Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab 1 bagian pendahuluan, akan dijelaskan latar belakang penulis dalam melakukan penelitian. Bagian pendahuluan akan dijabarkan menjadi beberapa subbab, yaitu: 1 latar belakang masalah; 2 rumusan masalah; 3 identifikasi masalah; 4 tujuan penelitian; dan 5 manfaat penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap manusia. Pendidikan menjadi hal yang penting bukan hanya di lingkup sekolah saja, akan tetapi pendidikan juga berfungsi sebagai jembatan transfer nilai dan kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru. Menurut Syah 2010: 10, “pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memeroleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.” Pemerolehan pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku didapat dari proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran inilah kesempatan guru untuk mentransfer pengetahuan yang dimiliki. Dalam Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan S.N.P Pasal 19 ayat 1 menerangkan bahwa: Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis Peserta Didik. 2 Dalam pernyataan Peraturan Pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa juga diarahkan dan dibina oleh guru agar mampu mengembangkan kreativitas dan kemandiriannya sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis. Proses pengembangan kreativitas dan kemandirian inilah yang akan dialami siswa dalam proses belajar. Indikator siswa yang berhasil dalam proses belajar ialah perubahan perilaku. Oleh karena itu, tanpa belajar yang menghasilkan perubahan perilaku, siswa tidak akan memperoleh hasil dari pembelajaran. Menurut Slameto 2013: 2 belajar ialah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.” Belajar dilakukan dengan kesadaran untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku. Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan pola pikir, tindak-tanduk, dan lain sebagainya. Perubahan inilah yang menjadi pertanda seseorang telah berhasil dalam proses belajar ataukah belum. Sebagai patokan belajar di sekolah dasar, dalam Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan S.N.P telah tersusun struktur kurikulum yang diajarkan di sekolah dasar. Pada pasal 77I Peraturan Pemerintah tersebut nomor 1 menyatakan bahwa: Struktur kurikulum SDMI, SDLB atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas muatan: a pendidikan agama; b pendidikan kewarganegaraan; c bahasa; d matematika; e ilmu pengetahuan alam; f ilmu pengetahuan sosial; g seni dan budaya; h pendidikan jasmani dan olahraga; i keterampilankejuruan; dan j muatan lokal. 3 Dalam pernyataan tersebut, salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar yaitu Pendidikan Kewarganegaraan PKn. Adapun tujuan diselenggarakannya Pendidikan Kewarganegaraan PKn dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan S.N.P pasal 77I ayat 1 huruf b: Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk Peserta Didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, kesadaran berkonstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tujuan diselenggarakannya Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan PKn di sekolah dasar sangatlah penting diajarkan. Selain tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan PKn juga bertujuan mengolah perilaku siswa agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dengan menerapkan perilaku yang baik. Pada Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan S.N.P pasal 77H ayat 1 dijelaskan bahwa “Struktur Kurikulum Pendidikan Dasar berisi muatan pembelajaran atau mata pelajaran yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi spiritual keagamaan, sikap personal dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan.” Selanjutnya dijelaskan bahwa maksud dari pengembangan sikap personal dan sosial mencakup perwujudan suasana untuk meletakkan dasar kematangan sikap personal dan sosial dalam konteks belajar dan berinteraksi sosial. Pada mata pelajaran PKn kelas III SD terdapat materi ajar mengenai harga diri. Materi Harga Diri merupakan salah satu materi ajar yang ditujukan untuk 4 mengembangkan sikap personal dan sosial siswa. Sehingga dalam pembelajaran siswa diharapkan mampu mengembangkan sikap personal dan sosial. Selain keilmuan dan pengetahuan serta konsep atau fakta dalam ranah kognitif, salah satu hasil belajar menurut Sadiman 2011: 28 adalah ihwal personal, kepribadian atau sikap yang mencakup pada ranah afektif. Menurut Bloom hasil belajar mencakup ranah kognitif hasil belajar intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan ranah psikomotoris hasil belajar keterampilan. Ketiga ranah tersebut haruslah bernilai baik untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Dalam penilaian hasil belajar, ketiga ranah ini tidak dapat „kotak-kotakkan‟. Suprijono 2012: 7 memaparkan bahwa, “Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif.” Hal ini sejalan dengan pernyataaan Sudjana 2009: 31 yang berpendapat bahwa , “Hasil belajar yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan.” Sehingga dapat disimpulkan, ranah kognitif dan afektif merupakan ranah yang saling berkaitan. Kedua ranah ini tidak dapat dipisahkan dan selalu berhubungan satu sama lain. Sudjana 2009: 29 mengungkapkan, “Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi.” Sudjana melanjutkan, “Seseorang yang berubah tingkat kognisinya sebenarnya dalam kadar tertentu telah berubah pula 5 sikap dan perilakunya.” Artinya, ketika siswa mendapatkan nilai yang baik dalam ranah kognitif atau pengetahuannya, siswa juga baik dalam ranah afektif sikap. Demikian dengan sebaliknya, ketika siswa mendapatkan nilai yang kurang baik dalam ranah kognitif, siswa juga kurang baik dalam ranah afektif sikap. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh antara penguasaan ranah kognitif yang dimiliki oleh siswa dengan tingkat afektif yang dimilikinya. Pengaruh antara ranah kognitif dengan afektif telah diteliti dalam sejumlah penelitian. Salah satunya ialah penelitian yang telah dilakukan oleh Supriyono 2010 dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Perspektif Sosial-budaya Terhadap Pengembangan Nilai Multikultural studi Kuasi Eksperimen Pada Siswa SMA Yos Sudarso Di Jeruklegi Kabupaten Cilacap ”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ranah kognitif berpengaruh signifikan terhadap pengembangan nilai multikultural ranah afektif. Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Aisyah Ida Zairina 2012 dengan judul “Pengaruh Penguasaan Materi PAI Aspek Kognitif terhadap Perilaku Keagamaan Siswa Kelas XI SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang Tahun Ajaran 20112012” juga menunjukkan kesimpulan yang sama, yaitu terdapat pengaruh positif yang signifikan antara penguasaan materi PAI aspek kognitif terhadap perilaku keagamaan. Materi ajar Harga Diri adalah salah satu materi ajar kelas III. Materi ajar ini, selain membutuhkan penilaian kognitif, juga membutuhkan penilaian afektif. Sehingga, untuk mengetahui hasil belajar yang optimal pada materi ajar Harga 6 Diri, siswa selain menguasai pengetahuan sebagai bentuk penguasaan dalam ranah kognitif, juga dapat terdapat pengembangan harga diri dalam diri siswa sebagai bentuk hasil belajar dalam ranah afektif. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan diperoleh informasi bahwa masih banyak siswa yang rendah tingkat harga dirinya. Hal ini ditunjukkan dari wawancara yang dilakukan di sejumlah SD. Menurut Saparyati, A.Ma. Pd, wali kelas III SD Negeri Adiwerna 2, masih banyak siswa yang tidak berani berbicara di depan kelas. Kenyataan ini dikuatkan dengan wawancara dengan sejumlah siswa di beberapa SD. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa siswa tidak memahami kekurangan dan kelebihan yang dia miliki. Selain itu siswa mengakui bahwa dirinya tidak memiliki keyakinan sebagai pemandu perilakunya, kurang berani berbicara dihadapan teman-temannya, kurang mampu untuk mengetahui bagaimana menghadapi tekanan dan stres, dan kurang dapat menentukan sikap yang harus dilakukan. Oleh karena itu, dari pemaparan pada latar belakang masalah, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian yang berjudul, “Pengaruh Hasil Belajar Mata Pelajaran PKn Materi Harga Diri Kelas III terhadap Tingkat Harga Diri Siswa Gugus Diponegoro Kecamatan Adiwerna”.

1.2 Identifikasi Masalah