Sekolah lanjutan sebagai lembaga pendidikan tingkat menengah, merupakan kelanjutan dari sekolah dasar yang diselenggarakan untuk
anak-anak yang berumur 12-13 sd 17-18 tahun. Sekolah dipisahkan menjadi 2 jenjang yaitu SMP dan SMA. Sekolah Menengah Atas
diperuntukan bagi tamatan SMP yang pada umumnya berusia 15-16 sd 17-18 tahun.
Berdasarkan Keputusan-Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Tahun 1993 sekolah dibagi menjadi dua
yaitu : a.
Sekolah Negeri. Sekolah negeri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh
pemerintah. Tanggung jawab pengelola sekolah kepala sekolah negeri ini sebagai berikut :
1 Penyelenggara kegiatan pendidikan yang meliputi penyusun
program kerja sekolah: a
Peraturan kegiatan belajar mengajar, pelaksanaan penilaian dan proses belajar serta bimbingan penyuluhan.
b Penyusunan Rencana dan Anggran Belanja Sekolah
RAPBS. 2
Pembinaan kesiswaan: 1
Pelaksanaan bimbingan dan penilaian bagi guru dan tenaga pendidik lainnya.
2 Penyelenggaraan administrasi sekolah.
3 Perencanaan
pengembangan, penyalahgunaan
dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
b. Sekolah Swasta.
Sekolah swasta adalah sekolah yang diselenggarakan oleh non- pemerintah atau masyarakat, penyelenggaraan sekolah swasta
biasanya berupa badan maupun yayasan pendidikan. Tanggung jawab pengelola sekolah swasta diatur sebagai berikut:
1 Menteri bertanggung jawab atas penngelolaan yang
berkenaan dengan: a
Pengembangan, pengadaan,
dan pendayagunaan
kurikulum. b
Pembinaan dan pengembangan guru serta tenaga pendidik lainnya.
c Penetapan pedoman penyusun buku pelajaran.
d Penyusun pedoman pengembangan, pengadaan dan
pemanfaatan peralatan pendidikan. e
Pengawasan penyelengara pendidikan. 2
Yayasan atau badan yang menyelenggarakan sekolah bertanggung jawab atas pengelolaan yang berkenan dengan:
a Pengadaan, pemanfaatan, dan pengembangan guru serta
tenaga kependidikan lainnya. b
Pengadaan, pemanfaatan tanah, gedung, dan ruang kelas.
c Keamanan,
ketertiban, kebersihan,
keindahan, keindahan, kekeluargaan, dan perundangan sekolah.
d Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
e Penambahan jam pelajaran berkenaan dengan ciri khas
sekolah tanpa mengurangi struktur program.
E. Jenis Kelamin
1. Remaja laki-laki dan perempuan.
Menurut Blakemore, Berenbaun dan Liben dalam buku Jhon W. Santrock 2014: 184 gender merujuk pada karakteristik orang sebagai
laki-laki dan perempuan. Identitas gender melibatkan makna gender itu sendiri termasuk pengetahuan pemahaman dan penerimaan sebagai laki-
laki dan perempuan. Peran jenis kelamin adalah seperangkat harapan yang menetapkan
bagaimana perempuan atau laki-laki harus berpikir, bertindak dan merasa. Terdapat berbagai cara untuk melihat perkembangannya. Beberapa
pandangan menekankan faktor biologis dalam perilaku dan perempuan yang lainnya menekankan faktor-faktor sosial atau kognitif. Namun,
bahkan para ahli dengan orientasi lingkungan kuat mengakui bahwa anak perempuan dan anak laki-laki diperlakukan berbeda karena perbedaan
fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi. Selain faktor biologis dan sosial, faktor kognitif berkontribusi
terhadap pembangunan gender anak Martin dan Rubel, 2010 dalam buku Jhon W. Santrock 2014: 185. Teori skema gender, saat ini merupakan
teori kognitif yang paling banyak diterima dari jenis kelamin, menyatakan bahwa stereotip gender muncul ketika anak-anak secara bertahap
mengembangkan skema gender, apa gender yang tepat, dan gender yang tidak pantas dalam budaya mereka. Skema adalah struktur kognitif
jaringan asosiasi yang memadu persepsi individu. Skema gender mengatur dunia dalam hal perempuan dan laki-laki. Anak-anak secara internal
termotivasi untuk melihat dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka berkembang sedikit demi sedikit anak-anak memilih gender apa
yang tepat dan gender yang tidak pantas dalam budaya mereka dan mengembangkan skema gender yang membentuk bagaimana mereka
melihat dunia dan apa yang mereka ingat. Anak-anak termotivasi untuk bertindak dengan cara yang sesuai dengan jenis kelamin skema tersebut.
2. Klasifikasi jenis kelamin dipandang dari peran gender .
Menurut John W. Santrock 2009: 227 klasifikasi peran gender melibatkan pengevaluasian anak laki-laki dan anak perempuan
dalam hal kelompok sifat-sifat kepribadian. Dimasa lalu, seorang anak laki-laki yang diurus dengan baik seharusnya mandiri, agresif, dan kuat.
Seorang wanita yang diurus dengan baik seharusnya mandiri, memiliki sifat mengasuh dan tidak tertarik pada kekuatan. Pada saat yang sama, secara
keseluruhan, karakteristik maskulin dianggap sehat dan baik oleh masyarakat,
sementara karakteristik
feminism dianggap
tidak menyenangkan.
3. Interaksi Guru dan siswa.
Bias antara laki-laki dan perempuan hadir di ruang kelas. Guru berinteraksi lebih banyak dengan anak laki-laki dibandingkan dengan
perempuan disemua tingkat pendidikan. Menurut Blakemore, Berenbaun dan Liben dalam buku Jhon W. Santrock 2014: 192 ada beberapa faktor
yang mempertimbangkan: a.
Patuh, mengikuti aturan dan menjadi rapih serta teratur dinilai dan diperkuat dibanyak kelas. Ini adalah perilaku yang biasanya
berhubungan dengan anak perempuan daripada anak laki-laki. b.
Sebagian besar guru adalah perempuan, terutama disekolah dasar. Hal ini dapat membuat anak laki-laki lebih sulit untuk
mengidentifikasi guru dan meneladani perilaku guru mereka daripada anak perempuan.
c. Anak laki-laki lebih mungkin untuk teridentifikasi memiliki
masalah belajar dibandingkan dengan anak perempuan. d.
Anak laki-laki lebih mungkin dikritik dibandingkan anak perempuan.
Berikut ini beberapa faktor yang menjadi bukti bahwa kelas bias terjadi terhadap anak perempuan, antara lain:
a. Dalam kelas khusus, anak perempuan lebih patuh, anak laki-laki
lebih kasar. Anak laki-laki menuntut perhatian lebih, anak perempuan cenderung menunggu giliran mereka. Pendidik