Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap Investasi, Ekspor dan PDRB Provinsi Sumatera Utara

(1)

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN

TERHADAP INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

PARTAHIAN PANJAITAN

097018026/MEP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2012


(2)

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN

TERHADAP INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

PARTAHIAN PANJAITAN

097018026/MEP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2012


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Partahian Panjaitan

Nomor Pokok : 097018026

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE. M.Ec

Anggota

Dr. Jonni Manurung, M.S

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE. M.Ec

Direktur

Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 21 Juni 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE. M.Ec

Anggota : 1. Dr. Jonni Manurung, M.S

2. Dr. Rahmanta, M.Si 3. Dr. Rujiman, MA


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP

INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB PROVINSI SUMATERA UTARA”

adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, 21 Juni 2012

Yang membuat pernyataan

097018026/MEP Partahian Panjaitan


(6)

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP, INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh infrastruktur jalan secara simultan terhadap investai, ekspor dan PDRB di Provinsi Sumatera Utara. Infrastruktur jalan diidentifikasi berdasarkan kondisinya yaitu jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat. Sedangkan variabel lainnya adalah PDRB, investasi, ekspor, inflasi, suku bunga pinjaman dan nilai tukar. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat bagi Pemerintah dalam merencanakan pembangunan infrastruktur jalan dan menentukan skala prioritas pembangunan berdasarkan kondisi jalan yang ada, dengan memperhatikan ketersediaan anggaran.

Metode analisis data menggunakan pendekatan deterministik ekonometrika, yaitu model persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan. Variabel endogen adalah investasi, ekspor dan PDRB sedangkan variabel eksogen adalah inflasi, suku bunga pinjaman, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan nilai tukar. Data yang digunakan adalah data runtun waktu dari tahun 1984 s.d. 2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia dan publikasi penelitian sebelumnya

.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat), inflasi dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap investasi. PDRB dan jalan baik berpengaruh positif. Elastisitas (jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat) lebih besar dari variabel lainnya kecuali PDRB. Hasil penelitian terhadap ekspor menunjukkan bahwa jalan rusak ringan dan jalan rusak berat secara simultan berpengaruh negatif terhadap ekspor di Provinsi Sumatera Utara. Model persamaan dari penelitian kemudian dilakukan simulasi, dari tiga simulasi diperoleh bahwa kebijakan yang paling optimal adalah fokus pada rehabilitasi jalan rusak ringan, dengan tetap memelihara kondisi eksisting jalan baik dan sedang.

Kata kunci : Jalan Baik, Jalan Sedang, Jalan Rusak Ringan, Jalan Rusak Berat, Investasi, Ekspor, PDRB, Inflasi, Suku Bunga Pinjaman dan Nilai Tukar.


(7)

ANALYSIS OF EFFECT OF ROAD INFRASTRUCTURE AGAINST

INVESTMENT, EXPORT AND GDRP OF NORTH SUMATRA PROVINCE

ABSTRACT

This research is aimed to analyze the influence of road infrastructure against investment, export and Gross Regional Domestic Product (GDRP) of North Sumatera Province. Road infrastructure identified by good roads, passable roads, minor damage roads and seriously damaged roads. While another variables used are GDRP, investment, exports, inflation, interest rate and exchange rate. The final goal of this research is to benefit the Government in planning for road infrastructure development and determine development priorities based on the existing road conditions, taking into account the available budget.

Methods of data analysis using a deterministic approach to econometrics, with simultaneous equations models consisting of three equations. Endogenous variables are investment, exports and GDRP, while the exogenous variables are inflation, interest rates, good roads, passable roads, minor damage roads, seriously damaged roads and exchange rates. The data used are time series data from 1984 till 2010 sourced from the Central Bureau of Statistics, Bank Indonesia and the publication of previous research.

The results showed that passable roads, minor damage roads, serious damaged roads, inflation and interest rates significantly influences and negatively to the investment. While GDRP significantly influences and positively the investment and good road not significant. The results of the export show that the minor damage roads and serious damaged roads simultaneously negative influences on the exports in the Province of North Sumatera. Model equations of the research was performed simulations, from three simulations obtained that the optimal policy is a reduction in the length of minor damage roads.

Keywords: Good roads, passable roads, minor damage roads, serious damaged roads, investment, exports, GDRP Inflation, Interest Rate and Exchange Rate.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur serta terima kasih yang setinggi-tingginya penulis panjatkan kehadirat Tuhan, karena betapa besar kasih karunia serta berkat yang melimpah dan tidak berkesudahan telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Penulis sangat berterima kasih berkat tangan Tuhan melalui semua pihak yang membantu, penulis dapat merampungkan studi dan menyelesaikan sebuah karya penelitian sebagai tugas akhir pada Program Studi Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “Analisis Pengaruh Infrastruktur Jalan Terhadap Investasi, Ekspor dan PDRB Provinsi Sumatera

Utara”. Pada kesempatan ini, dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih

yang setulusnya kepada semua pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan, dukungan dan pengarahan selama proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga bisa mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan Magister. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pengawai, khususnya Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan sekaligus menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

3. Bapak Dr. Jonni Manurung, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tidak mengenal lelah, baik siang maupun malam memberikan pengetahuan, bimbingan, arahan, motivasi dan masukan selama di bangku perkuliahan terutama dalam proses penyusunan tesis ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.

4. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Dr. Rujiman, MA, Bapak Drs. Paidi Hidayat, M.Si selaku Dosen Pembanding yang telah banyak membantu penulis, memberikan masukan, saran-saran yang membangun dan dukungan dalam proses penyusunan tesis ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

5. Seluruh Dosen dan Staf pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Ir. Bambang Tjahjono, Direktur Bandar Udara, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Bapak Ir. Darpin Sinaga, MM dan Bapak Wahyudi Nugroho, ST, Pimpinan Satuan Kerja Pembangunan Bandar Udara Medan Baru, yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melajutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 7. Kedua orang tua yang sangat saya sayangi Bapak (Bapa) St. A. Panjaitan (Alm)

dan ibu (uma) E. Br. Tambunan yang sangat menyayangi saya dan dengan cucuran keringat sebagai petani di desa terpencil telah membesarkan, menyekolahkan dan membimbing penulis. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Doa Bapa selama hidupnya dan Doa Ibu (Tangiang ni Dainang) yang tidak berkesudahan.

8. Bapak dan Ibu Mertua, Amang Drs. Ch. Sihombing dan Inang A. Br. Hutagalung atas segala dukungan dan terutama doa sehingga penulis dapat melanjutkan cita-cita dan menyelesaikan pendidikan program Magister.

9. Istri dan anak-anakku yang sangat penulis cintai dan sayangi, Liza Juliana R. Sihombing, S.Sos. yang saat ini sedang mengandung anak kami yang ketiga dan anak-anakku yang cantik-cantik Niho Vegaliany Agnesia Panjaitan dan Veyla Uliany Magiraito Panjaitan. Terima kasih atas pengorbanan dan kasih sayang


(10)

yang telah diberikan dan Bapak (penulis) minta maaf jika selama perkuliahan dan dalam proses penyelesaian tesis ini kurang memberikan waktu dan perhatian yang seharusnya menjadi tanggung jawab penulis. Tesis ini penulis

dedikasikan untuk segala pengorbanan istri dan anak-anakku. Penulis juga

mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungan dari semua kakak dan adik-adikku, khususnya keluarga St. SP. Simanjuntak (Alm)/L. Br. Panjaitan, penulis ucapkan terima kasih karena tidak mungkin penulis menyelesaikan pendidikan program Magister tanpa dukungan dan bantuannya selama menyelesaikan pendidikan di Strata Satu.

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 18 yang telah sama-sama berjuang dengan penulis, dalam penyelesaikan studi dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan kepada penulis. Dan juga rekan-rekan penulis di Satuan Kerja Pembangunan Bandar Udara Medan Baru, terima kasih atas kerjasama yang baik dan terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis berterima kasih atas segala kritik dan saran yang membangun dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan. Dengan rasa syukur kehadirat Tuhan, akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan semoga tesis ini berguna bagi para pembaca, para peneliti selanjutnya dan khususnya para pengambil kebijakan di Provinsi Sumatera Utara.

Medan, 21 Juni 2012


(11)

NIM : 097018026/MEP Partahian Panjaitan


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Partahian Panjaitan

Tempat dan Tanggal Lahir : Sidagal-Tapanuli Utara, 8 Juli 1974 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Menikah

Istri : Liza Juliana Rotua Sihombing, S.Sos Anak : Niho Vegaliany Agnesia Panjaitan

Veyla Uliany Magiraito Panjaitan Orang Tua

Ayah : St. A. Pajaitan (Alm) Ibu : E. Br. Tambunan

Alamat Rumah : Perumahan Bukit Johor Mas Blok B No. 2 Medan Johor

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Direktorat Bandar Udara. Proyek Pembangunan Bandar Udara Medan Baru – Kualanamu.

Pendidikan

1. Tahun 1981 s.d. 1987 : SD Negeri 173128 Sidagal, Tapanuli Utara 2. Tahun 1987 s.d. 1990 : SMP Negeri 4 Tarutung, Tapanuli Utara 3. Tahun 1990 s.d. 1993 : SMA Negeri Tarutung, Tapanuli Utara 4. Tahun 1996 s.d. 2000 : Universitas MPU Tantular Jakarta

Fakultas Ekonomi Manajemen

5. Tahun 2009-2012 : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Produk Domestik Regional Bruto ... 9

2.2 Hubungan Investasi, Tingkat Suku Bunga dan Inflasi ... 14

2.3 Pengeluaran Pemerintah ... 18

2.4 Ekspor ... 20

2.5 Nilai Tukar ... 24

2.5.1 Nilai Tukar Riil ... 24

2.5.2 Nilai Tukar Nominal ... 24

2.6 Perkembangan Nilai Tukar di Indonesia ... 27

2.6.1 Sistim Nilai Tukar Tetap ... 28

2.6.2 Sistim Nilai Tukar Mengambang Terkendali ... 29

2.6.3 Sistim Nilai Tukar Mengambang Bebas ... 30

2.7 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur ... 31

2.7.1 Kebijakan Investasi Pembangunan Infrastruktur Jalan ... 32

2.7.2 Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur ... 33

2.8 Manajemen Pemeliharaan Jalan ... 40

2.9 Penelitian Terdahulu ... 46

2.10 Kerangka Konseptual Penelitian ... 50

2.11 Hipotesis Penelitian ... 51

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 52

3.2 Tempat Penelitian ... 52

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 53

3.4 Uji Analisis Data ... 53


(14)

3.4.2 Uji Kointegrasi ... 56

3.4.3 Uji Normalitas ... 58

3.4.4 Uji Autokorelasi ... 59

3.5 Metode Analisis Data ... 60

3.6 Simulasi Model Penelitian ... 64

3.7 Definisi Variabel Operasional ... 66

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

4.1 Perkembangan Perekonomian Provinsi Sumatera Utara ... 68

4.1.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 68

4.1.2 Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara ... 72

4.1.3 Perkembangan Tingkat Inflasi di Provinsi Sumatera Utara 75

4.1.4 Perkembangan Tingkat Suku Bunga 76 4.1.5 Perkembangan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara ... 77

4.1.6 Perkembangan Nilai Tukar ... 81

4.1.7 Perkembangan Ekspor di Provinsi Sumatera Utara ... 82

4.1.8 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto ... 85

4.2 Hasil Uji Analisis Data ... 86

4.2.1 Hasil Uji Stasioner ... 86

4.2.2 Hasil Uji Kointegrasi ... 87

4.2.3 Hasil Uji Normalitas ... 88

4.2.4 Hasil Uji Autokorelasi ... 90

4.3 Analisis Data Penelitian ... 90

4.3.1 Model Persamaan Investasi ... 92

4.3.2 Model Persamaan Ekspor ... 94

4.3.3 Model Persamaan Produk Domestik Regional Bruto ... 95

4.4 Simulasi Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Jalan ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

5.1 Kesimpulan ... 114

5.2 Saran-Saran ... 116


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Kriteria Penentuan Nilai RCI ... 44

2.2 Kriteria Pengelompokan Jalan Menurut Kondisi ... 44

2.3 Kriteria Penanganan Pemeliharaan Jalan ... 45

3.1 Critical Values For Test of DW ... 60

3.2 Hasil Identifikasi Order Bersyarat (Order Condition) ... 63

3.3 Total Anggaran Pembangunan Infrasruktur Jalan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... 65

4.1 Kabupaten / Kota di Provinsi Sumatera Utara ... 69

4.2 Jarak Antar Kota di Wilayah Provinsi Sumatera Utara ... 70

4.3 Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010 ... 71

4.4 Pertumbuhan Investasi Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d 2010 ... 73

4.5 Rencana dan Realisasi Investasi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010 ... 75

4.6 Panjang Jalan di Provinsi Sumatera Utara Menurut Kondisi Tahun 1984 s.d. 2010 ... 79

4.7 Prosentase Jalan Menurut Kondisi di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010 ... 80

4.8 Perkembangan Ekspor di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010 ... 83

4.9 Ekspor Sumatera Utara Menurut Kelompok Barang Ekonomi Tahun 1996 s.d. 2010 ... 84

4.10 Uji Stasioneritas Pada Tingkat Level / First D / Second D ... 87

4.11 Ringkasan Johansen Cointegration Test Model ... 87

4.12 Hasil Uji Normalitas dengan JB-Test ... 89

4.13 Hasil Uji Autokorelasi ... 90

4.14 Hasil Estimasi Two Stage Least Squares ... 91

4.15 Perbandingan Data Awal dengan Hasil Estimasi Model ... 98

4.16 Biaya Pembangunan, Pemeliharaan, Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jalan ... 4.17 Perkiraan Jumlah Biaya yang Dibutuhkan untuk Pembangunan, Pemeliharaan dan Rehabilitasi Jalan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... 102

4.18 Anggaran yang Tersedia untuk Pembangunan, Pemeliharaan dan Rehabilitasi Jalan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ... 102


(16)

4.19 Alokasi Penggunaan Anggaran Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 – Simulasi 1 ... 103 4.20 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara Hasil Simulasi 1 ... 104 4.21 Alokasi Penggunaan Anggaran Pembangunan Infrastruktur Jalan

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 – Simulasi 2 ... 106 4.22 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara Hasil Simulasi 2 ... 108 4.23 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 – Simulasi 3 ... 109 4.24 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara Hasil Simulasi 3 ... 111 4.25 Rekapitulasi Hasil Estimasi Model Persamaan Simulai 1, 2 dan 3 113


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Pemikiran dan Alur Permasalahan ... 6 2.1 Kurva Kenaikan Investasi Akibat Kenaikan Panjang Jalan Baik17 2.2 Faktor Utama Penyebab Sulitnya Melakukan Bisnis di Indonesia . 18 2.3 Kurva Ekspor Neto ... 26 2.4 Keseimbangan Pasar Valuta Asing ... 27 2.5 Skema Pendanaan Infrastruktur Dengan Melibatkan Pihak Swasta 40 2.6 Kerangka Konseptual Penelitian ... 50 4.1 Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor yang Terdaftar

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 201072 4.2 Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 1984 s.d. 2010 ... 74 4.3 Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 1984 s.d. 2010 ... 76 4.4 Perkembangan Suku Bunga Pinjaman Tahun 1984 s.d 2010 ... 4.5 Perkembangan Infrastruktur Jalan Menurut Kondisinya ...

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010... 81 4.6 Perkembangan Nilai Tukar Tahun 1984 s.d. 2010 ... 82 4.7 Perkembangan Ekspor di Provinsi Sumatera Utara

Tahun 1984 s.d. 2010 ... 83 4.8 Perkembangan Ekspor di Sumatera Utara Menurut Kelompok

Barang Ekonomi Tahun 1996 s.d. 2010 ... 85 4.9 Perkembangan PDRB Menurut Harga Berlaku di Provinsi

Sumatera Utara Tahun 1984 s.d. 2010 ... 86 4.10 Perbandingan Data Awal dengan Hasil Estimasi Model Investasi . 99 4.11 Perbandingan Data Awal dengan Hasil Estimasi Model Ekspor .... 100 4.12 Perbandingan Data Awal dengan Hasil Estimasi Model PDRB ... 100


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data Analisis Penelitian ... 124

2 Hasil Regresi ... 125

3 Uji Stasioner Investasi ... 126

4 Uji Stasioner Ekspor ... 127

5 Uji Stasioner PDRB ... 128

6 Uji Stasioner Inflasi ... 129

7 Uji Stasioner Suku Bunga Pinjaman ... 130

8 Uji Stasioner Jalan Baik ... 131

9 Uji Stasioner Jalan Sedang ... 132

10 Uji Stasioner Jalan Rusak Ringan ... 133

11 Uji Stasioner Jalan Rusak Berat ... 134

12 Uji Stasioner Nilai Tukar ... 135


(19)

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP, INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh infrastruktur jalan secara simultan terhadap investai, ekspor dan PDRB di Provinsi Sumatera Utara. Infrastruktur jalan diidentifikasi berdasarkan kondisinya yaitu jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat. Sedangkan variabel lainnya adalah PDRB, investasi, ekspor, inflasi, suku bunga pinjaman dan nilai tukar. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah dapat bermanfaat bagi Pemerintah dalam merencanakan pembangunan infrastruktur jalan dan menentukan skala prioritas pembangunan berdasarkan kondisi jalan yang ada, dengan memperhatikan ketersediaan anggaran.

Metode analisis data menggunakan pendekatan deterministik ekonometrika, yaitu model persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan. Variabel endogen adalah investasi, ekspor dan PDRB sedangkan variabel eksogen adalah inflasi, suku bunga pinjaman, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan nilai tukar. Data yang digunakan adalah data runtun waktu dari tahun 1984 s.d. 2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia dan publikasi penelitian sebelumnya

.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat), inflasi dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap investasi. PDRB dan jalan baik berpengaruh positif. Elastisitas (jalan sedang, jalan rusak ringan dan jalan rusak berat) lebih besar dari variabel lainnya kecuali PDRB. Hasil penelitian terhadap ekspor menunjukkan bahwa jalan rusak ringan dan jalan rusak berat secara simultan berpengaruh negatif terhadap ekspor di Provinsi Sumatera Utara. Model persamaan dari penelitian kemudian dilakukan simulasi, dari tiga simulasi diperoleh bahwa kebijakan yang paling optimal adalah fokus pada rehabilitasi jalan rusak ringan, dengan tetap memelihara kondisi eksisting jalan baik dan sedang.

Kata kunci : Jalan Baik, Jalan Sedang, Jalan Rusak Ringan, Jalan Rusak Berat, Investasi, Ekspor, PDRB, Inflasi, Suku Bunga Pinjaman dan Nilai Tukar.


(20)

ANALYSIS OF EFFECT OF ROAD INFRASTRUCTURE AGAINST

INVESTMENT, EXPORT AND GDRP OF NORTH SUMATRA PROVINCE

ABSTRACT

This research is aimed to analyze the influence of road infrastructure against investment, export and Gross Regional Domestic Product (GDRP) of North Sumatera Province. Road infrastructure identified by good roads, passable roads, minor damage roads and seriously damaged roads. While another variables used are GDRP, investment, exports, inflation, interest rate and exchange rate. The final goal of this research is to benefit the Government in planning for road infrastructure development and determine development priorities based on the existing road conditions, taking into account the available budget.

Methods of data analysis using a deterministic approach to econometrics, with simultaneous equations models consisting of three equations. Endogenous variables are investment, exports and GDRP, while the exogenous variables are inflation, interest rates, good roads, passable roads, minor damage roads, seriously damaged roads and exchange rates. The data used are time series data from 1984 till 2010 sourced from the Central Bureau of Statistics, Bank Indonesia and the publication of previous research.

The results showed that passable roads, minor damage roads, serious damaged roads, inflation and interest rates significantly influences and negatively to the investment. While GDRP significantly influences and positively the investment and good road not significant. The results of the export show that the minor damage roads and serious damaged roads simultaneously negative influences on the exports in the Province of North Sumatera. Model equations of the research was performed simulations, from three simulations obtained that the optimal policy is a reduction in the length of minor damage roads.

Keywords: Good roads, passable roads, minor damage roads, serious damaged roads, investment, exports, GDRP Inflation, Interest Rate and Exchange Rate.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infrastruktur Transportasi baik transportasi darat, laut maupun udara merupakan sarana yang sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan wilayah sehingga sering disebut sebagai urat nadi perekonomian disamping fungsinya sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam kaitannya dengan sektor-sektor perekonomian, infrastruktur transportasi berperan sebagai perangsang tumbuhnya sektor-sektor perekonomian baru dan berkembangnya sektor-sektor perekonomian yang sudah ada.

Sebagai perangsang, infrastruktur transportasi dapat difungsikan secara aktif untuk menggerakkan perekonomian daerah yang didahului dengan pembangunan infrastruktur transportasi. Dengan adanya infrastruktur transportasi, kegiatan-kegiatan sektor ekonomi lainnya akan tumbuh dan berkembang (trade follows the ship). Pembangunan infrastruktur transportasi dengan tujuan seperti ini, dilakukan dalam rangka pembangunan wilayah atau daerah-daerah terpencil, dimana kegiatan ekonomi dan perdagangan belum berjalan dengan baik. Dalam konteks pembangunan infrastruktur jalan, kebijakan diarahkan pada pembangunan jalan baru atau pembuatan jalan interkoneksi.

Pada wilayah atau daerah-daerah dimana kegitan-kegiatan sektor perekonomian sudah berjalan, infrastruktur transportasi berfungsi sebagai roda


(22)

penggerak perekonomian (ship follows the trade). Pembangunan infrastruktur transportasi di daerah ini diarahkan untuk menambah kapasitas transportasi dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi. Dalam konteks pembangunan infrastruktur jalan, kebijakan lebih difokuskan pada pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan jalan yang sudah ada, dengan tetap mengupayakan pembangunan jalan baru.

Infrastruktur transportasi dalam fungsinya sebagai fasilitas publik memberikan pelayanan publik bagi masyarakat yaitu : (1) Mendorong pemerataan pembangunan; (2) Melayani kebutuhan pergerakan masyarakat dengan harga yang terjangkau; (3) Memperlancar mobilitas distribusi barang dan jasa; (4) Mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Dalam kaitannya dengan sektor antara, infrastruktur transportasi menghubungkan berbagai macam aktivitas ekonomi, merupakan prasarana penghubung antar daerah dan memudahkan mobilitas penduduk serta memperlancar lalu lintas barang antar daerah maupun pengiriman barang ke luar negeri.

Memperhatikan berbagai fungsi dan manfaat transportasi tersebut, pembangunan infrastruktur transportasi harus diarahkan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi yang efektif, efisien, berkualitas, aman, nyaman dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dikembangkan sistem transportasi nasional dan sistem transportasi daerah dengan prinsip keterpaduan inter dan antar moda serta keterpaduan antar wilayah. Sistem transportasi intermoda adalah perencanaan dan pembangunan satu moda


(23)

transportasi yang terintegrasi sehingga bisa menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain, baik dari desa ke kota, antar kecamatan, antar kabupaten, antar provinsi dan nasional. Sistem transportasi antarmoda merupakan sistem yang terintegrasi antara moda transportasi yang berbeda dan saling mendukung, sehingga tercipta sistem distribusi yang lancar baik regional, nasional maupun internasional.

Sektor transportasi terdiri dari beberapa sub sektor yaitu Sub Sektor Transportasi Darat (Kereta Api, Angkutan Jalan, Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan), Sub Sektor Transportasi Laut, Sub Sektor Transportasi Udara dan jasa penunjang transportasi. Masing-masing sub sektor transportasi tersebut memiliki karakteristik dan peran yang berbeda-beda di setiap daerah dan sangat tergantung pada struktur perekonomian, distribusi penduduk dan pendapatan suatu daerah. Oleh karena itu masing-masing daerah juga mempunyai prioritas pembangunan terhadap sub sektor transportasi tersebut.

Dari sisi pembiayaan pembangunan infrastruktur sub sektor transportasi, pendanaan bisa bersumber dari anggaran pemerintah dan investasi swasta. Sesuai karakteristiknya biaya pembangunan infrastruktur Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP), Pelabuhan Laut, Bandar Udara, Kereta Api dan Jalan Tol bisa bersumber dari APBN, dana BUMN serta mempunyai peluang yang lebih besar untuk dibiayai investor swasta atau kerjasama antara Badan Usaha dengan Pemerintah (Public Private Partnership / PPP).

Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur sangat terbatas. Pengeluaran pemerintah


(24)

diutamakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro melalui instrumen ekonomi moneter dan kebijakan fiscal, serta penanganan masalah ekonomi jangka pendek yang berkaitan dengan sandang/pangan, kesehatan, pendidikan, pengurangan kemiskinan, subsidi dan pengurangan pengangguran serta sektor primer lainnya. Sedangkan prioritas pembangunan infrastruktur yang bersifat produktif khususnya dalam pemeliharaan dan penyediaannya sering terabaikan. Hal ini menurut Easterly (2008) (dalam Arman Delis, 2008) lazim terjadi pada negara atau daerah yang menghadapi masalah defisit fiskal sehingga mengorbankan pengeluaran produktif seperti pembangunan infrastruktur untuk membiayai pengeluaran konsumtif. Masalah yang juga sering dihadapi adalah kesulitan pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur, biasanya diikuti dengan menurunnya minat swasta untuk melakukan investasi baik dibidang infrastruktur itu sendiri maupun bidang produktif lainnya. Dalam laporan (World Bank, 1992) disampaikan bahwa tanpa penyediaan infrastruktur yang memadai, aktivitas produksi dan distribusi akan mengalami hambatan yang serius. Keterbatasan infrastruktur meyebabkan perusahaan-perusahaan yang sudah ada tidak akan terdorong melakukan ekspansi dan investor baru juga tidak tertarik melakukan investasi yang selanjutnya akan mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) / Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Infrastruktur transportasi merupakan salah satu indikator yang sangat penting bagi investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Sesuai dengan fungsi infrastruktur sebagai perangsang tumbuhnya perekonomian, investor akan mengevaluasi keberadaan infrastruktur transportasi dari dua sisi yaitu : (1) Investor


(25)

akan tertarik menanamkan modalnya apabila telah tersedia infrastruktur transportasi yang memadai (investment follows the ship); (2) Investor akan tertarik menambah investasinya apabila pembangunan infrastruktur transportasi terus dikembangkan sejalan dengan perkembangan perekonomian (ship follows the investment).

Kemampuan Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur jalan tercermin dari kondisi jalan yang ada. Prosentase panjang jalan menurut kondisinya di Provinsi Sumatera Utara tahun 1984 s.d. 2010 adalah jalan baik 29,84 persen, jalan sedang 26,36 persen, jalan rusak ringan 23,32 persen dan jalan rusak berat 20,84 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan jalan baik hanya sebesar 7,56 persen dan jalan sedang sebesar 10,72 persen serta rata-rata pertumbuhan total panjang jalan hanya sebesar 5,75 persen. Besarnya panjang jalan dengan kondisi rusak ringan dan rusak berat di Provinsi Sumatera Utara mencerminkan bahwa kemampuan pembiayaan pembangunan infrastruktur jalan masih terbatas. Dengan anggaran yang terbatas tersebut, peneliti memandang perlu dibuat suatu model yang dapat membatu dalam merumuskan kebijakan anggaran, apakah diprioritaskan untuk pemeliharaan jalan baik dan sedang, rehabilitasi jalan rusak ringan, rekonstruksi jalan rusak berat , pembangunan jalan baru atau gabungan.

Dalam laporan World Economic Forum, Executive Opinion Survey (2011), disebutkan bahwa infrastruktur yang tidak memadai merupakan faktor ke-empat yang menjadi hambatan masuknya investasi di Indonesia. Hasil penelitian ini terindikasi juga terjadi di Provinsi Sumatera Utara. Rata-rata realisasi investasi PMDN di


(26)

Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1984 s.d. 2010 hanya sebesar 27,71 persen dan PMA sebesar 30,08.

Selisih yang tinggi antara rencana dan realisasi investasi, mengindikasikan adanya keinginan investor untuk menanamkan modalnya di Provinsi Sumatera Utara. Diduga bahwa salah satu faktor penghambat masuknya investasi (investment barriers) adalah kondisi infrastruktur jalan yang tidak memadai.

Pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran dan peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya dapat dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas yang direpresentasikan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggi. Faktor yang berperan dalam meningkatkan PDRB antara lain adalah investasi dan ekspor.

Untuk mempermudah pemahaman mengenai latar belakang, dalam gambar 1.1 diperagakan kerangka pemikiran dan alur permasalahan.


(27)

Angkutan Sungai dan Penyeberangan Pelabuhan Laut Bandar Udara Kerena Api Jalan Tol Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten /

Kota Jalan Kecamatan Inf r a s tr uk tur Jal an IN F R A S TR U K TU R T R A N S P O R T A S

I 1. APBN / APBD

2. BUMN (PT. ASDP, PT. Pelindo, PT. AP, PT. KAI, PT. Jasa Marga, dll. 3. KPS

4. Investor Swasta

P E M B IAY AAN Pengeluaran Pemerintah : 1. APBN 2. APBD (Prov.) 3. APBD (Kab. / kota)

Kondisi Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara 1. Baik 2. Sedang 3. Rusak Ringan 4. Rusak Berat

Kemampuan Pembiayaan Terbatas

1. Pemeliharaan jalan yang Baik dan Sedang 2. Perbaikan Jalan Rusak Ringan Baik 3. Perbaikan Jalan Rusak Berat Baik 4. Pembangunan Jalan Baru Fokus Pembiayaan PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN Investasi Ekspor PDRB

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran dan Alur Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, latar belakang penulisan masalah dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) Infrastruktur Jalan di Provinsi Sumatera Utara tidak memadai, yang ditunjukkan dengan rendahnya jalan dengan kondisi baik dan sedang serta rendahnya pertumbuhan panjang jalan; (2) Kondisi jalan yang tidak memadai berpengaruh terhadap investasi dan ekspor yang pada akhirnya akan mempengaruhi PDRB; dan (3) Berdasarkan data yang ada, terdapat selisih yang cukup besar antara rencana dan realisasi investasi di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian, penulis berkeinginan untuk meneliti dan menulis tesis dengan judul “ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR JALAN TERHADAP INVESTASI, EKSPOR DAN PDRB PROVINSI SUMATERA UTARA”.


(28)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, dirumuskan beberapa permasalahan yaitu :

1. Apakah inflasi, suku bunga pinjaman, infrastruktur jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan PDRB secara simultan berpengaruh terhadap investasi di Provinsi Sumatera Utara ?

2. Apakah nilai tukar, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan PDRB secara simultan berpengaruh terhadap ekspor di Provinsi Sumatera Utara ?

3. Apakah investasi dan ekspor secara simultan berpengaruh terhadap PDRB di Provinsi Sumatera Utara ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisis pengaruh inflasi, suku bunga pinjaman, jalan baik, jalan sedang, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan PDRB secara simultan terhadap investasi di Provinsi Sumatera Utara.

2. Menganalisis pengaruh nilai tukar, jalan rusak ringan, jalan rusak berat dan PDRB secara simultan terhadap ekspor di Provinsi Sumatera Utara.

3. Menganalisis pengaruh investasi dan ekspor secara simultan terhadap PDRB di Provinsi Sumatera Utara.


(29)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Menambah wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan bagi penulis tentang disiplin ilmu yang diteliti.

2. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mendalami masalah infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan dalam hubungannya dengan investasi, ekspor dan PDRB.

3. Dapat digunakan untuk melengkapi studi penelitian dengan topik yang sudah ada sebelumnya.

4. Bermanfaat bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan perencanaan pembangunan infrastruktur jalan sehingga memberikan pengaruh yang optimal bagi pertumbuhan investasi, ekspor dan PDRB di Provinsi Sumatera Utara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam suatu perekonomian di satu daerah atau Provinsi. Perhitungan PDRB yang sering juga disebut Pendapatan Regional dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan pendekatan pendapatan, pendekatan pengeluaran dan pendekatan produksi.

Perhitungan PDRB dengan pendekatan pendapatan dilakukan dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima oleh faktor produksi, yaitu upah dan gaji dan surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung neto. Sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tisak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan.

Perhitungan PDRB dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan seluruh pengeluaran para pelaku ekonomi atas barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian satu daerah. Perhitungan PDRB menurut pengeluaran diperinci menjadi 6 kelompok yaitu : (1) Pengeluaran konsumsi rumah tangga; (2) Pengeluaran konsumsi lembaga swadaya yang tidak mencari keuntungan; (3) Pengeluaran konsumi pemerintah; (4) Pembentukan modal tetap bruto (investasi); (5) Perubahan stok dan (6) Net ekspor (ekspor dikurangi impor).


(31)

Perhitungan output pada perekonomian dengan pendekatan pengeluaran dijelaskan dalam persamaan berikut.

Y atau PDRB = C + I + G + NX

dimana Y atau PDRB adalah Produk Domestik Regional Bruto; C adalah konsumsi; I adalah investasi; G adalah pengeluaran pemerintah; dan NX adalah ekspor neto (ekspor dikurangi impor).

Perhitungan PDRB dengan pendekatan produksi dilakukan dengan menjumlahkan nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor-sektor dalam perekonomian dengan cara mengurangkan biaya antara dari nilai total produksi bruto sektor antara atau sub sektor tersebut (Tarigan 2009). Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi (output) dengan biaya antara (intermediate cost). Pada umumnya sektor-sektor perekonomian dikelompokkan menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu : (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri; (4) Listrik, Gas dan Air Minum; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan dan Tanah serta Jasa Perumahan dan (9) Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan.

Perhitungan PDRB dengan pendekatan produksi didasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas menyatakan bahwa pendapatan nasional yang dibagi diantara modal dan tenaga kerja adalah tetap konstan selama periode yang panjang. Fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki skala hasil konstan, yaitu jika modal dan tenaga kerja meningkat dalam proporsi yang


(32)

sama, maka output meningkat menurut proporsi yang sama pula (Mankiw, 2006). Fungsi produksi Cobb-Douglas mempunyai unsur yaitu :

Pendapatan Modal = MPK x K = ∝Y Pendapatan Tenaga Kerja = MPL x L = (1 - ∝)Y

dimana ∝ adalah konstanta antara nol dan satu yang mengukur bagian pendapatan yang dihasilkan oleh modal dan (1 - ∝) menentukan bagian pendapatan yang dihasilkan oleh tenaga kerja. MPK adalah marginal product of capital (produksi marginal modal) yaitu jumlah output tambahan yang diperoleh perusahaan dari satu unit modal tambahan. MPL adalah marginal product of labour (produksi marginal tenaga kerja) yaitu jumlah output tambahan yang diperoleh perusahaan dari satu unit tenaga kerja tambahan. K adalah modal; L adalah tenaga kerja dan Y adalah pendapatan nasional.

Fungsi Cobb-Douglas yang memenuhi unsur diatas adalah : F(K, L) = A K∝ L

dimana A adalah parameter yang lebih besar dari nol yang mengukur produktivitas teknologi.

1-∝

Untuk membuktikan fungsi Cobb-Douglas memiliki skala hasil konstan, dapat dilakukan dengan mengalikan modal dan tenaga kerja dengan z konstan, sebagai berikut :


(33)

F(zK, zL) = Az∝K∝z1-∝L F(zK, zL) = Az

1-∝

z1-∝

K∝ L1-∝ karena z∝ z1-∝ F(zK, zL) = zAK

= z maka fungsi menjadi

L1-∝

kaena zAK∝ L1-∝ F(zK, zL) = zF(K, L) = zY

= F(K, L) maka

Berdasarkan uraian ini, jumlah output Y meningkat sebesar z, yang menunjukkan bahwa fungsi produksi Cob-Douglas memiliki skala hasil konstan.

Produk marginal fungsi Cobb-Douglas, terdiri dari produk marginal tenaga kerja yaitu MPL = (1 - ∝) AK∝ L1-∝ dan produk marginal modal adalah MPK = ∝ AK∝-1 L1-∝

Menurut teori pertumbuhan neoklasik yang dikembangkan oleh T.W. Swan (1956) dan Robert M. Solow (1970) yang dikenal dengan model Solow-Swan output perekonomian merupakan fungsi dari kapital, tenaga kerja dan teknologi. Teknologi yang dimaksud adalah peningkatan skill atau kemampuan teknik sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Teknologi dapat pula diartikan sebagai cara yang lebih baik untuk memproduksi barang dengan hasil atau output yang lebih banyak dan jumlah modal (capital) dan tenaga kerja (labour) yang tetap. Dalam model fungsi produksi Solow-Swan, teknologi dianggap fungsi dari waktu (Tarigan, 2009 dan . Dari persamaan ini diketahui bahwa ∝ berada diantara nol dan satu, kenaikan jumlah modal meningkatkan MPL dan mengurangi MPK, sedangkan kenaikan dalam jumlah tenaga kerja mengurangi MPL dan meningkatkan MPK. Oleh karena itu perkembangan teknologi yang meningkatkan parameter A membuat produksi marginal kedua faktor produksi naik secara proporsional.


(34)

Mankiw, 2006), sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan fungsi produksi berikut ini.

) , , (K L t f

Y = Persamaan tersebut menunjukkan bahwa Y merupakan variabel endogen yang dipengaruhi oleh modal (K), tenaga kerja (L) dan teknologi (t). Jika modal dan tenaga kerja makin banyak maka pendapatan dalam perekonomian akan makin tinggi. Infrastruktur Jalan merupakan bagian dari modal yang juga mempengaruhi pertumbuhan output dalam perekonomian. Hal ini sesuai dengan pandangan Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation (1776) yang membahas masalah pertumbuhan ekonomi dan menyatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah berkewajiban menyediakan prasarana yang dibutuhkan (Tarigan, 2009). Pandangan Adam Smith ini diperkuat oleh John Mainard Keynes (1936) yang menyatakan bahwa untuk menjamin pertumbuhan yang stabil, pemerintah harus mengambil peran dalam hal kebijakan fiskal (perpajakan dan pembelanjaan pemerintah), kebijakan moneter (tingkat suku bunga dan jumlah uang beredar) dan pengawasan langsung. Pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur jalan merupakan bagian dari kebijakan fiskal yaitu pembelanjaan pemerintah.

Dalam kerangkan ekonomi wilayah, Richardson (dalam Tarigan, 2009) menderivasikan fungsi produksi Solow-Swan menjadi sebagai berikut :


(35)

dimana Yi adalah bersarnya output; ki adalah tingkat pertumbuhan modal;

ni adalah tingkat pertumbuhan tenaga kerja; Ti

Berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas, teori pertumbuhan model Solow-Swan dan teori pertumbuhan ekonomi regional Richardson, menjelaskan bahwa “teknologi” berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian atau PDRB. Berdasarkan definisi tenologi, pembangunan infrastruktur jalan termasuk bagian teknologi.

adalah kemajuan teknologi; a adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan (1 - a) adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor diluar modal

2.2 Hubungan Investasi, Tingkat Suku Bunga dan Inflasi

Investasi (investment) merupakan barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Investasi dibagi tiga sub kelompok (Mankiw, 2006) yaitu : (1) Investasi tetap bisnis yaitu pembelian pabrik atau peralatan baru oleh perusahaan; (2) Investasi tetap residensial yaitu pembelian rumah baru oleh rumah tangga; dan (3) Investasi persediaan yaitu peningkatan dalam persediaan barang perusahaan. Dalam pengertian para ahli makroekonomi, investasi adalah kegiatan yang menciptakan modal baru dan/atau menambah nilai modal yang sudah ada. Kaidah umum investasi adalah bahwa investasi perekonomian tidak mencakup pembelian yang hanya merealokasi asset-asset yang ada diatara individu-individu yang berbeda. Pengertian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian investasi yang menciptakan modal baru dan/atau menambah nilai modal yang sudah ada.


(36)

Keputusan seseorang atau suatu perusahaan melakukan investasi sangat tergantung pada tingkat bunga dan pendapatan. Ketika tingkat suku bunga naik, jumlah investasi akan turun dan sebaliknya, dengan demikian investasi dan tingkat bunga berhubungan negatif. Sedangkan investasi dan pendapatan memiliki hubungan positif, yang berarti jika pendapatan naik maka investasi juga naik, dan sebaliknya. Hubungan antara investasi (I) dengan tingkat bunga riil (r) dan pendapatan (Y) dijelaskan dalam persamaan berikut.

) , (r Y f

I =

Dalam perekonomian, tingkat suku bunga dibedakan menjadi : (1) Tingkat bunga nominal (nominal interest rate) yaitu tingkat bunga yang dibayar oleh investor untuk membiayai investasi atau tingkat bunga yang dibayarkan oleh bank kepada nasabah; (2) Tingkat bunga riil (real interest rate) yaitu tingkat bunga setelah dikurangi dengan inflasi (Mankiw, 2006). Tingkat bunga nominal tidak menggambarkan kenaikan daya beli seseorang atau perusahaan. Sedangkan tingkat bunga riil menggambarkan kenaikan daya beli seseorang atau perusahaan, karena telah dikurangi dengan inflasi. Dengan demikian hubungan antara tingkat bunga riil (r), tingkat bunga nominal (i) dan tingkat inflasi (π) sebagaimana dalam persamaan berikut ini.

r = i - π atau i = r + π Persamaan diatas menggambarkan bahwa perubahan tingkat bunga nominal dapat disebabkan oleh perubahan tingkat suku bunga riil atau perubahan tingkat


(37)

inflasi yang disebut dengan persamaan Fisher (Fisher equation). Persamaan Fisher menjelaskan bahwa kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi, menyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal sebesar 1 persen. Hubungan ini sering disebut dengan efek Fisher (Fisher effect) (Mankiw, 2006).

Dalam model klasik perekonomian tertutup, tingkat bunga mempunyai peranan yang sangat penting untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan output. Tingkat bunga mempengaruhi penawaran dan permintaan output dan dana pinjaman. Output perekonomian berasal dari konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah. Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan disposabel (disposable income), investasi merupakan fungsi dari tingkat bunga riil, dan pengeluaran pemerintah dan pajak merupakan alat kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah (variabel eksogen). Jumlah output dalam perekonomian ditentukan oleh faktor-faktor produksi dan fungsi produksi. Oleh karenanya dalam perekonomian tertutup tingkat bunga merupakan satu-satunya variabel yang menyeimbangkan permintaan dan penawaran output. Jika tingkat bunga terlalu tinggi, investasi akan terlalu rendah, selanjutnya permintaan ouput dalam perekonomian akan lebih rendah dari penawarannya. Sebaliknya jika tingkat bunga terlalu rendah, investasi akan terlalu tinggi, maka permintaan output dalam perekonomian akan lebih tinggi dari penawarannya (Mankiw, 2006). Peranan tingkat bunga dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran output dalam perekonomian dirumuskan sebagai berikut :

Y = C + I + G C = C (Ȳ - T)


(38)

I = I (r) G = Ḡ T = T Y = f (F, K) Y = Ȳ

dengan demikian : Ȳ = C (Ȳ - T) + I (r) + Ḡ Keterangan :

Ȳ = Output perekonomian C (Ȳ - T) = Pendapatan disposal C = Konsumsi

T = Pajak I = Investasi r = Tingkat bunga

Ḡ = Pengeluaran pemerintah

Peningkatan investasi merupakan salah satu upaya untuk mendorong pertumbuhan output dalam perekonomian. Oleh karenanya setiap negara selalu berupaya untuk merangsang dan mendorong tumbuhnya investasi baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Inovasi teknologi seperti pembangunan infrastruktur jalan, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan investasi. Pembagunan infrastruktur jalan akan menggeser kurva investasi ke sebelah kanan, sebagaimana diperagakan dalam gambar 2.1. berikut ini. Disamping inovasi teknologi, peningkatan investasi juga bisa dilakukan melalui instrumen kebijakan fiskal, misalnya menaikkan tingkat pajak perseorangan dan menurunkan pajak perusahaan yang ingin berinvestasi serta menaikkan pengeluaran pemerintah.


(39)

E2

E0

0

DI0

SI0

SI1

r0

I0 Jumlah Investasi

r

I1

DI1

Gambar 2.1 Kurva Kenaikan Investasi Akibat Kenaikan Panjang Jalan Baik

Survei yang dilakukan oleh Thierry Geiger (2011) menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur di Indonesia merupakan salah satu faktor penghambat masuknya investasi. Dari berbagai faktor yang menjadi kendala untuk melakukan bisnis di Indonesia pada tahun 2010, ketersediaan infrastruktur berada pada peringkat ke-4 dari 15 faktor yang menjadi variabel survey, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 2.2.


(40)

23% 29% 8% 12% 2% 6% 2% 2% 2% 3% 3% 3% 0% 1% 0%

0% 10% 20% 30% 40%

Inefficient government bureaucracy Corruption Inadequate supply of infrastructure Access to financing Inflation Government instability Policy instability Tax regulations Inadequately educated workforce Restrictive labour regulations Poor work ethic in national labor force Crime and theft Tax rates Poor public health Foreign currency regulation

Sumber : World Economic Forum, Executive Opinion Survey, 2011

Gambar 2.2 Faktor Utama Penyebab Sulitnya Melakukan Bisnis di Indonesia

2.3 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Pengeluaran pemerintah terdiri dari : (1) Pengeluaran rutin untuk membiayai pengawai pemerintah; (2) Pengeluaran untuk membiayai pembangunan (belanja modal). Pengeluaran pemerintah untuk membiayai pembangunan dilakukan untuk membangun fasilitas publik, antara lain pembangunan infrastruktur transportasi, listrik, kesehatan, pendidikan, dll; (3) Pembayaran transfer kepada rumah tangga, seperti tunjangan kesejahteraan untuk orang-orang miskin dan pembayaran jaminan sosial. Oleh karena pembayaran transfer tidak dilakukan dalam pertukaran dengan output barang dan jasa perekonomian, maka tidak termasuk dalam


(41)

variabel pengeluaran pemerintah. Jadi dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah diluar transfer, yang kita angggap sebagai variabel eksogen, sering dinotasikan dengan G = Ḡ.

Pengeluaran pemerintah merupakan komponen utama yang mempengaruhi permintaan output barang dan jasa dalam perekonomian. Jika pemerintah melakukan perubahan kebijakan fiskal dengan mengubah pengeluaran atau tingkat pajak, maka tabungan nasional, investasi dan tingkat bunga equiblirium akan berubah dan pada akhirnya mengubah permintaan output dalam perekonomian. Misalkan pemerintah menaikkan pengeluaran sebesar ∆G, secara langsung akan mengingkatkan permintaan output barang dan jasa sebesar ∆G. Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang pengeluaran pemerintah sering digunakan sebagai alat untuk merangsang masuknya investasi. Jika pemerintah melakukan penurunan pajak, maka pendapatan disposal akan meningkat dan sejanjutnya menaikkan konsumsi. Misalnya pemerintah menurunkan pajak sebesar ∆T, maka pendapatan disposal akan meningkat sebesar ∆T, selanjutnya konsumsi juga meningkat sebesar ∆T x MPC (Marginal Propensity to Consume).

Perhitungan output perekonomian dijelaskan dalam persamaan berikut. Y atau PDRB = C + I + G + NX

Sedangkan fungsi produksi Solow-Swan ditunjukkan dalam persamaan fungsi produksi berikut ini.

) , , (K L t f


(42)

Kedua persamaan diatas saling berhubungan atau berkointegrasi dalam jangka panjang. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap PDRB atau output perekonomian. Hal ini berarti, apabila pemerintah menambah pengeluarannya, maka PDRB atau output perekonomian akan naik sebesar pengeluaran pemerintah. Output perekonomian (Y) merupakan fungsi dari modal (K), tenaga kerja (L) dan teknologi (t). Berdasarkan kedua persamaan diatas, kebijakan menambah pengeluaran pemerintah khususnya untuk infrastruktur jalan, berpengaruh positif terhadap PDRB dan juga akan berpengaruh pada modal dan teknologi. Pada akhirnya modal dan teknologi akan berpengaruh positif terhadap peningkatan PDRB atau output perekonomian. Oleh karenanya pengeluaran pemerintah mempunyai peranan yang besar terhadap peningkatan PDRB.

2.4 Ekspor

Setiap negara di dunia mempunyai keterbatasan, baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun penguasaan teknologi. Oleh karenanya hampir tidak ada negara yang sanggup memenuhi kebutuhan sendiri. Keterbatasan ini mendorong dilakukannya spesialisasi produksi. Keputusan memproduksi barang dan jasa ditentukan dengan memperhatikan faktor efisiensi, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Sebaliknya barang dan jasa yang tidak efisien diproduksi di dalam negeri diimpor dari luar negeri. Oleh karenanya, sebagian besar negara menganut perekonomian terbuka yaitu : (1) Mengekspor barang dan jasa ke luar negeri; (2) Mengimpor barang dan jasa dari luar negeri; dan (3) Meminjam atau


(43)

memberi pinjaman di pasar modal dunia atau melakulan investasi atau penanaman modal di luar negeri. Dengan demikian net ekspor merupakan salah satu variabel yang memberikan nilai tambah terhadap ouput perekonomian suatu negara atau daerah.

Di banyak negara, khususnya negara-negara industri yang sudah maju, perdagangan internasional menjadi faktor utama untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Disamping itu perdagangan internasional juga mendorong tumbuhnya industrialisasi, kemajuan transportasi dan masuknya investasi ke suatu negara atau daerah. Perdagangan internasional memberikan beberapa manfaat yaitu : (1) Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri; (2) Memperoleh keuntungan dari spesialisasi; (3) Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Perdagangan internasional mendorong pengusaha untuk berproduksi secara maksimal dan menjual kelebihan produknya ke luar negeri (ekspor) dan (4) Transfer teknologi modern.

Sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 1997/1998, sektor ekspor merupakan pendorong pulihnya perekonomian di Negara-Negara Asia Tenggara. Pada tahun 2004 Thailand mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,2 persen yang didorong oleh peningkatan ekspor dan belanja pemerintah. Vietnam juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi pada tahun 2004 sebesar 7,5 persen dan tahun 2005 sebesar 7,6 persen juga didorong oleh tumbuhnya ekspor dan permintaan dalam negeri. Malaysia mencatat pertumbuhan yang cukup baik pada tahun 2004 sebesar 5,8


(44)

persen dan tahun 2005 sebesar 5,6 persen. Pertumbuhan ini juga didorong oleh permintaan ekspor yang tinggi dan konsumsi masyarakat.

Pertumbuhan ekspor yang tinggi menghasilkan devisa bagi Negara, yang selanjutnya akan digunakan untuk membiayai impor dan pembangunan sektor ekonomi lainnya. Secara teoritis, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekspor dan PDB/PDRB, disamping perannya untuk meningkatkan cadangan devisa, pertumbuhan impor, pertumbuhan output dalam negeri, peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Berkaitan dengan besarnya manfaat ekspor dalam perekonomian suatu negara, beberapa kebijakan yang harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekspor antara lain : (1) Meningkatkan daya saing global produk Indonesia; (2) Menyederhanakan prosedur kepabeaan; (3) Penyempurnaan dan pembaharuan perangkat peraturan perundang-undangan dan (4) Peningkatan kapasitas infrastruktur (termasuk infrastruktur jalan).

Salah satu upaya meningkatkan daya saing produksi adalah dengan menurunkan biaya marginal produk. Biaya transportasi merupakan unsur dari biaya marginal produk. Untuk menurunkan biaya transportasi harus dilakukan penambahan panjang jalan baik atau pemeliharaan jalan sedang, rehabilitasi jalan rusak ringan dan rekonstruksi jalan rusak berat. Oleh karenanya jalan dengan kondisi rusak, berpengaruh positif terhadap peningkatan biaya transportasi, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penurunan ekspor.


(45)

Dalam perekonomian terbuka sebagian output digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Dengan demikian pengeluaran output dibagi menjadi 4 komponen yaitu: 1) konsumsi, 2) investasi, 3) pengeluaran pemerintah dan 4) ekspor. Ekspor merupakan pengeluaran luar negeri atas barang dan jasa domestik, sedangkan impor merupakan jumlah pengeluaran domestik atas barang dan jasa luar negeri. Barang dan jasa yang diimpor dari luar negeri bukan merupakan output suatu negara, sehingga dalam perhitungan pendapatan nasional tidak diperhitungkan. Selisih antara ekspor (X) dan impor (M) disebut dengan export netto (NX) atau (NX = X – M). Dengan demikian komponen output perekonomian dapat dijelaskan dalam persamaan berikut.

Y = C + I + G + NX

Output dalam perekonomian suatu negara menunjukkan hubungan antara output domestik (Y), pengeluaran domestik (C+I+G) dan ekspor neto (NX), sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan berikut.

NX = Y – (C + I + G)

Persamaan ini menjelaskan bahwa jika output lebih besar dari pengeluaran domestik, maka selisihnya diekspor atau ekspor neto positif. Sebaliknya jika output lebih kecil dari pengeluaran domestik, maka selisihnya diimpor atau ekspor neto negatif.

Dalam perekonomian terbuka, terdapat kaitan yang sangat erat antara pasar uang dan pasar barang. Tabungan nasional (S) merupakan hasil dari output (Y) dikurangi konsumsi (C) dan pengeluaran pemerintah (G) atau S = Y – C – G, dengan demikian,


(46)

S = I + NX atau NX = S – I Persamaan ini menunjukkan bahwa, ekspor neto suatu perekonomian sama dengan selisih antara tabungan dan investasi. Ekspor neto merupakan ekspor neto barang dan jasa suatu Negara yang juga sering disebut dengan neraca perdagangan (trade balance). Selisih tabungan domestik dan investasi domestik (S-I) merupakan arus modal keluar neto (net capital outflow). Arus modal keluar neto merupakan jumlah dana yang dipinjamkan penduduk suatu negara ke luar negeri dikurangi jumlah dana yang dipinjamkan luar negeri atau disebut juga dengan investasi asing neto (net foreign investment).

2.5 Nilai Tukar (Exchange Rate)

Nilai tukar (exchange rate) antar dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan (Mankiw, 2006). Para ekonom membedakan nilai tukar atau kurs menjadi dua yaitu : (1) Nilai tukar riil (real exchange rate) yaitu harga relatif diantara barang-barang dua Negara; dan (2) Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) yaitu harga relatif dari mata uang dua negara.

2.5.1 Nilai Tukar Riil (Kurs Riil).

Kurs riil berhubungan negatif dengan ekspor neto. Jika kurs riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif murah dan barang-barang domestik relatif mahal. Kondisi ini berpengaruh pada penurunan ekspor dan menaikkan impor atau net ekspor berkurang. Sebaliknya jika kurs riil rendah, barang-barang luar negeri relatif


(47)

lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah. Kondisi ini berpengaruh positif terhadap kenaikan ekspor dan menurunkan impor sehingga ekspor neto bertambah. Dengan demikian ekspor neto (NX) merupakan fungsi dari kurs riil (є) dan hubungan kedua variabel adalah negatif sebagaimana persamaan berikut.

NX = NX (є)

2.5.2 Nilai Tukar Nominal (Kurs Nominal).

Model Mundell-Fleming menjelaskan bahwa output dalam perekonomian dijelaskan sebagaimana persamaaan berikut (Mankiew, 2006).

Y = C(Y – T) + I(r) + G + NX(e) Persamaan tersebut menjelaskan bahwa pendapatan agregat Y adalah jumlah dari konsumsi C, investasi I, belanja pemerintah G, dan ekspor netto NX. Konsumsi bergantung secara positif pada disposable income Y – T. Investasi berhubungan secara negatif dengan tingkat bunga dan ekspor berhubungan secara negatif terhadap kurs e.

Kurs nominal e adalah jumlah mata uang asing per unit mata uang domestik. Misalnya, e adalah 0,0001 Dollar Amerika per satu Rupiah (equivalen dengan Rp. 10.000,00 per US$ 1,00. Menurut model Mundell – Flemming (Mankiew, et al, 2006) dijelaskan, jika e adalah kurs nominal, maka kurs riil adalah :

є = e x (P/P*)

Keterangan :

є = Kurs riil e = Kurs nominal P/P* = Rasio tingkat harga


(48)

Misalnya : e1 = US$ 0,0001 per Rp 1,00 eq. Rp 10.000,00 per US$ 1,00

e2 = US$ 0,00011 per Rp 1,00 eq. Rp 9.000,00 per US$ 1,00

P = Tingkat harga domestik P* = Tingkat harga luar negeri

Model Mundell – Fleming mengasumsikan bahwa tingkat harga domestik dan luar negeri adalah tetap, sehingga kurs riil proporsional terhadap kurs nominal. Ketika kurs nominal domestik terapresiasi, misalnya US$ 0,0001 per Rp 1,00 (equivalen dengan Rp 10.000,00 per US$ 1,00) menjadi US$ 0,00011 per Rp 1,00 (equivalen dengan Rp 9.000,00 per US$ 1,00), barang-barang luar negeri lebih murah bila dibandingkan dengan barang-barang domestik, yang menyebabkan ekspor turun dan impor naik. Dalam kasus Indonesia ketika nilai tukar naik misalnya dari Rp. 9.000,00 per US$ 1,00 menjadi Rp. 10.000,00 per US$ 1,00 maka ekspor akan naik dan sebaliknya. Model Mudell- Fleming sebagaimana gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Kurva Ekspor Neto

Keseimbangan nilai tukar ditentukan berdasarkan iteraksi kekuatan permintaan dan penawaran (Rahardja dan Manurung, 2005). Faktor-faktor yang


(49)

mempengaruhi permintaan valuta asing terutama adalah impor, harga mata uang asing tersebut (nilai tukarnya), tingkat pendapatan, tingkat bunga relatif, selera, ekspektasi dan kebijakan pemerintah. Bila nilai tukarnya makin murah, permintaan terhadap valuta asing akan meningkat, akan tetapi hanya pergerakan sepanjang kurva permintaan (movement along demand curve). Kurva permintaan akan bergeser (shifting) bila yang berubah adalah impor. Impor yang makin banyak menggeser kurva permintaan ke kanan, dan impor yang makin sedikit menggeser kurva permintaan ke kiri.

Penawaran terhadap valuta asing meningkat jika (1) ekspor meningkat; (2) arus modal masuk (capital inflow) lebih besar dari arus modal keluar (capital outflow). Bila ekspor dan arus modal masuk meningkat, kurva penawaran bergeser ke kanan dan sebaliknya bila ekspor makin berkurang dan arus modal keluar juga meningkat, kurva penawaran akan bergeser ke kiri.

Pergeseran kurva permintaan dan kurva penawaran akan menentukan keseimbangan nilai tukar, sebagaimana diperagakan dalam gambar 2.4. berikut.


(50)

E2

E1 E0

0

DF2

DF0 SF0

SF1

e0

Q0 Kuantitas US$

Kurs, e

e1

Q1

DF1 SF2

e2

Q2

Gambar 2.4 Keseimbangan Pasar Valuta Asing

2.6 Perkembangan Nilai Tukar di Indonesia

Penerapan nilai tukar yang berlaku di dunia berdasarkan runtun waktu secara garis besar dibagi menjadi 2 sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar tidak tetap (floating exchange rate). Masing-masing sistem nilai tukar tersebut mempunyai karakteristik dan kekuatan serta kelemahan tersendiri. Karena masing-masing sistem mempunyai kekuatan dan kelemahan, dalam prakteknya tidak ada Negara di dunia yang secara konsisten hanya menggunakan salah satu sistem saja, termasuk Indonesia.

Pergerakan nilai tukar di pasar dipengaruhi oleh faktor fundamental dan non fundamental. Faktor fundamental tercermin dari beberapa variabel ekonomi makro antara lain pertumbukan ekonomi, laju inflasi, perkembangan ekspor-impor (net export). Sedangkan faktor non fundamental antara lain sentimen pasar terhadap perkembangan sosial politik, faktor psikologi dalam perhitungan informasi dan


(51)

rumors. Dalam teori keuangan internasional terdapat beberapa pendekatan untuk menentukan nilai tukar secara fundamental (Rahardjo, 2009) yaitu : (1) Teori Purchasing Power Parity (PPP); (2) Real Effective Exchange Rate (REER); dan (3) Fundamental Effective Exchange Rate (FEER).

Krisana Wijaya (Kompas 26 Juni 2000), menjelaskan manajemen nilai tukar yang dilakukan Pemerintah Indonesia dapat dibagi menjadi : (1) Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate); (2) Sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate); dan (3) Sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Pemerintah Indonesia telah melaksanakan 3 (tiga) sistem nilai tukar, yang mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing. Dari ketiga sistem ini, mana yang lebih efektif tidak hanya tergantung pada kekuatan dan kelemahan masing-masing sistem, akan tetapi juga sangat tergantung pada faktor lain antara lain tingkat keterbukaan ekonomi, tingkat kemandirian dalam melaksanakan kebijakan ekonomi dan aktivitas perekonomian suatu negara.

2.6.1 Sistem Nilai Tukar Tetap

Pemerintah Indonesia memberlakukan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) pada tahun 1970 s.d. 1978, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1964. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika ditetapkan dengan kurs resmi Rp. 250 per satu Dollar Amerika. Sedangkan nilai tukar dengan mata uang lainnya ditetapkan atas dasar nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika di pasar domestik maupun internasional. Dalam periode ini Pemerintah Indonesia sangat ketat mengontrol nilai devisa. Apabila nilai tukar tidak dapat dipertahankan, bank sentral


(52)

(Bank Indonesia) melakukan devaluasi atau revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan. Devaluasi adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk secara sepihak menurunkan nilai tukar mata uang negaranya, sedangkan revaluasi adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk secara sepihak menaikkan nilai mata uang negaranya terhadap mata uang negara lain.

Dalam periode ini Pemerintah Indonesia telah melakukan devaluasi sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu (1) Pertama dilakukan pada tanggal 17 April 1970 dimana nilai tukar Rupiah ditetapkan menjadi Rp 378 per satu Dollar Amerika; (2) Kedua dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1971 dan nilai tukar Rupiah ditetapkan sebesar Rp 415 per satu Dollar Amerika; dan (3) Devaluasi ketiga dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 1978 dan nilai tukar Rupiah ditetapkan sebesar Rp 625 per satu Dollar Amerika.

2.6.2 Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali

Sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) adalah sistem nilai tukar yang berada diantara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang bebas. Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral (Bank Indonesia) menetapkan batasan pergerakan nilai tukar yang disebut dengan intervention band. Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga pergerakan nilai tukar. Apabila nilai tukar berada diluar intervention band, bank sentral melakukan intervensi ke pasar valuta asing dengan menjual atau membeli devisa yang diperlukan oleh pasar sehingga nilai tukar kembali pada posisi intervention band.


(53)

Sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1978 s.d. Juli 1997. Dengan sistem nilai tukar mengambang terkendali, nilai tukar rupiah diambangkan terhadap mata uang (basket of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Sejak sistem ini dilaksanakan, pemerintah menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pada tahun 1992 sampai dengan bulan Agustus 1997, fleksibilitas nilai tukar rupiah semakin dikembangkan dengan penerapan crawling band.

2.6.3 Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas

Sistem nilai tukar mengambang bebas adalah sistem nilai tukar yang terjadi sesuai dengan mekanisme pasar (kekuatan permintaan dan penawaran). Dalam sistem nilai tukar ini, bank sentral masih dapat berperan melakukan intervensi di pasar valuta asing, dengan menjual atau membeli devisa dalam hal terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran untuk menghindari gejolak nilai tukar yang berlebihan. Akan tetapi intervensi tidak diarahkan untuk mencapai tingkat nilai tukar tertentu. Hanya saja peran ini dibutuhkan untuk menjaga kestabilan nilai tukar yang sangat penting untuk menghindari ketidakpastian dunia usaha.

Sistem nilai tukar mengambang bebas mulai diberlakukan Pemerintah Indonesia sejak bulan Agustus 1997 sampai dengan sekarang. Pada periode ini nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi, bahkan pada tahun 1997 pernah mengalami tekanan dengan semakin melemahnya dilai tukar rupiah yang diakibatkan oleh adanya currency turn moil yang melanda Thailand dan menyebar ke kawasan


(54)

ASEAN termasuk Indonesia. Sejak Agustus 1997 nilai tukar Rupiah terus melemah sampai pada titik terlemah mencapai Rp 16.000 per satu Dollar Amerika Serikat pada tanggal 15 Juni 1998.

2.7 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah dalam meningkatkan output perekonomian. Menurut Keynes, pemerintah dituntut untuk mendorong konsumsi publik dengan cara membangun infrastruktur dan membuka sebanyak mungkin lapangan kerja. Adam Smith juga mengakui peran negara dalam bidang ekonomi yang mencakup : (1) Memberi perlindungan hukum; (2) Fungsi pertahanan dan keamanan; dan (3) Pembangunan infrastruktur. Dari ketiga pandangan tersebut, terlihat bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu fungsi penting negara untuk meningkatkan output perekonomian.

Pembangunan Infrastruktur direpresentasikan melalui : (1) Peningkatan produktivitas; (2) Penurunan biaya marjin (biaya transportasi); dan (3) Peningkatan stok kapital (PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero), (2006).

Peningkatan produktivitas adalah peningkatan output yang disebabkan oleh pembangunan/pengembangan sarana infrastruktur. Dalam hal ini tidak termasuk peningkatan output yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan atau faktor lain seperti peningkatan sarana-sarana. Misalnya peningkatan produktivitas transportasi, diukur dari pengembangan infrastruktur sektor transportasi seperti pertambahan panjang jalan, perbaikan kualitas jalan, penambahan panjang jembatan,


(55)

pengembangan/pembangunan bandar udara dan sarana penunjangnya, penambahan panjang rel kereta api dan sarana penunjangnya. Peningkatan output karena pertambahan jumlah sarana transportasi seperti mobil, kereta api, pesawat udara, kapal laut dan sarana transportasi lainnya tidak termasuk dalam kategori peningkatan produktivitas infrastruktur.

Penurunan biaya transportasi diuwujudkan sebagai akibat dari pengembangan dan pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan raya, infrastruktur perkeretaapian, infrastruktur pelabuhan dan infrastruktur bandar udara. Pengembangan infrastruktur ini berpengaruh pada penurunan biaya marginal transportasi.

Peningkatan stok kapital adalah peningkatan modal atau anggaran yang akan digunakan dalam pembangunan infrastruktur. Fokus kapital disini adalah keterbatasan anggaran pemerintah dalam membiayai pembangunan infrastruktur, sehingga dalam pengalokasiannya harus hati-hati dengan memperhatikan azas manfaat (benefit) yang akan disumbangkan oleh infrastruktur yang dibangun terhadap perekonomian.

Penilaian The Global Competitiveness Index (2011), Infrastruktur dimasukkan dalam pilar kedua penilaian, Indonesia hanya berada pada peringkat ke-83 dari 139 negara dengan skor 3,6 dari skor 1 sampai 7. Sedangkan untuk kualitas jalan raya (quality of roads) Indonesia hanya berapa pada peringkat 84 dari 139 negara dengan skor 3,7. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrstruktur jalan raya di Indonesia masih jauh tertinggal.


(56)

Investasi bidang jalan sangat ditentukan oleh tingkat kelayakan investasi, yang secara umum dapat ditinjau dari 3 aspek utama, yaitu aspek teknis, aspek ekonomi/ finansial dan aspek lingkungan. Aspek teknis perlu dipastikan apakah koridor yang akan dilewati memungkinkan untuk dibangun prasarana jalan secara mudah dan murah, serta memenuhi standar teknis yang dipersyaratkan. Aspek ekonomi/finansial pada umumnya terkait dengan perhitungan biaya dan manfaat investasi yang akan dilakukan. Investasi bidang jalan pada umumnya dilakukan dengan prinsip ”ship follows trade”, yaitu pembangunan jalan dilakukan apabila ada kepastian demand terhadap keberadaan jalan yang akan dibangun, yang ditunjukkan dengan volume lalu lintas atau aktifitas perekonomian wilayah yang ada atau diperkirakan akan tumbuh di kawasan koridor rencana pembangunan jalan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari adanya unsur spekulasi dan terjadinya resiko kerugian akibat penyediaan prasarana jalan yang tidak tepat, baik dari penetapan lokasi maupun waktu pelaksanaannya.

Pada kawasan-kawasan yang relatif baru berkembang, pada umumnya kelayakan ekonomi maupun finansial sulit dipenuhi, karenanya penyediaan prasarana lebih bersifat perintis untuk mendorong pengembangan wilayah ataupun membuka daerah-daerah terisolir. Pada kasus seperti ini, peran pemerintah lebih dominan khususnya dalam konteks tugas pemerintah untuk memenuhi kewajiban pelayanan publik. Sebaliknya pada kawasan perkotaan yang sudah berkembang, pembangunan prasarana pada umumnya dapat lebih layak secara ekonomi maupun finansial, bahkan


(57)

sudah menjadi tuntutan kebutuhan kawasan, sehingga tingkat keterlibatan pihak swasta lebih tinggi.

2.7.2 Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur

Tantangan utama Indonesia dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur adalah keterbatasan dana (financial gap) antara kemampuan menyediakan dana dan kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur. Berdasarkan data Bappenas, kebutuhan pembiayaan infrastruktur setiap tahun idealnya minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan target pertumbuhan ekonomi 6,2 persen dan nominal PDB Rp 6.718,3 triliun pada tahun 2011, kebutuhan dana infrastruktur sebesar Rp 335,9 Triliun. Kebutuhan pembiayaan infrastruktur dengan asumsi 5 persen dari PDB setiap tahun dan target pertumbuhan ekonomi 2014 sebesar 7 persen, maka kebutuhan dana infrastruktur tahun 2010 s.d. 2014 mencapai Rp 1.924 Triliun, sedangkan kemampuan pemerintah hanya sebesar Rp 560 Triliun atau 29,11 persen. Kekurangan pendanaan sebesar Rp 1.041 Triliun diharapkan berasal dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta dan pemerintah daerah, namun demikian masih terdapat kekurangan pendanaan sebesar Rp 323 Triliun (Harian Umum Kompas, tanggal 21 April 2011; hal. 1 dan hal. 15). Besarnya financial gap tersebut tidak terlepas dari rendahnya realisasi investasi di Indonesia. Berdasarkan data di atas, kemampuan pemerintah untuk membiayai infrastruktur hanya sebesar 0,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), bandingkan dengan investasi infrastruktur di negara-negara maju yang mencapai 5 persen s.d. 6 persen dari PDB. Perbandingan lainnya adalah Pemerintah China menargetkan membangun 1.000 km


(58)

jalur rel kereta api per tahun. Amerika Serikat menginvestasikan Rp 300 Triliun per tahun untuk kereta api. Sedangkan Indonesia hanya mampu mengalokasikan Rp 4 Triliun per tahun untuk kereta api (Harian Kompas, 21 April 2011; hal. 1 dan hal. 15).

Pada bulan April 2010, ketika Indonesia menjadi tuan rumah, Asia-Pacific Ministerial Conference on Public-Private Partnership (PPP), Pemerintah menawarkan 30 proyek infrastruktur transportasi yang potensial dikerjasamakan dengan pihak swasta dengan nilai total US$ 11 milyar. Pada kesempatan tersebut, pemerintah juga menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia terkendala dengan keterbatasan pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur transportasi nasional. Oleh karenanya pemerintah mendorong keterlibatan sektor swasta baik dalam negeri maupun luar negeri untuk turut berpartisipasi. Selama kurun waktu 2010-2014 Pemerintah membutuhkan investasi sedikitnya Rp 291,87 triliun setiap tahunnya untuk mengembangkan seluruh moda transportasi di Indonesia, baik melalui skema kejasama antara pemerintah dengan swasta maupun Business to Business (B to B).

Dalam konsep kerjasama pemerintah dengan swasta dalam Pembangunan Infrastruktur Transportasi, pemerintah menawarkan insentif bagi swasta antara lain pemerintah berkewajiban membangun bagian dari proyek yang masuk dalam ketegori non-cost recovery (tidak mempunyai potensi pengembalian modal). Misalnya pembangunan rel kereta api, fasilitas persinyalan, dermaga pelabuhan, pemecah gelombang dan fasilitas sisi udara (air side) Bandar Udara.


(59)

Dari sisi regulasi, pemerintah telah melakukan perubahan terhadap perundang-undangan yang memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi sektor swasta untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur transportasi, yakni : 1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; 2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; 4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan; serta 5) Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 sebagai penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur. Regulasi ini menghapus monopoli Badan Usaha Milik Negara atas mandat Pemerintah dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur.

Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain : 1) Mempermudah iklim investasi infrastruktur, 2) Melakukan perubahan regulasi dibidang infrastruktur, 3) Memperkuat kerangka institusi yang menunjang pendanaan dibidang infrastruktur dan 4) Menjaga kondisi ekonomi makro.

Dalam kaitan dengan mempermudah iklim investasi, pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang ditengarai menjadi kendala masuknya investasi dibidang infrastruktur. Beberapa upaya konkrit yang dilakukan yaitu :


(1)

Lampiran 10 : Uji Stasioner Jalan Rusak Ringan (JRR)

Null Hypothesis: D(JRR) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.698887 0.0001

Test critical values: 1% level -3.724070

5% level -2.986225

10% level -2.632604

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JRR,2)

Method: Least Squares Date: 06/03/12 Time: 16:01 Sample(adjusted): 1986 2010

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(JRR(-1)) -1.183001 0.207585 -5.698887 0.0000

C 157.4300 400.3873 0.393194 0.6978

R-squared 0.585416 Mean dependent var -86.47600

Adjusted R-squared 0.567391 S.D. dependent var 3026.265 S.E. of regression 1990.466 Akaike info criterion 18.10674 Sum squared resid 91124988 Schwarz criterion 18.20425

Log likelihood -224.3343 F-statistic 32.47732


(2)

Lampiran 11 : Uji Stasioner Jalan Rusak Berat (JRB)

Null Hypothesis: JRB has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.049899 0.0004

Test critical values: 1% level -3.724070

5% level -2.986225

10% level -2.632604

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JRB)

Method: Least Squares Date: 06/03/12 Time: 16:01 Sample(adjusted): 1986 2010

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

JRB(-1) -1.116464 0.221086 -5.049899 0.0000

D(JRB(-1)) 0.454195 0.181130 2.507558 0.0200

C 5706.682 1164.509 4.900505 0.0001

R-squared 0.541097 Mean dependent var 97.21560

Adjusted R-squared 0.499378 S.D. dependent var 2481.485 S.E. of regression 1755.765 Akaike info criterion 17.89136 Sum squared resid 67819656 Schwarz criterion 18.03763

Log likelihood -220.6420 F-statistic 12.97019

Durbin-Watson stat 2.226390 Prob(F-statistic) 0.000190


(3)

Lampiran 12 : Uji Stasioner Nilai Tukar (E)

Null Hypothesis: D(E) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.570512 0.0001

Test critical values: 1% level -3.724070

5% level -2.986225

10% level -2.632604

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(E,2)

Method: Least Squares Date: 06/03/12 Time: 16:03 Sample(adjusted): 1986 2010

Included observations: 25 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(E(-1)) -1.182923 0.212354 -5.570512 0.0000

C 375.6565 305.8221 1.228350 0.2317

R-squared 0.574315 Mean dependent var -63.57280

Adjusted R-squared 0.555807 S.D. dependent var 2216.748 S.E. of regression 1477.413 Akaike info criterion 17.51059 Sum squared resid 50203251 Schwarz criterion 17.60810

Log likelihood -216.8824 F-statistic 31.03060


(4)

Lampiran 13 :

Johansen Cointegration Test Summary

Date: 06/03/12 Time: 16:04 Sample: 1984 2010

Included observations: 25

Series: I X PDRB JB JS JRR JRB Lags interval: 1 to 1

Data Trend: None None Linear Linear Quadratic

Rank or No Intercept Intercept Intercept Intercept Intercept No. of CEs No Trend No Trend No Trend Trend Trend

Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns)

Trace 4 5 5 6 6

Max-Eig 4 5 5 6 6

Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns)

0 -1517.312 -1517.312 -1513.861 -1513.861 -1503.895 1 -1478.972 -1478.972 -1475.791 -1452.376 -1444.151 2 -1450.311 -1450.215 -1447.702 -1421.901 -1415.842 3 -1430.075 -1429.626 -1427.150 -1400.265 -1396.804 4 -1414.793 -1414.213 -1411.818 -1382.086 -1379.445 5 -1408.286 -1402.266 -1399.877 -1367.397 -1364.761 6 -1405.194 -1397.052 -1396.666 -1357.020 -1355.006 7 -1404.860 -1393.962 -1393.962 -1353.808 -1353.808

Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns)

0 125.3050 125.3050 125.5889 125.5889 125.3516 1 123.3577 123.4377 123.6633 121.8701 121.6921 2 122.1849 122.3372 122.5362 120.6321 120.5473 3 121.6860 121.8901 122.0120 120.1012 120.1443 4 121.5834 121.8570 121.9054 119.8469 119.8756 5 122.1829 122.1013 122.0702 119.8718 119.8209* 6 123.0555 122.8842 122.9332 120.2416 120.1605 7 124.1488 123.8370 123.8370 121.1846 121.1846

Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns)

0 127.6940 127.6940 128.3192 128.3192 128.4232 1 126.4293 126.5580 127.0761 125.3317 125.4462 2 125.9390 126.1888 126.6316 124.8250* 124.9840 3 126.1227 126.4730 126.7900 125.0255 125.2636 4 126.7027 127.1713 127.3660 125.5025 125.6774 5 127.9848 128.1469 128.2133 126.2587 126.3053 6 129.5400 129.6611 129.7589 127.3598 127.3275 7 131.3158 131.3453 131.3453 129.0342 129.0342


(5)

Lampiran 14 :

Pengaruh secara langsung variabel eksogen terhadap variabel

endogen (investasi)

System: SYS01

Estimation Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 09:59 Sample: 1984 2010

Included observations: 27

Total system (balanced) observations 27

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C(11) -0.080785 0.002709 -29.82103 0.0000 C(13) 0.019241 0.196728 0.097804 0.9229 C(14) -0.301392 0.121566 -2.479249 0.0209 C(15) 1.255358 0.086512 14.51072 0.0000 Determinant residual covariance 0.037381

Equation: LOG(I) = C(11)*LOG(INF) + C(11)*LOG(SBP) + C(13) *LOG(JB) + C(14)*LOG(JS+JRR+JRB) + C(15)*LOG(PDRB) Observations: 27

R-squared 0.970850 Mean dependent var 8.938683 Adjusted R-squared 0.967048 S.D. dependent var 1.153990 S.E. of regression 0.209479 Sum squared resid 1.009275 Durbin-Watson stat 1.515166


(6)

Lampiran 15 :

Pengaruh secara langsung variabel eksogen terhadap variabel

endogen (ekspor)

System: SYS01

Estimation Method: Least Squares Date: 06/09/12 Time: 10:02 Sample: 1984 2010

Included observations: 27

Total system (balanced) observations 27

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C(21) 0.808249 0.188263 4.293187 0.0003 C(22) -0.630869 0.080192 -7.866958 0.0000 C(23) 0.886537 0.163267 5.429977 0.0000 Determinant residual covariance 0.087684

Equation: LOG(X) = C(21)*LOG(E) + C(22)*LOG(JRR+JRB) + C(23) *LOG(PDRB)

Observations: 27

R-squared 0.957345 Mean dependent var 9.432727 Adjusted R-squared 0.953791 S.D. dependent var 1.461076 S.E. of regression 0.314078 Sum squared resid 2.367478 Durbin-Watson stat 1.612592