Analisis Pengaruh Investasi Dan Tenaga Kerja Terhadap PDRB Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA

TERHADAP PDRB SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

NOVITA LINDA SITOMPUL 047018014/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(2)

ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA

TERHADAP PDRB SUMATERA UTARA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVITA LINDA SITOMPUL 047018014/EP

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH INVESTASI DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Novita Linda Sitompul Nomor Pokok : 047018014

Program Studi : Ekonomi Pembangunan (EP)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D) (Drs. Rujiman, MA)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Murni Daulay, S.E, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

TELAH DIUJI PADA

TANGGAL : 28 JUNI 2007

PANITIA PENGUJI TESIS :

KETUA : Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D.

ANGGOTA : 1. Drs. Rujiman, MA.

2. Dr. Murni Daulay, M.Si. 3. Dr. Ramli, SE,MS.


(5)

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini didasarkan pada besarnya pengaruh investasi, baik PMDN maupun PMA terhadap PDRB, dimana investasi tersebut juga akan menyerap sejumlah tenaga kerja sehingga menjadi produktif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja dan kondisi perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara.

Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1984 – 2005, yaitu data jumlah tenaga kerja, jumlah investasi PMDN, jumlah investasi PMA di Sumatera Utara dan PDRB Sumatera Utara. Data tersebut diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Perindustrian, BPS, dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDRB Sumatera Utara dipengaruhi tiga sektor yang utama, yaitu sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Sumatera Utara. Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menemukan bahwa investasi PMDN tahun sebelumnya, PMA tahun sebelumnya, jumlah tenaga kerja, dan kondisi perekonomian berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98,39 persen. Hal ini berarti bahwa PDRB Sumatera Utara akan semakin meningkat dengan meningkatnya investasi dan jumlah tenaga kerja. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa investasi PMDN tahun sebelumnya, investasi PMA tahun sebelumnya dan jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap PDRB Sumatera Utara, sedangkan kondisi perekonomian tidak berpengaruh signifikan.


(7)

ABSTRACT

This research based on on the level of influence of invesment, domestic and foreign invesment to PDRB, where the invesment also will needs a number of manpower so that become productively. This research has a purpose to analyze the influence of invesment, number of manpower, and condition of economics on Indonesia before and after economic crisis to PDRB of North Sumatera.

The analysis uses Ordinary Least Square (OLS) method. For this analysis aim, use a secondary database in time series form, 1984 – 2005, that is data of number of manpower, amount of domestic and foreign invesment in North Sumatera and Product Domestic Regional Bruto (PDRB) of North Sumatera. The data obtained form Departemen of Manpower and Transmigration, Departament of Industry, and Central Bureau of Statistics of North Sumatera Utara, and other sources that is research result and journals.

The result of research indicate that PDRB of North Sumatera influenced by three primair sector, that is agricultural sector, industrial sector and commercial sector, restaurant and hotel. Third of the sector give biggest contribution to PDRB of North Sumatera. Based on the estimating result, this research found that domestic invesment previous year, foreign invesment previous year, number of man power, and economics condition had a positive influence to the PDRB of North Sumatera with a determination coefficient value (R2), in the amount of 98,39 percents. It means that the PDRB of North Sumatera will be more increasing with the increasing in domestics invesment, foreign investmen, number of manpower. Partially, this analysis result showed that domestics invesment, foreign invesment and manpower had a significant influence to PDRB of North Sumatera, while the conditions of economics do not has a significant influence to the PDRB of North Sumatera.


(8)

KATA PENGANTAR

Penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis ini merupakan tugas akhir yang harus disajikan dalam rangka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana pada Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Dengan mengambil judul “Analisis Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap PDRB Sumatera Utara”.

Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini dalam waktu yang telah ditetapkan berkat bimbingan dan arahan dari Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan khususnya Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji dengan kesabarannya telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan arahan.

Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga sesuai dengan syarat dan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu penulis dalam kesempatan ini, dengan kerendahan hati dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

2. Ibu Dr. Murni Daulay, S.E.,M.Si., Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D. sebagai Ketua Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini 4. Bapak Drs. Rujiman, MA. sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, S.E.,M.Si., Bapak Dr. Ramli, SE, MS, dan Kasyful Mahalli, SE, M.Si. sebagai Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak, Ibu Dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada orang-orang tercinta penulis, ibunda J. br. Sihombing, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan perhatian, motivasi, semangat, saran dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Dalam kurun waktu tiga semester selama menjalani masa perkuliahan, telah terjadi interaksi yang baik antara penulis dengan rekan-rekan kuliah terutama angkatan VII, maka untuk itu penulis memberikan ucapan terima kasih kepada mereka semua, khususnya rekan Inggrita Gusti Sari Nasution, Vinelia A.


(10)

Marpaung yang tetap saling menguatkan dan mengingatkan dalam perjuangan menyelesaiakan tesis ini.

10. Rekan-rekan sekerja di Kantor Pelayanan Pajak Madya Medan yang selalu memberikan semangat dan pengertian dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kesilapan penulis selama ini. Semoga Allah Bapa Yang Maha Pengasih memberikan berkat-Nya kepada kita. Aminn...

Medan, 28 Juni 2007 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Novita Linda Sitompul

2. Agama : Kristen

3. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 29 Nopember 1970 4. Pekerjaan : PNS pada Departemen Keuangan 5. Nama Ayah : W.D. Sitompul (alm)

Ibu : J. br. Sihombing 6. Pendidikan :

a. SD Katolik Budi Murni III Medan, lulus Tahun 1983 b. SMP RK St. Thomas I Medan, lulus Tahun 1986 c. SMA RK St. Thomas I Medan, lulus Tahun 1989

d. Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Medan, lulus Tahun 1996

e. Sekolah Pascasarjana USU, lulus Tahun 2007


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Pengertian Investasi ... 11

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi ... 14

2.2.1. Tingkat bunga dan investasi ... 18

2.2.2. Investasi dan GDP ... 20

2.2.3. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ... 22

2.3. Investasi dan Penentuan Tingkat Upah ... 26

2.4. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja ... 28

2.5. Kesempatan Kerja ... 29

2.5.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi... 29

2.5.2. Kesempatan Kerja dan Upah ... 30

2.6. Pengertian dan Fungsi Produksi... 33


(13)

2.8. Hipotesis Penelitian... 40

2.9. Kerangka Pemikiran... 40

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

3.1. Ruang Lingkup Penelitian... 41

3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 41

3.3. Model Analisis ... 41

3.4. Metode Analisis ... 42

3.5. Uji Kesesuaian ... 43

3.6. Definisi Operasional... 43

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1. PDRB Sumatera Utara ... 47

4.2. Pertumbuhan Investasi di Sumatera Utara ... 49

4.3. Ketenagakerjaan ... 51

4.4. Analisis Estimasi ... 54

4.4.1. Uji Kesesuaian ... 54

4.4.2. Uji Asumsi Klasik ... 58

4.5. Pembahasan ... 61

4.5.1. Investasi ... 61

4.5.2. Jumlah Tenaga Kerja ... 63

4.5.3. Kondisi Perekonomian ... 64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

5.1. Kesimpulan... 68

5.2. Saran... 69


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Keadaan Investasi PMA dan Jumlah Pengangguran di Indonesia ... 8

1.2. Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Sumatera Utara ... 9

4.1. PDRB Sumatera Utara Berdasarkan Sektor Ekonomi Atas Dasar

Harga Konstan 1993 (Milyar Rp.)... 47

4.2. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara(%)... 48

4.3. Perkembangan Investasi di Sumatera Utara, 1985 – 2005 ... 50

4.4. Perkembangan Tenaga Kerja di Sumatera Utara, 1985 – 2005 ... 53

4.5. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi PDRB

Sumatera Utara ... 55

4.6. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas ... 58

4.7. Hasil Estimasi Uji Autokorelasi dengan LM Test... 59

4.8. Hasil Estimasi Uji Heteroskedastisitas dengan White Test... 60


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Hubungan Tingkat Bunga dan Investasi ... 19

2.2. Hubungan Tingkat Upah dengan Penyerapan Tenaga Kerja ... 32

2.3. Kerangka Pemikiran Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja

terhadap PDRB Sumatera Utara... 40


(16)

DAFTAR SINGKATAN

APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BPS = Badan Pusat Statistik

BKPM = Badan Koordinasi Penanaman Modal BUMN = Badan Usaha Milik Negara

GNP = Gross National Product ICOR = Incremental Capital Output Ratio ILO = International Labour Organization IPM = Indeks Pembangunan Manusia OLS = Ordinary Least Square

PDRB = Produk Domestik Regional Bruto PHK = Pemutusan Hubungan Kerja

PMA = Penanaman Modal Asing

PMDN = Penanaman Modal Dalam Negeri RRC = Republik Rakyat China

TKI = Tenaga Kerja Indonesia


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peringkat Persetujuan Nilai Rencana Investasi Menurut Lokasi, 1

Januari – 31 Oktober 2006 ... 72

2. PDRB, PMDN, PMA dan Tenaga Kerja di Sumatera Utara, Tahun

1984 – 2005... 73

3. Data Analisis ... 74

4. Analisis OLS ... 75


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan negara Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tersebut, pemerintah melakukan pembangunan di berbagai bidang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pelaksanaan pembangunan tersebut dikelompok dalam pembangunan nasional dan pembangunan daerah, dimana pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

Pembangunan secara lebih luas dapat diartikan sebagai usaha untuk lebih meningkatkan produktivitas sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu negara, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, kapital atau modal maupun sumber daya berupa teknologi, dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Todaro, 2000).

Pada umumnya pembangunan nasional dan daerah di negara-negara berkembang ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan ekonomi dan pembangunan di bidang ekonomi dapat mendukung pencapaian tujuan, atau mendorong perubahan-perubahan dan pembaharuan dalam bidang kehidupan lain dari masyarakat.


(19)

Tetapi perhatian terhadap pembangunan ekonomi saja sudah diakui tidak memberikan jaminan untuk suatu proses pembangunan nasional yang stabil dan kontinue, apabila diabaikan berbagai segi di bidang sosial. Oleh karena itu, dewasa ini pembangunan dilakukan dan dikembangkan melalui suatu pendekatan yang integral atau menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah diterapkan dan diaplikasikan di berbagai negara sehingga pelaksanaan pembangunan ekonomi tersebut diharapkan dapat berhasil secara maksimal. Sebagai salah satu contoh adalah Brasil. Negara besar ini merupakan salah satu negara yang relatif tetap bermasalah dalam pembangunan berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan pembangunan ekonominya. Selama tiga dasawarsa terakhir, Brasil mengalami periode pertumbuhan ekonomi yang cepat yang dapat dilihat dari GNPnya (Todaro, 2000). Namun demikian, selama periode yang sama, masalah kemiskinan, pengangguran serta distribusi pendapatan tetap dianggap sebagai masalah yang memerlukan penanganan yang serius. Masalah di atas tetap terjadi walaupun Brasil merupakan salah satu negara industri baru dengan pembangunan sektor industri yang sangat pesat dan telah menyumbangkan 36 persen terhadap GNP.

Secara teoretis, masalah kemiskinan, pengangguran atau kesempatan kerja akan dapat diatasi dengan memaksimalkan investasi yang produktif di berbagai sektor ekonomi. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam keberhasilan pembangunan ekonomi Malaysia. Malaysia merupakan salah satu dari beberapa negara dunia


(20)

ketiga yang berhasil dan berkesinambungan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Malaysia relatif tinggi dengan tingkat inflasi yang rendah. Rata-rata pertumbuhan sektor riilnya hampir mencapai 6 persen perkapita antara tahun 1985 sampai 1996. Keberhasilan pembangunan ekonomi Malaysia ini tidak terlepas dari keberhasilan pelaksanaan investasi yang cukup besar karena Malaysia menjadi salah satu pilihan utama bagi para investor internasional. Investasi dalam bidang perkebunan misalnya telah menjadikan Malaysia sebagai salah satu produsen utama produk minyak kelapa sawit, karet, dan kayu tropis. Investasi ini dengan sendirinya telah membuka lapangan kerja yang luas kepada warganya bahkan kepada tenaga kerja dari berbagai negara. Selain itu, investasi pada sektor perminyakan dan pertambangan mulai tumbuh pesat sejak tahun 1980, sehingga menjadikan Malaysia sebagai salah satu pengekspor utama minyak dan gas di dunia. Disamping investasi dalam berbagai sektor di atas, investasi dalam dan luar negeri banyak tercurah ke sektor manufaktur yaitu investasi asing yang terbesar berasal dari Jepang dan Amerika Serikat. Keberhasilan Malaysia dalam menarik investasi terutama didukung oleh tenaga terdidik dan terampil yang cukup banyak dan stabilitas politiknya yang cukup mantap. Tingkat tabungan domestik Malaysia juga relatif tinggi sehingga mampu menyediakan dana investasi (Todaro, 2000).

Keberhasilan pelaksanaan investasi seperti diuraikan di atas seharusnya dapat diaplikasikan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.


(21)

Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi berbagai permasalahan dalam pembangunan ekonomi. Salah satu permasalahan tersebut adalah jumlah angkatan kerja yang terus meningkat yang tidak sebanding dengan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan (Tambunan, 2001a). Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan di posisi kedua adalah sektor industri terutama industri pengolahan. Namun dalam perkembangan pembangunan selanjutnya, Indonesia mengalami transformasi dari sektor pertanian menuju sektor industri. Kondisi ini menyebabkan tingginya permintaan angkatan kerja terhadap sektor industri, khususnya di perkotaan. Pendapatan yang lebih terjamin dan kehidupan yang lebih modern menyebabkan permintaan angkatan kerja terhadap sektor industri semakin meningkat setiap tahun, bahkan telah menjadi fenomena tersendiri melalui arus urbanisasi yang terus berlangsung (Tambunan, 2001b).

Dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, Indonesia melaksanakan pembangunan di berbagai sektor, khususnya sektor industri yang diharapkan akan mampu mengurangi peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Peran sektor industri sangat diharapkan karena sektor ini mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian. Dengan demikian, pembangunan sektor industri akan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas dibandingkan dengan sektor pertanian (Tambunan, 2001b). Hal ini berarti bahwa investasi yang besar dalam


(22)

sektor industri harus dilakukan sehingga dapat memberi kesempatan kerja yang luas seperti yang diharapkan.

Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak krisis pada pertengahan 1997 membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3-4 persen, hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai rata-rata 2,5 juta pertahun (Depnakertrans, 2004). Berarti ada sejumlah 0,9 juta angkatan kerja yang tidak tertampung atau menganggur setiap tahun.

Krisis ekonomi telah menyebabkan dampak yang sangat serius terhadap dunia industri. Nilai tukar rupiah yang terus melemah menyebabkan biaya operasi industri, khususnya dalam penyediaan bahan baku menjadi tinggi. Demikian juga inflasi yang diakibatkan oleh krisis menyebabkan terjadinya peningkatan harga-harga, termasuk bahan bakar minyak. Inflasi juga menyebabkan berbagai tuntutan kenaikan upah oleh kelompok buruh. Kondisi ini menyebabkan biaya produksi sektor industri melambung tinggi, sehingga produk tersebut tidak mampu bersaing dengan produk lain, khususnya produk impor. Hal ini menyebabkan sebagian


(23)

besar industri melakukan PHK, dan bahkan sudah banyak yang tidak beroperasi lagi. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah pengangguran.

Untuk mengatasi ketidakseimbangan natara penawaran dan permintaan tenaga kerja ini, maka salah satu tujuan pembangunan nasional adalah perluasan kesempatan kerja yang dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan investasi. Tujuan ini menjadi penting karena pertumbuhan penduduk yang tinggi sudah pasti diikuti pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Di lain pihak pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu diikuti oleh pertumbuhan atau perluasan kesempatan kerja. Hasil penelitian International Labour Organization (ILO) di Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti oleh perluasan kesempatan kerja, malah pengangguran yang semakin meningkat dan taraf hidup yang semakin rendah.

Menurut Silalahi (2004), untuk menanggulangi masalah penganggur dan setengah penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan akan semakin baik di masa mendatang perlu didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya kesempatan kerja produktif dan remunerative. Penciptaan kesempatan kerja produktif dapat dilakukan dalam bentuk investasi, sehingga lebih banyak memberikan kesempatan kerja kepada tenaga kerja. Jaminan keamanan dan biaya investasi yang produktif juga akan meningkatkan investasi di dalam negeri, khususnya investasi asing.


(24)

Keberhasilan pertumbuhan PDRB, tidak dapat dipisahkan dari meningkatnya investasi. Investasi adalah kata kunci penentu laju pertumbuhan ekonomi, karena disamping akan mendorong kenaikan output secara signifikan, juga secara otomatis akan meningkatkan permintaan input, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat sebagai konsekuensi dari meningkatnya pendapatan yang diterima masyarakat (Makmun dan Yasin, 2003).

Investasi adalah mobilisasi sumber daya untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi/pendapatan di masa yang akan datang. Dalam investasi ada 2 (dua) tujuan utama yang ingin dicapai yaitu mengganti bagian dari penyediaan modal yang rusak dan tambahan penyediaan modal yang ada. Gambaran perkembangan pembangunan daerah tidak lepas dari perkembangan distribusi dan alokasi investasi antar daerah. Dalam kaitan itu perlu dipisahkan jenis investasi yang dilakukan oleh sektor swasta dan pemerintah, mengingat faktor yang menentukan lokasi kedua jenis investasi tersebut tidak selalu sama. Umumnya pemerintah masih harus memperhatikan beberapa faktor, seperti pengembangan suatu daerah tertentu karena alasan politis dan strategis, misalnya daerah perbatasan dan daerah yang mempunyai sejarah serta ciri khusus, sehingga memerlukan perhatian yang khusus termasuk dalam kebijakan investasi. Namun demikian, kedua jenis investasi baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta pada akhirnya akan dapat menambah kesempatan kerja dan memberi sumbangan


(25)

dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan sebagainya. Keterkaitan investasi dengan masalah pengangguran di Indonesia dalam beberapa tahun dapat dilihat dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Keadaan Investasi PMA dan Jumlah Pengangguran di Indonesia Investasi

Tahun

PMDN (Milyar Rp.)1 PMA (juta US$)1

Pengangguran (orang)2

1996 100.499,39 29.773,60 4.275.414 1997 119.755,50 33.126,90 4.183.971 1998 60.748,50 13.544,10 5.045.260 1999 55.600,30 10.891,40 6.030.319 2000 88.294,70 15.282,90 5.813.231 2001 58.674,00 15.044,20 8.005.031 2002 25.262,30 9.744,10 9.132.104 Sumber : 1) Bank Indonesia, 2006

2) BPS, 2004

Data dalam Tabel 1.1. menunjukkan terdapat indikasi hubungan antara investasi (PMA) dengan jumlah pengangguran di Indonesia. Pada tahun 1997, ketika investasi meningkat pengangguran berkurang dan ketika investasi menurun sejak tahun 1998, pengangguran meningkat setiap tahun. Hal ini berarti bahwa investasi memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak sehingga masalah pengangguran dapat dikurangi.

Keterkaitan antara investasi dengan kesempatan kerja dan pengangguran seperti diuraikan di atas tentu dapat juga terjadi di tingkat propinsi seperti di Sumatera Utara. Hal ini perlu dikaji mengingat Sumatera Utara merupakan salah


(26)

satu barometer perekonomian Indonesia dan merupakan daerah tujuan investasi. Berdasarkan data BPS Sumatera Utara (2004), PDRB Sumatera Utara tahun 2001 s/d 2004 menunjukkan peningkatan setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari PDRB dan kesempatan kerja/menganggur yang berhubungan dengan investasi di Sumatera Utara, dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 1.2. Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Sumatera Utara

Tahun PMDN

(Milyar Rp.)1

PMA (Juta US$)1

PDRB (Milyar Rp.)2

Bekerja (Orang)2

Menganggur (Orang)2 2001 501,745 41.782,31 24.911,052 4.811.088 456.059 2002 836,695 10.382,57 25.925,363 4.928.353 528.550 2003 471,556 89.450,26 27.086,903 4.855.793 711.288 2004 273,969 30.764,98 28.598,613 4.756.078 756.327 Sumber : 1) BKPMD Sumatera Utara, 2005.

2) BPS Sumatera Utara, 2004.

Dari tabel di atas terlihat bahwa antara investasi dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan arah yang positif. Sebaliknya menunjukkan arah yang berlawanan dengan kesempatan kerja dan pengangguran. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian terhadap pengaruh investasi dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : bagaimana pengaruh investasi PMDN, investasi


(27)

PMA, jumlah tenaga kerja dan kondisi perekonomian Indonesia sesudah krisis ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: untuk menganalisis pengaruh investasi PMDN, PMA, jumlah tenaga kerja dan kondisi perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat yang antara lain adalah :

1. Sebagai informasi dan bahan masukan bagi Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Sumatera Utara dalam pelaksanaan investasi ke arah membuka kesempatan kerja yang lebih luas.

2. Sebagai informasi ilmiah dan wawasan ilmu pengetahuan tentang pengaruh investasi dan jumlah tenaga kerja terhadap PDRB Sumatera Utara.

3. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji dalam bidang yang sama dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda.

4. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah daerah khususnya di Sumatera Utara tentang perkembangan investasi di Sumatera Utara.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Investasi

Investasi adalah permintaan barang dan jasa untuk menciptakan atau menambah kapasitas produksi/pendapatan di masa yang akan datang (Dornbusch, Fisher dan Startz, 2004). Dalam investasi tercakup dua tujuan utama yaitu untuk mengganti bagian dari penyediaan modal yang rusak (depresiasi) dan tambahan penyediaan modal yang ada (investasi netto). Dalam perhitungan pendapatan nasional, pengertian investasi adalah seluruh nilai pembelian para pengusaha atas barang-barang modal dan pembelanjaan untuk mendirikan industri dan pertambahan dalam nilai stok barang perusahaan yang berupa bahan mentah, barang belum diproses, dan barang jadi.

Tujuan pengeluaran untuk investasi adalah pembelian barang-barang yang memberi harapan menghasilkan keuntungan di masa yang akan datang. Artinya pertimbangan yang diambil oleh pengusaha atau perusahaan dalam memutuskan membeli atau tidak membeli barang dan jasa tersebut adalah harapan dari pengusaha atau perusahaan akan kemungkinan keuntungan yang dapat diperoleh. Harapan keuntungan ini merupakan faktor utama dalam investasi.


(29)

Investasi adalah pengeluaran yang ditujukan untuk meningkatkan atau mempertahankan stok barang modal, yang terdiri dari pabrik, mesin, kantor dan produk-produk tahan lama lainnya yang digunakan dalam proses produksi.

Pengeluaran investasi dapat juga meliputi pengeluaran yang ditambahkan pada komponen-komponen barang modal. Kegiatan investasi dapat dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta. Dalam hal ini kegiatan investasi dapat dibedakan atas investasi yang otonom dan investasi yang terdorong (Harjanti, 2005).

Investasi otonom adalah investasi yang bebas dilakukan tanpa terpengaruh atau terdorong oleh faktor lainnya. Umumnya jenis investasi ini dilakukan oleh Pemerintah dengan maksud sebagai landasan pertumbuhan ekonomi berikutnya, misalnya investasi untuk pembuatan jalan-jalan, jembatan-jembatan dan infrastruktur lainnya. Sedangkan investasi yang terdorong adalah investasi yang dilakukan sebagai akibat kenaikan permintaan atau dorongan pemerintah. Dengan demikian investasi otonom dan investasi yang terdorong adalah saling mendukung satu sama lain. Dengan investasi otonom diharapkan akan meningkatkan permintaan, yang pada gilirannya akan mendorong investasi.

Jenis investasi juga dapat dibedakan atas public investment dan private investment, domestic investment dan foreign investment, gross investment dan net investment. Public investment adalah investasi atau penanaman modal yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan


(30)

sifatnya resmi. Sedangkan private investment adalah investasi yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Perbedaan antara investasi pemerintah dan investasi swasta adalah, bahwa dalam investasi swasta keuntungan menjadi prioritas utama, sedangkan investasi pemerintah adalah untuk melayani dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak.

Domestic investment adalah penanaman modal dalam negeri, sedangkan foreign investment adalah penanaman modal asing. Gross investment adalah total seluruh investasi yang dilaksanakan pada suatu waktu, baik itu autonomous maupun induced atau private maupun public. Sedangkan net investment adalah selisih antara investasi bruto dengan penyusutan.

Para pelaku investasi adalah Pemerintah, swasta, dan kerjasama Pemerintah – swasta. Investasi Pemerintah umumnya dilakukan tidak dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada umumnya swasta tidak tertarik pada investasi ini, karena memerlukan biaya yang sangat besar dan tidak memberikan keuntungan secara langsung, melainkan secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang lama (Brata, 2005). Pihak swasta lebih tertarik pada jenis investasi yang ditujukan untuk memperoleh laba, yang biasanya terdorong oleh karena adanya pertambahan pendapatan.


(31)

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi

Pendapatan nasional bisa naik atau turun karena perubahan investasi. Kondisi ini tergantung pada perubahan teknologi, penurunan tingkat bunga, pertumbuhan penduduk, dan faktor-faktor dinamis lainnya (Samuelson dalam Makmun, 2001).

Sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998, investasi yang dipompakan ke dalam ekonomi Indonesia anjlok, bahkan terjadi pelarian modal (capital flight) US$10 milyar setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi negatif hanya terjadi satu tahun saja (1998) dan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 terjadi pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 3,2 persen per tahun. Adapun sumber pertumbuhan ekonomi bukan semata-mata berasal dari investasi, akan tetapi juga konsumsi masyarakat.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (2004), salah satu unsur penggerak pertumbuhan ekonomi yang belum pulih adalah investasi. Tingkat investasi (pembentukan modal tetap bruto) dalam tahun 2002 baru mencapai sekitar 75 persen dibandingkan sebelum krisis (tahun 1996). Dengan pemulihan investasi yang lambat tersebut, peranan investasi dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) menurun dari 29,6 persen pada tahun 1996 menjadi 20,2 persen pada tahun 2002. Upaya untuk menarik investasi dihadapkan pada dua lingkungan strategis yaitu lingkungan eksternal yang semakin ketat dan daya tarik domestik yang masih lemah. Tantangan eksternal untuk menarik investasi dalam


(32)

tahun 2004 dan tahun-tahun mendatang diperkirakan makin berat. Pertama, terdapat kecenderungan arus masuk penanaman modal asing (PMA) menurun. Beberapa faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut antara lain adalah meningkatnya ketidakpastian global yang mempengaruhi rasa aman dalam kegiatan penanaman modal kemungkinan terjadinya berbagai spekulasi dalam proses merger dan akuisisi perusahaan, serta masalah-masalah kelembagaan seperti kelambatan proses privatisasi di beberapa negara. Kedua, dari arus masuk PMA yang cenderung menurun tersebut, sebagian besar mengalir ke negara-negara tertentu. RRC diperkirakan tetap menjadi negara-negara tujuan terbesar arus masuk PMA yang mengalir ke kawasan Asia dalam tahun-tahun mendatang didukung oleh pertumbuhan pasar dalam negeri yang tinggi, biaya produksi yang murah, serta ketersediaan tenaga kerja yang memadai.

Sementara itu lingkungan domestik masih belum mampu menciptakan iklim investasi yang sehat. Beberapa faktor domestik yang menghambat iklim investasi belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut (BKPM, 2004):

1) Prosedur yang panjang dan berbelit. Sebagai contoh untuk memulai usaha di bidang perdagangan diperlukan tidak kurang dari 46 surat izin dari berbagai tingkat pemerintahan. Berdasarkan telaah Bank Dunia (2003) terhadap peraturan perundangan yang ada, dibutuhkan sekitar 11 prosedur pokok untuk memulai usaha di Indonesia yang memakan waktu 168 hari atau hampir tiga


(33)

kali lipat dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur lainnya yaitu sekitar 66 hari. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. 2) Tumpang tindihnya kebijakan pusat dan daerah di bidang investasi serta

kebijakan antar sektor. Belum mantapnya pelaksanaan program desentralisasi mengakibatkan kesimpangsiuran kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan investasi. Disamping itu juga terdapat keragaman yang besar dari kebijakan investasi antar daerah. Kesemuanya ini mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan investasi nasional yang pada gilirannya akan menurunkan minat investasi.Salah satu contoh tumpang tindih kebijakan antar sektor adalah pelarangan kegiatan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Disamping pemerintah bisa menghadapi gugatan dari investor yang telah mendapatkan izin penambangan yang lebih memprihatinkan adalah belum tumbuhnya pemahaman yang mendalam antara kepentingan jangka panjang dengan kepentingan jangka pendek yang sebenarnya terkait erat satu sama lain.

3) Kurangnya kepastian hukum dengan berlarutnya perumusan RUU Penanaman Modal dan lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan kinerja pengadilan niaga.


(34)

4) Kurang kondusifnya pasar tenaga kerja. Menurunnya penciptaan lapangan kerja per satuan pertumbuhan ekonomi mengindikasikan keengganan perusahaan untuk memanfaatkan tenaga kerja. Secara singkat terdapat dua masalah ketenagakerjaan yang mempengaruhi minat investasi yaitu: (a) kecenderungan peningkatan upah minimum yang tinggi dan besarnya biaya-biaya non-UMP serta (b) ketidakpastian hubungan industrial antara perusahaan dan tenaga kerja. Kedua masalah ini mengakibatkan biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja tidak saja tinggi, tetapi juga sulit untuk diperkirakan.

5) Meskipun sejak tahun 2001 stabilitas keamanan secara nasional relatif membaik, kegiatan investasi di Indonesia masih sangat sensitif terhadap gangguan keamanan di daerah sehingga penanaman modal cenderung menghindar dari daerah-daerah yang rawan konflik seperti Aceh, Maluku, dan Papua. Meningkatnya gangguan keamanan, meskipun bersifat lokal, dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap iklim investasi nasional yang pada gilirannya akan mengakibatkan kekuatiran investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia atau menunda realisasi dari rencana investasinya

6) Kurangnya insentif investasi, termasuk insentif perpajakan dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain, insentif perpajakan di Indonesia relatif tertinggal. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan relatif sama dengan negara-negara lain,


(35)

sistem perpajakan di Indonesia tidak memberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu dan relatif tertinggal dalam memberikan kelonggaran pajak (tax allowances).

2.2.1. Tingkat bunga dan investasi

Peningkatan permintaan terhadap dana pinjaman akan mendongkrak tingkat bunga equilibrium. Tingkat bunga yang lebih tinggi akan mengurangi arus modal keluar neto.

Permintaan investasi juga bisa berubah karena pemerintah mendorong atau membatasi investasi melalui undang-undang pajak. Sebagai contoh, anggaplah pemerintah menaikkan pajak pendapatan perorangan dan menggunakan penerimaan tambahan tersebut untuk mengurangi pajak bagi orang-orang yang ingin mengivestasikan dananya ke dalam modal baru. Perubahan dalam undang-undang pajak seperti itu membuat banyak proyek investasi lebih menguntungkan dan, seperti inovasi teknologi, meningkatkan permintaan akan barang-barang investasi (Mankiw, 2003).


(36)

(A)

S

Tingkat bunga

riil, r

B

r2

A I2

r1

I1

Kenaikan investasi yang diinginkan

Menaikkan tingkat bunga

0 Investasi, Tabungan, I, S

(B)

Tingkat bunga S(r)

riil, r

r2 B

r1 A I2

I1

Kenaikan investasi yang diinginkan

Menaikkan tingkat bunga

0 Investasi, Tabungan, I, S

Sumber: Mankiew, 2003.

Gambar 2.1. Hubungan Tingkat Bunga dan Investasi

Pada Gambar 2.1 (A), kenaikan permintaan terhadap barang-barang investasi menggeser kurva investasi ke kanan. Pada tingkat bunga berapapun,


(37)

jumlah investasi lebih besar. Ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B. Karena jumlah tabungan adalah tetap, maka kenaikan permintaan investasi menaikkan tingkat bunga, sedangkan jumlah investasi ekuilibrium tidak berubah. Peningkatan dalam permintaan investasi hanya meningkatkan tingkat bunga ekuilibrium.

Namun kesimpulan berbeda akan diperoleh jika fungsi konsumsi sederhana dimodifikasi dan memungkinkan konsumsi (dan sisi dibaliknya, tabungan) bergantung pada tingkat bunga. Karena tingkat bunga merupakan hasil tabungan (seperti halnya biaya pinjaman), maka tingkat bunga yang semakin tinggi mengurangi konsumsi dan meningkatkan tabungan. Jika demikian, kurva tabungan akan miring ke atas, seperti Gambar 2.1 (B). Ketika tabungan bergantung pada tingkat bunga, pergeseran ke kanan dalam kurva investasi menaikkan tingkat bunga dan jumlah investasi. Tingkat bunga yang lebih tinggi mendorong orang-orang meningkatkan tabungan, yang pada gilirannya membuat investasi meningkat.

2.2.2. Investasi dan GDP

Investasi merupakan unsur GDP yang paling sering berubah. Ketika pengeluaran atas barang dan jasa turun selama resesi, sebaian besar dari penurunan itu berkaitan dengan anjloknya pengeluaran investasi. Para ekonomi mempelajari investasi untuk memahami fluktuasi dalam output barang dan jasa perekonomian dengan lebih baik. Model GDP seperti model IS-LM didasarkan


(38)

pada fungsi investasi sederhana yang mengaitkan investasi dengan tingkat bunga riil; I = I(r). Fungsi itu menyatakan bahwa kenaikan tingkat bunga riil menurunkan investasi.

Ada tiga jenis pengeluaran investasi, yaitu investasi tetap bisnis, investasi residensial dan investasi persediaan. Investasi tetap bisnis mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi. Investasi residensial, mencakup rumah baru yang orang beli untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk disewakan. Investasi persediaan mencakup barang-barang yang disimpan perusahaan di gudang, termasuk bahan-bahan persediaan, barang dalam proses, dan barang jadi.

Perusahaan-perusahaan swasta melakukan investasi dalam jenis-jenis modal tradisional, seperti pabrik baja, dan jenis-jenis modal seperti komputer. Pemerintah melakukan investasi dalam berbagai bentuk modal masyarakat, yang disebut infrastruktur, seperti jalan raya, jembatan dan sistem pembuangan air.

Para pembuat kebijakan yang berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi harus menghadapi isu tentang jenis-jenis modal apa yang paling dibutuhkan perekonomian. Dengan kata lain modal apakah yang menghasilkan produk marjinal tertinggi. Dalam hal ini, pasar dapat diandalkan untuk mengalokasikan tabungan ke jenis-jenis investasi alternatif. Industri-industri dengan produk marjinal modal tertinggi secara alami akan bersedia meminjam pada tingkat bunga pasar untuk mendanai investasi baru. Pemerintah disarakan untuk hanya


(39)

menciptakan tingkat yang menghasilkan untuk berbagai jenis modal, misalnya dengan meyakinkan bahwa sistem pajak memperlakukan seluruh jenis modal secara adil. Pemerintah kemudian bisa mengandalkan pasar untuk mengalokasikan modal secara efisien (Mankiw, 2003).

2.2.3. Incremental Capital Output Ratio (ICOR)

Perencanaan pembangunan pada dasarnya akan ditentukan oleh kemampuan penyediaan sumber pembiayaan atas dana untuk diinvestasikan guna mencapai laju pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan yang hendak dicapai. Untuk keperluan analisis ini, biasanya digunakan konsep Incremental Capital Output Ratio (ICOR). ICOR adalah Suatu angka perbandingan yang memberikan informasi tentang seberapa besar investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan output perekonomian

Perhitungan yang diperoleh berupa angka yang menunjukan perbandingan antara investasi yang diperlukan untuk dapat meningkatkan tambahan pendapatan atau output. Angka ini dihitung untuk perkiraan kebutuhan secara menyeluruh maupun sektoral. Dengan angka ICOR ini akan dapat dihitung perkiraan kebutuhan investasi secara total serta alokasi sektoral.

Incremental Capital Ouput Ratio (ICOR) atau rasio kenaikan ouput akibat kenaikan kapital adalah indikator ekonomi makro yang sering digunakan untuk menilai kinerja investasi di suatu negara. Kegunaan lainnya adalah untuk


(40)

menghitung besarnya investasi yang dibutuhkan agar perekonomian tumbuh dengan laju yang sudah ditetapkan. ICOR secara konsep dirumuskan:

ICOR =

Y K

Δ Δ

dimana

ICOR = Incremental Capital Ouput Ratio, adalah besarnya penambahan kapital yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan output satu unit

K = perubahan nilai kapital atau nilai investasi Y = perubahan nilai output

Sebagai ilustrasi, arti dari angka ICOR sebesar 3.0 adalah agar output perekonomian naik satu rupiah dibutuhkan tambahan kapital senilai 3.0 rupiah. Perhitungan angka ICOR biasanya bukan dari perubahan kapital dan output tahun per tahun, melainkan dihitung dalam selang waktu yang relatif panjang, misalnya 5 tahun. Sebab penambahan kapital pada tahun ini tidak otomatis diikuti oleh penambahan output pada tahun ini juga, melainkan baru akan muncul pada satu atau dua tahun yang akan datang. Selain itu masa yang dibutuhkan dari waktu penambahan kapital sampai dengan menghasilkan output akan berbeda-beda dari sektor yang satu dengan sektor lainnya. Sebagai contoh penambahan kapital (investasi) pada sektor bangunan akan mendatangkan output paling cepat pada 2– 3 tahun yang akan datang. Di sisi lain penambahan kapital (investasi) untuk


(41)

kegiatan perdagangan, dipastikan akan mendatangkan output dalam jangka waktu kurang dari satu tahun setelah investasi.

Angka ICOR bervariasi dari suatu negara ke negara lainnya, hal ini bergantung pada tingkat efisiensi ekonomi suatu negara. Semakin tinggi angka ICOR, semakin tidak efisien kegiatan produksi di negara tersebut, demikian sebaliknya. Indonesia pada beberapa waktu yang lalu pernah memiliki angka ICOR 4.5. Pada periode yang sama negara-negara maju di dunia umumnya memiliki angka ICOR tidak lebih dari 3.0. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi dari kegiatan produksi di Indonesia jauh di bawah negara-negara maju.

Dalam prakteknya penerapan formula ICOR seperti dicantumkan di atas mengalami kesulitan, terutama dalam menaksir tingkat output. Untuk itu kemudian nilai output diganti oleh nilai Produk Domestik Bruto, sehingga konsep praktis perhitungan ICOR diformulasikan menjadi:

ICOR =

PDB I

Δ

dimana

I = nilai investasi (= K )

PDB = perubahan nilai PDB (Produk Domestik Bruto)

Kemudian mengingat ICOR harus dihitung dalam selang waktu yang relatif lama, maka berikut adalah formulasi ICOR yang dihitung dari tahun m hingga n:


(42)

ICORm→n =

m n

n

m i

1 t

PDRB -PDRB

I

dimana

m = tahun mulai perhitungan ICOR n = tahun akhir perhitungan ICOR

PDRBm = Angka PDRB pada awal perhitungan ICOR

PDRBn = Angka PDRB pada tahun terakhir perhitungan ICOR

Berdasarkan formula di atas maka makna ICOR sedikit berubah menjadi berapa rupiah investasi yang dibutuhkan pada tahun t untuk menambah satu rupiah PDRB pada tahun t+1. Setelah diperoleh angka ICOR berdasarkan rumus di atas, kemudian dihitung kebutuhan investasi menggunakan rumus teknis sebagai berikut:

It = ICOR(PDRBt-1 – PDRBt)

Makna yang terkandung dalam formula tersebut adalah agar PDRB pada tahun t+1 bertambah menjadi sebesar PDRBt+1 dari nilai tahun t sebesar PDRBt maka

pada tahun t harus dilakukan investasi sebesar It. Formula lebih sederhana yang

diturunkan dari persamaan di atas adalah: It = ICOR*(LPEt-1/100)*PDRBt

dimana


(43)

PDRBt = nilai PDRB tahun t

ICOR = angka ICOR

LPE(t+1) = angka Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) yang ditargetkan pada tahun

t+1

2.3. Investasi dan Penentuan Tingkat Upah

Faktor produksi sering diklasifikasikan menjadi empat, yaitu tanah, tenaga kerja, modal dan kewirausahaan. Pengklasifikasian terhadap keempat faktor produksi tersebut didasarkan atas perbedaan elstisitas penawaran parsial, karakeristik yang terkandung pada setiap faktor produksi, dan imbalan yang diterima masing-masing pemilik faktor produki. Secara historis, pembedaan ini bersesuaian dengan berkembangnya bargaining position antara tiga kelompok masyarakat, kapitalis, tuan-tuan tanah dan buruh (tenaga kerja). Kekuatan pasarlah yang kemudian menentukan berapa besar imbalan yang akan diterima masing-masing. Tenaga kerja akan mendapatkan upah, tuan tanah mendapatkan sewa tanah, pemilik modal mendapatkan tingkat bunga (Makmun dan Yasin, 2003).

Pandangan ekonomi kapitalis terhadap tenaga kerja tidak terlepas dari konsep faktor produksi atau input. Perkembangan iklim usaha menuntut adanya penyesuaian perlakuan terhadap tenaga kerja. Pada awalnya ada kecenderungan tenaga kerja dianggap sebagai suatu faktor produski lainnya yang memberikan


(44)

kontribusi relatif tetap terhadap produksi. Pandangan ini yang menghasilkan sistem pengupahan tetap terhadap tenaga kerja sebagaimana input tanah mendapatkan sewa tetap dan modal mendapatkan bunga.

Adanya ketidakstabilan sifat dan karakter tenaga kerja, mendorong perusahaan untuk memberikan perlakuan lain terhadap tenaga kerja. Jika tanah dan modal dapat diperjualbelikan di pasar sedangkan tenaga kerja tidak demikian. Namun demikian, hal ini tidak cukup menjadikan alasan bagi aliran ekonomi utama (mainstream economy) untuk melakukan pembedaan analisis terhadap faktor produksi lain.

Jika kemudian tenaga kerja dibedakan dengan entrepreneur (wirausaha) adalah lebih didasarkan atas perbedaan karakter intrinsik yang ada pada kedua faktor produksi tersebut. Entrepreneur dipandang sebagai tenaga kerja yang berani mengambil resiko, sehingga ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan resiko yang diambil dan nilainya belum tentu tetap.

Tenaga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu untuk meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan modal, dsb) sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai suatu investasi dan banyak perusahaan yang memberikan pendidikan kepada karyawannya sebagai wujud kapitalisasi tenaga kerja.


(45)

2.4. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

Pandangan mainstream economy terhadap permintaan tenaga kerja adalah sebagaimana permintaan terhadap faktor produksinya, dianggap sebagai permintaan turunan (derived demand), yaitu penurunan dari fungsi perusahaan. Meskipun fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan kepada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar analisis dalam menentukan penggunaan tenaga kerja (Makmun dan Yasin, 2003).

Dengan pertimbangan tersebut (maksimisasi keuntungan), dan dengan asumsi perusahaan beroperasi dalam sistem pasar persaingan, maka perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja (Value Marginal Product of Labor, VMPL). VMPL menunjukkan tingkat upah maskimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum.

Analisis tradisonal terhadap penawaran tenaga kerja sering didasarkan atas mengalokasikan waktunya, yaitu antara waktu kerja dan waktu nonkerja (leisure). Leisure dalam hal ini meliputi segala kegiatan yang tidak mendatangakan pendapatan secara langsung, seperti istirahat, merawat anak-anak, bersekolah, dan sebagainya. Pilihan tenaga kerja dalam mengalokasikan waktu dari dua jenis kegiatan ini yang akan menempatkan berapa tingkat imbalan (upah) yang


(46)

diharapkan oleh tenaga kerja. Preferensi subyektif seseorang yang akan menentukan berapa besar jam kerja optimal yang ditawarkan dan tingkat upah yang diharapkan (Tambunan, 2001a).

Ekonom memandang bahwa waktu senggang merupakan kebutuhan pokok manusia, sementara upah juga merupakan barang normal (semakin banyak semakin disukai). Tenaga kerja dianggap tidak suka pada jam bekerja namun suka pada pendapatan dan leisure. Oleh karena itu penawaran tenaga kerja berhubungan positif dengan tingkat upah, namun karena leisure juga diinginkan oleh tenaga kerja, maka penawaran tenaga kerja bersifat backward bending (bengkok ke belakang). Pada tingkat upahnya meningkat karena ingin mempertahankan jam leisure-nya (untuk mengurusi keluarga dan sebagainya).

2.5. Kesempatan Kerja

2.5.1. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi

Tolok ukur kemajuan ekonomi, meliputi pendapatan nasional, tingkat kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi pembayaran luar negri (Makmun, 2004). Secara nasional data menunjukkan bahwa lumpuhnya ekonomi wilayah industri di perkotaan menyebabkan menurunnya laju pertumbuhan ekonomi wilayah pedesaan dan meningkatnya pengangguran sebagai akibat meningkatnya migran pulang ke desa. Menurunnya laju perekonomian di desa dan bertambahnya jumlah tenaga kerja di desa serta meningkatnya harga konsumsi dan biaya


(47)

produksi di bidang pertanian jelas akan mengurangi kapasitas produksi pertanian yang dihasilkan.

Pemberian kemudahan modal pemerintah untuk pengembangan sektor UKM akan mampu mengatasi levelling off (penurunan tingkat kemampuan) dan meningkatkan keuntungan. Pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan juga akan mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesempatan kerja penduduk sehingga akan meningkatkan agregat supply. Menurut Makmun dan Yasin (2003), pergeseran agregat supply, secara teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan pasar tenaga kerja, yang secara matematis ditulis:

Y = f ( N, T, SDM, INF) Dimana :

Y = produksi N = tenaga kerja T = teknologi

SDM = sumber daya manusia INF = infrastruktur

2.5.2. Kesempatan Kerja dan Upah

Dalam perekonomian pasar-bebas tradisional, ciri-ciri utamanya antara lain adalah penonjolan kedaulatan konsumen, utilitas atau kepuasan individual, dan


(48)

prinsip maksimalisasi keuntungan, persaingan sempurna dan efisiensi ekonomi dengan produsen dan konsumen yang atomistik, yaitu tidak ada satu pun produsen atau konsumen yang mempunyai pengaruh atau kekuatan cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun output produksi, tingkat penyerapan tenaga kerja dan harganya (yakni tingkat upah), ditentukan secara bersamaan atau sekaligus oleh segenap harga output dan faktor-faktor produksi (di luar tenaga kerja), dalam suatu perekonomian yang beroperasi melalui perimbangan kekuatan permintaan dan penawaran (Todaro, 2000). Produsen meminta lebih banyak tenaga kerja sepanjang nilai produk marjinal yang akan dihasilkan oleh pertambahan satu unit tenaga kerja melebihi biayanya (tingkat upah). Dengan asumsi bahwa hukum produk marjinal yang semakin menurun berlaku dan harga produk ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar, maka nilai produk marjinal tenaga kerja tersebut akan memiliki kemiringan yang negatif atau mengarah dari bawah ke atas (Gambar 2.1). Hal ini berarti tenaga kerja yang direkrut selanjutnya oleh pihak pengusaha atau produsen akan mendapat tingkat upah yang lebih rendah daripada tenaga kerja sebelumnya.

Pada sisi penawaran, setiap individu diasumsikan selalu berpegang pada prinsip maksimalisasi kepuasan. Kenaikan tingkat upah akan setara dengan kenaikan harga bersantai (biaya oportunitas). Seandainya tingkat upah mengalami kenaikan, maka penawaran tenaga kerja, yakni para pekerja itu sendiri akan meningkat. Motivasi kerja mereka bertambah karena adanya iming-iming upah


(49)

yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Korelasi tersebut ditunjukkan oleh kemiringan positif (mengarah dari bawah ke atas) atas kurva penawaran tenaga kerja yang juga termuat dalam Gambar 2.2.

DL SL

DL

SL

F G

W2 We

W1

Le

T

ing

k

at

u

pah

Penyerapan tenaga kerja Sumber: Todaro, 2000

Gambar 2.2. Hubungan Tingkat Upah dengan Penyerapan Tenaga Kerja

Gambar 2.2. memperlihatkan bahwa hanya satu titik yang melambangkan tingkat upah ekuilibrium, yaitu We, jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan

oleh individu (pasar tenaga kerja) sama besarnya dengan yang diminta oleh pengusaha. Pada tingkat upah yang lebih tinggi, seperti pada W2, penawaran

tenaga kerja melebihi permintaan sehingga persaingan di antara individu dalam memperebutkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat pada titik ekuilibriumnya. Sebaliknya, pada upah yang lebih rendah (W1),


(50)

jumlah total tenaga kerja yang akan diminta oleh para produsen dengan sendirinya akan melebih kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadilah persaingan di antara para pengusaha atau produsen dalam memperebutkan tenaga kerja, sehingga hal tersebut akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat pada titik ekuilibrium. Pada titik We jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu mendatar atau horisontal adalah sebesar Le. Secara definitif, pada titik Le

inilah tercipta kesempatan atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employement). Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, sehingga sama sekali tidak terdapat pengangguran.

2.6. Pengertian Produksi dan Fungsi Produksi

Ditinjau dari segi ekonomi pengertian produksi merupakan suatu proses pendayagunaan sumbers-umber yang telah tersedia sehingga memperoleh suatu hasil yang baik kualitas dan kuantitasnya, terkelola dengan baik sehingga merupakan suatu komoditi yang dapat diperdagangkan.

Menurur Joesron dan Suharti (2003), produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Hubungan teknis antara input produksi dengan ouput dapat dijelaskan dengan


(51)

suatu fungsi produksi. Dengan demikian, fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu.

Secara klasik, biaya produksi hanya dihitung berdasarkan pengeluaran tenaga kerja saja, karena teori klasik belum percaya pada mesinisasi. Dengan demikian, input produksi bukan hanya human resources, melainkan bisa capital resoruces (modal), natural resources (tanah), dan managerial skill.

Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain. Jika salah satu faktor tidak tersedia, maka proses produksi tidak akan berjalan, terutama tiga faktor utama, yaitu tanah, modal dan tenaga kerja. Bila hanya tersedia tanah, modal dan manajemen saja, tentu proses produksi atau usahatani tidak akan berjalan karena tidak ada tenaga kerja. Tanpa tenaga kerja, tidak ada yang dapat dilakukan, begitu juga dengan faktor lainnya, seperti modal. Hubungan antara jumlah output (Q) dengan jumlah input dalam proses produksi (X1, X2, X3, .... Xn), secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Q = f(X1, X2, X3, .... Xn)

Dimana : Q = output X = input

Input produksi sangat banyak, dan dalam hal ini input produksi hanyalah input yang tidak mengalami proses nilai tambah. Dengan demikian dalam fungsi


(52)

produksi di atas tidak bisa dimasukkan material sebab dalam fungsi produksi ada substitusi antara faktor produksi.

Kajian makroekonomi dan pengembangan secara khusus menggunakan dua faktor produksi, yaitu modal dan tenaga kerja, yang secara implisit mempersamakan lahan atau tanah dengan modal. Tanah dan modal berbeda secara intrinsik karena modal dapat terakumulasi, sementara tanah tidak.

Fungsi produksi Cobb-Douglass dapat juga dipakai untuk menganalisis produktivitas tenaga kerja. Fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditunjukkan pada persamaan berikut:

Q = f(K,L) atau Q = AKαLβ Dimana :

Q = Output A = Konstanta K = Kapital

L = Labour (tenaga kerja)

α = Koefisien kapital

β = Koefisien tenaga kerja

Menurut Soekartawi (1994), ada tiga alasan pokok mengapa fungsi produksi Cobb-Douglass banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu:


(53)

1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglass relatif lebih mudah dibandingkan dengan fungsi lain, misalnya lebih mudah ditransfer dalam bentuk linier. 2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi produksi Cobb-Douglass akan

menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas.

3. Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale.

Hal senada dikemukakan oleh Wirasasmita (1998), bahwa dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat diketahui beberapa hal yang sangat penting, antara lain:

1. Marginal Physical Product dari masing-masing input produksi, yaitu

perubahan pada output sebagai akibat perubahan-perubahan pada input. Pemahaman tentang marginal physical product penting untuk mengetahui produktivitas masing-masing input produksi.

2. Elastisitas output dari masing-masing faktor produksi, yaitu perubahan persentase dari output sebagai akibat perubahan persentase dari faktor produksi (input). Parameter ini sangat penting, terutama dalam usaha mengadakan perbaikan dari proses produksi atau efisiensi dan juga untuk meramalkan misalnya dampak-dampak dari perubahan-perubahan faktor-faktor (input) produksi.


(54)

3. Bagian dari faktor produksi (input), yaitu tenaga kerja dan modal dapat diketahui. Hal ini sangat penting karena setiap proses produksi mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap bagian-bagian tersebut. Dengan pengetahuan mengenai bagian-bagian dari unput, kita juga dapat mengetahui sejauh mana suatu proses perubahan bersifat padat karya atau padat modal.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Harjanti (2005) dalam penelitiannya mencoba mengestimasi penyerapan tenaga kerja di Kota Salatiga selama periode penelitian (1989-2003). Ternyata bahwa rasio pengeluaran pemerintah per PDRB tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, sedangkan rasio investasi per PDRB dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan. Semakin tinggi rasio investasi per PDRB maka penyerapan tenaga kerja juga semakin meningkat, demikian juga semakin tinggi pertumbuhan ekonomi maka penyerapan tenaga kerja semakin meningkat. Peningkatan pertumbuhan ekonomi disebabkan peningkatan investasi yang menyebabkan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Dengan meningkatnya permintaan tenaga kerja, maka pengangguran akan semakin berkurang.

Selain penelitian Harjanti di atas, Brata juga telah melakukan penelitian tahun 2005 mengenai investasi sektor publik, pembangunan manusia dan


(55)

kemiskinan, mendapati bahwa dari hasil estimasi dengan menggabungkan data tahun 1996, 1999, dan 2002 diperoleh bukti bahwa investasi sektor publik untuk bidang sosial membawa manfaat bagi pembangunan manusia dan kesejahteraan penduduk. Investasi bidang sosial tersebut menghasilkan manfaat dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan menurunkan tingkat kemiskinan. Pembangunan manusia yang berhasil juga ditemukan membawa manfaat pada berkurangnya tingkat kemiskinan. Variabel lain yang diintroduksikan, yakni investasi swasta dan distribusi pendapatan secara umum berpengaruh kuat terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan. Investasi swasta berperan mengurangi kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja yang memungkinkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Sedangkan ketimpangan distribusi pendapatan merugikan upaya pengurangan kemiskinan karena yang terjadi justru peningkatan kemiskinan.

Makmun (2004) melakukan pengkajian terhadap pengaruh ketersediaan tenaga kerja dan pembentukan nilai tambah terhadap investasi di sektor industri di Kota Batam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari nilai investasi yang ditanamkan pihak swasta, sektor industri menjadi primadona yang menyerap investasi tidak kurang dari 50 persen. Menyusul kemudian investasi di sektor perdagangan dan jasa, perumahan, pariwisata, dan pertanian. Bahan baku yang digunakan untuk keperluan industri diimpor (85,33 persen dari impor Batam) dari negara Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Malaysia, dan Hongkong. Hasil


(56)

analisis juga menunjukkan bahwa pengaruh pembentukan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja terhadap investasi pada sektor industri dalam periode 1991-2002 cukup signifikan. Signifikannya pengaruh penyerapan tenaga kerja terhadap investasi sektor industri menunjukkan ketersediaan tenaga kerja menjadi salah satu pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya di Kota Batam. Begitu pula dengan pembentukan nilai tambah bagi investasi yang sudah ada di Kota Batam juga menjadi pertimbangan

Selanjutnya Makmun dan Yasin (2003), melakukan studi pengaruh investasi dan tenaga kerja terhadap PDB sektor pertanian. Hasil analisis menunjukkan bahwa investasi secara umum berdampak positif terhadap pertumbuhan PDB dalam periode 1980-2002, namun apabila dibreakdown pengaruh investasi yang bersumber dari PMA tidak signifikan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi pada pertengahan 1997 ternyata berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan sektor pertanian. Koefisien tenaga kerja tidak berdampak signifikan bahkan negatif terhadap PDB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja sangat rendah, sehingga penambahan jumlah tenaga kerja tidak berdampak pada peningkatan produksi. Hal ini sejalan pula dengan tingkat efisiensi (return on scale) menurun. Ini berarti pula bahwa penambahan output di sektor pertanian hanya dilakukan dengan cara memasukkan faktor teknologi dan mengurangi pekerja.


(57)

2.8. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan dari beberapa hasil kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Investasi PMDN berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara, ceteris paribus.

2. Investasi PMA berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara, ceteris paribus.

3. Jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara, ceteris paribus.

4. Kondisi perekonomian Indonesia sesudah krisis ekonomi berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara, ceteris paribus.

2.9. Kerangka Konseptual

Investasi PMDN

Jumlah Tenaga Kerja Investasi PMA

Kondisi Perekonomian

PDRB Sumatera Utara

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap PDRB Sumatera Utara.


(58)

(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah investasi dan tenaga kerja serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara selama kurun waktu 1984 – 2005. Investasi yang diteliti adalah dalam bentuk penanaman modal, baik dalam negeri (PMDN) maupun asing (PMA).

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Perindustrian, BPS, dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian.

Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan analisis adalah jumlah tenaga kerja, jumlah investasi PMDN, jumlah investasi PMA di Sumatera Utara dan PDRB Sumatera Utara.

3.3. Model Analisis

Pengaruh investasi dan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekoomi Sumatera Utara dispesifikasi dalam model yang akan dijadikan sebagai model penelitian merupakan fungsi matematis, sebagai berikut :


(60)

PDRB = f (PMDN, PMA, TK, Dm) ... (1)

Dari fungsi tersebut diatas kemudian dispesifikasikan ke dalam model logaritma dengan spesifikasi modelnya sebagai berikut:

LPDRB = b0 + b1 LPMDN(t-1) + b2 LPMA(t-1) + b3 LTK + b4 Dm + μ ....(2) Dimana:

PDRB = PDRB Sumatera Utara (milyar Rp.)

PMDN(t-1) = investasi PMDN tahun sebelumnya (milyar Rp.)

PMA(t-1) = investasi PMA tahun sebelumnya (milyar Rp.)

TK = jumlah tenaga kerja yang bekerja (orang)

Dm = dummy variabel kondisi perekonomian Indonesia, D=0 sebelum tahun 1997; D=1 mulai tahun 1997

b0 = intercept (konstanta)

b1...b4 = koefisien regresi μ = kesalahan pengganggu

3.4. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Untuk memudahkan dalam pengolahan data maka sebagai alat analisis yang digunakan dalam mengolah data tersebut adalah Program Eviews versi 4.1


(61)

3.5. Uji Kesesuaian

a. R2 (coefficient determinant), untuk melihat kekuatan variabel bebas (independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable). b. Partial test (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik

koefisien regresi secara parsial. Jika thit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima.

c. Overall test (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1

diterima.

3.6. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang digunakan pada penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan perihal batasan operasional sebagai berikut:

a. Pertumbuhan ekonomi adalah PDRB Sumatera Utara per tahun (atas dasar harga konstan tahun 1993), diukur dalam milyar rupiah.

b. Investasi PMDN adalah besarnya penanaman modal oleh sektor swasta dalam negeri di Sumatera Utara, diukur dalam milyar rupiah.

c. Investasi PMA adalah besarnya penanaman modal oleh sektor swasta asing di Sumatera Utara, diukur dalam milyar rupiah.

d. Tenaga kerja adalah banyaknya jumlah tenaga kerja yang bekerja di Sumatera Utara, diukur dalam satuan orang.


(62)

e. Kondisi perekonomian adalah keadaan perekonomian Indonesia sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997.

3.7. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Penelitian ini juga mungkin tidak terlepas dengan modal regresi bias yang terjadi secara statistik yang dapat mengganggu model yang telah ditentukan. Dalam penghitungan regresi mungkin akan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik (Gujarati 2004). Dalam penelitian asumsi klasik yang diuji terdiri dari:

a. Multikolinieritas

Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :

1) Variasi besar (dari taksiran OLS)

2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).


(63)

3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.

4) R2 tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.

5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

b. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbance atau gangguan ui. Dengan menggunakan lambang E (ui, uj) = 0; i≠j, secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbance atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun.

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan melalui uji Lagrange Multiplier Test (LM Test), yaitu dengan membandingkan nilai X² hitung dengan X² tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :


(64)

1. Jika nilai X²hitung > X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, ditolak.

2. Jika nilai X²hitung < X²tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan, tidak dapat ditolak.

c. Heterokedastisitas

Salah satu asumsi dalam model regresi linear berganda adalah varian setiap disturbance term (ui) yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai

variabel-variabel bebas adalah berbentuk suatu nilai konstan yang sama dengan σ2. Jadi heteroskedastisitas muncul apabila kesalahan (residual) dari model yang diamati tidak memiliki varian yang konstan dari suatu observasi ke observasi lainnya.

Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ARCH Test, yaitu dengan membandingkan nilai Obs-R² atau X² hitung terhadap X² tabel, dengan kriteria penilaian sebagai berikut :

1. Jika nilai Obs-R² atau X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan

bahwa ada masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang digunakan, tidak dapat ditolak.

2. Jika nilai Obs-R² atau X2hitung < X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan

bahwa ada masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang digunakan, ditolak.


(65)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PDRB Sumatera Utara

Product Domestic Regional Bruto (PDRB) suatu daerah juga menggambarkan pertumbuhan ekonomi pada daerah tersebut. Dengan melihat angka PDRB pada suatu daerah memberikan gambaran pelaksanaan pembangunan yang telah dicapai. Pengukuran laju pertumbuhan PDRB total atau pun per sektor, akan lebih baik jika menggunakan perhitungan dengan berdasarkan harga konstan. Karena dengan menggunakan harga konstan pengaruh naik atau turunnya tingkat harga setiap tahun atau tingkat inflasi dapat dihilangkan sehingga perhitungannya menjadi lebih riil.

Tabel 4.1. PDRB Sumatera Utara Berdasarkan Sektor Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan 1993 (Milyar Rp.)

Tahun No. Sektor

2002 2003 2004 2005 1. Pertanian 7.924,48 8.171,31 8.479,33 8.952,77 2. Tambang dan Penggalian 332,98 347,57 323,60 342,15 3. Industri 5.665,96 5.872,16 6.154,76 6.518,19 4. Listrik, Gas, Air Minum 447,09 474,19 500,79 529,24 5. Bangunan 1.112,46 1.209,64 1.337,05 1.426,08 6. Perdagangan, Hotel, Restoran 4.465,33 4.611,81 4.842,92 5.121,14 7. Pengangkutan & Komunikasi 2.299,19 2.456,56 2.704,94 2.832,54 8. Keuangan & Persewaan 1.737,12 1.847,85 2.029,04 2.137,52 9. Jasa-jasa 1.940,75 2.095,81 2.226,18 2.352,42 PDRB SU 25.925,36 27.086,90 28.598,61 30.212,05 Sumber : BPS Sumatera Utara


(66)

Berdasarkan data PDRB pada Tabel 4.1 diketahui besar sumbangan dari masing-masing sektor terhadap PDRB. Terdapat tiga sektor penyumpang tersebesar terhadap PDRB Sumatera Utara, yaitu sektor pertanian, sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sampai dengan tahun 2005 sektor pertanian memberikan kontribusi yang tertinggi terhadap PDRB Sumatera Utara dibandingkan dengan sektor lain, kemudian disusul sektor industri. Namun terlihat kencenderungan penurunan kontribusi sektor pertanian setiap tahun terhadap PDRB Sumatera Utara, yaitu dari 30,57 persen pada tahun 2002 menjadi 29,63 persen pada tahun 2005. Sedangkan sektor industri menunjukkan peningkatkan dari tahun 2004 ke posisi tahun 2005, yaitu dari 21,52 persen menjadi 21,57 persen (Tabel 4.2.).

Tabel 4.2. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Sumatera Utara (%)

No. Sektor 2002 2003 2004 2005

1. Pertanian 30,57 30,17 29,65 29,63

2. Tambang dan Penggalian 1,28 1,28 1,13 1,13

3. Industri 21,85 21,68 21,52 21,57

4. Listrik, Gas, Air Minum 1,72 1,75 1,75 1,75

5. Bangunan 4,29 4,47 4,68 4,72

6. Perdagangan, Hotel, Resotaran 17,22 17,03 16,93 16,95 7. Pengangkutan & Komunikasi 8,87 9,07 9,46 9,38 8. Keuangan & Persewaan 6,70 6,82 7,09 7,08

9. Jasa-jasa 7,49 7,74 7,78 7,79

PDRB SU 100,00 100,00 100,00 100,00


(67)

Sumbangan sektor yang menunjukkan peningkatan setiap tahun adalah sektor bangunan, yaitu dari 4,29 persen tahun 2002 menjadi 4,72 persen tahun 2005; kemudian pengangkutan dan komunikasi dari 8,87 persen tahun 2002 menjadi 9,38 persen tahun 2005, sektor jasa-jasa yaitu dari 7,49 persen pada tahun 2002 menjadi 7,79 persen pada tahun 2005.

4.2. Pertumbuhan Investasi di Sumatera Utara

Investasi pada umumnya dibedakan berdasarkan sumber modalnya, yaitu PMDN (penanaman modal dalam negeri) dan PMA (penanaman modal asing). Investasi ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah, karena selain menyerap tenaga kerja juga memberikan pendapatan kepada daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui multiplier effect. Perkembangan investasi di Sumatera Utara selama periode 1985 s/d 2004 disajikan pada Tabel 4.3.

Perkembangan investasi di Sumatera Utara, baik PMDN maupun PMA sangat fluktuatif. Namun secara rata-rata selama periode penelitian, investasi PMDN dan PMA di Sumatera Utara menunjukkan peningkatan, 118,79 % untuk PMDN dan 511,07 % untuk PMA. Setelah terjadinya krisis ekonomi, pertumbuhan investasi PMDN di Sumatera Utara jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi PMA. Kondisi ini terutama disebabkan kondisi keamanan dan politik yang belum stabil di dalam negeri sehingga arus investasi ke Indonesia


(68)

secara umum dan Sumatera Utara secara khusus belum pulih. Selain itu juga disebabkan berbagai kebijakan pemerintah di bidang investasi yang masih kurang kondusif untuk mendukung peningkatan investasi PMA.

Tabel 4.3. Perkembangan Investasi di Sumatera Utara, 1985 – 2005 Tahun PMDN

(Milyar Rp) Perkembangan (%) PMA (Milyar Rp.) Perkembangan (%)

1984 10,911 - 1,459 -

1985 111,007 917,42 5,406 270,55

1986 825,318 643,48 14,380 166,03

1987 176,563 -78,61 10,631 -26,07

1988 476,247 169,73 113,783 970,30

1989 125,806 -73,58 12,963 -88,61

1990 327,872 160,62 1.118,955 8.532,06

1991 395,443 20,61 98,180 -91,23

1992 199,516 -49,55 266,596 171,54

1993 527,834 164,56 117,517 -55,92

1994 358,993 -31,99 73,650 -37,33

1995 357,520 -0,41 238,380 223,67

1996 234,859 -34,31 138,744 -41,80

1997 1.469,005 525,48 222,592 60,43

1998 80,064 -94,55 672,583 202,16

1999 110,627 38,17 454,062 -32,49

2000 118,278 6,92 823,980 81,47

2001 501,745 324,21 434,536 -47,26

2002 836,695 66,76 92,820 -78,64

2003 471,556 -43,64 757,196 715,77

2004 273,969 -41,90 285,807 -62,25

2005 14,300 -94,78 0,574 -99,80

Rata-rata - 118,79 - 511.07


(69)

Bila dibandingkan secara nasional (sebagaimana dilihat dalam Lampiran 1), Sumtera Utara merupakan salah satu tujuan investasi yang utama. Untuk PMDN, Sumatera Utara menempati peringkat ketiga setelah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dengan nilai investasi hingga Oktober 2006 sebesar Rp. 10.076,5 milyar untuk membiaya 10 proyek. Sedangkan untuk PMA, Sumatera Utara berada pada urutan ke empat setelah DKI Jakarta, Riau dan Kalimantan Selatan, dengan nilai investasi hingga Oktober 2006 sebesar US$ 1.466,8 juta untuk membiaya 27 proyek.

4.3. Ketenagakerjaan

Salah satu tujuan yang penting dalam pembangunan ekonomi adalah penyediaan lapangan kerja yang cukup untuk mengejar pertambahan angkatan kerja, lebih-lebih bagi negara berkembang, terutama Indonesia, dimana pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut lebih menonjol atau penting bagi negara berkembang. Pertama, pertumbuhan penduduk di negara berkembang cenderung tinggi, sehingga cenderung melebihi pertumbuhan kapital. Kedua, demografi profil lebih muda, sehingga lebih banyak penduduk yang masuk ke lapangan kerja. Ketiga, struktur industri di negara berkembang, yang cenderung mempunyai tingkat diversifikasi kegiatan ekonomi rendah, serta tingkat keterampilan penduduk yang belum memadai, membuat usaha penciptaan lapangan kerja


(70)

menjadi semakin kompleks. Dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 8 persen) maka penciptaan lapangan kerja baru akan mampu memenuhi tambahan angkatan kerja.

Tenaga kerja dipandang sebagai suatu faktor produksi yang mampu untuk meningkatkan daya guna faktor produksi lainnya (mengolah tanah, memanfaatkan modal, dsb) sehingga perusahaan memandang tenaga kerja sebagai suatu investasi dan banyak perusahaan yang memberikan pendidikan kepada karyawannya sebagai wujud kapitalisasi tenaga kerja.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keadaan ketenagakerjaan, yaitu faktor permintaan dan penawaran. Faktor permintaan dipengaruhi oleh dinamika pembangunan ekonomi, sedangkan faktor penawaran ditentukan oleh perubahan struktur umur penduduk. Pembangunan ekonomi yang semakin meningkat juga akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja di suatu daerah. Pertumbuhan industri di perkotaan menjadi salah satu daya tarik tenaga kerja dari berbagai daerah, termasuk pedesaan untuk menjadi pekerja di sektor industri.

Struktur umur penduduk berkorelasi linier dengan pertambahan jumlah penduduk. Dengan demikian semakin bertambah jumlah penduduk, maka jumlah tenaga kerja juga akan semakin bertambah. Perkembangan jumlah tenaga kerja di Sumatera Utara disajikan pada tabel berikut.


(1)

Model: LTK = a0 + a1 LPMA

(t-1)

+ a2 LPMDN

(t-1)

+ a3 Dm +

μ

Dependent Variable: LTK Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:54 Sample(adjusted): 1985 2005

Included observations: 21 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LLAGPMA 0.033275 0.010975 3.031883 0.0075

LLAGPMDN 0.014501 0.015784 0.918663 0.3711

DM 0.053235 0.015751 3.379857 0.0036

C 6.076259 0.171986 35.33004 0.0000

R-squared 0.767936 Mean dependent var 6.631879 Adjusted R-squared 0.726983 S.D. dependent var 0.056246 S.E. of regression 0.029389 Akaike info criterion -4.046742 Sum squared resid 0.014683 Schwarz criterion -3.847786 Log likelihood 46.49079 F-statistic 18.75188 Durbin-Watson stat 1.286416 Prob(F-statistic) 0.000012

Model: DM = a0 + a1 LTK + a2 LPMA

(t-1)

+ a3 LPMDN

(t-1)

+

μ

Dependent Variable: DM Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:55 Sample(adjusted): 1985 2005

Included observations: 21 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LTK 7.549559 2.233692 3.379857 0.0036

LLAGPMA -0.018987 0.162162 -0.117084 0.9082 LLAGPMDN -0.177606 0.187701 -0.946216 0.3573

C -47.40350 13.41678 -3.533149 0.0026

R-squared 0.595107 Mean dependent var 0.428571 Adjusted R-squared 0.523655 S.D. dependent var 0.507093 S.E. of regression 0.349984 Akaike info criterion 0.907783 Sum squared resid 2.082306 Schwarz criterion 1.106740 Log likelihood -5.531721 F-statistic 8.328806 Durbin-Watson stat 0.577643 Prob(F-statistic) 0.001259


(2)

5

.2. Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.277260 Probability 0.761923 Obs*R-squared 0.800090 Probability 0.670290 Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 06/15/07 Time: 17:17

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LLAGPMDN -0.007865 0.019518 -0.402939 0.6931

LLAGPMA 0.006904 0.017226 0.400771 0.6946

LTK 0.055872 0.288243 0.193838 0.8491

DM -0.012739 0.027501 -0.463212 0.6503

C -0.351494 1.743633 -0.201587 0.8431

RESID(-1) -0.287499 0.397218 -0.723782 0.4811 RESID(-2) -0.146168 0.376621 -0.388103 0.7038 R-squared 0.038100 Mean dependent var -4.36E-15 Adjusted R-squared -0.374144 S.D. dependent var 0.024391 S.E. of regression 0.028592 Akaike info criterion -4.010159 Sum squared resid 0.011445 Schwarz criterion -3.661985 Log likelihood 49.10667 F-statistic 0.092420 Durbin-Watson stat 2.027005 Prob(F-statistic) 0.996093

5.3. Heteroskedastisitas

ARCH Test:

F-statistic 1.411175 Probability 0.250300 Obs*R-squared 1.453982 Probability 0.227890 Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 06/23/07 Time: 15:57 Sample(adjusted): 1986 2005

Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.000740 0.000204 3.622336 0.0019

RESID^2(-1) -0.268859 0.226326 -1.187929 0.2503 R-squared 0.072699 Mean dependent var 0.000584 Adjusted R-squared 0.021182 S.D. dependent var 0.000708 S.E. of regression 0.000700 Akaike info criterion -11.59507 Sum squared resid 8.83E-06 Schwarz criterion -11.49550 Log likelihood 117.9507 F-statistic 1.411175 Durbin-Watson stat 2.051256 Prob(F-statistic) 0.250300


(3)

(4)

Lampiran 6. Analisis OLS (Multi Lagged)

Model : LPDRB = b0 + b1 LPMDN(t-2) + b2 LPMA(t-2) + b3 LTK + b3 Dm + μ Dependent Variable: LPDRB

Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:50 Sample(adjusted): 1986 2005

Included observations: 20 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LLAGPMDN2 0.026154 0.017078 1.531397 0.1465

LLAGPMA2 0.013967 0.016337 0.854911 0.4060

LTK 2.933077 0.313123 9.367174 0.0000

DM -0.002558 0.022215 -0.115132 0.9099

C -6.645387 1.927427 -3.447802 0.0036

R-squared 0.972381 Mean dependent var 13.27321 Adjusted R-squared 0.965016 S.D. dependent var 0.167983 S.E. of regression 0.031420 Akaike info criterion -3.870452 Sum squared resid 0.014808 Schwarz criterion -3.621519 Log likelihood 43.70452 F-statistic 132.0254 Durbin-Watson stat 1.916878 Prob(F-statistic) 0.000000

Model : LPDRB = b0 + b1 LPMDN(t-3) + b2 LPMA(t-3) + b3 LTK + b3 Dm + μ Dependent Variable: LPDRB

Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:50 Sample(adjusted): 1987 2005

Included observations: 19 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LLAGPMDN3 0.010737 0.015967 0.672418 0.5123

LLAGPMA3 0.022049 0.014041 1.570338 0.1387

LTK 2.651035 0.312070 8.494994 0.0000

DM 0.006793 0.021276 0.319293 0.7542

C -4.684159 1.935850 -2.419692 0.0297

R-squared 0.969643 Mean dependent var 13.29282 Adjusted R-squared 0.960969 S.D. dependent var 0.147186 S.E. of regression 0.029079 Akaike info criterion -4.016697 Sum squared resid 0.011838 Schwarz criterion -3.768161 Log likelihood 43.15862 F-statistic 111.7928 Durbin-Watson stat 1.671849 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Model : LPDRB = b0 + b1 LPMDN(t-4) + b2 LPMA(t-4) + b3 LTK + b3 Dm + μ Dependent Variable: LPDRB

Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:51 Sample(adjusted): 1988 2005

Included observations: 18 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LLAGPMDN4 0.009582 0.016411 0.583854 0.5693

LLAGPMA4 0.027771 0.017207 1.613878 0.1306

LTK 2.345210 0.416014 5.637329 0.0001

DM 0.014793 0.022219 0.665791 0.5172

C -2.701479 2.599821 -1.039102 0.3177

R-squared 0.962259 Mean dependent var 13.30966 Adjusted R-squared 0.950647 S.D. dependent var 0.131283 S.E. of regression 0.029165 Akaike info criterion -4.001542 Sum squared resid 0.011058 Schwarz criterion -3.754216 Log likelihood 41.01388 F-statistic 82.86372 Durbin-Watson stat 1.762597 Prob(F-statistic) 0.000000

Model : LPDRB = b0 + b1 LPMDN + b2 LPMA + b3 LTK + b3 Dm + μ Dependent Variable: LPDRB

Method: Least Squares Date: 06/14/07 Time: 11:51 Sample: 1984 2005

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LPMDN -0.010871 0.018220 -0.596680 0.5586

LPMA 0.027744 0.011190 2.479331 0.0239

LTK 3.504132 0.202123 17.33665 0.0000

DM -0.033998 0.023443 -1.450255 0.1652

C -10.15640 1.293210 -7.853632 0.0000

R-squared 0.978676 Mean dependent var 13.22971 Adjusted R-squared 0.973659 S.D. dependent var 0.213016 S.E. of regression 0.034572 Akaike info criterion -3.694800 Sum squared resid 0.020319 Schwarz criterion -3.446836 Log likelihood 45.64280 F-statistic 195.0565 Durbin-Watson stat 1.433957 Prob(F-statistic) 0.000000


(6)