dengan baik. Melalui novel ini kita dapat mengetahui gaya hidup wanita metropolis yang semakin berkembang dan melihat gambaran sisi-sisi kehidupan yang mungkin belum kita
pahami secara jelas. Diantara sekian banyak novel yang menceritakan mengenai kehidupan wanita-wanita
metropolis, peneliti memilih menggunakan novel Indiana Chronicle karena novel ini menggambarkan sisi kehidupan metropolis yang realistis dan sesuai dengan perkembangan
zaman, karakter tokohnya adalah tipikal gadis lajang metropolitan yang hidupnya diwarnai dengan berbagai masalah. Tidak seperti novel-novel lainnya yang terlalu banyak dibumbui
dengan imajinasi pengarang sehingga menghasilkan novel yang tidak dapat menggambarkan kehidupan wanita metropolis yang sebenarnya.
Dari trilogi Indiana Chronicle ini, peneliti memilih novel yang pertama yaitu Blues karena peneliti merasa novel ini lebih menunjukkan citra wanita metropolis dibandingkan
dengan dua novel setelahnya. Dalam novel ini tokoh Indiana digambarkan sebagai wanita yang masih labil dan sedang mencari jati diri di tengah kerasnya kehidupan metropolitan.
Dibandingkan dengan dua novel setelahnya, pada novel pertama ini, Indiana lebih digambarkan sebagai wanita metropolis sejati yang mempunyai pola pikir dan berperilaku
selayaknya seorang metropolis. Berdasarkan uraian- uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
representasi gaya hidup wanita metropolis dalam novel Indiana Chronicle Blues karya Clara Ng.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya hidup wanita metropolis direpresentasikan dalam novel Indiana
Chronicle Blues?”
Universitas Sumatera Utara
I.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah diajukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas, terarah, sehingga tidak perlu mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :
1. Penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun A.Van Dijk.
2. Fokus penelitian adalah pada level teks untuk mencari makna yang ada di balik
penyajian tata bahasa dan tidak membahas lebih jauh ke masalah kognisi sosial dan konteks sosial di balik teks tersebut.
I.4 Tujuan dan Manfaat penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui makna yang terkandung dari setiap teks.
2. Untuk mengetahui nilai-nilai ideologi penulis dalam menyajikan ceritanya.
I.4.2 Manfaat Penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang media, khususnya mengenai kajian media novel yang diteliti dengan analisis
wacana. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis
terhadap informasi yang disajikan media. 3.
Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.
I.5. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori Singarimbun,1995:37. Maka teori berguna
untuk kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang
menggambarkan dari sudut makna masalah penelitian yang akan disoroti Nawawi,1995:40. Teori yang relevan dalam penelitian ini adalah :
I.5.1 Imperialisme Budaya
Imperialisme budaya adalah tergusurnya nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi kebudayaan global. Proses ini tidak terlepas dari dunia Barat yang mendominasi media di
seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Media barat menimbulkan kesan yang mendalam bagi media di negara berkembang, sehingga mereka ingin meniru budaya yang
tercermin dalam media tersebut. Dalam perspektif teori yang pertama kali dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973 ini, ketika terjadi proses peniruan media oleh negara
berkembang terhadap negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara berkembang.
Dominasi terjadi ketika negara maju memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai uang yang dapat mendanai
produksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah dikembangkan secara kapitalis, dengan kata lain media sudah dikembangkan menjadi industri
yang mementingkan laba. Selain uang mereka mempunyai teknologi yang memungkinkan sajian media massa diproduksi dengan sangat baik.
Oleh karena itu, negara berkembang tertarik untuk membeli produk barat tersebut. Terlebih lagi membeli jauh lebih murah dibanding dengan memproduksi sendiri. Sangat
Universitas Sumatera Utara
banyak media massa Indonesia yang setiap harinya berlomba-lomba menampilkan tulisan dari kantor berita asing. Bahkan foto-foto kejadian yang berlokasi di Indonesia, yang
seharusnya dengan mudah dapat difoto oleh wartawan Indonesia sendiri seringkali berasal dari kantor berita asing.
Kehilangan nilai dalam budaya mengakibatkan kehidupan masyarakat melahirkan sebuah pakem baru yang lebih mengedepankan tampilan atau pencitraan syang jelas-jelas
mendangkalkan isi. Tidak hanya berhenti sampai disitu, kemudahan yang ditawarkan oleh budaya instan dan pencitraan dengan cepat menembus sekat-sekat pribadi membuatnya
menjadi satu-satunya penguasa gaya hidup dan budaya yang dominan.
I.5.2 Representasi
Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep ini digambarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi
yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan.
Representasi biasanya dipahami sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”.
Menurut Stuart Hall, representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Representasi adalah jalan dimana makna diberikan kepada hal-hal yang
tergambar melalui citra atau bentuk lainnya, pada layar atau pada kata-kata. Hall menunjukkan bahwa sebuah citra akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada
garansi bahwa citra akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan representasi sebagai konstitutif. Representasi tidak hadir sampai setelah
kejadian direpresentasikan, representasi tidak hadir setelah sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Representasi adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan bisa terjadi dengan menggunakan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak representasi tersebut
ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Oleh karena itu, yang perlu dikritisi disini adalah pemakaian bahasa yang ditampilkan oleh media. Proses ini mau tidak
mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak.
Proses pemilihan fakta juga mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas. Pilihan kata-kata yang dipakai tidak hanya sekeda tekhnik
jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan
perhatian khalayak pada masakah tertentu tapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu.
Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seorang, suatu kelompok,
suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau apa adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Setiap hari kita mendengar, membaca, atau melihat
bagaimana kesalahan representasi itu terjadi. 1. Ekskomunikasi Excommunication
Ekskomunikasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Disini misrepresentasi terjadi karena seseorang atau suatu kelompok
tidak diperkenankan untuk berbicara. Ia dianggap bukan bagian dari diri kita. Karena tidak dianggap sebagai bagian dari partisipan publik, maka penggambaran hanya terjadi pada pihak
kita, tidak ada kebutuhan untuk mendengar suara dari pihak lain.
Universitas Sumatera Utara
2. Eksklusi Exclusion Eksklusi berhubungan dengan bagaimana seseorang dikucilkan dalam pembicaraan.
Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tetapi mereka dipandang lain, mereka dipandang buruk dan bukan bagian dari kita. Disini ada suatu sikap yang diwakili oleh wacana yang
menyatakan bahwa kita baik, sementara mereka buruk. 3. Marjinalisasi
Praktik marjinalisasi adalah misrepresentasi yang berbeda dengan eksklusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi, terjadi penggambaran yang buruk kepada pihakkelompok
lain. Akan tetapi, berbeda dengan eksklusiekskomunikasi, disini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dengan pihak mereka.
4. Delegitimasi Kalau marjinalisasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok
digambarkan secara buruk, dikecilkan perannya, maka dalam delegitimasi berhubungan dengan bagaimana seseorang atau suatu kelompok dianggap tidak absah. Legitimasi
berhubungan dengan pertanyaan apakah seseorang merasa absah, benar, dan mempunyai dasar pembenar tertentu ketika melakukan suatu tindakan.
I.5.3 Ideologi
Menurut Aart Van Zoest, sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi Van Zoest, 1991:70 dalam
Sobur,2004:60. Setiap makna memiliki kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat
realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Universitas Sumatera Utara
Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa yunani, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logia berasal dari kata
logos yang berarti kata. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti berbicara. Selanjutnya logia berarti pengetahuan atau teori. Jadi ideology menurut arti kata adalah pengucapan dari
apa yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran.
Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-
perspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi. Ideologi dipengaruhi oleh asal-usulnya, asosiasi kelembagaannya
dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungan ini tidak pernah jelas seluruhnya Lull,1998:1.
Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kolompok atas kelas tertentu. Definisi ini
terutama dipakai oleh kalangan psikolog yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren. Meskipun ideologi di sini
tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu itu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat, ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah
seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominant. Ideologi
bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima sebagai kebenaran.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Berita secara tidak sengaja merupakan
gambaran dari ideologi tertentu.
I.5.4 Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana adalah salah satu dari analisis isi selain analisis isi kuaantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan
“apa” what, analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” how dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga
bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, perasa, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut,
analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dai suatu teks Eriyanto,2001:15.
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto 2001:4-6, pertama positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara
manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi.
Kedua disebut konstruktivisme yang memandang bahasa diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan
penciptaan makna dari sang pembicara. Bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka.
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ini menyempurnakan pandangan konstruktivis yang masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan
yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-
Universitas Sumatera Utara
jenis subjek tertentu berikut perilakunya. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis
konstruktivis. Analisis wacana paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi
pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Tetapi merupakan representasi yang berperan
dalam membentuk subjek tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa : batasan-
batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai dan topik apa yang dibicarakan.
I.5.5 Analisis Wacana Teun A. Van Dijk
Menurut Van Dijk penelitian atas wacana tidak cukup jika didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang diamati. Perlu
dilihat bagaimana suatu teks diproduksi sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari
proses produksi berita yang melibatkan kognisi individu dai wartawan. Sedangkan konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu
masalah. Teks bukan sesuatu yang datang begitu saja, tetapi teks dibentuk dalam suatu praktek
diskursus. Van Dijk tidak hanya membongkar teks semata, tetapi ia melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan
bagaimana kognisi atau pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
teks tersebut. Wacana oleh Van Dijk dibentuk oleh tiga dimensi : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah juga bentuk interaksi. Menurut Van Dijk, sebuah wacana berfungsi sebagai suatu pernyataan assertion, pertanyaan
question, tuduhan accusation, atau ancaman threat. Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.
I.6 Kerangka Konsep