pada

capaiaan yang lebih baik dari sebelumnya berkenaan dengan kualitas dan

kuantitas kegiatan perekonomian suatu wilayah.

Schumpeter

menyatakan bahwa

faktor

utama yang menyebabkan

perkembangan ekonomi adalah proses inovasi, dan pelakunya adalah inovator

atau wiraswasta (entrepreneur). Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa

diterapkan dengan adanya inovasi oleh para

entrepreneur. Inovasi yang

diperlukan dalam perkembangan ekonomi adalah inovasi yang memberikan

perbaikan dalam poses produksi sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas

kegiatan-kegiatan ekonomi.

Menurut Todaro (2003: hal 92-98), ada tiga faktor utama dalam

pertumbuhan ekonomi, yaitu :

1.

Akumulasi modal

termasuk semua investasi baru yang berwujud

tanah/(lahan), peralatan fiskal, dan sumber daya manusia (human

resources). Akumulasi modal akan terjadi jika ada sebagian dari

pendapatan sekarang di tabung yang kemudian diinvestasikan kembali

dengan tujuan untuk memperbesar output di masa-masa mendatang.

Investasi juga harus disertai dengan investasi infrastruktur, yakni berupa

jalan, listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, fasilitas komunikasi, demi

menunjang aktivitas ekonomi produktif. Investasi dalam pembinaan

sumber daya manusia bermuara pada peningkatan kualitas modal

manusia, yang pada akhirnya dapat berdampak positif terhadap angka

produksi.

2.

Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja.

Pertumbuhan penduduk

dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angka kerja

(labor force) secara tradisional telah dianggap sebagai faktor yang positif


(32)

dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak

angkatan kerja semakin produktif tenaga kerja, sedangkan semakin

banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestiknya.

3.

Kemajuan Teknologi.

Kemajuan teknologi disebabkan oleh teknologi

cara-cara baru dan cara-cara lama yang diperbaiki dalam melakukan

pekerjaan-pekerjaan tradisional. Ada 3 klasifikasi kemajuan teknologi,

yakni :

a. Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi jika tingkat output

yang dicapai lebih tinggi pada kuantitas dan kombinasi-kombinasi

input yang sama.

b. Kemajuan teknologi yang bersifat hemat tenaga kerja (labor

saving) atau hemat modal (capital saving), yaitu tingkat output

yang lebih tinggi bisa dicapai dengan jumlah tenaga kerja atau

input modal yang sama

c.

Kemajuan teknologi yang meningkatkan modal, terjadi jika

penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memanfaatkan

barang modal yang ada secara lebih produktif.

2.1.2 Modal Manusia dalam Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Manusia merupakan aset berharga dalam pembangunan dan juga merupakan

subjek dari pembangunan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh

Todaro dan Smith (2003) dimana pembangunan memiliki tiga nilai inti yaitu

tercapainya kemampuan hidup (life sustenance), kemandirian (self esteem) dan

kemerdekaan atau kebebasan (freedom). Kemampuan hidup diartikan

kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kemandirian berarti

mempunyai harga diri, bermartabat atau berkepribadian. Adapun kemerdekaan

berarti memiliki kesanggupan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidup.

Menurut UNDP (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4

(empat) komponen utama, yaitu : (1)

Produktifitas, masyarakat harus dapat

meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses

memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan

ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, (2)

Ekuitas,


(33)

masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua

hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat

dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari

kesempatan-kesempatan ini, (3)

Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus

dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan

datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus

dilengkapi, (4)

Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat

dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam

mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan

mereka.Dengan peningkatan kemampuan, kreatifitas dan produktifitas manusia

akan meningkat sehingga mereka menjadi agen pertumbuhan yang efektif.

Pertumbuhan ekonomi harus dikombinasikan dengan pemerataan hasil-hasilnya.

Pemerataan kesempatan harus tersedia baik, semua orang, perempuan maupun

laki-laki harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan

pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan

mereka. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang

menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh

kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya

(pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia

hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis

dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan

ekonomi).

UNDP membahas pembangunan manusia dengan menghubungannyadengan

model sosial dan reproduksi sosial. Pembangunan manusia merupakan model

sosial, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang dapat mengembangkan

kemampuan pekerja, petani dan pengusaha sehingga dapat menghasilkan produk

yang berkualitas dengan teknologi dan penelitian serta pengembangan produk.

Produk ini kemudian menjadi komposisi output yang berkualitas yang dapat

diekspor.

Kekuatan timbal balik antar pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan

manusia tidak terlepas dari kebijakan institusi dan pemerintah. Kebijakan ini yang

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menentukan distribusi sumberdaya


(34)

swasta dan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi disusun oleh tiga faktor penting

yaitu tabungan luar negeri, modal fisik, dan tabungan dalam negeri. Makin baik

tiga faktor ini akan menentukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga dapat

menguatkan kredibelitas institusi dan pemerintah.

Komitmen pemerintah dalam pendistribusian sumber daya dilakukan

melalui dua saluran, yakni dari kebijakan pengeluaran pemerintah yang ditujukan

pada prioritas sosial seperti pembangunan infrastruktur dan melalui kegiatan

pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan individu rumah tangga seperti

pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Keduanya bermuara di

tempat sama yakni model sosial yang selanjutnya dapat membangun manusia

yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dengan sasaran pengeluaran rumah

tangga menggunakan pendekatan ketenagakerjaan yaitu dengan penyediaan

lapangan pekerjaan yang merupakan jembatan antar pengeluaran pemerintah dan

pengeluaran rumah tangga (Gambar 2.1). Model UNDP ini telah banyak

digunakan dalam berbagai penelitian.

Teori-teori bahwa pembangunan ditentukan oleh modal manusia banyak

disebut-sebut oleh pakar-pakar ekonomi. Adam Smith tak hanya mengangkat

tentang kebijakan

laissez-faire, tetapi juga sangat memperhatikan tentang

pembangunan. Smith pun berpendapat bahwa faktor penentu pembangunan adalah

perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan

perluasan pasar akan meninggikan tingkat spesialisasi dalam perekonomian

tersebut. Sebagai akibat dari spesialisasi yang terjadi, maka tingkat kegiatan

ekonomi akan bertambah tinggi.


(35)

Pembangunan Manusia

Model Sosial, LSM, dan Organisasi kemasyarakatan

Reproduksi Sosial

Kemampuan Pekerja

dan petani

pengusaha Manajer

Pengeluaran

prioritas sosial

Pengeluaran

rumah tangga

untuk kebutuhan

dasar

Produk R&D dan

Teknologi

Kebijaksanaan dan

pengeluaran pemerintah

Kegiatan dan

pengeluaran

rumah tangga

Komposisi output

dan ekspor

Ketenagakerjaan

Distribusi sumber daya swasta dan masyarakat

Tabungan Luar

negeri

Modal Fisik

Tabungan

dalam negeri

Institusi dan pemerintah

Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 2.1 Hubungan Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi

Sumber: UNDP (1996)


(36)

2.1.3 Pendidikan

Menurut Schweke (2004), pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber

daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta

menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan

kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan

tidak saja berguna bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan

masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan

meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan

jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem

krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan

welfare

dependency

yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

Dalam upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan

(sustainable development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat

strategis khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung

proses produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,World Commision

on Environmental and Development, 1997 dalam McKeown (Satria, 2008), bahwa

sustainable development

adalah:

Sustainable development is development that

meets the needs of thepresent without comprimising the ability of future

generations to meet their ownneeds. Dalam konteks ini, pendidikan dianggap

sebagai alat untuk mencapai target yang berkelanjutan, karena dengan pendidikan

aktivitas pembangunan dapat tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan

kualitas hidup di masa depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan,

usaha pembangunan yang lebih hijau

(greener development) dengan

memperhatikan aspek-aspek lingkungan juga mudah tercapai.

Analisis atas investasi dalam bidang pendidikan menyatu dalam pendekatan

modal manusia. Modal manusia (human capital) adalah istilah yang sering

digunakan oleh para ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia

yang lain yang dapat meningkatkan produktivitas jika hal-hal tersebut

ditingkatkan. Pendidikan memainkan kunci dalam membentuk kemampuan

sebuah negara untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan


(37)

kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan

(Todaro, 2003).

Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk

knowledge-based economymenjadi semakin dominan. Paradigma ini menegaskan tiga

hal:Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan

dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid.

Ketiga, pendidikan menjadi

penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses

transformasi struktural berjangka panjang.

1

2.1.4 Kesehatan

Laporan Komisi Makroekonomi dan Kesehatan tahun 2001 dalam

Atmawikarta(2002) menekankan pentingnya pembangunan manusia sebagai

sentral pembangunan. Pada tingkat mikro yaitu pada tingkat individual dan

keluarga, kesehatan adalah dasar bagi produktivitas kerja dan kapasitas untuk

belajar di sekolah. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental akan lebih

enerjik dan kuat, lebih produktif, dan mendapatkan penghasilan yang tinggi.

Keadaan ini terutama terjadi di negara-negara sedang berkembang, dimana

proporsi terbesar dari angkatan kerja masih bekerja secara manual. Pada tingkat

makro, penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan

(input)

penting untuk menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan

ekonomi jangka panjang. Beberapa pengalaman sejarah besar membuktikan

berhasilnya tinggal landas ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang cepat

didukung oleh terobosan penting di bidang kesehatan masyarakat, pemberantasan

penyakit dan peningkatan gizi.

Dengan demikian menurut Atmawikarta (2002), terdapat korelasi yang kuat

antara tingkat kesehatan yang baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Secara statistik diperkirakan bahwa setiap peningkatan 10 persen dari angka

harapan hidup (AHH) waktu lahir akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

minimal 0,3 0,4 persen pertahun, jika faktor-faktor pertumbuhan lainnya tetap.

Dengan demikian, perbedaan tingkat pertumbuhan tahunan antara negara-negara

1


(38)

maju yang mempunyai AHH tinggi (77 tahun) dengan negara-negara sedang

berkembang dengan AHH rendah (49 tahun) adalah sekitar 1,6 persen, dan

pengaruh ini akan terakumulasi terus menerus.

Peningkatan kesejahteraan ekonomi sebagai akibat dari bertambah

panjangnya usia sangatlah penting. Dalam membandingkan tingkat kesejahteraan

antar kelompok masyarakat, dapat merujuk pada angka harapan hidup. Di

negara-negara yang tingkat kesehatannya lebih baik, setiap individu memiliki rata-rata

hidup lebih lama, dengan demikian secara ekonomis mempunyai peluang untuk

memperoleh pendapatan lebih tinggi. Keluarga yang usia harapan hidupnya lebih

panjang, cenderung untuk menginvestasikan pendapatannya di bidang pendidikan

dan menabung. Dengan demikian, tabungan nasional dan investasi akan

meningkat, dan pada selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2.1.5 Pendapatan Per Kapita

Pembangunan manusia dapat diartikan sebagai suatu proses yang

menyebabkan pendapatan per kapita suatu masyarakat terus-menerus bertambah

dalam jangka panjang. Menurut Sukirno (2006), pendapatan perkapita dapat

digunakan untuk tiga tujuan berikut: (i) menentukan tingkat kesejahteraan yang

dicapai suatu negara pada suatu tahun tertentu; (ii) menggambarkan tingkat

kelajuan atau kecepatan pembangunan ekonomi dunia dan di berbagai negara;

dan (iii) menunjukkan jurang pembangunan di antara berbagai negara.

Merujuk pada penggunaan pendapatan perkapita tersebut, maka pendapatan

per kapita dapat digunakan dalam mengukur daya beli masyarakat yang kemudian

berkaitan dengan kesejahteraan yang dicapai dalam suatu negara. Pendapatan

perkapita didefinisikan sebagai besarnya pendapatan rata rata penduduk di suatu

negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan

nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan

perkapita juga merefleksikan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita.

Produk domestik bruto per kapita atau produk domestik regional bruto per

kapita pada skala daerah dapat digunakan sebagai pengukur pertumbuhan

ekonomi yang lebih baik karena lebih tepat mencerminkan kesejahteraan

penduduk suatu negara daripada nilai PDB atau PDRB saja. Produk domestik


(39)

bruto per kapita baik di tingkat nasional maupun di daerah adalah jumlah PDB

nasional atau PRDB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk di negara

maupun di daerah yang bersangkutan, atau dapat disebut juga sebagai PDB atau

PDRB rata-rata (Prastyo, 2010).

Bank Dunia menggunakan Produk Nasional Bruto (PNB), bukan PDB

sebagai alat ukur perkembangan ekonomi suatu negara,

yaitu dengan

memperhitungkan pendapatan bersih dan faktor produksi milik orang asing.

Walaupun PDB atau PNB per kapita merupakan alat pengukur yang lebih baik,

namun tetap belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat, karena

PDB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sesungguhnya

dirasakan oleh setiap orang di suatu negara. Dapat saja angka-angka rata-rata

tersebut tinggi, namun sesungguhnya ada penduduk atau sekolompok penduduk

yang tidak menerima pendapatan sama sekali. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan

unsur

distribusi

pendapatan

di

antara

penduduksuatunegara.

Dengan

memperhatikan unsur distribusi pendapatan itu, maka PDB atau PNB per kapita

yang tinggi disertai distribusi pendapatan yang lebih merata akan mencerminkan

kesejahteraan ekonomi yang lebih baik daripada bila pendapatan per kapitanya

tinggi namun ada distribusi pendapatan yang tidak merata. Meskipun demikian,

demi sederhananya pengukuran, pendapatan per kapita tetap merupakan alat

pengukur yang unggul dibanding dengan alat-alat pengukur yang lain (Prastyo,

2010).

2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia

Perkembangan manusia secara berkelanjutan merupakan hal penting yang

perlu diukur dengan pengukuran indikator komposit yang cukup representatif.

Ukuran pembangunan manusia yang populer adalah Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP dalam laporannya pada

Human

development Report

tahun 1997. UNDP berupaya menggantikan ukuran

kemiskinan pendapatan Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan manusia .

Satuan inilah yang kemudian dinamakan Indeks Kemiskinan Manusia (Human

Poverty Indeks-HPI atau populer juga dengan Indeks Pembangunan Manusia.

Menurut UNDP, kemiskinan manusia harus diukur dalam satuan hilangnya tiga


(40)

hal utama, yaitu kehidupan yang diukur dari harapan hidup penduduknya. Di

negara-negara miskin lebih dari 30 persen penduduknya cenderung memiliki

harapan hidup tidak lebih dari 40 tahun. Kemiskinan juga dihitung dari

pendidikan dasar yang diukur melalui persentase penduduk dewasa yang buta

huruf dan keseluruhan ketetapan ekonomi yang diukur oleh persentase penduduk

yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih ditambah

persentase anak dibawah 5 tahun yang kekurangan berat badan. Angka HPI yang

rendah berarti menunjukkan hal yang bagus (yakni, sedikitnya persentase

penduduk yang mengalami kehilangan 3 hal tersebut). Sementara HPI yang lebih

tinggi menunjukkan kehilangan yang lebih besar.

Dengan kata lain Indeks pembangunan mencakup tiga komponen yang

dianggap mendasar bagimanusia dan secara operasional mudah dihitung untuk

menghasilkan suatu ukuranyang merefleksikan upaya pembangunan manusia.

Ketiga aspek tersebut berkaitandengan peluang hidup (longevity), pengetahuan

(knowledge), dan hidup layak(decent living).

Peluang hidup dihitung berdasarkan

angka harapan hidup ketika lahir; pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama

sekolah angka melek hurufpenduduk usia 15 tahun keatas; dan hidup layak diukur

dengan pengeluaran perkapita yang didasarkan pada

Purchasing Power Parity

(paritas daya beli dalamrupiah).Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup

atau e

0

yang dihitungmenggunakan metode tidak langsung (metode Brass, varian

Trussel) berdasarkan variabel rata-rata anak lahir hidup dan rata-rata anak yang

masih hidup. Komponen pengetahuan diukur dengan angka melek huruf dan

rata-rata lama sekolah yang dihitung berdasarkan data Suseda. Sebagai catatan, UNDP

dalam publikasi tahunan

Human Development Report

(HDR). Indikator angka

melek huruf diperoleh dari variabel kemampuan membaca dan menulis,

sedangkan indikator rata-rata lama sekolah dihitung dengan menggunakan dua

variabel secara simultan; yaitu tingkat/kelas yang sedang/pernah dijalani dan

jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Komponen standar hidup layak

diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Sebagai

catatan, UNDP menggunakan indikator Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita

riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP percapita) sebagai ukuran

komponen tersebut karena tidak tersedia indikator lain yang lebih baik untuk


(41)

keperluan perbandingan antar negara. Secara singkat konsep IPM dapat

digambarkan sebagai berikut:

IPM

Dimensi

Umur

Panjang dan

Hidup Sehat

Pengetahuan

Standar

Kehidupan

Layak

Indikator

Harapan

Hidup

saat

lahir

Tingkat

Melek

Huruf

Dewasa

(Lit)

Rata-rata

lamanya

bersekolah

(MYS)

Pengeluaran

riil perkapita

(PPP rupiah)

Dimension Indeks

Indeks

Harapan

Hidup

Indeks

Pendapatan

Indeks Pendidikan

Indeks Pembangunan Manusia

Gambar 2.2Alur Konsep IPM

Sumber: BPS, 2010

BPS memberikan ilustrasi penghitungan IPM sebagai berikut:

IPM = 1/3 (X

(1)

+ X

(2)

+ X

(3)

)

(1)

Dimana:

X

(1)

: Indeks harapan hidup

X

(2)

: Indeks pedidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks

rata-rata lama sekolah)

X

(3)

: Indeks standar hidup layak

Masing-masing indeks komponen IPM tersebut merupakan perbandingan

antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai

maksimum dan nilai minimum indikator yang bersangkutan. Rumusnya dapat

disajikan sebagai berikut:

Indeks X

(i)

= (X

(i)

X

(i) min

) / X

(i)maks

X

(i)min

)

(2)

Dimana:

X

(i)

: Indikator ke-i

X

(i)maks

: Nilai maksimum X

(i)

X

(i)min

: Nilai minimum X

(i)

Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X

(i)

disajikan pada tabel di bawah

ini:


(42)

Tabel 2.1 Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Komponen

IPM

(X

(1)

)

Nilai

Maksimum

Nilai

Minimum

Catatan

(1)

(2)

(3)

(4)

Angka

Harapan

Hidup

85

25

Sesuai

standar

global

(UNDP)

Angka

Melek

Huruf

100

0

Sesuai

standar

global

(UNDP)

Rata-rata

Lama

Sekolah

15

0

Sesuai

standar

global

(UNDP)

Konsumsi

per

Kapita

yang

disesuaikan 1996

732.720

a)

300.000

b)

UNDP menggunakan PDB

per

kapita

riil

yang

disesuaikan.

Catatan: a) Proyeksi pengeluaran riil/ unit/ tahun untuk provinsi yang memiliki

angka tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan

formula Atkitson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per

tahun selama kurun 1993-2018

b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk provinsi yang

memiliki angka terendah tahun 1990 di daerah pedesaan Sulawesi

Selatan dan tahun 2000 di Irian Jaya.

2.1.7 Kemiskinan dan Pembangunan Manusia

BPS mendefinisikan kemiskinan dengan kondisi kehidupan yang serba

kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu

memenuhi kebutuhan minimal/yang layak bagi kehidupannya. Sementara

Chambers mengartikan kemiskinan sebagai keadaan kekuranganuang dan barang

untuk menjamin kelangsungan hidup. Dengan demikian, kemiskinan memiliki arti

luas sebagai suatu konsep yang terintegrasi dengan memiliki lima dimensi, yaitu:

1) kemiskinan(proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan

menghadapi situasidarurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence),

dan 5) keterasingan(isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.

Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan

tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan

dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap

ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya

sendiri (Prasetyo, 2010).


(43)

Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

a.

Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di

bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang

dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.

b.

Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga

menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.

c.

Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau

masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau

berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif

meskipun ada bantuan dari pihak luar.

d.

Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya

akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya

dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi

seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Sementara BPS menjabarkan kemiskinan melalui indikator dan dimensi

kemiskinan sebagai berikut:


(44)

Tabel 2.2 Dimensi dan Indikator Kemiskinan

Kebutuhan Dasar

Contoh Indikator

1. Konsumsi

a. Persentase penduduk dibawah Garis

Kemiskinan

b. Indeks Kedalaman Kemiskinan

c. Indeks

Keparahan

Kemiskinan

Persentase pengeluaran makanan

d. Persentase

penduduk

dengan

konsumsi

energi < 2100 kkal

perkapita perhari

e. Persentase balita kurang gizi

2. Kesehatan

a. Persentase

penduduk

meninggal

sebelum 40 tahun

b. Persentase penduduk tanpa akses

pada pelayanan kesehatan dasar

c. Angka Kematian Bayi

3. Pendidikan Dasar

a. Persentase penduduk usia 7-15

tahun tidak sekolah

b. Persentase penduduk dewasa buta

huruf

4. Ketenagakerjaan

a. Persentase penduduk penganggur

terbuka

b. Persentase

penduduk

setengah

penganggur

c. Persentase pekerja sektor informal

5. Perumahan

a. Persentase rumahtangga tanpa akses

pada listrik

b. Persentase

rumahtangga

dengan

lantai tanah

c. Persentase penduduk dengan luas

lantai < 10 m

2

6. Air dan Sanitasi

a. Persentase penduduk tanpa akses

pada air bersih

b. Persentase penduduk tanpa jamban

sendiri

Sumber: BPS (2004)

2.1.8 Kebijakan

Pro Poor Growth

Pro poor growth

merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur:

pertumbuhan, kemiskinan, dan ketidakmerataan. Tingkat kemiskinan tidak hanya

dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi tetapi juga dipengaruhi oleh level dan

perubahan ketidakmerataan (Suparno, 2010).


(45)

Revalion (1998) mendefinisikan

pro poor growth

sebagai peningkatan PDB

yang menurunkan kemiskinan. Menurut Zepeda (2004) definisi ini masih sangat

luas, implikasinya sebagian besar pertumbuhan ekonomi di dunia tergolong

sebagai

pro poor growthselama terjadi penurunan kemiskinan walaupun distribusi

pendapatan memburuk. Sedangkan badan-badan internasional seperti PBB,

Organization for Economic Cooperation and Development

(OECD), UNDP, dan

Bank Dunia lebih sering menggunakan

pro poor growth

sebagai pertumbuhan

ekonomi yang lebih menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka

kesempatan untuk memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan

Kakwani (2004).

2.1.9 Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Manusia

Pembangunan ekonomi atau lebih tepatnya pertumbuhan ekonomi

merupakan prasyarat bagi tercapainya pembangunan manusia, karena

pembangunan ekonomi terjamin peningkatan produktivitas dan peningkatan

pendapatan

melalui

penciptaan

kesempatan

kerja.

Dengan

demikian,

pembangunan infrastruktur tidak dapat diabaikkan karena merupakan faktor

utama dalam peningkatan produktivitas (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Hubungan Infrastruktur dengan Pembangunan Manusia

Infrastruktur yang baik adalah sektor pendukung yang sangat penting dalam

setiap aktivitas agar berlangsung efektif dan efisien. Pembangunan akan tercapai

jika didukung oleh infrastruktur yang memadai yang diindikasikan dengan

kualitas layanan sarana dan prasarana yang baik (Indratno, 2008).

Aspek Pembangunan

Manusia

Pendidikan

Ekonomi

(pendapatan)

Kesehatan


(1)

Lampiran 4. Rasio Jumlah Guru SD dan SMP terhadap Jumlah Murid SD dan SMPdi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009

(1/100 guru per murid)

Kabupaten/ Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

01. Bogor 2,734 7,503 4,176 3,519 3,103

02. Sukabumi 3,357 8,719 3,398 4,127 4,444

03. Cianjur 3,316 11,642 12,100 4,219 4,749

04. Bandung 3,270 7,515 3,684 5,106 4,374

05. G a r u t 3,873 7,702 3,494 4,912 4,821

06. Tasikmalaya 4,881 6,546 2,567 5,930 6,259

07. C i a m i s 5,830 13,700 5,921 6,883 5,772

08. Kuningan 5,255 12,186 5,807 6,404 5,873

09. Cirebon 3,089 6,871 3,124 4,125 4,543

10. Majalengka 3,937 11,316 5,012 5,836 6,681

11. Sumedang 5,460 10,980 6,077 6,587 5,621

12. Indramayu 3,698 8,823 3,809 4,456 4,693

13. Subang 4,097 6,373 0,780 5,137 5,127

14. Purwakarta 3,682 7,937 3,851 4,780 4,976

15. Karawang 3,264 6,633 3,304 1,701 3,675

16. B e k a s i 2,924 4,742 2,469 3,431 2,800

Kota/City

17. Bogor 6,009 7,496 14,444 5,429 4,624

18. Sukabumi 4,519 6,334 5,200 5,006 6,024

19. Bandung 4,906 6,752 4,219 4,312 4,726

20. Cirebon 4,203 6,452 4,735 5,405 6,043

21. Bekasi 3,354 11,291 5,679 4,922 3,959

22. Depok 4,259 7,635 5,387 6,171 5,285

23. Cimahi 4,557 7,407 3,347 5,566 5,073

24. Tasikmalaya 5,329 9,911 6,258 5,661 2,651

25. Banjar 5,045 9,561 5,196 9,219 5,939

Jawa Barat 3,804 7,667 2,715 4,557 4,521


(2)

Lampiran 5. Rasio Jumlah Puskesmas terhadap penduduk di Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009

(1/100.000 puskesmas per orang)

Kabupaten / Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

01. B o g o r 5,00 4,86 4,73 4,93 4,87

02. Sukabumi 9,21 8,39 8,77 8,70 10,03

03. Cianjur 8,53 8,47 8,93 8,99 9,41

04. Bandung 5,56 5,34 7,74 6,55 6,19

05. G a r u t 8,83 8,46 8,85 8,66 9,38

06. Tasikmalaya 12,22 11,99 11,55 12,88 12,96

07. C i a m i s 12,96 11,95 12,86 12,77 13,74

08. Kuningan 11,58 11,80 11,75 12,21 12,10

09. Cirebon 7,02 8,20 8,09 7,98 8,05

10. Majalengka 11,83 12,69 12,62 12,64 11,16

11. Sumedang 10,96 11,74 11,06 10,84 11,10

12. Indramayu 8,07 8,66 8,52 8,44 9,14

13. Subang 10,20 9,30 9,25 10,77 10,70

14. Purwakarta 11,29 10,19 10,65 10,99 12,09

15. Karawang 6,70 6,55 6,66 6,58 5,39

16. B e k a s i 4,91 4,82 4,87 4,77 5,99

Kota/City

17. B o g o r 6,16 7,48 6,58 6,50 6,81

18. Sukabumi 17,03 16,63 16,63 16,02 19,58

19. Bandung 3,45 3,59 3,55 3,51 2,07

20. Cirebon 17,79 17,87 17,90 19,40 27,62

21. Bekasi 3,26 3,19 3,12 3,05 2,57

22. Depok 2,77 3,52 3,68 3,84 4,37

23. Cimahi 3,04 3,56 3,47 3,57 8,76

24. Tasikmalaya 7,57 7,70 7,69 7,53 2,81

25. Banjar 9,79 8,47 10,51 10,29 32,26

Jawa Barat 7,47 7,44 7,46 7,65 0,06


(3)

Lampiran 6. Rasio Jumlah Pelayan Kesehatan terhadap Jumlah Pendudukdi Provinsi Jawa Baratmenurut Kabupaten Tahun 2005-2009

(1/10.000 pelayan kesehatan per orang)

Kabupaten/ Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

01. B o g o r 1,800 1,878 1,689 2,045 2,171

02. Sukabumi 1,573 1,754 1,045 1,419 2,293

03. Cianjur 1,939 1,520 1,629 2,212 2,275

04. Bandung 1,414 1,475 1,448 1,489 1,997

05. G a r u t 1,736 1,987 1,795 2,039 2,552

06. Tasikmalaya 2,480 1,618 2,595 2,142 3,183

07. C i a m i s 3,124 4,434 3,089 3,269 3,992

08. Kuningan 3,510 3,638 3,752 4,161 4,380

09. Cirebon 2,993 3,879 2,811 2,842 3,188

10. Majalengka 2,543 3,297 4,426 4,196 4,159

11. Sumedang 2,558 2,642 3,111 3,262 3,575

12. Indramayu 2,431 2,536 3,375 2,749 2,418

13. Subang 2,708 2,671 2,255 2,940 3,323

14. Purwakarta 2,297 2,752 2,969 3,284 3,895

15. Karawang 2,135 2,506 2,002 1,699 2,858

16. B e k a s i 1,838 1,933 2,520 2,384 2,456

Kota

17. B o g o r 2,581 2,372 2,298 2,282 2,646

18. Sukabumi 4,761 3,088 2,993 2,845 3,081

19. Bandung 1,654 3,050 1,476 1,414 1,888

20. Cirebon 6,795 9,567 5,646 7,090 7,102

21. Bekasi 0,917 1,480 1,473 1,461 1,567

22. Depok 0,728 1,464 1,331 1,377 1,344

23. Cimahi 1,519 1,462 1,368 1,597 1,424

24. Tasikmalaya 6,042 2,130 2,658 2,904 4,201

25. Banjar 5,473 2,033 2,822 2,926 4,678


(4)

Lampiran 7. Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Barat Menurut Provinsi Tahun 2005-2009

(1/10.000 km per orang)

Kabupaten / Kota Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

01. B o g o r 3,68 3,58 3,49 37,12 3,93

02. Sukabumi 7,10 5,87 5,83 7,60 7,54

03. Cianjur 0,43 5,00 0,45 0,42 0,41

04. Bandung 7,66 7,43 10,75 10,48 8,93

05. G a r u t 4,92 3,49 3,41 3,34 3,31

06. Tasikmalaya 6,21 6,11 5,94 7,09 7,01

07. C i a m i s 5,00 4,87 4,81 4,81 4,78

08. Kuningan 3,79 3,72 3,65 3,58 3,54

09. Cirebon 3,04 3,00 2,97 2,94 2,91

10. Majalengka 5,75 5,79 5,75 5,91 5,87

11. Sumedang 7,09 7,30 7,16 7,02 6,96

12. Indramayu 4,45 4,45 4,44 4,40 4,37

13. Subang 7,22 7,32 7,23 7,14 7,09

14. Purwakarta 8,67 9,05 9,01 8,90 8,80

15. Karawang 13,09 4,24 12,73 12,50 12,37

16. B e k a s i 4,81 4,65 4,56 4,46 4,37

Kota/City

17. B o g o r 6,83 8,64 9,17 8,55 8,37

18. Sukabumi 5,79 4,84 4,14 4,08 4,57

19. Bandung 5,07 4,80 4,99 4,96 4,91

20. Cirebon 5,94 4,99 5,10 4,95 4,87

21. Bekasi 1,54 4,79 2,70 2,64 2,58

22. Depok 3,16 3,61 3,44 3,28 3,22

23. Cimahi 2,17 1,97 2,43 2,40 2,17

24. Tasikmalaya 10,85 10,57 10,42 10,22 10,17

25. Banjar 12,50 12,25 10,49 10,27 11,01

Jawa Barat 5,43 5,23 5,24 8,94 5,33


(5)

Lampiran 8, Hasil Output Regresi data Panel dengan Eviews 6.0

FEM

Dependent Variable: LNIPM

Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 07/27/11 Time: 14:12

Sample: 2005 2009 Periods included: 5

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 125 Linear estimation after one-step weighting matrix

White diagonal standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNPDRBK 0.006177 0.001245 4.961399 0.0000

LNPKES 0.003635 0.000794 4.576748 0.0000 LNPOV -0.008545 0.004960 -1.722774 0.0883 LNGR 0.014856 0.002719 5.464718 0.0000 LNSRNINF 0.013470 0.005321 2.531621 0.0130 LNSRNKES 0.005097 0.002754 1.850652 0.0674 LNSRNPEN 0.014065 0.006164 2.281837 0.0248 C 4.195010 0.021840 192.0829 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.991248 Mean dependent var 7.929682 Adjusted R-squared 0.988331 S.D. dependent var 6.651694 S.E. of regression 0.008418 Sum squared resid 0.006590 F-statistic 339.7745 Durbin-Watson stat 1.363965 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.965404 Mean dependent var 4.264595 Sum squared resid 0.007463 Durbin-Watson stat 1.219967


(6)

REM

Dependent Variable: LNIPM

Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 07/27/11 Time: 14:16

Sample: 2005 2009 Periods included: 5

Cross-sections included: 25

Total panel (balanced) observations: 125

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LNPDRBK 0.007869 0.003537 2.224846 0.0280

LNPKES 0.006641 0.004212 1.576668 0.1176 LNPOV -0.025559 0.004421 -5.781458 0.0000 LNGR 0.016927 0.003511 4.821173 0.0000 LNSRNINF 0.005178 0.005396 0.959506 0.3393 LNSRNKES -0.013509 0.007566 -1.785483 0.0768 LNSRNPEN 0.006048 0.009229 0.655323 0.5135 C 4.284716 0.019983 214.4206 0.0000

Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.021775 0.8569

Idiosyncratic random 0.008898 0.1431

Weighted Statistics

R-squared 0.470371 Mean dependent var 0.766645 Adjusted R-squared 0.438684 S.D. dependent var 0.013206 S.E. of regression 0.009894 Sum squared resid 0.011454 F-statistic 14.84418 Durbin-Watson stat 1.005897 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.550092 Mean dependent var 4.264595 Sum squared resid 0.097053 Durbin-Watson stat 0.118713 Correlated Random Effects - Hausman Test

Equation: EQ06

Test cross-section random effects Test Summary

Chi-Sq.