Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia .1

67 Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf uji 10 persen yang ditunjukkan dengan nilai statistik uji F 339,7745 dan p-value0,00. Nilai adjusted R 2 bernilai 0,988331yang berarti keragaman tingkat indeks pembangunan manusia dapat dijelaskan oleh PDRB perkapita, kemiskinan, sarana pendidikan, pelayan pendidikan, sarana kesehatan, pelayan kesehatan dan sarana infrastruktur sebesar 98,83 persen, sedangkan sisanya 1,17 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar model. Model FEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pembobotan pada cross section Panel EGLS Cross-section weights. Hal ini dilakukan untuk mengurangi heteroskedastis antar unit cross section.Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5.1, semua variabel yang diuji signifikan terhadap indeks pembangunan manusia. Selain itu bentuk natural logaritma dari model dilakukan untuk memudahkan mengukur elastisitas antar variabel. Dengan demikian koefisien parameter dari hasil regresi tersebut juga menunjukkan elastisitas dari variabel-variabel yang dimasukkan dalam model. 5.2 Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia 5.2.1 PDRB per kapita Berdasarkan tabel 5.1, PDRB per kapita mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien PDRB per kapita adalah 0,006177yang berarti kenaikan 1 persen PDRB per kapita akan menaikan IPM sebesar 0,006177, dengan asumsi cateris paribus. PDRB per kapita juga menggambarkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. PDRB per kapita juga menggambarkan kesejahteraan keluarga dalam suatu kabupaten kota. Peningkatan PDRB per kapita tentu memberikan kemudahan dalam memenuhi segala kebutuhan dasar termasuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang selanjutnya menentukan Indeks Pembangunan Manusia. PDRB per kapita di Jawa Barat dalam selang waktu 2005-2009 mengalami peningkatan. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan dalam 68 daya beli masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Meski nilai ini masih bersifat kasar karena PDRB per kapita tidak dapat mencerminkan pemerataan pendapatan. Menurut Adiyas 2008, PDRB per kapita di suatu daerah yang besarnya diatas Rp. 2 juta sudah dapat dikatakan tinggi dan sebaliknya apabila besarnya dibawah Rp. 2 juta dikatakan rendah.Berdasarkan hal itu, PDRB per kapita di Jawa Barat pada tahun 2009 yang berada pada posisi Rp. 6,96 juta dianggap tinggi Gambar 5.1. Dengan nilai yang tergolong tinggi tersebut, maka penduduk Provinsi Jawa Barat memiliki daya beli yang tinggi. Dengan daya beli yang tinggi penduduk Jawa Barat memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan sehingga IPM di Jawa Barat dapat meningkat. Gambar 5.1 Pergerakan Pendapatan per kapita di Jawa Barat Tahun 2005-2009. Sumber: BPS 2010

5.2.2 Kemiskinan

Hasil regresi Tabel 5.1 menununjukkan tingkat kemiskinan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat kemiskinan berpengaruh negatif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien tingkat kemiskinan adalah -0,008545 yang berarti kenaikan 1 persen tingkat kemiskinan akan menurunkan IPM sebesar 0,008545, dengan asumsi cateris paribus. 5,53 6,24 6,55 6,77 6,96 4,00 4,50 5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 7,50 2005 2006 2007 2008 2009 P D R B p e r ka p it a R p J u ta 69 Kemiskinan terkait erat dengan variabel ekonomi makro lainnya baik secara langsung maupun tidak antara lain tingkat upah tenaga kerja, tingkat pengangguran, produktifitas tenaga kerja, kesempatan kerja, gerak sektor riil, distribusi pendapatan, tingkat inflasi, pajak dan subsidi, investasi, alokasi dan kualitas sumber daya alam. Sedangkan dalam aspek sosial, kemiskinan sangat terkait dengan tingkat dan jenis pendidikan, kesehatan, kondisi fisik dan alam suatu wilayah, etos dan motivasi kerja, kultur atau budaya, hingga keamanan dan politik serta bencana alam Yudhoyono dan Harniati, 2004. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak dapat lepas dari penciptaan stabilitas ekonomi sebagai landasan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat Bappenas. Dengan demikian kemiskinan merupakan hambatan dalam meningkatkan IPM, hal ini dikarenakan kemiskinan membuat akses terhadap pendidikan dan kesehatan sebagai tolak ukur peningkatan IPM terganggu. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS mengenai kemiskinan yaitu kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimalyang layak bagi kehidupannya. Dengan demikian ketidakmampuan ini akan mengganggu kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan yang pada akhirnya akan membuat indeks pembangunan manusia menjadi rendah. Jawa Barat masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain ditandai oleh masih tingginya proporsi penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 adalah sebesar 11,58 persen dari jumlah penduduk Jawa Barat, menurun dari tahun 2008 yang mencapai angka 11,74 persen Gambar 5.2. Tingkat kemiskinan ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan dibawah Garis Kemiskinan. 70 Gambar 5.2 Pergerakan Persentase Kemiskinan di Jawa Barat Tahun 2004- 2009. Sumber: BPS: 2010 Meski persentase angka kemiskinan di Jawa Barat terus menurun, namun angka tersebut masih dianggap tinggi. Kemiskinan di Provinsi Jawa Barat terdiri dari kemiskinan perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2009, kemiskinan di perkotaan mencapai 2,53 juta orang dan di pedesaan mencapai 2,45 juta orang. angka kemiskinan di perdesaan secara berurutan menurun 3,2 dan 10 persen, sedangkan di perkotaan secara berurutan menurun 1 dan 3,4 persen. Meski demikian, bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, penurunannya masih relatif lebih lambat. Tabel. 5.2 Jumlah Penduduk Miskin Desa dan Kota di Indonesia 13,06 14,49 13,55 12,74 11,58 9,00 10,00 11,00 12,00 13,00 14,00 15,00 2005 2006 2007 2008 2009 P e rs e n ta se K e m is ki n a n Tahun 71

5.2.3 Pendidikan

Sarana pendidikan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Tingkat sarana pendidikan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana pendidikan adalah 0,014065yang berarti kenaikan 1 persen sarana pendidikan akan menaikkan IPM sebesar 0,014065, dengan asumsi cateris paribus. Dalam model ini, sarana pendidikan merupakan penghitungan rasio dari jumlah sekolah SD dan SMP terhadap penduduk usia sekolah SD dan SMP. Hal ini dikarenakan adanya program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah.Pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan peningkatan IPM. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Todaro2003 dimana desebutkan pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Aspek pendidikan tidak hanya berkaitan dengan sarana pendidikan, tetapi terdapat aspek-aspek lain yang lebih menyentuh terhadap kualitas pendidikan tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini dimasukkan juga rasio jumlah guru terhadap jumlah murid. Rasio jumlah guru terhadap jumlah murid mempunyai pengaruh nyata terhadap indeks pembangunan manusia. Hal ini terlihat dari probabilitasnya yang sebesar 0,0000. Nilai koefisien rasio jumlah guru-murid adalah 0,014856yang berarti kenaikan 1 persen rasio jumlah guru-murid akan menaikkan IPM sebesar 0,014856, dengan asumsi cateris paribus. Dengan demikian investasi pendidikan berupa pembangunan sekolah harus juga diikuti dengan mendorong partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Biaya murah terhadap pendidikan juga sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat untuk bersekolah. Dengan meningkatnya partisipasi masyarakat pada pendidikan maka akan menjadi investasi tak hanya bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan 72 merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah. Di Provinsi Jawa Barat, sektor pendidikan merupakan variabel yang memiliki pengaruh yang yang paling besar terhadap indeks pembangunan manusia diantara variabel-variabel lain yang diuji dalam penelitian ini. Angka melek huruf di Jawa Barat memang sudah cukup tinggi, yaitu pada tahun 2009 sebesar 95,98 persen. Begitu juga dengan angka lama sekolah yang menunjukkan angka sedikitnya drop out di Provinsi Jawa Barat yang sudah cukup baikyaitu 7,72 tahun. Keadaan ini merupakan dampak dari dilakukannya perbaikan sarana prasarana pendidikan di Jawa Barat. Pada Gambar 5.3 terlihat bahwa jumlah sekolah SD dan SMP pada tahun 2009 meningkat dari tahun 2008. Pada tahun 2009 banyaknya jumlah sekolah SD dan SMP sebesar 23.110 sekolah. Gambar 5.3 Jumlah Sekolah SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004- 2009. Sumber: BPS: 2010 Jumlah guru juga menjadi penentu peningkatan IPM. Jumlah guru yang memadai akan dapat menjamin adanya kegiatan belajar yang berkualitas, sehingga murid mendapatkan transfer ilmu yang optimal. 22,76 22,87 22,88 22,90 23,11 22,50 22,60 22,70 22,80 22,90 23,00 23,10 23,20 2005 2006 2007 2008 2009 Ju m la h s e ko la h S D d a n S M P r ib u 73 Dengan demikian hal ini akan memberi dampak lulusan-lulusan sekolah yang berkualitas yang dapat bersaing di dunia kerja dan akan memberikan kemudahan dalam penguasaan teknologi yang selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas suatu daerah.Provinsi Jawa Barat pada tiap tahun menambah jumlah. Pada tahun 2009, jumlah guru di Provinsi Jawa Barat sebesar 286.200 ribu orang yang meningkat sebesar 3.100 orang dari tahun 2008. Gambar 5.4 Jumlah Guru SD dan SMP di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Sumber: BPS: 2010

5.2.4 Kesehatan

Dalam Penelitian ini digunakan dua variabel dalam mengukur kesehatan. Variabel tersebut adalah sarana kesehatan dan pelayan kesehatan. Kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap peningkatan IPM di Jawa Barat. Berdasarkan tabel 5.1, sarana kesehatan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana kesehatan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana kesehatan adalah 0,005097yang berarti kenaikan 1 persen sarana kesehatan akan menaikan IPM sebesar 0,005097, dengan asumsi cateris paribus. Pelayan kesehatan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Pelayan kesehatan berpengaruh positif terhadap 215,8 207,2 157,5 283,1 286,2 0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 20052006 20062007 20072008 20082009 20092010 Ju m la h G u ru S D d a n S M P r ib u o ra n g 74 peningkatan IPM. Nilai koefisien pelayan kesehatan adalah 0,003635yang berarti kenaikan 1 persen pelayan kesehatan akan menaikan IPM sebesar 0,003635, dengan asumsi cateris paribus. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bappenas yang menyatakan bahwa penduduk dengan tingkat kesehatan yang baik merupakan masukan input penting dalam menurunkan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan kata lain, kesehatan merupakan faktor penting pembentukan modal manusia dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sejarah juga menulis tentang keberhasilan negara-negara dunia dalam keberhasilan pembangunan ekonomi melalui perbaikan kesehatan. Hal ini antara lain terjadi di Inggris selama revolusi industri, Jepang dan Amerika Selatan pada awal abad ke-20, dan pembangunan di Eropa Selatan dan Asia Timur pada permulaan tahun 1950-an dan tahun 1960-an. Mereka melakukan teroboson di bidang kesehatan dengan pemberantasan penyakit dan peningkatan gizi masyarakatnya. Perkembangan sarana prasarana kesehatan di Jawa Barat tergolong mengalami peningkatan. Jumlah dokter, perawat, dan bidan selalu bertambah tiap tahun. Pada tahun 2009, pelayan kesehatan di Jawa Barat mencapai 11.423 orang dan Puskesmas mencapai 3.337 puskesmas. Gambar 5.5 Jumlah Pelayan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009.Sumber: BPS, 2010 8509 8909 8745 9563 11423 2000 4000 6000 8000 10000 12000 2005 2006 2007 2008 2009 Ju m la h P e la y a n K e sa h a ta n o ra n g Tahun 75 Gambar 5.6 Jumlah Puskesmas di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009 Sumber: BPS, 2010

5.2.5 Sarana Infrastruktur

Sarana infrastruktur mempunyai pengaruh yang nyata terhadap IPM Jawa Barat. Sarana infrastruktur berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien sarana infrastruktur adalah 0,013470yang berarti kenaikan 1 persen sarana infrastruktur akan menaikan IPM sebesar 0,013470, dengan asumsi cateris paribus. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Bappenas 2003 dimana ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi, dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa daerah yang mempunyai kelengkapan sistem infrastruktur yang lebih baik, mempunyai tingkat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula, dibandingkan dengan daerah yang mempunyai kelengkapan infrastruktur yang terbatas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyediaan infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan 2985 3031 3094 3230 3337 2800 2900 3000 3100 3200 3300 3400 2005 2006 2007 2008 2009 Ju m la h P u ske sm a s 76 orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain diseluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi. Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi. Dalam permasalahan penelitian ini, ketersediaan infrastruktur dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses aspek-aspek yang menentukan pembangunan manusia seperti sarana kesehatan dan sarana pendidikan. Sarana infrastruktur yang memadai juga akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan menjadi lebih rendah. Dengan demikian pendapatan masyarakat tidak terbuang hanya untuk biaya transportasi dan dapat dialihkan untuk pengeluaran kesehatan maupun pendidikan. Pada pembangunan bidang fisik, telah cukup banyak dilakukanprogram dan kegiatan strategis oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, meliputi sub bidang infrastruktur wilayah,tata ruang, energi dan lingkungan hidup.Mengenai pembangunan Infrastruktur Wilayah, meliputi infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi, serta saranadan prasarana permukiman, kondisinya masih mengalami beberapakendala terkait beberapa isu pelayanan infrastuktur wilayah.Pada aspek infrastruktur jalan, dengan berbagai upaya yang telahdilakukan selama tahun 2009, panjang jalan telah mencapai 22.760 km. Panjang jalan ini telah meningkat dari tahun 2008. 77 Gambar 5.7 Perkembangan Panjang Jalan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2009. Sumber: BPS, 2010

5.2.6 Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM di Tiap

KabupatenKota Dengan menggunakan FEM dapat dilihat pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiap kabupatenkota. Perbedaan pengaruh tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 5.3. Efek Faktor-Faktor yang mempengaruhi IPM untuk tiap KabupatenKota No. Kabupaten Kota Efek No. Kabupaten Kota Efek 1 Kab. Bogor -0,005033 14 Kab, Purwakarta -0,026428 2 Kab. Sukabumi -0,026213 15 Kab, Karawang -0,044478 3 Kab. Cianjur -0,055834 16 Kab, Bekasi 0,010700 4 Kab. Bandung 0,026304 17 Kota Bogor 0,037081 5 Kab. Garut -0,006282 18 Kota Sukabumi 0,027045 6 Kab. Tasikmalaya 0,001231 19 Kota Bandung 0,046248 7 Kab. Ciamis -0,020846 20 Kota Cirebon 0,017119 8 Kab. Kuningan -0,015696 21 Kota Bekasi 0,066792 9 Kab. Cirebon -0,035562 22 Kota Depok 0,102490 10 Kab. Majalengka -0,037271 23 Kota Cimahi 0,058633 11 Kab. Sumedang -0,010724 24 Kota Tasikmalaya 0,012271 12 Kab. Indramayu -0,070364 25 Kota Banjar -0,030061 13 Kab. Subang -0,021119 Tabel 5.2 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi IPM memberikan efek yang berbeda-beda untuk setiap Kabupaten Kota di 21,72 21,29 21,74 21,75 22,76 20,50 21,00 21,50 22,00 22,50 23,00 2005 2006 2007 2008 2009 P a n ja n g J a la n r ib u km 78 Jawa Barat. Efek individu dalam model menunjukkan adanya perbedaan karakteristik indeks pembangunan manusia tiap kabupatenkota di Jawa Barat dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam menginterprestasikan model untuk tiap kabupatenkota. Adanya perbedaan karakteristik juga dapat dibagi melalui pengelompokan besaran IPM tiap Kabupaten Kota di Jawa Barat. Pengelompokan ini diperlukan karena banyaknya jumlah kabupatenkota yang ada di Provinsi Jawa Barat, hal ini juga berkaitan dengan karakteristik yang berbeda di tiap kabupatenkota sehingga kebijakan yang diterapkan untuk tiap daerah tersebut juga akan berbeda. Di Provinsi Jawa Barat besaran IPM tiap kabupatenkota berada dalam selang 67,39-78,61. Dengan demkian pengelompokan berdasarkan selang IPM tersebut dapat dibuat sebagai berikut: IPM rendah = Nilai IPM yang kurang dari 70 IPM sedang = Nilai IPM yang lebih besar dari 70 namun kurang dari 75 IPM tinggi = Nilai IPM yang lebih besar dari 75 Dengan pengelompokan tersebut, maka kabupatenkota di Jawa Barat dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 79 Tabel 5.4. Pengelompokan KabupatenKota Berdasarkan Nilai IPM IPM Rendah Sedang Tinggi Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok X 1 Min: 3,22 Rata-rata: 4,66 Max: 8,28 Min: 2,74 Rata-rata: 7,14 Max: 24,24 Min: 4,11 Rata-rata: 9,13 Max: 19,97 X 2 Min: 10,48 Rata-rata: 14,02 Max: 18,22 Min: 4,50 Rata-rata: 12,15 Max: 23,55 Min: 13,06 Rata-rata: 7,73 Max: 2,93 X 3 Min: 2,63 Rata-rata: 3,51 Max: 4,34 Min: 2,03 Rata-rata: 3,31 Max: 4,81 Min: 2,45 Rata-rata: 3,23 Max: 4,64 X 4 Min: 4,44 Rata-rata: 5,12 Max: 5,87 Min: 2,65 Rata-rata: 4,69 Max: 6,68 Min: 3,96 Rata-rata: 5,33 Max: 6,04 X 5 Min: 8,05 Rata-rata: 10,67 Max: 12,10 Min: 2,07 Rata-rata: 8,23 Max: 13,74 Min: 2,57 Rata-rata: 11,78 Max: 20,62 X 6 Min: 2,29 Rata-rata: 3,47 Max: 4,38 Min: 1,42 Rata-rata: 2,89 Max: 4,68 Min: 1,34 Rata-rata: 3,27 Max: 7,10 X 7 Min: 3,54 Rata-rata: 6,71 Max: 8,80 Min: 0,41 Rata-rata: 6,00 Max: 12,37 Min: 2,58 Rata-rata: 3,81 Max: 4,87 Dimana X 1 = PDRB per kapita Rp juta X 2 = Tingkat kemiskinan persen X 3 = Rasio sarana pendidikan 1100.000 sekolah per orang X 4 = Rasio jumlah guru 1100 guru per murid X 5 = Rasio sarana kesehatan 1100.000 puskesmas per orang X 6 = Rasio jumlah tenaga medis 110.000 tenaga medis per orang X 7 = Rasio sarana infrastruktur 80 Dari klasifikasi tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari kabupatenkota di Jawa Barat memiliki IPM sedang yakni IPM diantara 70 sampai dengan 75. Sementara kabupatenkota dengan IPM rendah dimiliki oleh Kabupaten Bogor, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara daerah yang memiliki IPM tinggi, dimiliki oleh Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Klasifikasi berdasarkan nilai IPM ini dapat dipetakan dalam Gambar 5.8. Gambar 5.8 Pembagian daerah berdasarkan nilai IPM Dengan perbedaan IPM, maka PDRB per kapita untuk tiap kabupatenkota juga memiliki perbedaan. Perbedaan ini dapat dilihat dari Gambar 5.9. Pendapatan per kapita untuk daerah ekstrim rendah memiliki PDRB per kapita rendah.Dari Gambar 5.9 dapat dilihat bahwa Kabupaten Bekasi memiliki PDRB per kapita yang tinggi meski IPM di Kabupaten tersebut tergolong sedang. Kota Cirebon juga memiliki PDRB per kapita yang tinggi dan Kota Cirebon termasuk dalam daerah dengan IPM tinggi. Sementara Daerah dengan IPM rendah memiliki karakteristik yang sama dimana Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, 81 dan Kabupaten Sumedang memiliki PDRB per kapita yang cenderung rendah.Hanya Kabupaten Purwakarta saja yang meski tergolong IPM rendah namun memiliki PDRB per kapita sedang. Hal ini dikarenakan daerah dengan IPM rendah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat mengakses sektor pendidikan dan kesehatan. Gambar 5.9 PDRB Per Kapita KabupatenKota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Dari Gambar 5.10 dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan di kabupatenkota dengan IPM rendah memiliki persentasi kemiskinan yang 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok 2009 2008 2007 2006 2005 Daerah dengan IPM Tinggi Daerah dengan IPM Sedang Daerah dengan IPM Rendah 82 tinggi. Sementara Kota Tasikmalaya memiliki kemiskinan yang tinggi padahal Kota Tasikmalaya merupakan daerah dengan IPM sedang. Keadaan ini dipicu oleh terjadinya bencana alam berupa gempa bumi yang terjadi pada tahun 2008. Bencana ini menyebabkan kemiskinan di Kota Tasikmalaya meningkat tajam di tahun 2008. Gambar 5.10 Tingkat Kemiskinan KabupatenKota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Sementara untuk sarana dan prasarana pendidikan, setiap kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat telah memiliki sarana prasarana 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. B o g o r Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. G a r u t Kab. Tasikmalaya Kab. C i a m i s Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. B e k a s i Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok 2009 2008 2007 2006 2005 Daerah dengan IPM Tinggi Daerah dengan IPM Sedang Daerah dengan IPM Rendah 83 pendidikan yang memadai. Pada Gambar 5.11 terlihat rasio antara jumlah sekolah dengan jumlah penduduk usia sekolah memiliki nilai yang cukup tinggi.Hal ini bermakna bahwa ketersediaan bangunan sekolah SD dan SMP sudah dapat menampung penduduk usia sekolah SD dan SMP untuk tiap kabupatenkota. Dari Gambar 5.11, diketahui Kota Cirebon memiliki rasio jumlah sekolah terhadap penduduk usia sekolah yang paling tinggi yaitu sebesar 4,64. Gambar 5.11 Rasio Jumlah Sekolah SD dan SMP terhadap Penduduk SD dan SMP KabupatenKota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 0,000 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok 2009 2008 2007 2006 2005 Daerah dengan IPM Tinggi Daerah dengan IPM Sedang Daerah dengan IPM Rendah 84 Gambar 5.12 Rasio Jumlah Puskesmas terhadap Penduduk KabupatenKota di Jawa Barat Tahun 2005-2009, Sumber: BPS, 2010 Jumlah sarana prasarana kesehatan di setiap kabupatenkota di Jawa Barat juga sudah tergolong bagus dan sudah memadai. Namun di daerah- daerah seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Bandung, jumlah puskesmas masih tergolong rendah. 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 Kab. Sukabumi Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kab. Bogor Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Majalengka Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Karawang Kab. Bekasi Kota Bogor Kota Bandung Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kota Sukabumi Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok 2009 2008 2007 2006 2005 Daerah dengan IPM Tinggi Daerah dengan IPM Sedang Daerah dengan IPM Rendah 85

5.3 Kebijakan KabupatenKota Dengan Nilai IPM Terendah