Hikayat Purasara
19 Hikayat Purasara
Hikayat Purasara adalah sebuah cerita wayang berbentuk prosa yang terkandung dalam sebuah naskah tunggal milik Perpustakaan Nasional dengan kode ML 178.
Pada naskah ini tidak terdapat keterangan tentang pengarang ataupun penyalinnya, tetapi terdapat tanda tangan Muhammad Bakir di sana sini sebagai bukti bahwa naskah ini miliknya. Namun, menilik gaya tulisan tangannya, dapat dipastikan bahwa naskah ini disalin oleh Muhammad Bakir sendiri.
Ringkasan Cerita
Sangyang Tunggal menciptakan sepasang manusia (Sakkara dan istrinya Dewi Ismaya) dan mengirimkan mereka ke bumi, agar dunia tidak sepi. Sang Hyang Tunggal sendiri ikut turun ke bumi bersama mereka dalam wujud. Di bumi, Semar menciptakan negeri Sukta Dirja, lalu ia memunculkan Garubuk dan Anggalia, yang tidak lain adalah anaknya sendiri. Raja Sakkara memperoleh tiga putra bernama Sentanu, Sambirawa dan Purasara.
Setelah dewasa, Sentanu dan Purasara pergi mengembara. Setelah ratusan tahun bertualang, mereka memperoleh seorang putri bernama Dewi Sri Wati, yang diperistri oleh Sentanu. Sakkara pulang ke kayangan dan diganti oleh Sentanu sebagai raja, sedangkan Purasara bertapa di berbagai gunung.
Ketika Purasara pergi bertapa ke Gunung Parasu, Batara Guru khawatir ia akan menjadi lebih sakti dari segala batara. Maka Batara Guru mengirim berbagai utusan untuk menghalangi Purasara menyelesaikan tapanya. Akan tetapi, walaupun diserang empat raksasa, dihalang empat ekor binatang buas, ataupun dirayu empat bidadari, Purasara tidak dapat dihalangi tapanya. Setelah ratusan tahun bertapa, Purasara akhirnya terbangun, waktu Semar menggigit empu kakinya.
Dalam perjalanan pulang, Purasara bertemu seorang gadis yang cantik jelita namun berbau amis, Dewi Raramis, putri Raja Begawan Wangsapati di negeri Warta. Purasara menyembuhkan penyakitnya dan memperistrikannya, kemudian naik tahta di Negeri Warta.
Sekali waktu Purasara pergi bertapa, meskipun istrinya sedang hamil. Saat itulah Sentanu berusaha merayu Dewi Raramis, yang lari ke pertapaan suaminya, disusul Sentanu. Kedua kakak beradik, Sentanu dan Purasara, bertengkar, lalu berkelahi. Perang mereka begitu dahsyat sehingga dunia tergoncang dan membuat para dewa dan batara di kayangan sangat khawatir. Mereka turun ke bumi dalam jumlah begitu besar sampai hari menjadi gelap. Selama kedua saudara terus bertanding, Dewi Raramis melahirkan seorang putra yang diberi nama Gangga Suta. Waktu membesar, anak ini berbicara dengan lafal pelo (cadel). Contohnya, sewaktu mendengarkan Semar bernyanyi, si anak berkata, “Enak betul Kang Semal belkidung, apa altinya?”.
Kedua kakak beradik terus saja berperang, sampai akhirnya didamaikan oleh Batara Narada, yang menjelaskan bahwa perkaranya akan diselesaikan oleh seorang keturunan
Hikayat Purasara
Katalog
Purasara bernama Bambang Janawi, yakni Arjuna. Keduanya lalu berpisah. Purasara mencari istrinya. Di tengah hutan, ia mendengar suara tangis seorang anak, maka ia mengarah ke sana..... Cerita terpotong di sini.
Dalam cerita ini terdapat sejumlah ciri bahasa dan humor yang khas dari taman bacaan keluarga Fadli. Misalnya, “para bidadari di kayangan pada sakit pilek, berindu dendam, sakit pening kepala dan sakit rawan” (hlm. 36). Contoh lain, Semar menasehati Purasara, “Baiklah tuanku barang di mana dilakukan oleh pengarangnya” (hlm. 36). Lain lagi, ketika seorang laki-laki memburu seorang wanita, maka penulis berkomentar, “seorang pun tiada boleh disalahkan, karena laki-laki itu ibarat kucing dan perempuan itu ibarat pepesan ikan” (hlm. 77).
Naskah
Teks ditulis pada kertas Eropa tebal bergaris berukuran 33 × 19,5 cm. Naskah berjumlah 170 halaman. Setiap halaman berisi 17 baris. Kelihatan tiga jenis cap kertas, yaitu: a) singa berdiri
dengan tulisan P RO PATRIA dan E ENDRAGT MAAKT MAGT ; b) nama G ERHARD OEBER L ; c) nama
J OBST & C°. Teks ditulis menggunakan tinta hitam yang telah menjadi cokelat tua, namun tulisan masih jelas terbaca. Penomoran halaman asli ditulis dengan angka Arab 1-150, namun terdapat dua halaman Sakkara bersiap membuka negeri baru (hlm. 4).
Tokoh Lurah Semar, Petruk, dan Gerubuk. Ketiga
bernomor 127, malah disusul lima halaman kosong. Kertas naskah berwarna kecokelat- tokoh punakawan ini adalah pengasuh ketiga cokelatan, lapuk, dan getas akibat keasaman. Saat ini, kondisi naskah sudah rusak. Ada putera Sakkara, yaitu Sentanu, Sambiwara, dan
Purasara (hlm. 8).
lembaran yang terlepas dari kurasnya atau koyak pada sisi kuras. Di beberapa bagian teks, terdapat kalimat yang bercampur bahasa Jawa, misalnya “Lelakon ing lakon dadi lakon wewayangan, yang melakoni itu siapa, ora lelakon ora lakon ora wayang melainkan ing dalam kun, maka yang dadi lelakon itu yaitu kun.” Kalimat ini sebenarnya terdapat juga dalam naskah lain oleh Muhammad Bakir, yaitu Wayang Arjuna (ML 244).
Pada akhir teks naskah ini tidak terdapat kolofon ataupun syair, karena naskahnya tidak lengkap.
Estetika Naskah
Naskah ini dihiasi tidak kurang dari 16 ilustrasi berwarna sehalaman penuh, berupa gambar adegan yang melibatkan tokoh-tokoh dalam alur cerita, misalnya gambar Sakkara sedang berdialog dengan Lurah Semar (hlm. 4), gambar Lurah Semar berdialog dengan anak- anaknya (hlm. 8), gambar Gerubuk dan sadaranya yang sedang berperang dengan empat raksasa (hlm. 22), serta gambar Sakkara, Purasara, Sentanu, Dewi Rara Amis, dan lain-lain. Gambar tersebut terdapat sesudah halaman teks berikut: hlm. 4, 8, 18 (dua gambar), 22, 34, 48,
52 (dua gambar), 56, 60, 104, 118, 127, serta pada hlm. bernomor 132 dan 133. Semua gambar itu (terkecuali pada hlm. 132-133 yang bolak-balik) terlukis di muka recto satu lembar, sedangkan halaman sebelahnya (verso) kosong. Semua lembar itu terbuat dari kertas yang berbeda
dengan naskahnya dan tidak bernomor. Gambar-gambar itu dibuat dengan cat air dan Ketiga putra Sakkara dengan Dewi Asmayawati,
Tokoh Dewi Asmayawati, seorang bidadari yang
diturunkan Sangyang Tunggal ke bumi untuk
yaitu Sentanu, Sambiwara, dan Purasara (hlm. 18
merupakan kombinasi warna kuning, merah, merah muda, biru muda, hijau, cokelat muda,
menjadi istri Sakkara (hlm. 18 gbr.1).
gbr. 2).
ungu, dan hitam.
Hikayat Purasara
Katalog
Purasara bernama Bambang Janawi, yakni Arjuna. Keduanya lalu berpisah. Purasara mencari istrinya. Di tengah hutan, ia mendengar suara tangis seorang anak, maka ia mengarah ke sana..... Cerita terpotong di sini.
Dalam cerita ini terdapat sejumlah ciri bahasa dan humor yang khas dari taman bacaan keluarga Fadli. Misalnya, “para bidadari di kayangan pada sakit pilek, berindu dendam, sakit pening kepala dan sakit rawan” (hlm. 36). Contoh lain, Semar menasehati Purasara, “Baiklah tuanku barang di mana dilakukan oleh pengarangnya” (hlm. 36). Lain lagi, ketika seorang laki-laki memburu seorang wanita, maka penulis berkomentar, “seorang pun tiada boleh disalahkan, karena laki-laki itu ibarat kucing dan perempuan itu ibarat pepesan ikan” (hlm. 77).
Naskah
Teks ditulis pada kertas Eropa tebal bergaris berukuran 33 × 19,5 cm. Naskah berjumlah 170 halaman. Setiap halaman berisi 17 baris. Kelihatan tiga jenis cap kertas, yaitu: a) singa berdiri
dengan tulisan P RO PATRIA dan E ENDRAGT MAAKT MAGT ; b) nama G ERHARD OEBER L ; c) nama
J OBST & C°. Teks ditulis menggunakan tinta hitam yang telah menjadi cokelat tua, namun tulisan masih jelas terbaca. Penomoran halaman asli ditulis dengan angka Arab 1-150, namun terdapat dua halaman Sakkara bersiap membuka negeri baru (hlm. 4).
Tokoh Lurah Semar, Petruk, dan Gerubuk. Ketiga
bernomor 127, malah disusul lima halaman kosong. Kertas naskah berwarna kecokelat- tokoh punakawan ini adalah pengasuh ketiga cokelatan, lapuk, dan getas akibat keasaman. Saat ini, kondisi naskah sudah rusak. Ada putera Sakkara, yaitu Sentanu, Sambiwara, dan
Purasara (hlm. 8).
lembaran yang terlepas dari kurasnya atau koyak pada sisi kuras. Di beberapa bagian teks, terdapat kalimat yang bercampur bahasa Jawa, misalnya “Lelakon ing lakon dadi lakon wewayangan, yang melakoni itu siapa, ora lelakon ora lakon ora wayang melainkan ing dalam kun, maka yang dadi lelakon itu yaitu kun.” Kalimat ini sebenarnya terdapat juga dalam naskah lain oleh Muhammad Bakir, yaitu Wayang Arjuna (ML 244).
Pada akhir teks naskah ini tidak terdapat kolofon ataupun syair, karena naskahnya tidak lengkap.
Estetika Naskah
Naskah ini dihiasi tidak kurang dari 16 ilustrasi berwarna sehalaman penuh, berupa gambar adegan yang melibatkan tokoh-tokoh dalam alur cerita, misalnya gambar Sakkara sedang berdialog dengan Lurah Semar (hlm. 4), gambar Lurah Semar berdialog dengan anak- anaknya (hlm. 8), gambar Gerubuk dan sadaranya yang sedang berperang dengan empat raksasa (hlm. 22), serta gambar Sakkara, Purasara, Sentanu, Dewi Rara Amis, dan lain-lain. Gambar tersebut terdapat sesudah halaman teks berikut: hlm. 4, 8, 18 (dua gambar), 22, 34, 48,
52 (dua gambar), 56, 60, 104, 118, 127, serta pada hlm. bernomor 132 dan 133. Semua gambar itu (terkecuali pada hlm. 132-133 yang bolak-balik) terlukis di muka recto satu lembar, sedangkan halaman sebelahnya (verso) kosong. Semua lembar itu terbuat dari kertas yang berbeda
dengan naskahnya dan tidak bernomor. Gambar-gambar itu dibuat dengan cat air dan Ketiga putra Sakkara dengan Dewi Asmayawati,
Tokoh Dewi Asmayawati, seorang bidadari yang
diturunkan Sangyang Tunggal ke bumi untuk
yaitu Sentanu, Sambiwara, dan Purasara (hlm. 18
merupakan kombinasi warna kuning, merah, merah muda, biru muda, hijau, cokelat muda,
menjadi istri Sakkara (hlm. 18 gbr.1).
gbr. 2).
ungu, dan hitam.
Hikayat Purasara
Katalog
Gerubuk sedang berperang dengan raksasa
Purasara sedang bertapa, mendapat gangguan
(hlm. 22).
dari dua ekor burung yang bersarang di atas kepalanya. Sampai telur menetas menjadi anak- anak burung, Purasara tidak mengindahkan mereka (hlm. 34).
Lurah Semar sedang berbicara dengan
Purasara dan Dewi Raramis diiringkan oleh
Purasara. Saat itu Purasara diminta untuk
Lurah Semar, Gerubuk, dan Petruk naik
mengobati Raramis dengan memamah kunyit,
perahu ketika hendak mengunjungi
lalu mengoleskannya pada seluruh tubuhnya
Purasara beserta istrinya, Dewi Raramis (hlm. 60). (hlm. 49).
Kangjeng Wangsapati (hlm. 52 gbr.1)
Hikayat Purasara
Katalog
Gerubuk sedang berperang dengan raksasa
Purasara sedang bertapa, mendapat gangguan
(hlm. 22).
dari dua ekor burung yang bersarang di atas kepalanya. Sampai telur menetas menjadi anak- anak burung, Purasara tidak mengindahkan mereka (hlm. 34).
Lurah Semar sedang berbicara dengan
Purasara dan Dewi Raramis diiringkan oleh
Purasara. Saat itu Purasara diminta untuk
Lurah Semar, Gerubuk, dan Petruk naik
mengobati Raramis dengan memamah kunyit,
perahu ketika hendak mengunjungi
lalu mengoleskannya pada seluruh tubuhnya
Purasara beserta istrinya, Dewi Raramis (hlm. 60). (hlm. 49).
Kangjeng Wangsapati (hlm. 52 gbr.1)
Hikayat Purasara
Katalog
Purasara berperang dengan kakaknya, Sentanu (hlm. 104). Perang Purasara melawan saudaranya, Sentanu, memakan
waktu bertahun-tahun (hlm. 132).
Kayangan dalam keadaan berguncang-guncang. Ratu Kayangan meminta Batara Narada Jagat untuk turun ke
Batara Jagat turun ke dunia setelah melihat Purasara dan Sentanu bumi melihat apa yang sedang terjadi di dunia (hlm. 127).
berperang (hlm. 133).
Hikayat Purasara
Katalog
Purasara berperang dengan kakaknya, Sentanu (hlm. 104). Perang Purasara melawan saudaranya, Sentanu, memakan
waktu bertahun-tahun (hlm. 132).
Kayangan dalam keadaan berguncang-guncang. Ratu Kayangan meminta Batara Narada Jagat untuk turun ke
Batara Jagat turun ke dunia setelah melihat Purasara dan Sentanu bumi melihat apa yang sedang terjadi di dunia (hlm. 127).
berperang (hlm. 133).
Hikayat Purasara
Dalam teks ini, Muhammad Bakir mencantumkan tanda tangannya untuk menunjukkan bahwa naskah ini adalah hasil salinannya (hlm. 53).
Kepustakaan
Naskah ini dideskripsikan dalam Catalogus van Ronkel (1909:29) dan Katalogus Sutaarga dkk. (1972:13), dan juga tercatat dalam Katalog Behrend (1998:248). Naskah Hikayat Purasara ini telah dialihmediakan dalam bentuk mikrofilm dengan nomor rol 660.04.
Hikayat ini sudah dua kali diterbitkan sebagai buku, yaitu: - Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara oleh Nikmah Sunardjo dkk., Jakarta: Pusat Bahasa,
1991. - Hikayat Purasara yang diusahakan oleh Khalid M. Hussain, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
Cerita Wayang Cerita Panji
Katalog